Apa Makna Yang Terkandung Didalam Kalimat Fi Sabilillah?

Fi sabilillah

Fi sabilillah , ialah jalan yang menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu, maupun amal, yang meliputi semua bentuk kemaslahatan bagi orang banyak.

Apa makna yang terkandung didalam kalimat Fi Sabilillah ?

Fi sabilillah mempunyai kata dasar sabil, dimana makna aslinya adalah “ at - Thariq” yang artinya “jalan,” ( jalan yang dilewati), atau jalan yang diibadahi, digunakan dalam kebaikan atau keburukan. Bila dikaitkan kepada Allah maka diartikan sabilillah. Sedangkan menurut keterangan Ibnu Atsir dalam Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa fi sabilillah itu terbagi kepada dua pengertian, yang pertama yaitu: mudhayyiqin (menyempitkan makna) atau disebut secara mutlak, biasanya digunakan untuk arti jihad (berperang melawan orang kafir) dan yang ke dua yaitu muwassain (meluaskan makna), digunakan untuk arti semua amal ikhlas yang digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah Swt.

Di antara para ulama baik ulama klasik ataupun kontemporer ada yang memperluas makna fi sabilillah . Mereka tidak mempersempit makna fi sabilillah hanya untuk jihad dan hal yang berhubungan dengannya. Mereka menafsirkan makna fi sabilillah mencakup semua maslahat dan taqarrub, perbuatan baik dan kebajikan sesuai dengan makna fi sabilillah dan konteksnya yang umum.

Ayat-ayat fi sabilillah yang ada dalam al-Qur’an memiliki kriteria untuk tegaknya agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya, dengan jalan yang telah ditentukan-Nya.

Hal ini dapat dilihat dimana ayat-ayat dalam al-Qur’an kata fi sabilillah datang setelah kata kerja infak ( infakkanlah hartamu sekalian di jalan Allah) atau kata kerja jihad ( dan berjihadlah kamu sekalian di jalan Allah) atau setelah kata peperangan (mereka berperang di jalan Allah ) atau setelah kata hijrah ( dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah) atau setelah kata kerja kelaparan atau kata kerja berjalan atau yang serupa dengannya.

Kata fi sabilillah pada surat al-Baqarah ayat 195 di iringi dengan kata infak.

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Pada umumnya para ulama tafsir memberikan pemahaman pada ayat ini bahwa makna kata infak yang mengiringi kata fi sabilillah adalah untuk menolong agama Islam, menegakkkan kalimat-Nya, dan untuk mengalahkan musuh-musuh-Nya yang memerangi. Bahkan Buya Hamka menekankan bahwa dalam menghadapi peperangan fi sabilillah, maka perbelanjaan harus dilipatgandakan dari pada waktu damai.

Usaha umat Islam untuk membela Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang meresahkan orang-orang munafik, mereka akan selalu menghasut sebagian muslim agar tidak menafkahkan hartanya, karena mereka tahu urgensi harta yang dinafkahkan orang-orang muslim dapat menguatkan dakwah Rasul. Maka dengan demikian, menurut Ibu Katsir menolak berperang dan berinfak bagi kepentingan perang termasuk kebinasaan. Penolakan tersebut sebagai perkara yang dapat memperkuat musuh dan melemahkan kaum muslim.

Dengan “jalan” menggunakan harta itulah salah satu jalan berjihad di jalan Allah. Di mana Allah secara jelas menunjukkan ciri-ciri orang-orang yang harus mendapatkan perhatian istimewa dan jangan sampai terlantar karena terikat di jalan Allah Swt. Sebab, mereka mempunyai tugas yang sangat berat, yaitu memelihara dan menghafal ayat-ayat yang turun, sebagimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 273:

“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi…….

Ayat ini menunjukkan bahwa berjihad itu dapat dengan harta kekayaan, dan dapat pula dengan jiwa. Barang siapa yang mampu melakukan keduanya, maka wajib melakukan keduanya. Tapi jika hanya mampu melakukan satu diantara keduanya, maka yang mampu itulah yang wajib dilakukan.

Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ibnu Katsir berkenaan dengan ayat di atas bahwa orang-orang mujahidin yang telah mengabdikan diri kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, mereka tidak memiliki sarana untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Karena mereka khusus untuk berjihad, sehingga mereka tidak dapat berusaha atau menjadi musafir untuk berdagang dan mencari penghidupan. Maka dari itu, menurut al-Maraghi bahwa mereka wajib diberi biaya. Termasuk berjuang di jalan Allah pada zaman sekarang ialah jika seseorang menyibukkan diri melaksanakan tugas-tugas bagi kepentingan masyarakat, seperti pertahanan dan menuntut ilmu demi menegakkan agama Allah Swt.

Kedudukan berjihad seperti orang dalam ayat tersebut menjadi lebih penting di dalam meninggikan agama Allah setelah diakui lagi oleh ayat 123 dalam surat at-Taubah. “ Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang)”. Hal ini berkenaan dengan kepergian mempelajari ilmu dan hukum-hukum ad-Din atau panggilan umum untuk berjihad di jalan Allah.

Sayyid Qutuhb, mengatakan dalam kitabnya yakni Tafsir Fi Zhilalil Qur’an bahwa jihad di jalan Allah membutuhkan manusia (pelaku) maka ia juga membutuhkan harta, maka dari itu dalam al-Qur’an banyak seruan berjihad selalu disertai seruan kepada berinfak.

Begitu juga Allah menjelaskan pada surat al-Anfal ayat 60 :

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

Susunan kalimat pada ayat ini jelas menunjukkan bahwa maksud dari fi sabilillah adalah jihad dengan melakukan peperang secara fisik, karena arti infak di sini adalah menginfakkan harta untuk orang-orang yang akan melakukan perang demi menolong Islam, menegakan kalimat-Nya, untuk mengalahkan musuh-musuh-Nya, dan yang menghalang-halangi. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dalam sebuah hadis:

”siapa yang ikut berperang agar kalimah Allah lebih tinggi maka itu adalah fi sabilillah. (HR Mutafaq `Alaih)”.

Makna khusus pada ayat di atas digambarkan dengan jihad dan perang. Di mana para Mufassir memberikan pengertian yang sama, bahwa Allah Swt. memerintahkan selalu siap siaga dan waspada, mempersiapkan diri dengan berbagai perlengkapan untuk berperang dengan orang-orang musyrik sesuai dengan kemampuan, fasilitas, dan kesanggupan yang ada. Karena persiapan seperti ini akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman dan tempat.

Mempersiapkan kekuatan itu merupakan suatu kewajiban yang menyertai kewajiban jihad di jalan Allah, karena persiapan itu membutuhkan biaya dan seluruh sistem bertumpu pada prinsip tolong-menolong. Maka seruan berjihad ini diiringi dengan seruan untuk menginfakkan harta di jalan Allah. Kekuatan yang dipersiapkan dilakukan bukan untuk menindas atau menjajah, tetapi untuk menggetarkan musuh yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Hal tersebut dilakukan supaya orang kafir tidak memandang ringan dan remeh terhadap kaum muslimin serta dengan menakut-nakuti ini bisa mencegahnya dari memusuhi kita.

Perlu diingat sebagaimana disebutkan oleh M. Qurais Shihab dalam tafsirnya al-Misbah bahwa hal ini bukan berarti teror dan teroris sebagaimana yang dituduhkan sekarang kepada umat muslim. Adapun Islam melarang kita memusuhinya tanpa alasan yang jelas, akan tetapi menjadi kewajiban kaum muslim jika dihina dan diremehkan agamanya untuk membela dan mempertahankan agama meskipun mengorbankan jiwa dan raga.

Peperangan tidak disebut sesuai dengan syariat kecuali jika dilakukan di jalan Allah dan dilakukan oleh orang-orang yang beriman, sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 76 :

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.”

Jika peperangan tidak memiliki tujuan dan motif tersebut, ia tidak dianggap sebagi jihad Islam, karena terdapat juga jalan lain yang merupakan lawan dari jalan Allah yakni jalan thagut.

Para Mufassir memberikan pemahaman yang seragam berkenaan dengan ayat di atas bahwa perang fi sabilillah adalah perang karena iman dan karena taat kepada Allah demi meninggikan agama Allah. Sedangkan jalan thagut adalah jalan yang diserukan oleh iblis dan bala tentaranya; jalan yang menyampaikan pada siksa neraka dan kebencian Allah, dan peperangan yang mereka lakukan mengikut syaitan berdasar kepada hawa nafsu angkara murka.

