Apa saja alternatif pengukuran pendeteksi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)?

Berat lahir bayi mencerminkan hasil perkembangan dalam kandungan dan kecukupan nutrisi bayi saat dilahirkan. Bayi dikatakan memiliki berat lahir rendah atau Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) apabila memiliki berat badan kurang dari 2500gr (2,5 kg).

Beberapa klasifikasi lain untuk berat lahir rendah adalah: berat lahir sangat rendah jika di bawah 1,5 kg, dan berat lahir rendah ekstrem jika di bawah 1 kg.

Apa saja alternatif pengukuran pendeteksi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) selain pengukuran dengan berat badan ?

Bayi berat lahir rendah merupakan individu yang rentan terhadap kematian yang disebabkan oleh faktor-faktor eksogen. Selain itu bayi berat lahir rendah yang berhasil bertahan hidup juga besar kemugkinannya akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental.

Oleh karena itu menjadi esensial untuk dapat mengidentifikasi bayi berat lahir rendah sedini mungkin dengan pengukuran yang sederhana dan tidak berisiko bagi mereka (WHO, 1993).

Sayangnya pada banyak negara berkembang seringkali persalinan tidak dilakukan pada fasilitas kesehatan atau tidak dibantu oleh petugas kesehatan, tidak tersedia peralatan penimbangan atau kalaupun tersedia, peralatan yang ada belum tentu merupakan peralatan standar atau telah dikalibrasi.

Kondisi ini membuat penimbangan berat lahir menjadi tidak mungkin untuk dilakukan. Kalaupun ada penimbangan dilakukan, validitas data yang tersedia masih harus dipertanyakan (WHO, 1993; Nur et al, 2001; Samal dan Swain, 2001; Kadam et al, 2005; Sreeramareddy et al, 2008; dan Kusharisupeni & Marlenywati, 2011).

Mengingat pentingnya mengidentifikasi bayi berat lahir rendah sedini mungkin, maka telah dilakukan banyak penelitian mengenai ukuran-ukuran antropometri yang dapat digunakan untuk memprediksi berat lahir sehingga dengan dengan kata lain juga dapat mendeteksi kejadian bayi berat lahir rendah.

WHO (1993) melakukan sebuah studi kolaboratif pada pengukuran pengganti berat lahir. Menurut WHO (1993), sebuah pengukuran pengganti memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain:

  1. Memiliki korelasi yang kuat dengan berat lahir.
  2. Dapat mendeteksi secara akurat kejadian bayi berat lahir rendah.
  3. Mudah untuk dilakukan.
  4. Menggunakan peralatan yang sederhana namun kokoh.

Lingkar Betis

Lingkar betis dinyatakan dalam banyak studi sebagai salah satu dari beberapa ukuran antropometri yang memiliki korelasi yang kuat terhadap berat lahir dan oleh karenanya dapat digunakan untuk mengidentifikasi kasus BBLR saat penimbangan berat lahir tidak memungkinkan untuk dilakukan.

Pengukuran lingkar betis dilakukan pada titik paling menonjol pada bagian betis pada saat kaki dalam posisi semi-fleksi (Neela et al, 1991; Gupta et al, 1996; Samal dan Swain, 2001; Nur et al, 2001; Kusharisupeni dan Marlenywati, 2011).

Neela et al (1991) dalam studinya di India menemukan nilai korelasi sebesar 0,83 untuk lingkar betis terhadap berat lahir. Lingkar betis juga berkontribusi sebesar 69,7% terhadap berat lahir (yang ditunjukkan dengan nilai R 2) dan meningkat menjadi 82,1% saat ditambahkan dengan variabel panjang badan dan lingkar lengan atas. Titik kritis lingkar betis yang berkorespondensi dengan patokan 2.500 gram untuk berat lahir adalah 10 cm dengan nilai sensitivitas 95,7% dan spesifisitas 79,7%.

Studi oleh Raman et al (1992) yang juga dilakukan di India mencoba memvalidasi temuan Neela et al (1991). Raman et al (1992) mendapatkan nilai r sebesar 0,772 antara lingkar betis dengan berat lahir dan merupakan nilai korelasi terkuat dibandingkan dengan ukuran antropometri lainnya (lingkat paha dan lingkar lengan atas).

Kontribusi lingkar betis terhadap berat lahir (nilai R2 ) didapatkan sebesar 59,6% dan meingkat menjadi 66,3% saat ditambahkan dengan variabel lingkar paha dan lingkar lengan atas.

