Asbab an-Nuzul an Nisa 34-36
Banyak surat dan ayat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa dakwah nabi dan ayat-ayat tersebut diturunkan karena adanya kebutuhan yang mendesak akan hukum-hukum Islam, diantaranya adalah surat an-Nisa’ ayat 34, 35 dan 36.
Asbab an-Nuzul ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut :
Pada suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah SAW untuk mengadukan masalah, yaitu dia ditampar mukanya oleh sang suami. Rasulullah SAW bersabda : “ Suamimu itu harus diqishash (dibalas)”. Sehubungan dengan sabda Rasulullah SAW itu Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 yang dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa bagi orang laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengar keterangan ayat ini wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishash terhadap suaminya yang telah menampar mukanya. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Hasan)
Pada suatu waktu datanglah seorang wanita yang mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW. Dia pada suatu ketika ditampar mukanya oleh suaminya, yang suaminya itu adalah salah seorang sahabat Anshar. Maksud kedatangan wanita itu kepada Rasulullah SAW untuk menuntut balas terhadap perbuatan suaminya itu. Rasulullah SAW ketika itu mengabulkan permohonannya, sebab belum ada ketegasan hukum dari Allah SWT. Sehubungan dengan peristiwa itu Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 sebagai ketegasan tentang hak kewajiban suami untuk mendidik istrinya yang membangkang.
Selain itu turun pula ayat ke-114 dari surat Thaha yang berbunyi :
Artinya : dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu.
Maksudnya: Nabi Muhammad SAW., dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad SAW., menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu. Ayat ini dipahamai sebagai teguran terhadap Rasulullah SAW. Beliau dilarang memutuskan sesuatu perkara sebelum ayat al-Qur’an diturunkan, sebagaimana yang beliau memberikan hukum qishash terhadap suami atas gugatan istri tersebut. (HR. Ibnu Jarir dari beberapa jalan yang datang dari Hasan. Demikian juga bersumber dari Ibnu Juraij dan Suddi).
Pada suatu waktu datanglah seorang lelaki dari kalangan sahabat Anshar menghadap Rasulullah SAW bersama istri-istrinya. Istrinya mengadu kepada Rasulullah SAW :
“ Wahai Rasulullah, suamiku ini telah memukul mukaku sehingga terdapat bekas luka” .
Rasulullah SAW bersabda :
“Suamimu tidak berhak untuk melakukan demikian. Dia harus diqishash”.
Sehubungan dengan keputusan Rasulullah SAW tersebut Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 sebagai ketegasan hukum, bahwa seorang suami berhak untuk mendidik istrinya. Dengan demikian hukum qishash yang dijatuhkan Rasulullah SAW itu gugur, jadi tidak dilaksanakan. (HR. Ibnu Mardawaih dan Ali bin Abi Thalib).
Tafsir An Nisa’ 34-36
Sebelum masuk pada tahap penjelasan tentang penafsiran surah dan ayat perspektif para Mufassir, maka penulis menyajikan arti dari beberapa kosakata yang dianggap perlu dan penting agar penulis dan pembaca mendapatkan pemahaman yang baik terhadap makna ayat yang dikaji. Di antaranya adalah sebagai berikut:
-
Qanitat
Secara etimologi, Qanitat merupakan bentuk plural dari qanitah, shighatnya isim fai’il, berasal dari fi’il ; qanata-yaqnutu, berarti merendahkan diri kepada Allah, ta’at dan patuh, tunduk dan diam (tidak bicara). Qanut berarti wanita yang setia kepada suaminya.
-
Nusyuz
Secara etimologi, Nusyuz merupakan masdar dari fi’il; nasyaza-yansyuzu berarti durhaka, menentang dan membenci, bertindak kasar. Nusyuzu az-Zaujah berarti kedurhakaan, penentangan istri terhadap suami. an-Nusyuz artinya tinggi hati; wanita yang nusyuz ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya.
