Apa makna yang terkandung didalam Surat An-Nisa’ Ayat 148-149 ?

image

lā yuḥibbullāhul-jahra bis-sū`i minal-qauli illā man ẓulim, wa kānallāhu samī’an 'alīmā
Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

in tubdụ khairan au tukhfụhu au ta’fụ 'an sū`in fa innallāha kāna 'afuwwang qadīrā
Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Mahakuasa.

Apa makna yang terkandung didalam Surat An-Nisa’ Ayat 148-149 ?

Asbabun nuzul atau sebab turunya ayat al-Quran surat An-Nisa’ ayat 148 di sebabkan mengenai seorang lelaki yang bertamu ke rumah seorang lelaki yang menerima perlakuan yang tidak baik, sampai ia (tamu yang dperlakukan tidak baik tersebut) pindah dari rumah orang itu. Tamu tersebut menceritakan apa yang diperlakukan pada dirinya kepada orang lain. Oleh sebab itu turunlah ayat tersebut sebagai peringatan kepada orang tersebut agar ia tidak menceritakan apa yang dialami di rumah tersebut, karena Allah tidak suka orang yang menceritakan ajaib orang lain secara terang-terangan.

Tafsir An Nisa’ ayat 148-149


Terdapat beberapa pendapat mufassir terkait dengan tafsir An-Nisa‟ Ayat 148-149, yaitu:

  1. Al-Muqaddam bin Abi Karimah

    Menurut al-Muqaddam bin Abi Karimah bahwa surat An-Nisa’ ayat 148-149 menjelaskan siapa saja di antara muslim yang bertamu kepada suatu kaum, lalu tamu itu tidak mendapat jamuan, maka wajib bagi setiap muslim untuk menolong tuan rumah hingga dia mengambil jamuan malamnya dari ladang dan bertanya.

    Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa tiap muslim yang ketamuan dan membiarkan tamunya hingga pagi tanpa pangan, maka menjadi hak tiap muslim untuk menolongnya sampai ia memperoleh pangannya dari tanaman dan harta orang yang ketamuan itu. Menyediakan pangan malam bagi tamu adalah wajib atas tiap muslim, maka bila sang tamu tidak memperolehnya hingga pagi hari, hal itu menjadi utang sang tuan rumah ke pada si tamu, dia boleh menuntutnya jika ia menghendaki atau membebaskan nya. Jadi setiap orang muslim yang bertemu sesama muslim, apabila tamu bersebut tidak mempunyai jamuan maka ia membantu tuan tersebut, serta ia bertanya kepada tuan rumah apa yang bisa membantunya, agar tidak menjadi permasahan terhadap tuan rumah.

  2. Ibnu Ishak

    Menurut Ibnu Ishak bahwa surat An-Nisa’ ayat 148-149 menjelaskan mengenai seorang yang bertamu kepada seseorang, kemudian menyiar-nyiarkan bahwa ia tidak mendapat perlakuan baik dari yang ditemuinya, sikap yang demikian itu termasuk ucapan buruk yang tidak disukai oleh Allah.

    Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa seseorang yang bertamu kerumah orang lain, apabila ia tidak perlakuan tidak baik oleh tua rumah, kemudian menceritakan kejadian yang ia alami di rumah tersebut, sikap yang demikian di namai ucapan yang buruk karena telah menceritakan tentang kejelekan orang lain, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang tidak sukai oleh Allah Swt.

  3. Imam Ahmad

    Menurut Imam Ahmad bahwa surat An-Nisa’ ayat 148-149 menjelaskan tentang menerima tamu adalah hal yang wajib atas tiap muslim, sebagaimana yang dicerikan oleh Abu Hurairah menurut riwayat Abu Bakar al-Bazzar bahwa seorang datang kepada Rasulullah Saw ia mengeluh bahwa tetangganya selalu mengganggunya, oleh Rasulullah ia disuruh mengeluarkan perabot rumahnya ke jalanan, sehingga tiap orang yang melalui jalan itu, di jalan itu orang bertanya, mengapa ia berbuat demikian? dan jika mendapat penjelasan dari si pemilik perabot, bahwa ia berbuat demikian itu karena selalu diganggu oleh tetangganya, ia segera berdo‟a. Ya Allah kutuklah dia (si tetangga penganggu). Akhirnya setelah mendengar banyaknya kutukan yang dido‟akan terhadap si pemilik perabot yang mengabek, kembalilah engkau dengan perabotmu ke rumahnya, demi Allah aku tidak akan mengganggumu lagi.