Cut-off point lingkar betis yang disarankan untuk mendeteksi kasus BBLR pada studi ini sama seperti studi sebelumnya oleh Neela et al (1991) yaitu 10 cm dengan nilai sensitivitas 94% dan spesifisitas 84,3%.

Studi ini juga memperlihatkan bahwa lingkar betis memiliki kemampuan mendeteksi kasus BBLR lebih tinggi dibandingkan lingkar betis dan lingkar lengan atas secara berturut-turut, 94%; 76%; dan 71%.

Serupa dengan hasil studi Raman et al (1992), studi oleh Gupta et al (1996) juga menyatakan bahwa lingkar betis menjadi ukuran antropometri dengan kemampuan yang paling baik dalam mendeteksi kasus BBLR. Nilai sensitivitas lingka betis (98,4%) menjadi nilai sensitivitas tertinggi dibandingkan dengan ukuran antropometri lainnya yang dikumpulkan pada studi tersebut, seperti panjang badan, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar lengan atas dan lingkar paha. Spesifisitas lingkar betis mencapai 90% pada cut-off point 10,8 cm.

Studi oleh Samal dan Swain (2001) mendapatkan nilai korelasi terkuat pada lingkar betis dibandingkan dengan panjang badan, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar lengan atas dan lingkar paha. Koefisien korelasi untuk lingkar betis didapatkan sebesar 0,78 dengan cut-off point 9,9 cm untuk mendeteksi kasus BBLR. Nilai sensitivitas didapatkan sebesar 85,9% dan spesifisitas 82,5%.

Penelitian tentang lingkar betis sebagai pendeteksi kasus BBLR juga dilakukan di Indonesia. Nur et al (2001) mendapatkan nilai korelasi sebesar 0,92 antara lingkar betis dengan berat lahir. Lebih lanjut Nur et al (2001) menyarankan cut-off point sebesar 9,8 cm untuk mendeteksi kasus bayi berat lahir rendah.

Kusharisupeni & Marlenywati (2011) juga mendapatkan hasil yang sejalan. Lingkar betis memiliki nilai r = 0,53 terhadap berat lahir dan berkontribusi 27% terhadap berat lahir (R2 = 0,268).

Cut-off point yang optimal untuk mendeteksi kasus BBLR yaitu 9,75 cm dengan nilai sensitivitas 85%; spesifisitas 65%; dan nilai prediksi positif 93,03%.

Lingkar Dada

Pengukuran lingkar dada pertama kali dilakukan oleh seorang seniman di era 1800-an untuk mendeskripsikan proporsi normal tubuh manusia. Saat ini pengukuran lingkar dada seringkali dibandingkan dengan berat lahir sebagai usaha untuk dapat memprediksi secara lebih akurat risiko morbiditas dan mortalitas bayi (Johnson dan Engstrom, 2002).

Pengukuran lingkar dada dilakukan pada keadaan terlentang menggunakan pita ukur berbahan kertas. Pita ukur disisipkan pada bagian punggung tegak lurus terhadap tulang belakang dan melingkari dada di bawah ketiak dan persis menutupi puting susu.

Ukuran yang diambil pada titik xiphisternum/xiphoid cartilago di bagian depan dada dan titik di bawah sudut inferior scapula pada bagian punggung saat fase ekspirasi terakhir (Sreeramareddy et al, 2008; Johnson dan Engstrom, 2002; Bhargava et al, 1985; Shajari et al, 1996; dan Gupta et al, 1996).

Studi multisenter WHO pada tahun 1993 menghasilkan rekomendasi penggunaan cut-off point < 29 cm untuk kategori “risiko tinggi mengalami BBLR” dan petugas kesehatan diinstruksikan untuk merujuk dengan segera bayi yang masuk dalam kategori tersebut ke fasilitas kesehatan.

Cut-off point 29-30 cm untuk kategori “berisiko mengalami BBLR” dan petugas kesehatan diminta untuk mengawasi kondisi mereka.

Kapoor et al (1996) dalam studinya di daerah pedesaan India Utara mengatakan bahwa 29,5 cm merupakan cut-off point lingkar dada yang terbaik dengan nilai sensitivitas 78% dan spesifisitas 90,3%.

