Apa makna yang terkandung di dalam Surat Al A'laa?

Surah Al-A’la adalah surat ke 87 dalam Al Qur’an. Surat ini tergolong surat makiyyah yang terdiri atas 19 ayat. Dinamakan Al A’laa yang berarti Yang paling tinggi diambil dari perkataan Al A’laa yang terdapat pada ayat pertama surat ini.

Surat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, dan diturunkan sesudah surat At Takwiir. Nama Al A´laa diambil dari kata Al A´laa yang terdapat pada ayat pertama, berarti Yang Paling Tinggi.

Muslim meriwayatkan dalam kitab Al Jumu’ah, dan diriwayatkan pula oleh Ashhaabus Sunan, dari Nu’man ibnu Basyir bahwa Rasulullah s.a.w. pada shalat dua hari Raya (Fitri dan Adha) dan shalat Jum’at membaca surat Al A´laa pada rakaat pertama, dan surat Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua.

Pokok-pokok isinya :
Perintah Allah untuk bertasbih dengan menyebut nama-Nya. Nabi Muhammad s.a.w. sekali-kali tidak lupa pada ayat-ayat yang dibacakan kepadanya. Jalan-jalan yang menjadikan orang sukses hidup dunia dan akhirat. Allah menciptakan, menyempurnakan ciptaan-Nya, menentukan kadar-kadar, memberi petunjuk dan melengkapi keperluan- keperluannya sehingga tercapai tujuannya.

Surat Al A´laa mengemukakan sifat-sifat Allah s.w.t dan salah satu sifat Nabi Muhammad s.a.w. dan orang-orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.

Pada surat Al A´laa diterangkan secara umum tentang orang-orang yang beriman, orang yang kafir, syurga dan neraka.

Referensi :

Ucapkanlah kesucian atas nama Tuhan engkau Yang Maha Tinggi. (ayat 1). Ucapan kesucian bagi nama Allah, Tuhan sarwa sekalian alam, itulah yang disebut tasbih. Dia diungkapkan di dalam salah satu zikir, yaitu Subhanallah!

Langit dan bumi pun mengucapkan kesucian bagi Allah. Dan itu dapat kita rasakan apabila sebagai insan kita tegak dengan sadar ke tengah-tengah alam yang di keliling kita ini. Siapa menjadikan ini semua dan siapa yang mengatur.

Disebutkan di ujung ayat salah satu sifat Tuhan, yaitu al-A`laa. Artinya Yang Maha Tinggi, tinggi sekali, puncak yang di atas sekali dan tidak ada yang di atasnya lagi.

Ucapan tasbih itu adalah pupuk bagi Tauhid yang telah kita tanam dalam jiwa kita. Allah itu suci daripada apa yang dikatakan oleh setengah manusia. Mereka pun memuji Allah tetapi tidak bertasbih kepada Allah. Sebab Allah itu dikatakannya beranak. Ada yang mengatakan Allah itu beranak laki-laki seorang, yaitu anaknya yang tunggal. itulah Isa Almasih anak Maryam dan bertiga dia menjadi Tuhan. Yang seorang lagi ialah Ruhul-Qudus atau Roh Suci. Padahal itu adalah Malaikat Jibril, bukan Tuhan. Bagi mereka Allah itu tidak Maha Tinggi sendiriNya, karena ada yang duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan dia, yaitu Almasih dan Ruhul-Qudus itu.

Dan ada pula yang mengatakan bahwa Allah itu beranak. Tetapi anaknya perempuan belaka. Itulah al-Laata, `Uzza dan Manaata yang besar. Ada pula yang mengatakan bahwa sekalian malaikat itu adalah anak Allah. Dan ada pula yang mengatakan bahwa banyak yang lain yang bersekutu dengan Allah itu. Sebab dia tidak berkuasa, tidak berupaya mengatur alam ini dengan sendiri.

Selalulah kita hendaknya bertasbih, mengucapkan kesucian bagi nama Allah, Yang Maha Tinggi itu. Sampai seketika ayat pertama ini diturunkan, Nabi kita bersabda:

“Jadikanlah dia dalam sujud kamu”

Dan seketika turun ayat 95 dan 96 Surat 56 (al-Waqi’ah), yang berbunyi;

Sesungguhnya ini, adalah dia sebenar-benar yakin. Maka ucapkanlah kesucian atas nama Tuhan" ".engkau Yang Maha Agung

Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.:

“Jadikanlah dia dalam ruku’mu” Demikianlah asal mula bacaan ruku’ dan sujud yang berbunyi demikian; “Amat Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi” (Waktu sujud) dan Yang Maha Agung (di waktu ruku’), lalu ditarnbahi dengan wa bi hamdihi “Dan disertai puji-pujian bagiNya.”

ltu pun adalah pelaksanaan daripada ayat 48 dan 49 dari Surat 52 ath-Thuur;

“Dan ucapkanlah kesucian dengan memuji kepada Tuhan engkau seketika engkau berdiri sembahyang; dan daripada malam, maka ucapkan jualah kesucian untukNya, dan seketika bintang-bintang mulai pudar cahayanya.” (Subuh).

