Apa yang dimaksud dengan Jurisprudensi?

jurisprudensi

Apa yang dimaksud dengan istilah jurisprudensi dalam ilmu hukum?

Jurisprudensi adalah putusan pengadilan; apabila mengenai sesuatu persoalan sudah ada jurisprudensi yang tetap, maka dianggapnya Bahwa jurisprudensi itu telah melahirkan suatu peraturan hukum yang sama kuatnya dengan undang-undang. Oleh karena itu maka jurisprudensi juga dianggap sebagai sumber hukum.

Definisi Yurisprudensi/Jurisprudensi


Salah satu definisi yang umum dipahami dari pengertian yurisprudensi adalah pengertian yang digunakan oleh Soebekti yang menyebutkan pengertian yurisprudensi sebagai putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan kasasi, atau putusan-putusan MA sendiri yang tetap. Dengan kata lain, selama ini secara umum pengertian yurisprudensi merupakan putusan MA yang bermuatan terobosan hukum sehingga terus-menerus diikuti oleh pengadilan-pengadilan di bawah hierarki MA, bahkan secara normatif terdapat ketentuan yang mengatur bahwa pengumpulan yurisprudensi adalah kewenangan eksklusif MA. Namun dalam perkembangan terkini ternyata istilah yurisprudensi juga digunakan untuk merujuk keterikatan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam beberapa isu hukum tertentu. Sebagai contoh, belum lama ini Oly Viana Agustine menyatakan dalam artikelnya bahwa yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum dalam pengujian undang-undang di MK. Yurisprudensi berlaku ketika majelis hakim meyakini bahwa putusan terdahulu masih relevan dengan permasalahan konstitusional saat ini.

Dalam salah satu penelitian hukum tentang peningkatan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 1991/1992, telah dikumpulkan beberapa definisi yurisprudensi, yaitu antara lain:

  • Yurisprudensi yaitu peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto);
  • Yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh pengadilan (Kamus Pockema Andrea);
  • Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan MA dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberi keputusan dalam soal yang sama (Kamus Pockema Andrea)16;
  • Yurisprudensi diartikan sebagai ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh Peradilan (Kamus Koenen endepols);
  • Yurisprudensi diartikan sebagai pengumpulan yang sistematis dari putusan MA dan putusan Pengadilan Tinggi (yang tercatat) yang diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal yang serupa (Kamus Van Dale);
  • Pendapat R. Subekti, Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau
    pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh MA sebagai pengadilan kasasi,
    atau putusan-putusan MA sendiri yang tetap (constant)

Mahadi menguraikan arti yurisprudensi bukan keputusan-keputusan hakim, bukan pula sebagai “rentetan-rentetan” keputusan, melainkan hukum yang terbentuk dari keputusan-keputusan hakim. Mahadi menyatakan umumnya yusrisprudensi dimaksudkan sebagai rentetan keputusan-keputusan hakim yang sama bunyinya tentang masalah yang serupa. Lebih lanjut ia menyamakan yurisprudensi dengan istilah “ijma” dalam hukum Islam. Sebagaimana dikemukakan Juynboll (1930), “ijma” yaitu “de overeenstemmende meening van alle in zaker tijdperk levende moslimssche geleerden”, yang artinya pendapat yang bersamaan di antara para ahli yang ada pada suatu masa. Surojo Wignjodipuro yang menyatakan jika putusan hakim terhadap persoalan hukum tertentu menjadi dasar keputusan hakim-hakim lain, sehingga keputusan ini menjelma menjadi putusan hakim yang tetap terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu dimaksud, maka hukum yang termuat di dalam keputusan semacam itu dinamakan hukum yurisprudensi.

Yurisprudensi sekalipun memiliki fungsi yang penting namun tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas di Indonesia, baik dalam tataran teori dan praktik. Bismar Siregar mengemukakan meskipun secara historis Indonesia mempunyai kedekatan keluarga dengan sistem hukum civil law melalui jaman penjajahan Belanda, namun belum ada pengertian baku mengenai apakah yang dimaksud dengan yurisprudensi itu. Menurut Jimly Asshiddiqie kendati kedudukan yurisprudensi adalah sedemikian penting namun peranan yurisprudensi belum mendapat perhatian yang cukup, baik dalam pengajaran hukum maupun dalam praktik hukum, karena disebabkan beberapa faktor yakni:

  1. Sistem pengajaran hukum kurang sekali menggunakan putusan
  • pengajaran hukum lebih menekankan penguasaan pengertian umum hukum,
    bersifat abstrak dalam bentuk generalisasi teoritik belaka;
  • sistem hukum yang berlaku menempatkan asas dan kaidah hukum yang
    bersumber pada peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama hukum
    yang berlaku, dan kurang memperhatikan pengertian atau tafsiran baru atas
    ketentuan peraturan perundang-undangan melalui yurisprudensi;
  • publikasi yurisprudensi sangat terbatas sehingga tidak mudah untuk didapat dan dipelajari/dibahas;
  • kebijakan penelitian hukum yang memberi ke lapangan fasilitas untuk penelitian putusan hakim atau yurisprudensi
  1. Dari segi praktik hukum, putusan hakim atau yurisprudensi legally
    non binding, karena sistem hukum Indonesia tidak menjalankan sistem presedent.

