Apa Perbedaan Marxisme dan Posmodernisme pada Ilmu Sosiologi?

marxisme
Marxisme dan posmodernisme merupakan dua istilah yang memiliki perbedaan dalam pandangan berpikir.

Apa perbedaan marisme dan posmodernisme pada ilmu sosiologi?

Posmodernisme (postmodernism) berasal dari dua kata, post dan modernism. Istilah “post” di sini bisa diartikan ‘pasca’ atau ‘setelah’, bisa juga diartikan ‘tidak’. Sedangkan, modernisme merujuk pada filsafat dan gaya berpikir modern yang bercirikan rasionalisme dan logisme—atau oleh kaum posmodernis dicurigai bergaya pikir “positivisme ”. Jika post diartikan ‘setelah’ (pasca), posmodernisme merupakan gaya berpikir yang lahir sebagai reaksi terhadap pikiran modernisme yang dianggap mengalami banyak kekurangan dan menyebabkan berbagai masalah kemanusiaan.

Jadi, kaum posmodernis mendakwa bahwa cara berpikir menjadi penyebab masalah—berbeda dengan kaum materialisdialektis yang menyebabkan masalah bukan berada pada pikiran, melainkan pada kenyataan atau kenyataanlah yang menentukan kesadaran atau cara berpikir. Mengenai masalah ini, akan penulis singgung setelahnya, dalam kaitannya dengan jawaban para marxis terhadap kaum posmodernis.

Sedangkan, jika kata post diartikan ‘tidak’, posmodern mengandung arti yang lebih luas. Jika mengingat tahapan masyarakat linear, seperti tradisional, modern, dan posmodern, yang tidak posmodern bisa saja tradisional maupun modern. Jadi, posmodernisme bukanlah tradisionalisme maupun modernisme . Meskipun demikian, tampaknya benar jika ada yang mencurigai bahwa posmodernisme adalah kebangkitan kembali tradisionalisme, yakni membangkitkan lagi cara-cara tradisional untuk mereaksi modernisme.

Posmodernisme juga ada yang mengidentikkan sebagai teori kritis yang mengacu pada berbagai macam bidang, seperti karya sastra, drama, arsitektur, fi lm, jurnalisme, desain, bidang pemasaran, dan bisnis maupun penafsiran sejarah, hukum, budaya, dan agama yang mulai muncul di akhir abad 20 dan awal abad 21.

Posmodernisme juga merupakan fi lsafat seni, sastra, politik, dan sosial yang secara mendasar berupaya menggambarkan sebuah kondisi atau tahapan keberadaan atau sesuatu yang berkaitan dengan perubahan situasi atau kondisi yang disebut posmodernitas . Dengan kata lain, posmodernisme juga merupakan “gejala intelektual dan kultural”, terutama sejak gerakan baru di tahun 1920-an di bidang seni, sedangkan posmodernitas memfokuskan pada inovasi global di bidang sosial dan politik, terutama sejak tahun 1960-an di Barat. Compact Oxford English Dictionary menggambarkan posmodernisme sebagai suatu gaya dan konsep dalam karakter seni yang tak memercayai teori dan ideologi dan mencoba menarik diri dari keumuman atau konvensi (a style and concept in the arts characterized by distrust of theories and ideologies and by the drawing of attention to conventions).

Awalnya, posmodernisme merupakan reaksi terhadap modernisme . Secara luas, dipengaruhi oleh kekecewaan para intelektual di Eropa Barat terhadap Perang Dunia II, posmodernisme mengacu pada gerakan budaya, intelektual, atau kondisi artistik yang kekurangan hierarki pusat atau prinsip pengorganisasian dan mengedepankan kompleksitas ekstrem, kontradiksi, ambiguitas, diversitas, dan kesalingterkaitan ekstrem.

Ide-ide posmodernis dalam filsafat dan analisis budaya telah membuat pengikutnya mengembangkan evaluasi terhadap kebudayaan, seperti sistem nilai Barat (cinta, pernikahan, budaya pop, mengubah sistem industri menjadi ekonomi pelayanan) yang terjadi pada kurun waktu antara 1950-an dan 1960-an, dengan puncaknya Revolusi Sosial di tahun 1968.

Penafsiran terhadap karya Soren Kierkegaard , Nietzsche , dan Karl Marx merupakan pendahuluan bagi posmodernisme. Dengan menekankan pada skeptisisme, terutama terhadap realitas objektif, moral sosial, dan norma-norma masyarakat, ketiga pemikir itu dianggap pendahulu posmodernisme, mewakili suatu reaksi terhadap modernisme yang berakhir pada Hegel.

Seni dan sastra di awal abad 20 dianggap memainkan bagian penting dalam membentuk budaya posmodern. Aliran Dadaisme menyerang ide seni tinggi (high art) dalam upayanya mengaburkan pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah. Aliran Surealisme secara lebih jauh mengembangkan konsep Dadaisme untuk merayakan mengalirnya alam bawah sadar yang memiliki teknik-teknik berpengaruh, seperti “automatisme” dan “penjajaran yang bukan-bukan” (nonsensical juxtapositions).

Beberapa tokoh yang punya andil bagi budaya posmodernisme dari ranah sastra antara lain: Jorge Luis Borges yang berkutat pada metafi ksi dan realisme magis; William S. Burroughs yang menuliskan prototipe novel posmodernis berjudul Naked Lunch; Samuel Beckett yang mencoba menghindari bayangan James Joyce dengan memfokuskan pada kerusakan bahasa dan ketidakmampuan humanitas untuk mengatasi kondisinya, tema-tema yang kemudian dieksplorasi dalam karya, seperti “Menunggu Godot” (‘Menunggu Godot’).

