Apa Pengertian Karakteristik Kekuasaan dalam Wacana Kritis?

image
Dalam wacana kritis terdapat lima karakteristik, yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Pada penjelasan berikut akan diuraikan penjelasan dari salah satu karakteristik wacana kritis, yaitu kekuasaan. Analisis wacana kritis membedah antara wacana dan kekuasaan, terutama terkait dengan peranan atau fungsi suatu wacana dalam memproduksi wacana untuk membentuk ideologi sosial, berdasarkan kepentingan kekuasaan itu sendiri.

Apa yang dimaksud denga karakteristik kekuasaan dalam wacana kritis?*

Michael foucault menjelaskan devinisi fenomenal dari wacana beserta dengan potensi politis dan kaitannya dengan kekuasaan. Wacana adalah elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan. Antara wacana dan kekuasaan memiliki hubungan timbal balik, seperti yang dikatakan faucault, elemen taktis ini sangat terkait dengan kajian strategis dan politis, tapi tentu saja istilah politik disini tidak selalu berarti faktor-faktor pemerintahan, segala sesuatu yang meng-hegemoni baik itu secara kultural maupun secara idiologis sebenarnya memiliki konstruksi politisnya sendiri. Menjadi target bagi sebuah wacana yang digerakkanoleh suatu hegemoni tertentu, contohnya seperti kapitalisme, kekeuasaan politik pemerintah, penetrasi idiologi, serta berbagai bentuk ilmu pengetahuan.

Dalam hal ini wacana menjadi alat kepentingan yang berujung pada kelestarian suatu dominasi. Tujuan penggunaan wacana bagi suatu kekuasaan adalah untuk mempengaruhi objek yang dikuasai. Setiap wacana membawa ideologi, pada akrirnya wacana akan berperan sebagai distributor ideologi tersebut, selanjutnya ideologi itu akan mempengarui beragam bentuk representasi sosial dalam masyarakat. Lebih lanjut Van Djik menjelaskan: cara membahas pertanyaan dan dimensi seperti ini adalah dengan memfokuskan pada peranan diskursus (wacana) dalam proses suatu produksi dominasi serta dalam mengkaji tantangan bagi dominasi tersebut.

Dominasi didefinisikan sebagai pelaksanaan kekuasaan atau pengaruh sosial oleh elit, institusi atau grup masyarakat tertentu, yang menghasilkan ketidaksetaraan sosial, seperti dalam bidang politik, budaya, etnis, ras dan ketidaksetaraan gender. Proses penciptaan ketidaksetaraan seperti ini melibatkan penggunaan hubungan wacana dan kekuasaan (pengaruh yang berbeda dan berfariasi) secara langsung. Contohnya hubungan wacana dan kekuasaan dalam aksi, representasi, legitimasi, penolakan, dan usaha untuk menyembunyikan atau menutupi suatu dominasi terhadap komunitas masyarakat lain. Secara leboh spesifik, para kristikus atau analis wacana memiliki tujuan untuk memboingkar struktur dan strategi yang digunakan dalam teks, pembicaraan, interaksi verbal atau hal-hal komunikatif yang memainkan peranan dalam proses reproduksi atau penciptaan dominasi dan ketidaksetaraan ini.

Wacana-wacana yang dimotori oleh kekuasaan tertentu berpeluang membentuk ketidaksetaraan atau ketidakadilan sosial. Lebih lanjut, Giovanna Borra Dori memberikan sedikit sense kajian dekonstruksi pada analisis wacana, dekonstruksi mencoba membedah setiap diskursus (wacana) yang tegak sebagai sebuah konstruksi. Saya melihat ini sebagai sedikit modifikasi yang lebih terfokus dari dekonstruksi derrida, dimana Derrida tidak pernah menyebut istilah wacana dan lebih untuk membahasakan segala sesuatu itu sebagai teks filosofis, sedangkan Borradori tampak lebih spesifik dengan mempergunakan istilah wacana atau diskursus. Seperti halnya karakteristik dekontruksi yang memposisikan segala sesuatu sebagai teks yang memiliki konsttruksi, dalam pembahasan Borradori, wacana juga diposiskan demikian. Konstruksi inilah yang memungkinkan proses dekonstruksi bisa terlaksana. Hal ini disebabkan karena setiap konstruksi wacana memiliki kontradiksi internal yang tersembunyi, ketika praktek dekontruksi yang bertujuan membongkar kontradiksi ini dilakukan, maka hierarki biner dari konstruksi tersebut akan terjungkal balik.

Wacana kekejaman G 30 S PKI mengandung muatan politik strategis yang sangat besar, kekuasaan orde baru sangat diuntungkan dengan idiologi sosial masyarakat yang terbentuk oleh wacana ini. Penguasa orde baru mendulang simpati dan dukungan mayoritas masyarakat Indonesia pada masa itu. Disini saya ingin menegaskan bahwa suatu kekuasaan akan lestari, jika telah berhasil menguasai opini publik atau sisi ideologis masyarakat sebgai objek yang dikuasai, untuk itu diperlukan penggunaan wacana. Saya melihat penguasa orde baru berhasil melakukan hal tersebut, dengan mendistribusikan wacana betapa kejam dam berbahayanya komunisme beserta masxisme. Berrdasarkan pembahasan diatas terlihat jelas bahwa relasi antara wacana dan kekuasaan berada dalam ruang lingkup permainan strategis.