Namun, Sebastian Pompe membedakan makna preseden dengan yurisprudensi, baginya yurisprudensi merupakan putusan badan peradilan sedangkan precedent putusan yang mengikat hakim berikutnya. Ia mencontohkan di Belanda terdapat ketentuan yang mengharuskan precedent tersebut untuk diikuti. Dengan demikian doktrin preseden bukan hanya dikenal dalam tradisi common law namun juga dalam tradisi civil law. Hal ini semakin diperkuat dengan kecenderungan negaranegara anggota Uni Eropa yang kendati menganut tradisi civil law, namun semakin membuka ruang penerapan asas precedent. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan Mahkamah Eropa, European Court of Justice (ECJ), baik dalam teori dan praktik civil law, untuk semakin mengakui manfaat pembentukan kaedah hukum dari hukum yurisprudensial (case-law)

Kriteria Yurisprudensi


Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa terlepas dari berbagai pengertian tentang yurisprudensi namun terdapat ciri khas dari suatu istilah yurisprudensi yakni keterikatan hakim pada putusan-putusan terdahulu. Dalam beberapa hal pengertian seperti ini mengingkatkan keterkaitan pengertian yurisprudensi dengan doktrin stare decidis dalam tradisi common law. Dalam sistem common law dapat dikatakan bahwa logika hukum hakim bersifat induksi karena kaidah-kaidah hukum dikembangkan dari kasus-kasus konkrit melalui case-law sehingga dikenal istilah judge made law. Istilah case-law sendiri mengacu kepada penciptaan dan penyempurnaan hukum dalam perjalanan keputusan pengadilan.

Hukum yurisprudensial (case-law) mengacu kepada penciptaan dan penyempurnaan hukum dalam merumuskan putusan pengadilan. Karena berorientasi kasus-kasus konkrit, dimana diantara serangkaian kasus tersebut kemudian disarikan kaidah hukum yang kemudian menjadi norma yang diterapkan dan diikuti dalam berbagai kasus serupa, doktrin preseden atau stare decisis menjadi jantung sistem hukum Inggris (atau sistem common law pada umumya). Doktrin preseden yang mengikat (the doctraine of binding precedent), mengacu kepada fakta, dalam struktur hierarkis Peradilan di Inggris, putusan pengadilan lebih tinggi mengikat pengadilan lebih rendah secara hierarkis. Secara umum, ini berarti ketika hakim mengadili kasus-kasus, mereka akan memeriksa apakah permasalahan yang sama telah diputus oleh pengadilan sebelumnya.

Apabila muncul suatu situasi atau serangkaian fakta-fakta seperti pernah terjadi sebelumnya, maka keputusan akan diberikan oleh pengadilan dapat diharapkan sama dengan keputusan yang dijatuhkan pada waktu itu. H.R. Purwoto Gandasubrata mengungkapkan kelemahan sistem stare decisis atau precedent dengan alasan bahwa keterikatan kepada putusan-putusan terdahulu membuat putusan menjadi konservatif melihat kepada kejadian dan putusan masa lampau (backward looking) dan tidak menyesuaikan dengan perkembangan hukum masyarakat31. Sedangkan menurut Sebastian Pompe tidak akan terjadi kontradiksi antara penemuan hukum dengan yurisprudensi maupun ajaran precedent. Dalam konteks ini, konsistensi yang dikedepankan oleh doktrin precedent dianggap tidak akan mengurangi kebebasan hakim untuk melakukan penemuan hukum atau dengan kata lain yurisprudensi tidak akan mengekang kemandirian hakim. Sebagaimana dikemukakan oleh Utrecht apabila seorang hakim mengikuti atau menuruti menurut istilah Utrecht suatu putusan hakim lain, bukan berarti kondisi seperti ini dapat dipahami sebagai penundukan hakim lain kepada putusan hakim terdahulu.

