Apa perbedaan strukturalisme sastra tradisional, strukturalisme genetic, dan strukturalisme dinamis?

sastra strukturalisme

Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap: pergeseran paradigma berpikir, metode, dan teori.

Secara definitife strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Tokoh-tokoh penting strukturalisme, di antaranya: Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Felix Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scholes.

Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felix Vodicka (Fokkema, 1977).

Tujuan akhir pengkajian karya sastra adalah mengungkapkan gagasan yang ingin disampaikan sastrawan kepada pembaca atau makna yang terkandung di balik gaya bahasanya yang indah. Untuk keperluan itu maka diperlukan penguasaan dan pemahaman seperangkat teori sebagai pisau analisis dalam upaya pengungkapan gagasan tersebut.

Ada berbagai teori yang dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam upaya mengungkapkan gagasan yang terkandung dalam sebuah karya sastra termasuk di dalamnya teori strukturalisme.

Strukturalisme


Menurut Piaget (dalam Zaimar, 1991), strukturalisme adalah: “Semua doktrin atau metode yang —dengan suatu tahap abstraksi tertentu— menganggap objek studinya bukan hanya sekedar sekumpulan unsur yang terpisah-pisah, melainkan suatu gabungan unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain, sehingga yang satu tergantung pada yang lain dan hanya dapat didefinisikan dalam dan oleh hubungan perpadanan dan pertentangan dengan unsur-unsur lainnya dalam suatu keseluruhan. Dengan kata lain, semua doktrin yang menggunakan konsep struktur dan yang menghadapi objek studinya sebagai struktur. Jadi, pengertian totalitas dan sikap saling berhubungan adalah ciri-ciri strukturalisme.”

Bagi Piaget (dalam Hawkes, 1978), struktur sebagai jalinan unsur yang membentuk kesatuan dan keseluruhan dilandasi oleh tiga landasan dasar, yakni :

  1. gagasan kebulatan

  2. gagasan transformasi

  3. gagasan pengaturan diri

Sebagai kebulatan struktur, unsur- unsur di dalamnya tidak berdiri sendiri dalam keseluruhan makna. Bahan-bahan yang ada diproses melalui transformasi, sehingga struktur itu tidak statis melainkan dinamis. Keseluruhan (wholeness), unsur- unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan, baik keseluruhan stuktur maupun bagian-bagiannya; tansformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru.

Selanjutnya, untuk mempertahankan transformasinya, struktur tidak memerlukan bantuan di luar dirinya (Pradopo, 1989). Keteraturan yang mandiri (self regulation), artinya, struktur tidak memerlukan hal diluar dirinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain.

Sesuai dengan teori Abrams, pendekatan strukturalisme disebut dengan pendekatan objektif, yaitu melihat karya sastra sebagai struktur otonom, berdiri sendiri, terlepas dari unsur yang berada di luar dirinya. Telaah sastra dalam pendekatan ini melihat karya sastra sebagai sesuatu yang terlepas dari unsur sosial budaya, pengarang, dan pembacanya. Karena itu, semua hal yang berada di luar karya, seperti biografi pengarang, psikologi, sosiologi, dan sejarah, tidak diikut sertakan dalam analisis. Menurut Teeuw (2003), yang diperlukan dalam pendekatan ini adalah close reading, yaitu pembacaan secara mikroskopis atas karya sastra sebagai ciptaan bahasa.

Aristoteles (dalam Teeuw, 2003), mengenalkan strukturalisme dalam konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence, yang memandang bahwa keutuhan makna bergantung pada keseluruhan unsur. Wholeness atau keseluruhan; unity, berarti semua unsur harus ada; complexity, berarti luasnya ruang lingkup harus memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal; coherence, berarti sastrawan bertugas untuk menyebutkan hal-hal yang mungkin atau yang harus terjadi sesuai konsistensi logika cerita.

Menurut Culler (1975), dalam menganalisis karya sastra dengan pendekatan strukturalisme, orang harus memfokuskan kajiannya pada landasan linguistik. Adapun aspek-aspek karya sastra yang dikaji dalam pendekatan strukturalisme ini adalah tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan, dan hubungan antaraspek yang membuatnya menjadi karya sastra.

Teeuw (1984) menandaskan, bahwa tujuan analisis struktural adalah membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan berbagai unsur yang secara bersama sama membentuk makna. Yang penting bagaimana berbagai gejala itu memberikan sumbangan dalam keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya, serta antara berbagai tataran yakni fonemik, morfologis, sintaksis dan semantik. Keseluruhan makna yang terkandung dalam teks akan terwujud hanya dalam keterpaduan struktur yang bulat.

Pertama-tama kaum strukturalis memandang wujud sebagai suatu keseluruhan, sebagai sesuatu yang utuh, yang setelah dianalisis ditemukan sebab-sebab keutuhan itu. Meskipun demikian struktur tersebut tidaklah statis sebagai konsekuensi manusia sebagai homo significant. Manusia, menurut Barthes, terus-menerus ingin memberi makna kepada benda-benda (1972) dengan menciptakan suatu konteks yang baru sebagaimana dinyatakan Culler (dalam Teeuw, 1978).

Pendekatan strukturalisme sangat populer. Oleh karena itu, pendekatan itu sering digunakan dalam telaah sastra, atau untuk mengajarkan sastra di sekolah. Pendekatan itu dipandang lebih mudah untuk dilaksanakan, karena memfokuskan analisis pada unsur-unsur dan hubungan antar unsur yang membangun karya itu.