-
Syiqaq
Secara etimologi, syiqaq artinya perpecahan, perselisihan. Menurut Hamka, arti asal dari syiqaq ialah retak menghadang pecah. Suami istri belum bercerai. Dan bila orang lain tidak ikut campur dalam hal ini, maka akan berlarut-larut.
Tafsir Surah An Nisa’ 34
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita). “
Menurut Hamka, di sinilah mulai dijelaskan apakah sebab yang terpenting kenapa dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, dan mengapa laki-laki yang membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli isterinya dengan baik.
Mengapa laki-laki diizinkan beristeri sampai empat asal sanggup adil, sedang perempuan tidak?
Ayat inilah yang memberikan jawabannya. Sebab laki-laki itulah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukannya, meskipun beristeri sampai empat adalah satu kesulitan, tetapi umumnya laki-laki lebih dapat mengendalikan empat isteri, daripada misalnya seorang isteri bersuami empat orang. Jelas dia tidak akan dapat mengendalikan keempat laki-laki itu. Bahkan perempuan itulah yang akan sengsara jika misalnya dia diizinkan bersuami empat.
“Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat.”
Yaitu taat kepada Allah dan menuruti peraturan sebagai perempuan dan sebagai isteri, suami dan pendidikan anak-anak. Yang memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). “ artinya bahwasanya tiap-tiap persuami-isterian, pasti ada rahasia kamar yang mesti ditutup terus, dan menutup rahasia rumah tangga yang demikian termasuklah dalam rangka sopan santun seorang isteri. Sebab itu, maka dikatakan dengan cara yang dipeliharakan Allah. Sehingga telah menjadi sopan santun dari seluruh manusia, walaupun yang belum disinggung oleh Allah menjadi sopan santun dari seluruh manusia, walaupun yang belum disinggung oleh agama, merahasiakan alat kelamin, sebab ilham dari Allah. Demikian pula hendaknya perempuan memelihara rahasia itu. Entah apa sendagurau dengan suami, jangan diberitahu orang lain.
Menurutnya, oleh ulama’-ulama’ diperluas lagi, bukan saja menyimpan rahasia hubungan suami-isteri di dalam bilik peraduan, bahkan juga kekayaan dan kesanggupan suami dalam memberikan nafkah harta-benda, hendaklah dirahasiakan juga. Jangan dikeluhkan kepada orang lain jika terdapat kekurangan. Maka terhadap perempuan atau isteri yang taat demikian itu berjalanlah pimpinan si laki-laki dengan lancar dan berbahagialah mereka. tetapi di samping yang baik tentu ada juga yang buruk. Yaitu isteri yang membuat pusing suami.
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya”.
Nusyuz artinya tidak patuh dan tidak taat, baik kepada Allah ataupun suami sebagai pimpinan mereka, maka terhadap isteri yang seperti ini, maka tempuhlah tiga cara :
-
“ Maka nasehatilah mereka .” beri mereka petunjuk dan pengajaran, ajarilah mereka dengan baik, sadarkan mereka akan kesalahannya. Suami yang baik akan dapat menentukan dan memilih kata-kata dan sikap yang layak untuk mengajari isteri. Kadang-kadang ada isteri yang tinggi hati, sombong. Karena hidupnya biasanya sedang dengan orang tuanya lalu dipandang enteng suaminya. Diberi hadiah sebuah barang misalnya, dipandang enteng saja hadiah itu, dan dikatakannya bahwa pemberian ayah-ibunya dahulu lebih mahal dari itu. Sampai pernah dia berkata : “ Aku tidak biasa memakai kain sekasar itu.” Maka suami hendaklah mengajarinya dan menyadarkannya, bahwasanya setelah bersuami, halus ataupun kasar barang pemberian suami, terimalah dengan baik. Karena apabila seseorang