Made Darma Weda menyatakan ada beberapa persyaratan untuk dapat dikatakan sebagai yurisprudensi, yaitu:

  • Putusan atas peristiwa hukum yang belum jelas peraturannya;
  • Putusan telah berkekuatan hukum tetap;
  • Putusan berulang kali dijadikan dasar hukum untuk memutus perkara sama;
  • Putusan telah memenuhi rasa keadilan masyarakat;
  • Putusan telah dibenarkan oleh MA.

Sedangkan menurut beberapa hakim agung sebagaimana dikutip oleh Teguh Satya Bhakti, suatu putusan untuk sampai kepada tahapan menjadi yurisprudensi mekanisme yang ditempuh atau tahapan-tahapan prosesnya adalah sebagai berikut:

  • adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;
  • atas perkara atau kasus yang diputus belum ada aturan hukumnya atau hukumnya kurang jelas,
  • memiliki muatan kebenaran, dan keadilan;
  • telah berulangkali diikuti oleh hakim berikutnya dalam memutus kasus yang sama; * telah melalui uji eksaminasi atau notasi oleh tim yurisprudensi hakim agung MA;
  • dan telah direkomendasikan sebagai putusan yang berkualifikasi yurisprudensi tetap.

1. Pengertian Yurisprudensi

Yurisprudensi adalah salah satu sumber hukum yang berlaku di negara Indonesia. Mahadi menguraikan bahwa yurisprudensi sendiri merupakan rentetan keputusan-keputusan yang dibuat oleh hakim yang keputusan tersebut sama bunyinya dan mengenai masalah yang serupa pula. Sedangkan menurut R. Subekti, yursiprudensi merupakan suatu putusan oleh hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan kasasi atau putusan-putusan MA sendiri yang tetap ( constant )[1]. Selain itu didalam penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional diterangkan pula beberapa definisi dari yurisprudensi adalah sebagai berikut[2]:

  • Yurisprudensi merupakan suatu peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto);
  • Yurisprudensi diartikan sebagai ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh Peradilan (Kamus Koenen endepols);
  • Yurisprudensi diartikan sebagai pengumpulan yang sistematis dari putusan MA dan putusan Pengadilan Tinggi (yang tercatat) yang diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal yang serupa (Kamus Van Dale);

Surojo Wignjodipuro, berpendapat apabila putusan hakim mengenai persoalan hukum tertentu menjadi dasar keputusan yang dibuat oleh hakim-hakim lain, sehingga keputusan ini menjelma menjadi suatu keputusan hakim yang tetap terhadap kasus atau peristiwa yang sama, maka hukum yang termuat didalam keputusan tersebut dinamakan sebagai yurisprudensi[3].

2. Kedudukan Yurisprudensi dalam Sistem Hukum di Indonesia

Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa yurisprudensi merupakan peradilan pada umumnya (judicature, rechtspraak) yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Di dalam yurisprudensi sendiri terdapat dua asas utama. Kedua asas tersebut yang nantinya turut mempengaruhi apakah seseorang hakim diharuskan untuk mengikuti hakim yang terdahulu atau tidak. Kedua asas tersebut adalah asas precedent dan juga asas bebas, yang penjelasan keduanya akan secara lebih mendalam dijelaskan sebagai berikut[4]:

  1. Asas precedent
    Memiliki makna bahwa seorang hakim sejatinya terikat dengan keputusan hakim lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. hakim dengan ini dalam mengadili dan juga memutuskan perkara tidaklah boleh menyimpang dari hakim lain yang sederajat maupun lebih tinggi. asas ini dianut di negara Amerika Serikat, Inggris, dan juga Afrika Selatan. Asas precedent atau asas stare decisive merupakan suatu lembaga peradulan yang dikenal di negara Anglo-Saxon atau common law system.

  2. Asas precedent
    Sesuai namanya, asas ini memiliki makna bahwa seorang hakim sejatinya tidaklah terikat oleh putusan hakim lain. Baik putusan tersebut sederajat, ataupun merupakan putusan yang lebih tinggi. Maksud dari tidak terikat disini ialah bahwa hakim ketika memutuskan suatu perkara, boleh mengikuti putusan hakim terdahulu baik yang sederajat ataupun lebih tinggi dan boleh juga untuk tidak mengikuti. Asas ini dianut oleh negara-negara eropa continental atau civil law system seperti Belanda, Indonesia dan juga Perancis.

Referensi

[1] Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Peningkatan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Jakarta, Penelitian Hukum: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1992, hlm 12.

[2] Ibid, hlm 8-12.

[3] Surojo, Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Gunung Agung, 1982, hlm 56.

[4]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum (sebuah Sketsa), Bandung, PT. Refika Aditama, 2000, hlm 97.