Sesungguhnya, pendekatan strukturalisme, memberikan peluang untuk telaah sastra dengan lebih rinci. Namun pada kenyataannya, peluang itu justru sering menyebabkan masalah estetika menjadi terkorbankan. Hal itu terjadi antara lain, karena sebab-sebab sebagai berikut.

  1. Pendekatan strukturalisme ini tidak dapat digunakan untuk menganalisis perkembangan sastra dari masa ke masa;

  2. Tujuan akhir dari analisis teks sastra yang berupa pengungkapan makna estetis, tidak dapat tercapai sebab pembahasan hanya sampai pada analisis unsurnya. Hubungan antarunsur sebagai kebulatan pembentuk makna, masih jarang dilakukan. Padahal, demikian Pradopo (1989), sebagai kebulatan struktur, unsur-unsur di dalam karya sastra itu tidak dapat berdiri sendiri dalam keseluruhan makna;

  3. Untuk sampai pada pengungkapan makna, perlu dipahami unsur-unsur di luar karya sastra itu.

Menurut Teeuw (2003), dalam perkembangannya muncul ketidakpuasan orang terhadap pendekatan strukturalisme ini, karena dipandang memiliki kelemahan, antara lain:

  1. Belum memiliki syarat sebagai teori yang tepat dan lengkap untuk diterapkan dalam analisis teks sastra.

  2. Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, sebab harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah

  3. Karya sastra dipisahkan dengan pembacanya selaku pemberi makna

  4. Analisis yang menekankan otonomi dapat menghilangkan konteks dan fungsinya, karena karya sastra dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya.

Strukturalisme Genetik


Strukturalisme genetik muncul sebagai reaksi atas ketidakpuasan para teoritisi sastra terhadap teori strukturalisme murni yang mengabaikan latar belakang historis dan kultural sastra. Strukturalisme genetik (genetic structuralism) merupakan cabang strukturalisme yang memperhatikan aspek-aspek eksternal sastra yakni latar belakang historis dan kulturalnya. Dengan demikian, dimungkinkan makna karya sastra akan lebih utuh karena kelahiran karya sastra dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya masyarakatnya.

Menurut Taine, peletak dasar strukturalisme genetik, karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan rekaman budaya. Karya sastra merupakan perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan. Selanjutnya, Goldmann mengembangkan strukturalisme genetik dengan pandangannya bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Semua aktivitas manusia merupakan respons dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar selaras dengan aspirasinya.

Menurut Goldmann, karya sastra sebagai struktur bermakna akan mewakili pandangan dunia (vision du monde atau world view) pengarangnya, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya (Teeuw, 1984). Dengan demikian, strukturalisme genetik menghubungkan struktur karya sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Jadi, menurut teori ini karya sastra tidak dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang melahirkannya diabaikan. Bagi Goldmann, pandangan dunia itu selalu terbayang dalam karya sastra agung dan merupakan abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif). Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang kongkret dalam karya sastra.

Strukturalisme Dinamik


Dalam perkembangannya, pendekatan strukturalisme dianggap terlalu mementingkan objek, menolak subjek, dan antihumanis, karena melepaskan karya dari sejarah sosial budaya yang merupakan asal-usulnya. Sebab itu, munculah strukturalisme dinamik yang merupakan pengembangan strukturalisme murni.

Pendekatan yang dikemukakan pertama kali oleh Mukarovsky dan Vodicka ini menganggap bahwa karya sastra merupakan proses komunikasi, fakta semiotik, yang terdiri atas tanda, struktur, dan nilai- nilai. Untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkan, dan pembaca sebagai penerimanya. Oleh karena itu, menurut Sayuti (1994), pengkaji sastra dengan pendekatan stukturalisme dinamik sekurang-kurangnya bertugas untuk menjelaskan karya sastra sebagai struktur berdasarkan unsur-unsur pembentuknya, dan kaitan antara pengarang, realitas, karya sastra, dan pembaca sebagai apresiatornya.

Salah satu ciri kesusasteraan terutama yang modern adalah usahanya untuk selalu menyimpang dari konvensi, menciptakan sesuatu yang baru, sehingga sistem sastra tidak pernah stabil (Teeuw, 1978). Dalam konteks ini Goldman (1977) menyatakan, bahwa realitas manusia itu tampil sebagai proses dua sisi yakni destrukturasi struktur-struktur yang lama dan strukturasi totalitas-totalitas yang baru. Karena itu bagi Goldman (1981) struktur-struktur itu tidak dapat dipelajari terpisah dari perkembangannya.

Dengan demikian baik Teeuw maupun Goldman keduanya mengakui bahwa suatu wujud itu mempunyai struktur, tetapi merupakan struktur baru yang dalam pembentukannya tidak terpisahkan dari struktur-struktur yang ada sebelumnya. Konsep pemahaman itulah yang kemudian dikenal sebagai strukturalisme dinamik (Teeuw, 1978). Munculnya struktur baru itu dari konteks konvensi menurut Teeuw menimbulkan atau memberikan efek kejutan, sedangkan bagi Goldman (1981) merupakan hasil usaha manusia untuk mengubah dunia agar diperoleh keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan alam.

Strukturalisme dinamik adalah model semiotik yang memperlihatkan hubungan dinamik dan tegangan yang terus-menerus antara keempat faktor yakni pengarang, karya, pembaca dan realitas atau kesemestaan (Teeuw, 1984; bandingkan Abrams, 1976). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa strukturalisme dinamik merupakan embrio lahirnya teori semiotik dalam pengkajian karya sastra.