Shajari et al (1996) pada penelitiannya di Iran menyimpulkan bahwa lingkar dada memiliki korelasi yang paling kuat dengan berat lahir (r = 0,81) dengan nilai sensitivitas 80,3%, spesifisitas 94,5%, dan nilai prediksi positif 64,8%. Pada penelitian tersebut didapatkan 30,5 cm merupakan cut-off point yang terbaik untuk mendeteksi kasus bayi berat lahir rendah.

Penelitian Dhar et al (2002) di Dhaka, Bangladesh juga menemukan hasil yang serupa. Lingkar dada menjadi pendeteksi terbaik kasus BBLR saat penimbangan berat lahir tidak dapat dilakukan. Nilai koefisien korelasi lingkar dada mencapai 0,84 dengan sensitivitas 83,3%, spesifisitas 83,6% dan nilai prediksi positif 47,62 cm.

Dhar et al (2002) menyarankan penggunaan < 30,5 sebagai cut-off point mendeteksi kasus bayi berat lahir rendah. Studi oleh Mullany et al (2007) di Nepal juga menemukan bahwa lingkar dada menjadi alternatif pengukuran yang terbaik.

Cut-off point yang disarankan oleh Mullany et al (2007) adalah 30,3 cm dengan nilai sensitivitas 91% dan spesifisitas 83%. Penelitian yang telah dilakukan terhadap potensi lingkar dada sebagai alternatif pengukuran pengganti berat lahir menemukan hasil yang serupa. Hanya terdapat sedikit perbedaan pada cut-off point yang disarankan.

Namun Marchant et al (2010) mengingatkan bahwa pengukuran lingkar dada memiliki kesulitan tersendiri karena harus membuka baju dan mengangkat tangan bayi sehingga kesalahan pengukuran yang mungkin terjadi perlu diperhitungkan.

Lingkar Lengan Atas

Pengukuran lingkar lengan atas pertama kali dilaporkan pada tahun 1800- an. Pengukuran dilakukan pada titik deltoid dimana ketebalan lengan mencapai maksimal pada titik tersebut. Pengukuran tersebut dilakukan dengan tujuan melihat tingkat kekurangan atau kelebihan gizi pada bayi dan anak-anak. Saat ini lingkar lengan atas menjadi salah satu ukuran antropometri yang digunakan untuk menilai status gizi dan memprediksi risiko morbiditas dan mortalitas bayi. Kombinasi nilai lingkar lengan atas dengan lingkar kepala disebut-sebut lebih akurat untuk memprediksi risiko morbiditas bayi terutama hipoglikemia neonatal dibandingkan dengan memprediksi berat lahir (Johnson dan Engstrom, 2002).

Terdapat 2 metode yang umum digunakan untuk mendapatkan ukuran lingkar lengan atas pada bayi.

  • Pertama yaitu dengan menandai titik tengah antara tulang acromion dan olecranon kemudian pita ukur dipasang melingkari titik tersebut.

  • Kedua yaitu dengan menggunakan lipatan alamiah pada lengan atas bayi dimana titik tersebut secara alamiah terletak pada titik tengah di antara tulang acromion dan olecranon.

Sayangnya belum ada penelitian yang mencoba membandingkan kedua metode tersebut (Johnson dan Engstrom, 2002). Studi oleh Bhargava et al (1985) di Inggris memperlihatkan hasil cut-off point lingkar lengan atas bayi baru lahir yang paling optimal untuk mendeteksi kasus bayi berat lahir rendah adalah 8,7 cm dengan nilai r = 0,811, nilai sensitivitas 77,92%, dan spesifisitas 83,55%.

Cut-off point yang berkorespondensi dengan patokan 2.500 gram pada berat lahir adalah 8,6 cm namun memiliki nilai sensitivitas yang lebih rendah yaitu 75,52% dan spesifisitas 85,9%.

Studi oleh Sood et al (2002) di Pune, India juga memperlihatkan hasil yang sejalan. Lingkar lengan atas memiliki korelasi positif dengan berat lahir dengan nilai r = 0,76. Cutoff point yang disarankan pada penelitian Sood et al (2002) sama dengan studi oleh Bhargava et al (1985) yaitu 8,7 cm dengan nilai sensitivitas 87,1%, spesifisitas 94,8%, dan nilai prediksi positif sebesar 68,8%.

Studi oleh Das et al (2005) juga menyarankan penggunaan lingkar lengan atas untuk mendeteksi kasus BBLR saat penimbangan berat lahir tidak memungkinkan untuk dilakukan. Hasil studi Das et al (2005) menemukan korelasi positif antara lingkar lengan atas dengan berat lahir dimana nilai r mencapai 0,956.

