Apa Perbedaan Marxisme dan Neo-Marxisme Habernas?

image

Marxisme dan Neo-Marxisme Habernas sama-sama pemah dalam sosiologi.

Apa perbedaan marxisme dan neo-marxisme habernas?

Neo-marxisme identik dengan Teori Kritis (critical theory) mazhab Frankfurt.119 Teori Kritis dikenal dengan tokoh-tokohnya, seperti Hokheimer , Adorno , Marcuse , Erich Fromm , dan yang paling terkenal Habermas .

Arus pemikiran mereka lahir dari frustasi terhadap gerakan buruh tahun 1960-an. Mereka mencoba mengevaluasi “kesalahan” marxisme dalam beberapa hal. Beberapa pandangan kaum ini dalam mengkritik Marx sebagian juga hampir sama dengan kaum posmodernis dan revisionis yang disebutkan di atas. Yang belum disebutkan di sini adalah pemikiran yang paling terkenal dari seorang tokohnya yang sering dirujuk seolah adalah wakil paling “sahih” dari aliran ini, yaitu Jurgen Habermas.

“Evaluasi” Habermas terhadap Karl Marx dikaitkan dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dan tidak memungkinkan untuk dianalisis berdasarkan analisis—yang ia sebut—“marxisme ortodoks”. Karl Marx hidup di abad ke-19 pada saat industrialisasi dan mekanisme pasar bebas maju pesat. Untunglah Habermas belum menyaksikan pesatnya mekanisme pasar bebas setelah kapitalisme negara kesejahteraan yang jaya di tahun 1960- an tumbang sehingga kini sudah dikembalikan lagi dalam bentuk aslinya: neo-liberalisme. Menurutnya, kapitalisme di zaman sekarang (zaman Habermas menulis kritiknya) berkembang kian kompleks. Dalam zaman seperti ini, ia mengatakan, bahwa analisis Marx tidak relevan.

Baiklah, kita uraikan alasan Habermas mengapa marxisme tidak relevan lagi. Dalam tulisannya, Between Philosophy and Science: Marxism as Critique, ia memaparkan empat alasan historis mengapa konsep-konsep Marx di dalam “Kritik Ekonomi Politik”-nya tidak lagi relevan dengan keadaan masyarakat zaman kita—yang disebut Habermas sebagai masyarakat “kapitalisme lanjut” (Late-capitalism atau dalam bahasa Jerman, Spatkapitalismus): Alasan pertama bahwa pemisahan negara dan masyarakat yang menandai periode kapitalisme liberal sudah tidak relevan lagi. Politik sudah tidak lagi menjadi superstruktur seperti dikira Marx dan masyarakat sendiri tidak lagi dapat dipandang secara simplistis sebagai hubungan antara basis ekonomi dan superstruktur politik.

Kedua, di dalam masyarakat kapitalisme lanjut, standar hidup sudah berkembang sedemikian jauh sehingga revolusi tak dapat dikobarkan secara langsung dengan istilah-istilah ekonomis. Kelas-kelas sosial semakin terintegrasi dalam keseluruhan masyarakat dan berbagai bentuk penindasan semakin tersamar dan terorganisasikan. “Deprivasi” yang dalam masyarakat kapitalis liberal dirasakan kaum buruh, dewasa ini tidak dirasakan kelas tertentu saja. Habermas memandang bahwa teori kelas tidak dapat dijadikan dasar untuk membangun teori revolusioner.

Ketiga, karena kondisi semacam itu, kaum proletar (buruh) tidak dapat dijadikan tumpuan harapan sebagai pengemban revolusi sejati. Perjuangan kelas dalam level negara nasional telah distabilisasikan dan sebagai gantinya terjadilah persaingan keras antara “kubu kapitalis” dan “kubu sosialis” pada level internasional. Keempat, dengan bangkitnya negara komunis Uni Soviet, diskusi sistematis sekitar marxisme dipadamkan dan sebagai gantinya konsep-konsep “marxisme ortodoks” membuktikan dirinya menjadi ideologi. Jalan sosialis Uni Soviet pun jauh dari kenyataan terwujudnya masyarakat bebas yang dicita-citakan Karl Marx.

