Apa makna yang terkandung didalam surah an Nisa' ayat 34 dan 35 ?

Pernikahan Islam

ar-rijālu qawwāmụna 'alan-nisā`i bimā faḍḍalallāhu ba’ḍahum 'alā ba’ḍiw wa bimā anfaqụ min amwālihim, faṣ-ṣāliḥātu qānitātun ḥāfiẓātul lil-gaibi bimā ḥafiẓallāh, wallātī takhāfụna nusyụzahunna fa’iẓụhunna wahjurụhunna fil-maḍāji’i waḍribụhunn, fa in aṭa’nakum fa lā tabgụ 'alaihinna sabīlā, innallāha kāna 'aliyyang kabīrā

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.

wa in khiftum syiqāqa bainihimā fab’aṡụ ḥakamam min ahlihī wa ḥakamam min ahlihā, iy yurīdā iṣlāḥay yuwaffiqillāhu bainahumā, innallāha kāna 'alīman khabīrā

Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.

Apa makna yang terkandung didalam surah an Nisa’ ayat 34 dan 35 ?

Asbab an-Nuzul an Nisa 34-36


Banyak surat dan ayat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa dakwah nabi dan ayat-ayat tersebut diturunkan karena adanya kebutuhan yang mendesak akan hukum-hukum Islam, diantaranya adalah surat an-Nisa’ ayat 34, 35 dan 36.

Asbab an-Nuzul ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut :

Pada suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah SAW untuk mengadukan masalah, yaitu dia ditampar mukanya oleh sang suami. Rasulullah SAW bersabda : “ Suamimu itu harus diqishash (dibalas)”. Sehubungan dengan sabda Rasulullah SAW itu Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 yang dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa bagi orang laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengar keterangan ayat ini wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishash terhadap suaminya yang telah menampar mukanya. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Hasan)

Pada suatu waktu datanglah seorang wanita yang mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW. Dia pada suatu ketika ditampar mukanya oleh suaminya, yang suaminya itu adalah salah seorang sahabat Anshar. Maksud kedatangan wanita itu kepada Rasulullah SAW untuk menuntut balas terhadap perbuatan suaminya itu. Rasulullah SAW ketika itu mengabulkan permohonannya, sebab belum ada ketegasan hukum dari Allah SWT. Sehubungan dengan peristiwa itu Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 sebagai ketegasan tentang hak kewajiban suami untuk mendidik istrinya yang membangkang.

Selain itu turun pula ayat ke-114 dari surat Thaha yang berbunyi :

Artinya : dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu.

Maksudnya: Nabi Muhammad SAW., dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad SAW., menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu. Ayat ini dipahamai sebagai teguran terhadap Rasulullah SAW. Beliau dilarang memutuskan sesuatu perkara sebelum ayat al-Qur’an diturunkan, sebagaimana yang beliau memberikan hukum qishash terhadap suami atas gugatan istri tersebut. (HR. Ibnu Jarir dari beberapa jalan yang datang dari Hasan. Demikian juga bersumber dari Ibnu Juraij dan Suddi).

Pada suatu waktu datanglah seorang lelaki dari kalangan sahabat Anshar menghadap Rasulullah SAW bersama istri-istrinya. Istrinya mengadu kepada Rasulullah SAW :

“ Wahai Rasulullah, suamiku ini telah memukul mukaku sehingga terdapat bekas luka” .

Rasulullah SAW bersabda :

“Suamimu tidak berhak untuk melakukan demikian. Dia harus diqishash”.

Sehubungan dengan keputusan Rasulullah SAW tersebut Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 sebagai ketegasan hukum, bahwa seorang suami berhak untuk mendidik istrinya. Dengan demikian hukum qishash yang dijatuhkan Rasulullah SAW itu gugur, jadi tidak dilaksanakan. (HR. Ibnu Mardawaih dan Ali bin Abi Thalib).

Tafsir An Nisa’ 34-36


Sebelum masuk pada tahap penjelasan tentang penafsiran surah dan ayat perspektif para Mufassir, maka penulis menyajikan arti dari beberapa kosakata yang dianggap perlu dan penting agar penulis dan pembaca mendapatkan pemahaman yang baik terhadap makna ayat yang dikaji. Di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Qanitat

    Secara etimologi, Qanitat merupakan bentuk plural dari qanitah, shighatnya isim fai’il, berasal dari fi’il ; qanata-yaqnutu, berarti merendahkan diri kepada Allah, ta’at dan patuh, tunduk dan diam (tidak bicara). Qanut berarti wanita yang setia kepada suaminya.