Das et al (2002) menyarankan cut-off point < 9 cm sebagai patokan mendeteksi kasus BBLR dengan nilai sensitivitas 96,2% dan spesifisitas 97,3%. Selain itu cut-off point < 8 cm dan < 6,8 cm merupakan titik dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang paling optimal untuk mendeteksi kasus berat lahir < 2.000 gram dan < 1.500 gram.

Bhargava et al (1985) dan Das et al (2005) mengatakan bahwa secara statistik lingkar lengan atas merupakan ukuran antropometri pengganti untuk mendeteksi kasus BBLR yang paling baik dibandingkan dengan ukuran antropometri lainnya saat penimbangan berat lahir tidak memungkinkan untuk dilakukan.

Lingkar lengan atas juga dikatakan sebagai pengukuran yang aman, praktis, cepat dan reliabel.

Namun Johnson dan Engstrom (2002) menyebutkan bahwa tingkat kesalahan pengukuran lingkar lengan atas lebih tinggi dibandingkan pengukuran berat lahir dan lingkar kepala ( LiLA = 2,9-5,1%; berat lahir = 0,1-0,3%; dan lingkar kepala = 0,4-1%).

Hal ini disinyalir disebabkan oleh kesulitan dalam menentukan titik tengah antara tulang acromion dan olecranon pada bayi.

Lingkar Kepala

Pengukuran lingkar kepala yang pertama kali dilakukan dilaporkan pada akhir tahun 1700-an. Pada review laporan tersebut, diketahui bahwa rata-rata ukuran lingkar kepala bayi baru lahir adalah sekitar 32,4-35,37 cm dan secara umum lebih besar pada bayi laki-laki dibandingkan dengan bayi perempuan (Johnson dan Engstrom, 2002).

Pada pertengahan tahun 1900-an mulai diketahui adanya asosisiasi antara ukuran kepala yang abnormal (terlalu besar atau teralu kecil) dengan hambatan perkembangan mental. Kurang gizi kronis pada bulan-bulan awal kehidupan atau IUGR dapat merusak perkembangan otak dan akan menghasilkan ukuran lingkar kepala yang abnormal.

Walaupun ukuran lingkar kepala hanya merupakan ukuran dari tengkorak kepala dan bukan ukuran otak, namun dapat merepresentasikan ukuran otak secara tidak langsung. Hal ini karena keeratan konformitas antara otak dengan jaringan yang mengelilingi dan melindunginya, serta peran otak yang dominan dalam menentukan ukuran kepala (Gibson, 1993; Bogin, 2001 & Johnson dan Engstrom, 2002).

Pada akhir tahun 1900-an, pengukuran lingkar kepala mulai diteliti lebih dalam dan dikombinasikan dengan ukuran lingkar lengan atas untuk memprediksi risiko morbiditas neonatal. Lebih jauh ditemukan bahwa lingkar kepala dan lingkar dada bisa menjadi kombinasi akurat untuk memperkirakan berat lahir bayi saat alat timbang berat lahir tidak tersedia (Johnson dan Engstrom, 2002).

Pengukuran lingkar kepala dapat dilakukan dengan melingkarkan pita ukur yang terbuat dari kertas, kain, baja atau fiberglass pada titik glabella (titik di antara alis mata) pada kepala bagian depan dengan titik yang paling menonjol pada kepala bagian belakang (Johnson dan Engstrom, 2002 & Sreeramareddy et al, 2008).

Penelitian Sreeramareddy et al (2008) pada bayi baru lahir di Nepal menemukan bahwa lingkar kepala merupakan ukuran antropomteri dengan korelasi yang paling kuat dengan berat lahir (r = 0,74) dibandingkan dengan ukuran antropometri lainnya. Nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediksi positif dari lingkar kepala terhadap kasus bayi berat lahir rendah secara berturutturut yaitu 81,15%; 76,47%; dan 97,4%.

Pada penelitian ini juga diangkat mengenai isu akurasi pengukuran lingkar kepala. Pengukuran lingkar kepala bisa menjadi tidak akurat pada kasus-kasus persalinan lama, persalinan macet, persalinan yang dibantu oleh forceps atau alat vakum atau pada kasus hydrocephallus (WHO, 1995).