Benarkah pemisahan negara dan masyarakat tidak relevan lagi? Teori sosial marxis sudah membahas di bagian sebelumnya bahwa negara adalah alat kelas kapitalis dan ekspresi politik kekuasaannya untuk menindas buruh dan kelas pekerja. Sedangkan, tidak ada perubahan negara, baik dalam pengertian klasik maupun modern sekarang ini. Dari dulu hingga sekarang, manusia disibukkan oleh kegiatan untuk menjawab kebutuhan aktualnya dalam kehidupan ekonomi. Di sinilah politik hanyalah ekspresi dari hubungan kelas (ekonomi) dalam masyarakat. Basis perubahan tetaplah pada aras hubungan produksi kapitalis: gejala politik yang kita saksikan pun hanyalah imbas dari hubungan kelas ini. Penulis kira, Marx sudah tepat menempatkan ekonomi sebagai basis struktur dan politik sebagai suprastruktur.

Analisis Habermas yang mengatakan bahwa standar hidup dalam masyarakat kapitalisme lanjut berkembang sedemikian jauh tidak dikaitkan dengan hubungan kelas, ketimpangannya, dan perkembangan produktifnya. Kemiskinan dan kelaparan pun masih banyak kita jumpai dalam berbagai penjuru dunia. Apalagi, jika bukan persoalan kekuasaan antar-kelas dalam hubungan global. Memang benar bahwa revolusi sains dan teknologi telah mengubah seluruh komposisi kelas penguasa. Akan tetapi, relasi-relasi terhadap properti tetaplah utuh seperti sediakala dan bahkan tumbuh lebih rumit. Kapital besar semakin memperketat cengkeramannya di seluruh aspek perekonomian. Ikatan-ikatan yang menghubungkan monopoli-monopoli dan beberapa kelompok kelas penguasa cenderung menjadi tidak langsung.

Dekade terakhir ini menunjukkan timbulnya “strata internasional” borjuasi yang diakibatkan oleh meluasnya cakupan aktivitas korporasi bisnis global. Sejalan dengan perkembangan kapitalisme , kelas pekerja juga telah tumbuh dalam jumlah dari 80 sampai 90 juta pekerja di negara -negara kapitalis maju pada pergantian abad ke-19-abad ke-20 hingga mencapai 290 juta orang di tahun 1950, serta mencapai 515 juta orang di tahun 1980—waktu itu Habermas pasti masih aktif ber-“onani intelektual”. Secara khusus, pekerja kerah biru dan kerah putih di negara-negara tersebut saat ini rata-rata 75 persen dari populasi yang masih beruntung mendapat kerja—tentunya yang tidak bekerja adalah pengangguran. Data ini sekaligus membantah teori borjuis tentang “de-ploretariatisasi”.

Habermas tentu saja hanya melihat kesejahteraan (naiknya standar kehidupan) kelas pekerja di negara kapitalis maju, khusunya negara Jerman tempat dia hidup waktu itu. Dia lupa dengan kondisi kemiskinan dan keterbelakangan global secara umum. Harus dijelaskan di sini bahwa surplus value yang diisap oleh kapitalis global dari kelas pekerja dan tenaga produktif di negara-negara miskin, digunakan untuk memberi konsesi berupa perbaikan nasib buruh negara maju.

Alasan lain yang dibuat teoretikus borjuis tentang berkurangnya jumlah pekerja pekerja dalam masyarakat borjuis kontemporer adalah perbaikan standar hidup itu telah meleburkan perbedaan kelas sehingga lahir apa yang dinamakan “kelas menengah”. Menurut mereka, kelas menengah adalah sebuah konglomerasi kelompok sosial dan kelas-kelas yang beragam, yang anggota-anggotanya memiliki tingkat pendapatan yang kurang lebih sama tanpa memedulikan elemen-elemen lain dalam relasi-relasi produksi. Akan tetapi, pembuatan pembagian ini sama sekali tidak mengabaikan sumbersumber pendapatan dan tanpa membuat pembedaan antara profi t yang didapat dari sebuah perusahaan yang dimiliki secara pribadi dan upah yang dibayarkan kepada seorang pekerja upahan.