  • Nusyuz

    Secara etimologi, Nusyuz merupakan masdar dari fi’il; nasyaza-yansyuzu berarti durhaka, menentang dan membenci, bertindak kasar. Nusyuzu az-Zaujah berarti kedurhakaan, penentangan istri terhadap suami. an-Nusyuz artinya tinggi hati; wanita yang nusyuz ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya.

  • Syiqaq

    Secara etimologi, syiqaq artinya perpecahan, perselisihan. Menurut Hamka, arti asal dari syiqaq ialah retak menghadang pecah. Suami istri belum bercerai. Dan bila orang lain tidak ikut campur dalam hal ini, maka akan berlarut-larut.

Tafsir Surah An Nisa’ 34

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).

Menurut Hamka, di sinilah mulai dijelaskan apakah sebab yang terpenting kenapa dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, dan mengapa laki-laki yang membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli isterinya dengan baik.

Mengapa laki-laki diizinkan beristeri sampai empat asal sanggup adil, sedang perempuan tidak?

Ayat inilah yang memberikan jawabannya. Sebab laki-laki itulah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukannya, meskipun beristeri sampai empat adalah satu kesulitan, tetapi umumnya laki-laki lebih dapat mengendalikan empat isteri, daripada misalnya seorang isteri bersuami empat orang. Jelas dia tidak akan dapat mengendalikan keempat laki-laki itu. Bahkan perempuan itulah yang akan sengsara jika misalnya dia diizinkan bersuami empat.

Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat.”

Yaitu taat kepada Allah dan menuruti peraturan sebagai perempuan dan sebagai isteri, suami dan pendidikan anak-anak. Yang memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). “ artinya bahwasanya tiap-tiap persuami-isterian, pasti ada rahasia kamar yang mesti ditutup terus, dan menutup rahasia rumah tangga yang demikian termasuklah dalam rangka sopan santun seorang isteri. Sebab itu, maka dikatakan dengan cara yang dipeliharakan Allah. Sehingga telah menjadi sopan santun dari seluruh manusia, walaupun yang belum disinggung oleh Allah menjadi sopan santun dari seluruh manusia, walaupun yang belum disinggung oleh agama, merahasiakan alat kelamin, sebab ilham dari Allah. Demikian pula hendaknya perempuan memelihara rahasia itu. Entah apa sendagurau dengan suami, jangan diberitahu orang lain.

Menurutnya, oleh ulama’-ulama’ diperluas lagi, bukan saja menyimpan rahasia hubungan suami-isteri di dalam bilik peraduan, bahkan juga kekayaan dan kesanggupan suami dalam memberikan nafkah harta-benda, hendaklah dirahasiakan juga. Jangan dikeluhkan kepada orang lain jika terdapat kekurangan. Maka terhadap perempuan atau isteri yang taat demikian itu berjalanlah pimpinan si laki-laki dengan lancar dan berbahagialah mereka. tetapi di samping yang baik tentu ada juga yang buruk. Yaitu isteri yang membuat pusing suami.

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya.

Nusyuz artinya tidak patuh dan tidak taat, baik kepada Allah ataupun suami sebagai pimpinan mereka, maka terhadap isteri yang seperti ini, maka tempuhlah tiga cara :

  • Maka nasehatilah mereka .” beri mereka petunjuk dan pengajaran, ajarilah mereka dengan baik, sadarkan mereka akan kesalahannya. Suami yang baik akan dapat menentukan dan memilih kata-kata dan sikap yang layak untuk mengajari isteri. Kadang-kadang ada isteri yang tinggi hati, sombong. Karena hidupnya biasanya sedang dengan orang tuanya lalu dipandang enteng suaminya. Diberi hadiah sebuah barang misalnya, dipandang enteng saja hadiah itu, dan dikatakannya bahwa pemberian ayah-ibunya dahulu lebih mahal dari itu. Sampai pernah dia berkata : “ Aku tidak biasa memakai kain sekasar itu.” Maka suami hendaklah mengajarinya dan menyadarkannya, bahwasanya setelah bersuami, halus ataupun kasar barang pemberian suami, terimalah dengan baik. Karena apabila seseorang telah bersuami, ketika bercerai dengan suaminya, dan dia pulang pulang kembali ke dalam tanggung jawab ibu-bapaknya, tidak lagi akan seperti swaktu dia masih gadis. Suami juga bisa memberikan pengajaran-pengajaran lain kepada isterinya itu dengan tanpa rasa bosan. Karena mendirikan dan menegakkan ketentraman sebuah rumah tangga kadang-kadang meminta waktu berpuluh tahun. Si suaminya hendaklah menunjukkan sikap seorang pemimpin yang tegas dan bijaksana. Tetapi ada lagi cara yang kedua, yang bagi sebagian perempuan lebih pahit :

  • Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka ” Ada zaman-zamannya bagi seorang wanita adalah suatu hukuman yang menghibakan hati, kalau suami menunjukkan marah dengan memisah tidur. Memang kalau pergaulan telah berpuluh-puluh tahun, hukuman pisah tempat tidur tidak demikian besar artinya, sebab sudah biasa juga suami-isteri yang telah banyak anak dan bercucu berpisah tempat tidur. Tetapi di waktu masih muda, memisah tempat tidur karena menunjukkan hati tidak senang adalah termasuk pukulan yang agak keras bagi seorang isteri. Dan perempuan terkadang merasa dirinya sangat cantik, sehingga perangainya dibuat-buat sedemikian rupa untuk menguji atau menekan perasaan suaminya.

    Terkadang pula kalau laki-laki tidak sadar akan tugasnya sebagai pemimpin, ia datang berlutut kepada istrinya karena ingin bercumbu rayu dengannya. Tetapi laki-laki yang tahu diri akan berbuat sebaliknya. Melihat isti yang telah mulai nusyuz itu, dia langsung pindah kamar lain untuk tidur sendiri. Dan seringkali kesombongan istri hilang karena pengajaran yang demikian ini. Dalam hati istri bertanya apa benar salahku sehingga suamiku memisah tempat tidur.

    Hamka mengutip perkataan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini bahwa berpisah tempat tidur maksudnya adalah istri jangan disetubuhi, jangan tidur di dekatnya atau belakangi dia dalam satu tempat tidur. Dalam kesempatan lain dia juga berkata bahwa istri jangan diajak berbicara dan jangan pula ditegur. Akan tetapi, ada pula perempuan yang harus dihadapi dengan cara yang lebih keras. Maka dipakailah jalan yang ketiga, yaitu:

  • Dan pukullah mereka ” Tentu saja cara ketiga ini hanya dilakukan kepada wanita yang sudah memang patut dipukul. Ada kaum terpelajar menyanggah keras adanya kebolehan suami memukul seperti ini. Dia agaknya tidak sadar bahwa memang ada wanita yang hanya dengan pukulan, ia dapat memperbaiki diri untuk tidak lagi mendurhakai suaminya, menghina, memaki, rebut atau membuat malu dengan tetangga.

    Di dalam kitab-kitab Fiqih, para Ulama’ memberi petunjuk bagaimana cara memukul itu, yaitu supaya jangan memukul mukanya, tidak pula pada bagiannya yang akan merusak, seperti halnya memukul anak. Lanjut Hamka, kebolehan memukul ini oleh seorang suami sebagaimana dijelaskan oleh beberapa hadits didapati kesimpulan bahwa sikap memukul hanya dilakukan jikalau sudah sangat terpaksa. Seperti halnya kebolehan yang diberikan kepada suami bila beristri sampai empat dengan syarat adil, dan di ujung ayatnya dianjurkan lebih baik beristri satu orang saja agar aman dari tanggung jawab yang berat.

    Dari beberapa riwayat, ternyata benar bahwa Nabi SAW sendiri secara pribadi tidaklah menyukai memukul istri, bahkan istri disuruh membalas. Hal itu bisa dimaklumi, karena beliau sendiri beristri sampai Sembilan orang, tidak lah pernah memukul istri-istrinya meskipun dengan cara menjentik salah seorang dari mereka. meskipun demikian, menurut Hamka, peraturan Allah ialah yang baik.

    Ada kebolehan memukul jika sudah sangat diperlukan, tetapi orang baik-baik dan berbudi tinggi akan berupaya agar memukul dapat dielakkan dan dihindari. Dan tidaklah benar sama sekali bila memukul itu sama sekali tidak diperbolehkan, karena laki-laki sudah diakui Allah sebagai seorang pemimpin.