Lingkar Paha

Lingkar paha dilaporkan pertama kali diukur pada sekitar tahun 1800-an. Pada saat itu rata-rata ukuran lingkar paha bayi laki-laki sebesar 13,8 cm dan bayi perempuan sebesar 13,7 cm. Pengukuran lingkar paha pada saat itu dihubungkan dengan kenaikan panjang tubuh dalam upaya mempelajari proses pertumbuhan janin (Johnson dan Engstrom, 2002).

Terdapat beberapa metode pengukuran lingkar paha yaitu mengukur titik tertinggi pada selangkang, mengukur pada titik tengah antara selangkang dan lutut, mengukur pada titik paling menonjol pada otot paha, mengukur pada ukuran lingkar paha terbesar, atau mengukur pada titik terendah kerutan pada gluteal region (Johnson dan Engstrom, 2002 & Sreeramareddy et al 2008).

Hasil penelitian Kadam, Somaiya & Kakade (2005) menunjukkan korelasi yang kuat antara lingkar paha dengan berat lahir, dimana nilai r mencapai 0,86. Cut-off point lingkar paha sebesar 15,29 cm berkorespondensi dengan 2.500 gram berat lahir dan memiliki nilai sensitivitas 94,95%, spesifisitas 85,62%, dan nilai prediksi positif sebesar 83,06%.

Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa lingkar paha merupakan alternatif pengukuran pengganti terbaik saat berat lahir tidak memungkinkan untuk diukur.

Dalam rangka mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan pengukuran, Kadam, Somaiya & Kakade (2005) menyarankan penggunaan pita ukur berwarna yang berkoresponden pada titik < 2.000 gram, antara 2.000 dan 2.500 gram serta > 2.500 gram. Penggunaan pita ini akan mempermudah praktek pengukuran lingkar paha karena titik lingkar paha terbesar memiliki jaringan lunak dalam jumlah yang lebih banyak.

Tetapi di lain pihak menurut Johnson dan Engstrom (2002), oleh karena banyaknya titik pengukuran lingkar paha dan pengukuran pada titik terendah kerutan pada gluteal region relatif lebih rumit dari titik pengukuran lainnya, maka persentase kesalahan pengukuran lingkar paha lebih tinggi dibandingkan pengukuran berat lahir (3,3% dibandingkan dengan 0,1- 0,3%).

Panjang Telapak Kaki

Panjang telapak kaki merupakan ukuran antara ujung tumit dengan ujung ibu jari atau telunjuk kaki pada posisi jari-jari kaki terentang maksimal (Hirve dan Ganatra, 1992). Panjang telapak kaki disinyalir dapat digunakan sebagai alternatif pengukuran untuk mendeteksi kasus bayi berat lahir rendah.

Hasil penelitian Hirve dan Ganatra (1992); Mullany et al (2007) dan Marchant et al (2010) menunjukkan hasil yang serupa mengenai panjang telapak kaki sebagai pengukuran pengganti berat lahir. Panjang telapak kaki lebih cocok digunakan untuk mendeteksi kasus bayi berat lahir rendah tingkat berat (berat lahir kurang dari 1500 gram).

Penelitian Hirve dan Ganatra (1992) menyebutkan bahwa cut-off point 6,35 cm yang berkorespondensi dengan berat lahir 1.500 gram, menghasilkan nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediksi positif tertinggi secara berturut-turut yaitu 100%; 95,2%; dan 60%.

Penelitian Mullany et al (2007) juga menemukan hal yang serupa. Panjang telapak kaki lebih cocok untuk mendeteksi kasus bayi berat lahir rendah tingkat berat pada cut-off point < 7 cm pada saat lahir memiliki sensitivitas 75% dan spesifisitas 99% untuk mendeteksi kasus bayi berat lahir rendah tingkat berat.

Panjang telapak kaki < 8 cm pada saat lahir memiliki sensitivitas 87% dan spesifisitas 60% untuk mendeteksi kasus bayi berat lahir rendah dan sensitivitas 93% dan spesifisitas 58% untuk mendeteksi kasus prematur (usia gestasi kurang dari 37 minggu).

Hirve dan Ganatra (1992); Mullany et al (2007) dan Marchant et al (2010) menyimpulkan bahwa panjang telapak kaki dapat dijadikan alternatif pengukuran pengganti berat lahir yang cocok untuk mendeteksi kasus bayi berat lahir rendah tingkat berat. Panjang telapak kaki juga dikatakan lebih mudah untuk dilakukan karena tidak perlu melepaskan baju responden. Namun diperlukan keahlian untuk dapat merentangkan jari kaki secara maksimal untuk mendapatkan ukuran panjang telapak kaki yang akurat.