telah bersuami, ketika bercerai dengan suaminya, dan dia pulang pulang kembali ke dalam tanggung jawab ibu-bapaknya, tidak lagi akan seperti swaktu dia masih gadis. Suami juga bisa memberikan pengajaran-pengajaran lain kepada isterinya itu dengan tanpa rasa bosan. Karena mendirikan dan menegakkan ketentraman sebuah rumah tangga kadang-kadang meminta waktu berpuluh tahun. Si suaminya hendaklah menunjukkan sikap seorang pemimpin yang tegas dan bijaksana. Tetapi ada lagi cara yang kedua, yang bagi sebagian perempuan lebih pahit :
-
“ Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka ” Ada zaman-zamannya bagi seorang wanita adalah suatu hukuman yang menghibakan hati, kalau suami menunjukkan marah dengan memisah tidur. Memang kalau pergaulan telah berpuluh-puluh tahun, hukuman pisah tempat tidur tidak demikian besar artinya, sebab sudah biasa juga suami-isteri yang telah banyak anak dan bercucu berpisah tempat tidur. Tetapi di waktu masih muda, memisah tempat tidur karena menunjukkan hati tidak senang adalah termasuk pukulan yang agak keras bagi seorang isteri. Dan perempuan terkadang merasa dirinya sangat cantik, sehingga perangainya dibuat-buat sedemikian rupa untuk menguji atau menekan perasaan suaminya.
Terkadang pula kalau laki-laki tidak sadar akan tugasnya sebagai pemimpin, ia datang berlutut kepada istrinya karena ingin bercumbu rayu dengannya. Tetapi laki-laki yang tahu diri akan berbuat sebaliknya. Melihat isti yang telah mulai nusyuz itu, dia langsung pindah kamar lain untuk tidur sendiri. Dan seringkali kesombongan istri hilang karena pengajaran yang demikian ini. Dalam hati istri bertanya apa benar salahku sehingga suamiku memisah tempat tidur.
Hamka mengutip perkataan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini bahwa berpisah tempat tidur maksudnya adalah istri jangan disetubuhi, jangan tidur di dekatnya atau belakangi dia dalam satu tempat tidur. Dalam kesempatan lain dia juga berkata bahwa istri jangan diajak berbicara dan jangan pula ditegur. Akan tetapi, ada pula perempuan yang harus dihadapi dengan cara yang lebih keras. Maka dipakailah jalan yang ketiga, yaitu:
-
“ Dan pukullah mereka ” Tentu saja cara ketiga ini hanya dilakukan kepada wanita yang sudah memang patut dipukul. Ada kaum terpelajar menyanggah keras adanya kebolehan suami memukul seperti ini. Dia agaknya tidak sadar bahwa memang ada wanita yang hanya dengan pukulan, ia dapat memperbaiki diri untuk tidak lagi mendurhakai suaminya, menghina, memaki, rebut atau membuat malu dengan tetangga.
Di dalam kitab-kitab Fiqih, para Ulama’ memberi petunjuk bagaimana cara memukul itu, yaitu supaya jangan memukul mukanya, tidak pula pada bagiannya yang akan merusak, seperti halnya memukul anak. Lanjut Hamka, kebolehan memukul ini oleh seorang suami sebagaimana dijelaskan oleh beberapa hadits didapati kesimpulan bahwa sikap memukul hanya dilakukan jikalau sudah sangat terpaksa. Seperti halnya kebolehan yang diberikan kepada suami bila beristri sampai empat dengan syarat adil, dan di ujung ayatnya dianjurkan lebih baik beristri satu orang saja agar aman dari tanggung jawab yang berat.
Dari beberapa riwayat, ternyata benar bahwa Nabi SAW sendiri secara pribadi tidaklah menyukai memukul istri, bahkan istri disuruh membalas. Hal itu bisa dimaklumi, karena beliau sendiri beristri sampai Sembilan orang, tidak lah pernah memukul istri-istrinya meskipun dengan cara menjentik salah seorang dari mereka. meskipun demikian, menurut Hamka, peraturan Allah ialah yang baik.