    Sikap Nabi sendiri, beliau kurang senang jika ada orang mempergunakan kesempatan memukul itu. Dan beliau tidak pernah memukul istri-istrinya. Maka pihak perempuan wajib pula berusaha dengan budi bahasanya, agar jika suaminya mengajarinya jangan sampai dengan memukul. Hamka mengutip penjelasan ar-Razi dalam tafsirnya, bahwa melakukan pengajaran terhadap istri tersebut hendaklah dengan cara bertingkat. Mulanya diajari dengan baik-baik, tingkat kedua barulah memisah tidur, dan tingkat ketiga barulah memukul. Tidak boleh dimulai dengan memukul terlebih dahulu.

Kemudian datanglah lanjutan ayat: “ tetapi jika mereka taat kepadamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan buat menyusahkan mereka.” menurut Hamka, perempuan yang taat disini bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada tuannya. Taat disini maksudnya perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang menjaga rumah tangga dengan baik dan tahu akan tenggang-menenggang, dan juga tahu akan harga dirinya. Kepada istri yang kondisinya semacam itu, janganlah mencari-cari masalah dan perkara. Berlakulah hormat-menghormati dalam rumah tangga. Karena kalau istri sudah seperti ini baiknya, lalu laki-laki mencari-cari masalah saja, membuat gaduh, jangan disesalkan bila dia melawan. Janganlah suatu kesalahan yang terjadi ditimpakan kepada istri saja. Karena meskipun dia perempuan, dia juga manusia yang patut dihormati. Keadaan dirimu sendiri pun sebagai lelaki akan canggung jikalau dia tidak ada.

Lanjut Hamka dengan mengutip perkataan Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memberikan nasihat kepada seorang suami agar bersabar menanggung dan menghadapi perangai istrinya. Sebab tiap-tiap perempuan, ada saja segi kelemahannya layaknya manusia yang lain. Bahkan engkau laki-laki pun mempunyai sisi kelemahan, yang mana kesabaran istrimu lah yang akan menjadikan rumah tanggamu kekal.

Diakhir ayat Allah memperingatkan : “ Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar.” Ujung ayat menyebutkan nama Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar ini adalah pengobat dan kunci daripada hak yang telah diberikan Allah di atas tadi, yaitu bahwa laki-laki adalah menjadi pemimpin bagi perempuan. Mentang-mentang kamu telah diberikan Allah kelebihan jadi pemimpin, jangan kamu berlaku meninggikan diri, sombong dan membesarkan diri terhadap istrimu, berbuat sewenang-wenang dan menyalahgunakan kekuasaan. Kamu mesti ingat, kalau kamu telah berlaku demikian terhadap istrimu, maka Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar akan tetap memberikan perlindungan-Nya kepada makhluk yang lemah itu. Dan setiap orang yang zalim akan mendapatkan balasannya. Hendaklah seorang yang beriman mengingat benar-benar bahwa jenis kaum perempuan yang lemah ini adalah salah satu dari isi dari khutbah Nabi SAW yang terakhir di waktu Haji Wada’. Ketika itu beliau berkata :

Takutlah kalian semua kepada Allah mengenai perempuan, sesungguhnya dia adalah teman-hidup sejati di sisimu.

Dan perempuan pula merupakan pesan terakhir ketika beliau akan wafat. Ada dua pesan beliau itu yang sangat diperingatkannya. Pertama shalat lima waktu di awal waktunya, kedua perempuan. Beliau takut, bahwa keduanya ini yang akan terlebih dahulu kamu sia-siakan.

Tafsir Surah an-Nisa’ 35

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.

Dalam sebuah rumah tangga kadangkala tidak bisa dielakkan terjadi sebuah perselisihan yang kerapkali menyebabkan pergaulan dan hubungan suami-istri menjadi retak. Adakalnya yang menimbulkan perselisihan itu salah satu dari keduanya, atau kedua-duanya sekaligus.

Sebagai pimpinan, suami terkadang berlaku dzalim dan istri terkadang durhaka kepada pimpinan (Nusyuz). Dan apabila ditanya satu demi satu, satu pihak menyalahkan pihak yang lain. Suami mengatakan istrinya durhaka, sehingga dia berhak menghukum. Dan istri mengadu dengan berkata bahwa suaminya sudah tidak peduli lagi kepadanya, tidak memberikan nafkah lahir-batin dan seterusnya. Sehingga perdamaian sudah dianggap tidak ada lagi. Syiqaq tumbuh.