Dengan demikian, jihad adalah benteng dan pilar pertahanan umat. Dengan jihad inilah lahir para pahlawan Islam, pasukan-pasukan tangguh yang mengobarkan jiwa dan harta mereka untuk kepentingan agama Islam. Karena Jihad di jalan Allah adalah sarana taqarrub yang paling utama bagi seorang hamba kepada Tuhannya. Dengan tujuan menegakkan agama Allah Swt. yang menjadi ukuran yang memisahkan antara jihad atau perang Islam dengan perang thagut.

Dalam al-Qur’an Allah menerangkan bahwa orang yang beriman kepada-Nya dan hari akhir dan segala bentuk jihad, lebih utama daripada seluruh amalan haji dan mengurus Mesjid Haram. Mengenai hal ini Allah berfirman dalam surat at - Taubah ayat 19:

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjid Haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.

Jihad di jalan Allah adalah suatu ibadah yang mendatangkan kemaslahatan bagi yang lain, sedangkan manfaat memberikan minum kepada jamaah haji dan menjaga Mesjid Haram terbatas hanya bagi pelakunya. Sedangkan manfaat jihad ini adalah untuk menjaga kehormatan umat dan kelangsungan dakwah Islam. Karena apabila umat hancur, binasalah semua muslim di dunia, serta lenyaplah haji dan hal-hal lainnya dari ibadah serta akan hancur juga bangunan-bangunan agama. Semua itu tidak akan tegak dan berjalan tanpa keberadaan umat.

Meskipun memberi minum kepada orang-orang yang berhaji dan menjaga Mesjid Haram adalah dua pekerjaan yang terpuji, akan tetapi pelakunya tidak sama dengan orang yang beriman dan berjihad dalam ketinggian martabatnya. Maka dari itu tidak patut kita menyamakan kedudukannya.

Ibnu Katsir memaparkan dalam kitabnya bahwa meramaikan mesjid dan memberi minum orang haji, apabila hal ini dilakukan oleh orang-orang Musyrik maka hal tersebut tidak berguna di sisi Allah. Akan tetapi, menjadikan naik dan tinggi martabatnya kalau timbul dari iman kepada Allah dan hari akhir. Dan kalau datang perintah berjihad fi sabilillah , dia bersedia meninggalkan tugas yang kecil itu, jika dibandingkan dengan besarnya bahaya musuh.

Allah Swt. menjadikan jihad seperti ini sebagai salah satu bukti keimanan yang nyata yang merupakan ciri mukmin sejati, hal ini sebagaimana jelaskan pada surat al-Hujarat ayat 15 :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka itulah orang-orang yang benar.”

Allah Swt. mengingkari kaum yang mengaku beriman, tapi tidak melakukan pengorbanan untuk berjihad, seperti yang dilakuakan orang-orang Badui. Pada ayat di atas para Mufassir memberikan pengertian bahwa orang- orang yang beriman dengan iman yang sebenarnya adalah orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan tidak goyah, bahkan mereka mantap pada suatu sikap dan mau mengorbankan jiwa dan harta benda mereka demi ketaatan pada Allah dan untuk meninggikan agama Allah serta hanya mengharapkan ridha-Nya.

Dalam hal ini Islam memberikan satu kesempatan bagi siapa saja yang tidak memungkinkan baginya untuk pergi berjihad dengan jiwanya, baik karena alasan kesehatan, sosial, maupun mental. Maka ia bisa berjihad dengan hartanya. Dengan cara seperti itu ia seolah-olah telah ikut terjun ke medan perang. Dalam sebuah hadis sahih disebutkan,

“Barang siapa menyiapkan seorang pejuang di jalan Allah, berarti ia telah ikut berperang”.(HR. al- Bukhari dan Muslim dari Zaid Ibnu Khalid r.a)

Referensi :

  • Mahmud Syaltut, Tafsi al-Qur’anul Karim, ahli bahasa: Herry Noer Ali, Tafsir al-Qur’anul Karim pendekatan Syaltut dalam Menggali Esensi al-Qur’an, ( Bandung: CV Diponogoro, 1990).
  • Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2004).