Selain itu, mereka juga mendistorsi arti sebenarnya kelas pekerja. Mereka mengidentifi kasi buruh sebagai kerja manual atau pekerja industri dalam mendefi nisikan kelas pekerja—defi nisi yang tidak dikaitkan dengan posisi seseorang dalam sistem produksi. Dalam pengertian Marxis, konsepsi kelas pekerja mencakup semua pekerja upahan yang berpartisipasi dalam produksi material yang menciptakan surplus value melalui kerja mereka, atau yang memungkinkan majikan mereka untuk menguasai bagian dari surplus value yang dihasilkan oleh kelas lain.

Jika dikaitkan dengan fenomena terintegrasinya dunia dalam pasar global sekarang ini, mungkin Habermas mengabaikan suarasuara ketidakpuasan bukan hanya dari kaum buruh dan kelas pekerja terhadap dominasi kaum kapitalis (korporasi bisnis) dalam ekonomi dan politik. Ada suatu gambaran perubahan kesadaran massa rakyat tentang penindasan kapitalisme global yang mengarah pada sentimen anti-korporasi. Hal itu terjadi di AS pasca-aksi Seattle. Demonstrasi besar menentang globalisasi dan kapitalisme dalam kasus “Serangan Seattle” tahun 1999 mendapat dukungan arus besar (mainstream) rakyat AS, yakni rakyat kelas pekerja. Survei Harris, yang menegaskan apa yang telah ditunjukkan oleh survei-survei lainnya, menegaskan bahwa mayoritas orang Amerika (52 persen dalam kuisioner itu) bersimpati terhadap kepedulian para demonstran. Dengan menggemakan tema-tema anti-bisnis yang menjalar lewat alunan bunyi dan melintasi panji-panji di sana, kuisioner BW-Harris juga mendapati bahwa kebanyakan orang Amerika percaya bahwa bisnis kini memiliki kekuasaan yang terlalu besar.

Kaum proletar tidak bisa dijadikan tumpuan harapan sebagai pengemban revolusi, dan bahwa perjuangan kelas pada level negara nasional telah distabilisasikan dan sebagai gantinya terjadi persaingan antara “kubu kapitalis” dan “kubu sosialis” pada level internasional, yang pertama adalah kesimpulan yang prematur, sedangkan yang kedua adalah fakta politik dunia ketika Habermas sedang menulis tesisnya itu—ketika kubu Stalinis (bukan sosialis) belum tumbang. Di atas telah kita lihat bahwa kontradiksi kelas antara kapitalis dan kelas pekerja di era pasar bebas (neo-liberalisme) semakin nyata. Dialektika material dalam kejadian politik dunia luput dari tangkapan Habermas.

Marx, dalam Poverty of Philosophy, membuat perbedaan antara kelas buruh “dalam dirinya sendiri” (in itself) dan “untuk dirinya sendiri” (for itself), “Kondisi-kondisi ekonomi sejak awal telah mengubah massa rakyat menjadi buruh…massa ini…belum merupakan suatu kelas untuk dirinya sendiri. Dalam perjuangan… massa ini bersatu dan membentuk sendiri menjadi kelas untuk dirinya sendiri.”124 Oleh sebab itu, hubungan “dalam dirinya sendiri” dengan “untuk dirinya sendiri” diperantarai oleh perjuangan kelas yang bentuk dan intensitasnya tidak dapat ditentukan. Memang tak ada “kecocokan” otomatis antara posisi objektif seorang buruh dan kesadaran kelasnya. Akan tetapi, bukankah ini tergantung pada kondisi material objektif dari kontradiksi kapitalisme yang mengubah kesadaran. Dalam titik ini, pemahaman bahwa buruh tidak bisa dijadikan tumpuan revolusi—untuk tidak dikatakan sebagai salah— adalah suatu kesimpulan yang terlalu terburu-buru.