Syiqaq artinya retak hendak pecah. Ketika kondisi hubungan rumah tangga seperti ini, menurut Hamka, datanglah perintah supaya kamu, yaitu keluarga kedua belah pihak, masyarakat sekitarnya, sekampung halaman, atau pemerintah, bersegera mencampuri hal tersebut. dengan cara mengutus seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga si perempuan.

Hakam artinya sama dengan hakim. Yaitu penyelidik perkara yang sebenarnya, sehingga mereka dapat mengambil kesimpulan. Lanjut Hamka, maksudnya adalah kedua hakam itu diutus oleh kedua keluarga, atau masyarakat. Hakam si laki-laki menyelidiki pendirian si laki-laki dengan seksama, hakam si perempuan menyelidiki pendirian si perempuan dengan seksama pula. Setelah informasi diketahui dengan lengkap dari kedua belah pihak, mereka bertemu dan membahas permasalahan tersebut dengan kepala dingin.

Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Menurut Hamka, Maksudnya adalah asal kedua-duanya benar-benar mau damai (ishlah), nicaya Allah akan memberikan pertolongan ( taufiq ), yakni akan dapat persetujuan faham di antara kedua pihak. Dalam proses islah, menurutnya, dilakukan dengan beberapa tujuan: mendamaikan mereka kembali sehingga perselisihan hilang dan bisa hidup dengan rukun, dibahas perkara yang disukai dan yang tidak disukai sehingga keberatan kedua belah pihak diketahui, atau didapatkan hal yang lebih damai dengan cara bercerai karena tidak ada kecocokan lagi dan bila dilanjutkan akan membawa bahaya yang lebih besar. Semua itu akan dikatakan dengan terus terang meskipun kesimpulannya bahwa ishlah menyatakan lebih baik bercerai.

Hamka mengutip perkataan Ibnu Abbas, ia berkata : “Allah menyuruh diutusnya seorang laki-laki yang shaleh dari keluarga si laki-laki dan seorang laki-laki yang shaleh dari keluarga si perempuan. Keduanya menyelidiki siapa yang bersalah. Kalau si laki-laki yang salah, maka isterinya dijauhkan dari dia dan nafkahnya wajib terus dibayarkan. Kalau isteri yang salah, dia dipaksa pulang ke rumah lakinya dan tidak wajib diberi nafkah. Tetapi kalau kedua Hakam berpendapat bahwa mereka diceraikan saja atau diserumahkan kembali, sedang yang seorang suka dan yang lain tidak suka, kemudian salah satunya meninggal dunia, maka yang suka dapat menerima warisan dari yang meninggal dunia, dan yang tidak suka, tidaklah menerima waris”.

Referensi :

  • Tafsir al-Azhar
  • Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah; Seputar Ibadah, Muamalah Jin, dan Manusia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000).
  • Alamah Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Quran ( Bandung: Mizan, 1995).
  • A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).
  • Qamaruddin Shaleh Dkk, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al- Qur an ( Bandung: CV. Diponegoro, 1990).
  • Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Kathir. (Jakarta: Gema Insani, 1999),

Tafsir Surah An Nisa’ 34


Para lelaki itu menjadi pengurus (pemimpin) bagi perempuan, karena Allah telah mengutamakan (melebihkan) sebagian lelaki atas sebagian perempuan, dan para lelaki ditugaskan menafkahkan harta-hartanya.

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, yakni laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan. ”Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.” Yakni, karena laki-laki lebih unggul daripada wanita. “Dan karena mereka telah menginfakkan hartanya” berupa mahar, belanja, dan tugas yang dibebankan oleh Allah untuk mengurus mereka. Dan oleh sebab itu, maka wanita wajib mentaati laki-laki sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah serta memelihara hartanya.

“Perempun-perempuan yang shalih adalah mereka yang mentaati suaminya, yang memelihara (merahasiakan) segala apa yang terjadi antara suami dan istri berdasar perintah Allah”

Wanita yang shalih adalah yang taat kepada suaminya dan melakukan pemeliharaan ketika suami tidak ada”, yakni memelihara dirinya sendiri dan harta suaminya ketika suami tidak ada.

