Apa pengertian dari Presidential Threshold?

ilustrasi-12

Presidential Threshold


Pemilihan umum merupakan konsekuensi dari sebuah negara demokrasi yang diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sebagai negara demokrasi, Indonesia juga mengatur perihal pelaksanaan pemilihan umum dan termaktub dalam UUD 1945. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari skema pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang terdapat dalam Pasal 22 E (2) UUD 1945.

Dalam sistem presidensial Indonesia, kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden dan dibantu oleh satu orang wakil presiden dengan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal pencalonan pasangan presiden dikenal konsep presidential threshold sebagai syarat politis pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk dipilih pada pemilihan umum. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menjelaskan ukuran presidential threshold sebagai berikut:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dari Pasal di atas, jelas bahwa Indonesia tidak membuka peluang bagi calon presiden dan wakil presiden Independen (non partai) untuk ikut serta pada pemilihan umum, lazimnya yanng berlaku pada pemilihan kepala daerah. oleh sebab itu hanya partai atau gabungan partai politik saja yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Threshold awalnya dipergunakan dalam hal melihat tingkat kompetisi partai untuk menduduki kursi di daerah pemilihan dalam sistem pemilu proporsional. Konsep ini mengaitkan besaran daerah pemilihan ( district magnitude ) dan formula perolehan kursi partai dengan metode kuota. Hubungan matematika berlaku dalam konsep ini, semakin besar besaran daerah pemilihan, maka semakin kecil persentase perolehan suara untuk mendapatkan kursi, sebaliknya semakin kecil besaran daerah pemilihan, maka semakin besar persentase perolehan suara untuk mendapatkan kursi. Dari hubungan itu, Rae, Loosemore dan Hanby (1967) menyimpulkan, untuk mendapatkan kursi pertama, partai harus menembus upper threshold ; sedang untuk mendapatkan kursi sisa, partai harus menembus lower threshold .

Perkembangan pemilihan umum dalam konsep demokrasi Indonesia, membawa threshold pada setiap sistem bentuk pemilihan umum, mulai dari parliementary threshold sebagai bentuk ambang batas partai untuk dapat menduduki kursi parlemen pusat, hingga presidential threshold sebagai ambang batas suara partai untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum. Parliementary threshold di Indonesia diatur dalam Pasal 208 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan bunyi Pasal: Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. Ketentuan ambang batas untuk tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pada tahun 2014 sebelum pemilihan umum diselenggarakan pada buan April 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 yang dimohonkan oleh Effendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak, dalam putusannya yang bernomor 14/PUU-XI/2013 mengabulkan sebagian dari permohonan pemohon untuk membatalkan Pasal 3 ayat 5 tentang pelaksanaan pemilu presiden pasca pemilu legislatif, Pasal 12 Ayat 1 dan 2 tentang kebolehan

Dalam Pasal tersebut, dikatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini bermakna bahwa penyelenggara pemerintahan harus mendapatkan legitimasi dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Partai politik mengumumkan siapa pasangan calon presidennya pada kampanye pemilu legislatif, Pasal 14 Ayat 2 tentang masa pendaftaran calon presiden pasca penetapan hasil pemilu legislatif dan Pasal 112 tentang pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden pasca penetapan hasil pemilu legislatif.

Dari putusan MK tersebut, dapat dilihat bahwa penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden tidak lagi dilaksanakan pasca pemilihan umum legislatif, hal ini sebenarnya telah diatur dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” prasa pemilihan umum kedua dalam pasal tersebut merujuk pada Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi:

Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Jadi putusan MK bertujuan memperjelas inkonsistensi penerapan Pasal 6A ayat 2 dan Pasal 22 E ayat 2 UUD 1945. Sebagian pihak mempermasalahkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang mengatur ambang batas pemilu presiden ( presidential threshold ) tidak dikabulkan oleh MK, sehingga pemilu serentak Tahun 2019 dilaksanakan secara serentak namun harus pula menggunakan presidential treshold sebagai acuan pencalonan.

Terkait hal ini, keberadaan presidential threshold tidak akan mengganggu jalannya pemilihan umum serentak 2019, karena penggunaan presidential threshold dapat dilakukan dengan menggunakan hasil suara sah ataupun kursi pada pemilihan legislatif 2014 sebagai dasar penggunakan presidential threshold.

Presidential threshold merupakan suatu konsep yang bertujuan untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden berkualitas. Pengusulan ini dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang bertanggungjawab terhadap pasangan presiden dan wakil presiden yang diusung. Kendati demikian, beberapa pihak berpendapat bahwa presidential trheshold tidak tepat dilaksanakan mengingat hanya partai yang memiliki suara atau kursi besar saja yang dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden, sementara partai dengan suara dan kursi kecil tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Keutamaan menggunakan presidential threshold sebagai status quo dalam pemilihan umum serentak tahun 2019 sebenarnya memperkuat sistem presidensial yang dianut Indonesia saat ini. Sistem multi partai di Indonesia harus diatur sesuai sistem presidensial agar tidak terjerumus dalam konsep legislative heavy yang merupakan model sistem parlementer. Dengan eksisnya presidential threshold saat ini, maka akan memberikan nilai positif terhadap beberapa hal dalam sistem pemilihan presiden dan wakil presiden. Pertama , mengarahkan para partai politik untuk berkoalisi dengan partai lain, sehingga sila keempat Pancasila terkait musyawarah mufakat lebih tercermin daripada membiarkan masing-masing partai politik mengusulkan calon presiden dan wakil presiden secara terpisah yang akan membuat jumlah presiden dan wakil presiden lebih banyak.