Tenaga produktif buruh adalah tumpuan kapitalisme , mati hidupnya kapitalisme tergantung pada kesadaran kelas buruh akan misi historisnya dalam posisi objektifnya sebagai kelas tertindas. Ideologi buruh memang teracuni oleh ideologi kapitalis—bahkan masih feodal untuk buruh Negara Ketiga—dan borjuis kecil. Akan tetapi, gerakan politik buruh, baik secara parlementer maupun ekstraparlementer, ternyata masih menjadi fenomena yang bisa dijumpai. Kesadaran historis tergantung pada konstelasi kekuasaan antar-kelas: kapitalis memang mampu memberdayakan aparat ideologisnya (budaya dan agama, media massa, baik cetak maupun elektronik, pendidikan, kesenian, dan lain-lain), tetapi pada saat yang sama selalu muncul kesadaran objektif yang juga bisa diperluas—apalagi perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih (internet dan lain-lain) yang pada kenyataannya juga telah mempermudah solidaritas gerakan buruh di era neo-liberalisme ini.

Tuduhan “ortodoks” Habermas cs pada marxisme, selain berdasarkan hal di atas, juga dikaitkan dengan persoalan teoretis dan filsufis. Dia berkesimpulan bahwa teori-teori marxis dalam bentuk “ortodoks” atau “klasik” sudah kedaluwarsa dan harus dirumuskan di atas dasar epistemologis yang baru sehingga teori itu dapat mendorong suatu “praxis pembebasan” (versi Habermas—yang akan ketahuan sisi utopisnya). Teori “masyarakat komunikatif ” Habermas dimaksudkan untuk menghancurkan “kebuntuan” marxisme “ortodoks”. Habermas meninggalkan proletariat dan mengalamatkan teorinya pada suatu yang umum sekali, yaitu rasio manusia. Jika rasio bagi Habermas berkaitan dengan kesadaran untuk melakukan proyek emansipasi melalui paradigma “komunikasi ”, ia mengkritik Marx yang menekankan emansipasi revolusionernya pada paradigma “kerja”.

Habermas mengkritik Marx karena terlalu menekankan produksi dan mengabaikan suatu hal yang sangat penting bagi pemikir mazhab Frankfurt ini, yaitu interaksi komunikatif. Implikasinya adalah memahami praksis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan “pencerahan”. Ini bertolak belakang dengan marxisme “ortodoks” yang menempuh jalan revolusioner untuk menjungkirbalikkan struktur masyarakat demi terciptanya masyarakat sosialis. Jadi, Habermas menempuh jalur konsensus dengan sasaran terciptanya “demokrasi radikal”, yaitu hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup “komunikasi bebas penguasaan”. Dengan konteks komunikasi ini, perjuangan kelas, dan revolusi politis, diganti dengan “perbincangan rasional”, yaitu argumen-argumen berperan sebagai unsur emansipatoris. Demokrasi radikal dalam bahasa Habermas jelas sekali menegaskan posisinya sebagai seorang liberal, selain dia pernah mengatakan sendiri, “Rekan-rekan marxis penulis tidak sama sekali keliru dalam menuduh penulis sebagai seorang liberal radikal.”

Paradigma “kerja” dari Karl Marx menegaskan bahwa pada hakikatnya manusia dan kehidupannya adalah kerja—kata Marx dalam Manuskrip-nya, “… apa itu hidup kalau bukan kerja (aktivitas)?” Akan tetapi, hal ini bukan tanpa alasan. Marx mempelajarinya berdasarkan analisis historis perkembangan manusia dan masyarakatnya. Pada hakikatnya, manusia dalam hidupnya selalu disibukkan dengan caranya menghadapi alam karena manusia harus memenuhi dan meningkatkan kebutuhan hidupnya. Praktik memperlakukan alam dan alat-alatnya inilah yang dinamakan kerja dalam kesadaran keseharian manusia yang secara mendasar bertujuan untuk menghadapi alam, menyelesaikan kontradiksi-kontradiksinya, dan mengubahnya secara terus-menerus yang mengakibatkan proses evolusi.