Ayat ini mengandung pelajaran yang besar bagi kaum perempuan yakni agar supaya mereka menjaga dirinya, kehormatannya, harga dirinya, serta harta suaminya ketika suami mereka tidak ada.

Dan (perempuan) yang kamu khawatirkan akan berbuat (durhaka) kepadamu, maka berilah nasihat, jangan tidur seranjang dengannya, dan pukullah mereka.

Jika kamu melihat ada indikasi (tanda-tanda) bahwa istrimu melakukan nusyuz , yakni istri yang mengadukan hal ihwal suaminya kepada orang lain, menolak perintahnya, berpaling dari suaminya, dan membuat suaminya marah. maka berikut ini adalah beberapa tindakan edukatif (bersifat mendidik) yang bisa dilakukan, yaitu:

Berilah nasihat dan ingatkanlah akan siksa Allah lantaran dia mendurhakai suaminya, karena Allah telah mewajibkan istri untuk mentaati suaminya, dan ketaatan itu merupakan hak sang suami.

Hindarilah dia di tempat tidur. Yang dimaksud al-hajru ialah tidak menggaulinya, tidak tidur di atas tempat tidurnya atau membelakanginya.

Pukullah mereka , yakni jika istri tidak meninggalkan perbuatan buruknya setelah dinasihati dan diboikot, maka kamu boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai. Para ahli fiqih mengatakan: “pukulan yang tidak melukai ialah yang tidak sampai mematahkan tulang dan tidak meninggalkan bekas”.

Lalu dilanjutkan dengan ayat :

Jika mereka kembali mentaatimu, janganlah kamu berlaku curang terhadap mereka.

Maksudnya jika istri kembali mentaati suaminya dalam segala hal yang diinginkan suami agar dilakukan istri, dalam arti segala hal yang dibolehkan Allah, maka setelah itu tidak ada jalan bagi suami untuk menyudutkannya, memukulnya, dan menjauhinya di tempat tidur.

Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Allah memperingatkan kepada kaum suami dengan kekuasaan dan kebesaran-Nya, supaya suami tidak mengdhalimi istri dan berlaku curang. Dia adalah pelindung bagi mereka (istri). Dia akan memberikan siksanya kepada suami yang berlaku kurang baik kepada istrinya (dhalim) karena telah menganiaya istri.

Tafsir Surat al-Nisa’ 35


Ibnu Kathir menafisrkan ayat ini bahwa jika perselisihan antara suami dan istri tidak juga bisa diakhiri, dan semakin mengkhawatirkan, maka utuslah seorang penengah yang terpercaya dari keluarga istri dan seorang penengah yang terpercaya dari keluarga suami agar keduanya bermusyawarah dan membicarakan masalah keduanya, serta menentukan tindakan yang dipandang oleh keduanya akan bermaslahat, apakah itu perceraian ataukah rujuk.

Jika keduanya menghendaki kemaslahatan, niscaya Allah akan memberikan taufik kepada keduanya. Maka kedua penengah mengkaji, jika pihak suami yang bersalah, maka keduanya menghalangi suami agar tidak menemui istrinya dan menyuruhnya mencari nafkah secara terus-menerus. Jika istri yang salah, maka mereka menyuruhnya untuk tetap melayani suami tanpa diberi nafkah. Para ulama’ berpendapat bahwa kedua penengah memiliki hak untuk menyatukan dan memisahkan. Yang menjadi sandaran bahwa tugas penengah hanya memutuskan masalah penyatuan bukan perceraian antara suami istri yaitu, ” Jika keduanya ingin mengadakan perbaikan niscaya Allah akan memberikan taufik kepada suami istri tersebut ,” dalam hal ini penengah disebut juga hakam. Tugas hakam ialah menetapkan keputusan tanpa suatu keharusan adanya kerelaan pihak yang dihukumi, inilah menurut zahir ayat.

Ibnu Abdul Bar dalam tafsir ibnu Kathir berkata, “Para ulama sepakat bahwa apabila kedua penengah berselisih pendapat, maka pendapat penengah tidak boleh dijadikan keputusan.” Lalu dilanjutkan dengan ayat :

Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal.