Ada kebolehan memukul jika sudah sangat diperlukan, tetapi orang baik-baik dan berbudi tinggi akan berupaya agar memukul dapat dielakkan dan dihindari. Dan tidaklah benar sama sekali bila memukul itu sama sekali tidak diperbolehkan, karena laki-laki sudah diakui Allah sebagai seorang pemimpin.
Sikap Nabi sendiri, beliau kurang senang jika ada orang mempergunakan kesempatan memukul itu. Dan beliau tidak pernah memukul istri-istrinya. Maka pihak perempuan wajib pula berusaha dengan budi bahasanya, agar jika suaminya mengajarinya jangan sampai dengan memukul. Hamka mengutip penjelasan ar-Razi dalam tafsirnya, bahwa melakukan pengajaran terhadap istri tersebut hendaklah dengan cara bertingkat. Mulanya diajari dengan baik-baik, tingkat kedua barulah memisah tidur, dan tingkat ketiga barulah memukul. Tidak boleh dimulai dengan memukul terlebih dahulu.
Kemudian datanglah lanjutan ayat: “ tetapi jika mereka taat kepadamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan buat menyusahkan mereka.” menurut Hamka, perempuan yang taat disini bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada tuannya. Taat disini maksudnya perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang menjaga rumah tangga dengan baik dan tahu akan tenggang-menenggang, dan juga tahu akan harga dirinya. Kepada istri yang kondisinya semacam itu, janganlah mencari-cari masalah dan perkara. Berlakulah hormat-menghormati dalam rumah tangga. Karena kalau istri sudah seperti ini baiknya, lalu laki-laki mencari-cari masalah saja, membuat gaduh, jangan disesalkan bila dia melawan. Janganlah suatu kesalahan yang terjadi ditimpakan kepada istri saja. Karena meskipun dia perempuan, dia juga manusia yang patut dihormati. Keadaan dirimu sendiri pun sebagai lelaki akan canggung jikalau dia tidak ada.
Lanjut Hamka dengan mengutip perkataan Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memberikan nasihat kepada seorang suami agar bersabar menanggung dan menghadapi perangai istrinya. Sebab tiap-tiap perempuan, ada saja segi kelemahannya layaknya manusia yang lain. Bahkan engkau laki-laki pun mempunyai sisi kelemahan, yang mana kesabaran istrimu lah yang akan menjadikan rumah tanggamu kekal.
Diakhir ayat Allah memperingatkan : “ Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar.” Ujung ayat menyebutkan nama Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar ini adalah pengobat dan kunci daripada hak yang telah diberikan Allah di atas tadi, yaitu bahwa laki-laki adalah menjadi pemimpin bagi perempuan. Mentang-mentang kamu telah diberikan Allah kelebihan jadi pemimpin, jangan kamu berlaku meninggikan diri, sombong dan membesarkan diri terhadap istrimu, berbuat sewenang-wenang dan menyalahgunakan kekuasaan. Kamu mesti ingat, kalau kamu telah berlaku demikian terhadap istrimu, maka Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar akan tetap memberikan perlindungan-Nya kepada makhluk yang lemah itu. Dan setiap orang yang zalim akan mendapatkan balasannya. Hendaklah seorang yang beriman mengingat benar-benar bahwa jenis kaum perempuan yang lemah ini adalah salah satu dari isi dari khutbah Nabi SAW yang terakhir di waktu Haji Wada’. Ketika itu beliau berkata :
Takutlah kalian semua kepada Allah mengenai perempuan, sesungguhnya dia adalah teman-hidup sejati di sisimu.
Dan perempuan pula merupakan pesan terakhir ketika beliau akan wafat. Ada dua pesan beliau itu yang sangat diperingatkannya. Pertama shalat lima waktu di awal waktunya, kedua perempuan. Beliau takut, bahwa keduanya ini yang akan terlebih dahulu kamu sia-siakan.
Tafsir Surah an-Nisa’ 35
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.