Hal ini harus dimulai dari pemahaman yang sangat mendasar, yaitu bahwa untuk mempertahankan dan melanjutkan hidupnya, manusia harus dapat mencukupi kebutuhan utamanya, yaitu makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Oleh karena itu, manusia harus memproduksi semua kebutuhan-kebutuhannya. Pertama kali manusia harus berjuang mengubah alam untuk kebutuhan hidupnya ini. Kegiatan produksi ini dilakukan manusia secara sadar melalui kerjanya. Inilah salah satu yang membedakan manusia dengan hewan. Dalam proses produksi inilah, manusia menggunakan dan mengembangkan alat-alat produksi (alat alat kerja dan objek kerja) di samping tenaga kerjanya.

Dari mulai tangan, kapak, palu, lembing, palu, cangkul, hingga komputer serta mesin-mesin modern seperti sekarang ini. Alat-alat produksi (ada teknologi di dalamnya) dan tenaga kerja manusia (ada pengalaman, ilmu pengetahuan di dalamnya) tidak pernah bersifat surut, tetapi terus maju disebut sebagai tenaga produktif masyarakat, yaitu kekuatan yang mendorong perkembangan masyarakat. Inilah dasar bahwa sebelum komuniksi dan bahasa diciptakan, kerja telah mendahului hakikat manusia sebagai makhluk untuk mengubah kondisi sosialnya. Proses evolusi dan revolusi peradaban manusia secara mendasar dilandasi oleh hakikat itu.

Dari pemahaman ini juga, sebenarnya dari pandangan marxisme, “paradigma komunikasi ” Habermas dalam melihat evolusi masyarakat justru “utopis” karena meninggalkan dasar material— lagi-lagi “ketularan” fi lsafat idealisme. Ditegaskan oleh Ross Poole sangatlah meragukan apakah tindakan komunikatif memiliki struktur terpadu yang diandaikan Habermas. Apalagi, sebenarnya Habermas membangun konsepsinya tentang rasionalitas komunikatif hanya dengan membahas serangkaian speech acts (misalnya, menceritakan kisah, lelucon, permainan peran, pemakaian kata-kata untuk menyemangati atau menghibur, dan seterusnya) sebagai sesuatu yang bersifat sekunder terhadap urusan serius dari kebenaran, kejujuran, dan seterusnya. Dalam praktik sehari-hari saja, bahasa dipakai sebagai sesuatu yang menyembunyikan sekaligus juga menyingkapkan, dan juga menghasilkan kesalahpahaman dan sekaligus pemahaman.

Dari perspektif Marxis jelas bahwa bahasa merupakan alat bagi dominasi ideologis dari kelas yang berkuasa. Komunikasi dengan mereka yang lain terselubung, berkedok, dan sulit dipahami adalah bagian penting dari bahasa kaum tertindas, kaum devian, dan malah mereka yang ingin menekankan perbedaan saja. Menciptakan perbedaan di antara mereka yang memahami dan mereka yang tidak mengerti adalah bagian dari proses merundingkan perbedaan dan kemajemukan. Barangkali, inilah komunikasi yang terdistorsi. Akan tetapi, praktikpraktik ini memberi sebuah ruang untuk perbedaan pendapat yang dihindari oleh cita-cita transparansi konsensual Habermas. Bahkan, jika pemahaman timbal balik diinginkan, tak ada jaminan bahwa hal itu dapat dicapai meski dalam prinsip sekalipun.

Agnes Heller melihat bahwa dalam memberikan pandangan yang sama sekali instrumental mengenai produksi, Habermas mengabaikan “makna antropologis dari kerja”. Padahal, bagi Marx, seperti juga bagi Hegel, kerja bukan hanya kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ada sebelumnya. Kerja merupakan cara manusia menyatakan dan mengubah kodrat mereka. Dalam bertindak untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang sudah lama ada, mereka menghasilkan kebutuhan-kebutuhan baru dan jenis-jenis kegiatan manusia yang baru. Kerja adalah sebuah kegiatan yang kreatif dan kreatif-diri. Maka, dalam pengertian ini, kerja bukan lagi berada dalam norma-norma rasio instrumental seperti dikatakan Habermas. Marx menekankan bahwa kerja adalah bentuk pengungkapan diri dan pembentukan-diri manusia yang bersifat niscaya. Dalam wawasan makna, antropologis dari kerja menjadi kegiatan instrumental bukanlah tanda kemajuan, melainkan tanda keterasingan.