Maksudnya adalah Allah pasti mengetahui segala keadaan dan budi pekerti umat-Nya. Dia juga mengetahui segala kemungkinan yang terjadi antara suami istri dan sebab-sebabnya. Karena itu Allah mensyari’atkan hukum-hukum bagi mereka dan bagi kita semua.

Sumber : Tafsir Ibnu Kathir

Tafsir Surat al-Nisa’ ayat 34


“Para lelaki itu menjadi pengurus (pemimpin) bagi perempuan, karena Allah telah mengutamakan (melebihkan) sebagian lelaki atas sebagian perempuan, dab para lelaki ditugaskan menafkahkan harta- hartanya.”

Bermakna para lelaki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami adalah pemimpin penanggung jawab bagi perempuan. (*al-*Nisa’) atau imra’ah apabila digunakan untuk makna istri. Laki-laki adalah pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Allah SWT menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu:

  • Pertama, yِakni laki-laki atau suami secara umum telah menafkahkan sebagian dari hartanya untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Masing-masing memilki keistimewaan. Tetapi keistimewaan laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan dari pada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Keistimewaan perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada laki-laki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak88.

  • Kedua, maksudnya adalah karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Bentuk kata kerja lampau yang digunakan dalam ayat ini adalah “telah menafkahkan”, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita adalah suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga sekarang. Perlu digaris bawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan oleh Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang- wenangan. Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan “derajat/tingkat yang lebih tinggi” dari perempuan. Bahkan ada ayat yang menegaskan derajat tersebut dalam firman-Nya:

dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Baqarah: 228).

Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, Guru Besar para pakar tafsir, yaitu Imam ath-Thabari menuliskan dalam tafsir al-Misbah bahwa Walaupun ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah perintah kepada para suami untuk memperlakukan istrinya secara terpuji, agar suami dapat memperoleh derajat tersebut.

Imam Ghazali menuliskan, “Ketahuilah bahwa yang dimaksud perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya, tetapi bersabar dalam gangguan/kesalahan serta memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahan.”

“Sebab itu maka wanta yang shalih, adalah yang taat kepada Allah, memelihara diri ketika suaminya tidak di tempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka.”

Disini digambarkan bahwa wanita yang shalihah ialah mereka yang taat kepada Allah dan juga kepada suaminya, setelah mereka bermusyawarah bersama dan atau bila perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah serta tidak mencabut hak-hak pribadi istrinya. Di samping itu juga memelihara diri, hak-hak suami dan rumah tangga ketika suami tidak ditempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Pemeliharaan Allah terhadap para istri antara lain dalam bentuk memelihara cinta suami ketika suami tidak ditempat, dengan cinta yang lahir dari kepercayaan suami terhadap istrinya.

Keberhasilan perkawinan tidak tercapai jika kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah/penggembala, dan dalam kedudukannya seperti itu, ia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya (istri). Istripun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain, perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi. Demikian kurang lebih yang ditulis oleh al-Imam Fakhruddin ar- Razi.

Karena tidak semua istri taat kepada Allah – demikian juga suaminya-. Dan kalau titik temu tidak diperoleh dalam musyawarah, dan kepemimpinan suami yang harus ditaati dihadapi oleh istri yang nusyuz , keangkuhan, dan pembangkangan. Maka ayat ini memberi tuntunan kepada suami bagaimana seharusnya bersikap terhadap istri yang membangkang. Jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut dan jangan sampai juga sikap suami berlebihan sehingga mengakibatkan runtuhnya kehidupan rumah tangga.

Ada tiga langkah yang dianjurkan untuk ditempuh suami demi mempertahankan mahligai perkawinan sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut:

“ Wanita –wanita yang kamu khawatirkan nusyu>z nya, maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat pembaringan, dan pukullah mereka. Lalu jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Kiat langkah tersebut adalah nasihat, menghindari hubungan intim, dan memukul. Ketiganya dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan huruf wawu, yang biasa diterjemahkan dengan dan. Huruf itu tidak mengandung makna perurutan, sehingga dari segi tinjauan kebahasaan dapat saja yang kedua dilakukan sebelum yang pertama.

Namun demikian, penyususnan langkah-langkah itu sebagaimana bunyi teks memberi kesan bahwa itulah perurutan langkah yang sebaiknya ditempuh.