Dalam sebuah rumah tangga kadangkala tidak bisa dielakkan terjadi sebuah perselisihan yang kerapkali menyebabkan pergaulan dan hubungan suami-istri menjadi retak. Adakalnya yang menimbulkan perselisihan itu salah satu dari keduanya, atau kedua-duanya sekaligus.
Sebagai pimpinan, suami terkadang berlaku dzalim dan istri terkadang durhaka kepada pimpinan (Nusyuz). Dan apabila ditanya satu demi satu, satu pihak menyalahkan pihak yang lain. Suami mengatakan istrinya durhaka, sehingga dia berhak menghukum. Dan istri mengadu dengan berkata bahwa suaminya sudah tidak peduli lagi kepadanya, tidak memberikan nafkah lahir-batin dan seterusnya. Sehingga perdamaian sudah dianggap tidak ada lagi. Syiqaq tumbuh.
Syiqaq artinya retak hendak pecah. Ketika kondisi hubungan rumah tangga seperti ini, menurut Hamka, datanglah perintah supaya kamu, yaitu keluarga kedua belah pihak, masyarakat sekitarnya, sekampung halaman, atau pemerintah, bersegera mencampuri hal tersebut. dengan cara mengutus seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga si perempuan.
Hakam artinya sama dengan hakim. Yaitu penyelidik perkara yang sebenarnya, sehingga mereka dapat mengambil kesimpulan. Lanjut Hamka, maksudnya adalah kedua hakam itu diutus oleh kedua keluarga, atau masyarakat. Hakam si laki-laki menyelidiki pendirian si laki-laki dengan seksama, hakam si perempuan menyelidiki pendirian si perempuan dengan seksama pula. Setelah informasi diketahui dengan lengkap dari kedua belah pihak, mereka bertemu dan membahas permasalahan tersebut dengan kepala dingin.
“Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Menurut Hamka, Maksudnya adalah asal kedua-duanya benar-benar mau damai (ishlah), nicaya Allah akan memberikan pertolongan ( taufiq ), yakni akan dapat persetujuan faham di antara kedua pihak. Dalam proses islah, menurutnya, dilakukan dengan beberapa tujuan: mendamaikan mereka kembali sehingga perselisihan hilang dan bisa hidup dengan rukun, dibahas perkara yang disukai dan yang tidak disukai sehingga keberatan kedua belah pihak diketahui, atau didapatkan hal yang lebih damai dengan cara bercerai karena tidak ada kecocokan lagi dan bila dilanjutkan akan membawa bahaya yang lebih besar. Semua itu akan dikatakan dengan terus terang meskipun kesimpulannya bahwa ishlah menyatakan lebih baik bercerai.
Hamka mengutip perkataan Ibnu Abbas, ia berkata : “Allah menyuruh diutusnya seorang laki-laki yang shaleh dari keluarga si laki-laki dan seorang laki-laki yang shaleh dari keluarga si perempuan. Keduanya menyelidiki siapa yang bersalah. Kalau si laki-laki yang salah, maka isterinya dijauhkan dari dia dan nafkahnya wajib terus dibayarkan. Kalau isteri yang salah, dia dipaksa pulang ke rumah lakinya dan tidak wajib diberi nafkah. Tetapi kalau kedua Hakam berpendapat bahwa mereka diceraikan saja atau diserumahkan kembali, sedang yang seorang suka dan yang lain tidak suka, kemudian salah satunya meninggal dunia, maka yang suka dapat menerima warisan dari yang meninggal dunia, dan yang tidak suka, tidaklah menerima waris”.
Referensi :
- Tafsir al-Azhar
- Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah; Seputar Ibadah, Muamalah Jin, dan Manusia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000).
- Alamah Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Quran ( Bandung: Mizan, 1995).
- A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).
- Qamaruddin Shaleh Dkk, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al- Qur ‟ an ( Bandung: CV. Diponegoro, 1990).
- Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Kathir. (Jakarta: Gema Insani, 1999),