Para filsuf anti-fondasionalis, Heidegger, kemudian Derrida, mencoba membicarakan dan mengevaluasi kembali dasar-dasar pengetahuan. Mereka berpandangan bahwa rasionalitas tak lagi begitu jelas sebagaimana dimaksudkan kaum rasionalis atau fi lsuf modernis. Sangat mungkin untuk mengidentifi kasi gerakan anti-kemapanan di tahun 1960-an sebagai pembentuk filsafat posmodernisme. Gerakan ini terutama mengakar di Prancis. Pada 1979, Jean Francois Lyotard menulis karya yang sangat berpengaruh bagi gerakan ini, judulnya “Postmodern Condition: A Report on Knowledge”; sementara itu Richard Rorty menulis “Philosohpy and the Mirror of Nature” (1979). Tokoh lainnya yang sangat berpengaruh adalah Jean Baudrillard , Michel Foucault , dan Roland Barthes yang juga mulai berpengaruh dalam jagat akademis di tahun 1979.

Sosiolog posmodernis mendakwa bahwa cara berpikir menjadi penyebab masalah—berbeda dengan kaum materialis-dialektis yang menyebabkan masalah bukan berada pada pikiran, melainkan pada kenyataan atau kenyataanlah yang menentukan kesadaran atau cara berpikir. Mengenai masalah ini, akan penulis singgung setelahnya, dalam kaitannya dengan jawaban marxis terhadap kaum posmodernis.

Sedangkan, jika kata post diartikan ‘tidak’, posmodern mengandung arti yang lebih luas. Jika mengingat tahapan masyarakat linear, seperti tradisional, modern, dan posmodern, yang tidak posmodern bisa saja tradisional maupun modern. Jadi, posmodernisme bukanlah tradisionalisme maupun modernisme . Meskipun demikian, tampaknya benar jika ada yang mencurigai bahwa posmodernisme adalah kebangkitan lagi tradisionalisme, yakni membangkitkan lagi cara-cara tradisional untuk mereaksi modernisme.

Posmodernisme juga ada yang mengidentikkan sebagai teori kritis yang mengacu pada berbagai macam bidang, seperti karya sastra, drama, arsitektur, fi lm, jurnalisme, desain, bidang pemasaran dan bisnis, maupun penafsiran sejarah, hukum, budaya, dan agama yang mulai muncul di akhir abad 20 dan awal abad 21.

Alex Callinicos dalam bukunya yang berjudul Against Postmodernism menggambarkan dengan baik bagaimana posmodernisme meluas dan bagaimana cara pandangnya menyeruak dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Kaum posmodernis yang anti-universalitas dan anti-objektivitas dikritik habis-habisan oleh Callinicos karena menganggap tiap individu atau komunitas atas nama keberagaman dan keunikan budaya masing-masing dibiarkan menafsirkan makna dari ketidaktahuan akan gambaran riil tentang dunia yang terus berkembang.

Dalam menentang dirinya pada “penguniversalan” pengetahuan ilmiah dan pengalaman sejarah, kaum relativis—sebutan lain untuk kaum posmodern—menentang bahwa semua orang mengamati, mengerti, dan merespons segala persoalan secara berbeda. Tak ada yang contoh mutlak dalam masyarakat. Secara khusus, dari kenyataan bahwa daya tangkap manusia dunia melalui perantaraan bahasa, posmodernisme telah melihat kenyataan menjadi ribuan pecahan. Dalam praktiknya, ini berarti bahwa setiap orang harus melakukan persoalan mereka masing-masing, percaya, dan menghargai individualitas pengalaman mereka dan ide-ide mereka, serta (seharusnya) menghormati individualitas orang lain.

Kaum relativis bukannya mencari sumber ilmu pengetahuan tempat realitas material yang akan dijelaskan menjadi acuannya, tetapi justru sibuk pada makna manusia dalam memersepsikan realitas. Mereka segera beranjak untuk mengambil ide, makna, dan subjektivitas (bukan materi dan realitas) untuk menjadi bahan analisisnya tentang persoalan masyarakat. Hal ini tentu saja menjadi sumber kecacatan kaum posmodernis-relativis, yaitu fi lsafat dan pengetahuan bukan lagi persoalan bagaimana memahami objek, melainkan telah beralih menuju persoalan bahasa, struktur pikiran, ilusi, makna, dan lain sebagainya.

Sebagai gerakan, penolakan terhadap perlawanan politis posmodernisme juga tampak jelas dalam pemikiran Jean Baudrillard . Pandangannya yang menganggap bahwa suatu masyarakat yang dicirikan oleh dunia “hiper-realitas” yang meruntuhkan pembedaan antara yang benar dan yang salah, yang riil dan imajiner, membawa dampak pada anggapan yang menolak gerakan politis. Tindakan politis dianggapnya akan berhasil dalam memulihkan kembali dalam sebuah bentuk yang lebih represif dunia sosial yang sedang runtuh, namun menyerap “mayoritas bisu” secara apatis dan pasif ke dalam gambar-gambar yang dipancarkan media kepada mereka: “penarikan ke dalam privat dapat menjadi suatu perlawanan politik langsung, suatu bentuk yang secara aktif menentang manipulasi politik”. Lebih jauh, ia menolak setiap gerakan yang berwujud tindakan kolektif yang bagi intelektual Prancis ini dianggapnya “tak mewakili apa-apa, tak bermakna apa-apa”.