Lafadz yang diterjemahkan dengan tinggalkanlah mereka adalah meninggalkan istri, didorong oleh rasa tidak senang pada prilakunya. Ini dipahami dari kata hajar, yang artinya meninggalkan tempat, atau keadaan yang tidak baik, atau tidak disenangi menuju ketempat dan atau keadaan yang lebih baik. Melalui perintah ini, suami dituntut untuk melakukan dua hal pula, pertama, menunjukkan ketidak senangan atas sesuatu yang buruk dan telah dilakukan istrinya, dalam hal ini adalah nusyuz. Dan kedua, suami harus berusaha untuk meraih dibalik pelaksanaan perintah itu suatu yang baik atau lebih baik dari keadaan semula.

Lafadz yang diterjemahkan dengan di tempat pembaringan ini, di samping menunjukkan bahwa suami tidak meninggalkan mereka di rumah, bahkan juga tidak di kamar, tetapi di tempat tidur. Ini karena ayat tersebut menggunakan kata “di tempat tidur”, bukan kata
“yang berarti dari tempat tidur”, “yang berarti meninggalkan dari tempat tidur”.

Jika demikian hendaknya suami jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar dimana suami dan istri biasa tidur. Kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda permasalahan dapat memperlebar jurang perselisihan. Keberadaan di kamar membatasi perselisihan itu, dan karena keberadaan dalam kamar adalah untuk menunjukkan ketidak senangan atas kelakuan istrinya, maka ditinggalkan adalah hal yang menunjukkan ketidak senangan suami itu. Kalau seorang suami berada di kamar dan tidur bersama, namun tidak ada cumbu, tidak ada kata manis, tidak ada hubungan intim, maka ketika itulah menunjukkan bahwa istri tidak berkenan di hati suami. Nah, ketika itulah diharapkan istri dapat menyadari kesalahnnya. Ketika itulah diharapkan keadaan yang lebih baik yang merupakan tujuan hajar dapat dicapai.

Lafadz yang diterjemahkan dan pukullah mereka ini terambil dari kata dharaba yang mempunyai banyak arti. Bahasa, ketika menggunakan dalam arti memukul, tidak selalu dipahami dalam arti menyakiti atau melakukan suatu tindakan keras dan kasar.

Orang yang berjalan kaki atau musafir oleh bahasa al-Qur’an disebut “memukul di bumi”. Karena itu perintah di atas dipahami oleh ulama bahwa yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan. Perlu dicatat ini adalah langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga (suami) dalam upaya memelihara kehidupan rumah tangganya.

Jika ketiga langkah ini belum juga berhasil, maka langkah berikutnya adalah apa yang diperintahkan oleh ayat berikutnya.

Tafsir Surat al-Nisa’ ayat 35


“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan juru damai dari keluarga perempuan.”

Maksudnya jika kamu wahai orang-orang bijak dan bertakwa, khususnya penguasa, khawatir akan terjadi persengketaan antar keduanya, yakni menjadikan suami dan istri masing-masing mengambil arah yang berbeda dengn arah pasangannya sehingga terjadi perceraian, maka utuslah kepada keduanya seorang hakam yakni juru damai yang bijaksana untuk menyelesaikan kemelut dengan baik. Juru damai ( hakam ) itu sebaiknya dari keuarga laki-laki yakni keluarga suami, dan hakam dari keluarga perempuan, yakni keluarga istri. Masing-masing mendengar keluhan dan harapan anggota keluarganya.

Jadi kesimpulan dari ayat tersebut yakni, jika terjadi perselisihan antara suami dan istri yang dikhawatirkan akan berujung perceraian, maka utuslah seorang juru damai ( hakam ) yakni juru damai dari keluarga suami dan hakam dari keluarga istri, dengan tujuan untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi dengan baik.

“.Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufik pada suami istri itu. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”

maksudnya adalah jika keduanya yakni suami dan istri atau kedua hakam itu ingin mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberi bimbingan kepada keduanya yakni suami istri itu. Ini karena ketulusan niat untuk mempertahankan kehidupan rumah tangga merupakan modal utama menyelesaikan semua problem keluarga. Sesungguhnya Allah sejak dahulu hingga kini dan akan datang Maha Mengetahui segala sesuatu, lagi Maha Mengenal sekecil apapun termasuk detak-detik kalbu suami istri dan para hakam tersebut.

Sumber : M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an , (Jakarta:Lentera Hati, 2006), Volume 15, cet. VII.