Demikianlah di antara pendapat mufassir tentang surat An-Nisa’ ayat 148- 149, dalam pentafsiran mufassir terlihat bahwa tiap muslim yang ketamuan dan membiarkan tamunya hingga pagi tanpa pangan, maka menjadi hak tiap muslim untuk menolongnya sampai ia memperoleh pangannya dari tanaman dan harta orang yang ketamuan itu. Menyediakan pangan malam bagi tamu adalah wajib atas tiap muslim, maka bila sang tamu tidak memperolehnya hingga pagi hari, hal itu menjadi utang sang tuan rumah ke pada si tamu, dia boleh menuntutnya jika ia menghendaki atau membebaskan nya, maka kejadian tersebut jangan ia ceritakan kepada orang lain, karena tidak menyukai orang yang menceritakan kejelekan orang lain.

Makna An Nisa’ ayat 148-149


Ayat-ayat sebelum ayat 148 berbicara tentang orang-orang munafik dan keburukan sifat mereka. Uraian itu menimbulkan kebencian umat Islam terhadap mereka, lebih-lebih setelah dinyatakan bahwa mereka mengangkat orang-orang kafir sebagai teman-teman dan pembela-pembela mereka dan bahwa mereka memperolok-olokkan agama Islam dan kaum muslimin.

Kebencian tersebut tentu saja dapat mengundang caci maki dari kalangan kaum muslimin. Sedangkan ayat ini menuntun kaum muslimin dengan mengingatkan bahwa Allah Yang Maha Suci tidak menyukai perbuatan terang-terangan dengan keburukan menyangkut apa pun, dan yang digaris bawahi di sini adalah menyangkut ucapan buruk sehingga terdengar baik oleh yang dimaki maupun orang lain, kecuali jika sangat terpaksa mengucapkan nya, oleh orang yang dianiaya maka ketika itu dibenarkan mengucapkannya dalam batas tertentu.

Allah sejak dahulu hingga kini dan akan datang adalah Maha Mendengar ucapan baik atau buruk yang keras dan yang terang-terangan maupun yang hanya didengar oleh pengucapnya sendiri lagi Maha Mengetahui sikap dan tindakan siapa pun.

Jika kata la yubibb/tidak menyukai pelakunya adalah Allah Swt, maka maksudnya adalah tidak merestui sehingga tidak memberi ganjaran atau bahkan menjatuhkan sanksi kepada pelaku sesuatu yang tidak disukai-Nya itu. Kata ini juga mengandung makna tidak diizinkan oleh Allah Swt dan dengan demikian ia berarti dilarang oleh-Nya atau diharamkan.60

Pada pangkal ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak mencintai ِ"jahar atau terang-terangan dengan keburukan ِdari perkataan".

Ayat 148 juga merupakan sebuah teguran kepada kaum munafik dan ahli kitab, yang di waktu itu dengan mudah mengucapkan kata-kata yang buruk secara berterang-terang. Malahan ada Yahudi mengucapkan assalamu’alaikum kepada Rasulullah Swt, padahal assalamu’alaikum artinya ialah matilah kamu! ketika menjawabnya, Rasulullah Saw tidak menyebut kembali kata-kata itu, misalnya Wa 'alaikum. Aisyah bertanya mengapa hanya begitu menjawab ucapan yang tidak senonoh itu, beliau katakan bahwa orang yang beriman tidaklah keluar dari mulutnya kata-kata yang keji.