Mengapa maka kita ucapkan kesucian bagi Tuhan kita? Karena Dialah; `Yang telah menciptakan (pangkal ayat 2).

Khalaqa: berarti telah menciptakan daripada tidak ada kepada ada. Dan yang sanggup berbuat demikian hanyalah Allah sahaja. Setinggi-tinggi kekuatan kita makhluk ini hanyalah sehingga Ja’ala, yaitu menukar dari barang yang telah ada kepada bentuk lain. Misalnya kayu di hutan kita jadikan kursi, buat alas kursi kita ambil rotan yang tumbuh di hutan. Namun bahan asli adalah dari Allah sebagai ciptaanNya. Maka segala perbuatan manusia di dalam alam ini tidaklah ada cipta, yang ada hanyalah mempergunakan bahan yang telah ada buat merobah bentuk. Dan merobah bentuk itu pun sangat terbatas sekali. Kita tidak sanggup merobah bentuk darah jadi mani, mani jadi manusia!

Sebab itu di samping Khalaqa, Tuhan Allah pun Ja’ala. Lalu membentuk dengan seimbang." (ujung ayat 2).

Membentuk dengan seimbang inilah satu “arsitectur” dari Allah Yang Maha Tinggi sekali. Itu boleh kita perhatikan kepada padi atau gandum yang tumbuh di sawah. Kalau menurut ilmu ukur, adalah satu hal yang sangat sulit batang padi yang halus itu dapat berdiri dengan megahnya sambil mendukung buah padi yang mulai masak. Di sana pasti terdapat suatu perseimbangan, yang menyebabkan dia tidak rebah. Rebahnya hanya kalau angin sangat keras dan deras.

Maka pada diri manusia pun terlihat perseimbangan itu. Dari kening permulaan tumbuh rambut sampai ke bibir adalah sejengkal, dan sejengkal itu adalah ukuran dari tumit sampai ke pangkal empu jari kaki. Pas dari pinggul sebelah muka sampai ke lutut, panjangnya ialah sehasta. Oleh sebab itu dapat diketahui berapa tinggi seseorang dengan hanya melihat jejak kakinya. Maka badan manusia itu adalah sawwaa; artinya diperseimbangkan oleh Tuhan. Perseimbangan itu akan kita lihat pada alam sekeliling kita, sejak dari mikrokosmos (alam kecil) sampai kepada makrokosmos (alam besar); sejak dari molokul sangat kecil sampai kepada cakrawala yang besar.

Dan yang telah mengatur.’’ (pangkal ayat 3). Kita artikan mengatur kalimat qaddara. Fill mudhari’nya ialah yuqaddiru dan mashdarnya ialah taqdiiran. Dia telah menjadi rukun (tiang) Iman kita yang keenam. Kita wajib percaya bahwa samasekali ini diatur oleh Allah. Mustahil setelah alam Dia jadikan, lalu ditinggalkannya kalau tak teratur.

Selain daripada takdir Allah pada alam semesta, kita pun mempercayai pula takdir Allah pada masing- masing diri peribadi kita. Kita ini hidup tidaklah dapat melepaskan diri daripada rangka takdir itu. Dan ada takdir yang dapat kita kaji, kita analisa dan ada takdir yang tersembunyi dari pengetahuan kita.

Misalnya tidak kita menyangka ketika kita turun dari rumah akan ada bahaya. Lalu kita menyeberangi suatu sungai. Tiba-tiba sedang kita di tengah-tengah sungai itu datang air bah, kita pun hanyut, karena takdir Allah ada air bah. Tetapi kita ditakdirkan sampai di tepi seberang dengan selamat, karena kita pandas berenang dan mengetahui jika air bah jangan menyongsong, tetapi turuti derasnya air dan ansur kemudikan diri ke tepi. Semuanya itu takdir.

'Lalu Dia memberi petunluk" (ujung ayat 3). Maka tidaklah kita dibiarkan berjalan saja di muka ini dengan hanya semata-mata anugerah perseimbangan dan peraturan Ilahi atas alam. Di samping itu diri kita sendiri pun diberi petunjuk. Petunjuk itu diberikan dari dua jurusan. Pertama dari jurusan bakat persediaan dalam diri; itulah akal. Kedua ialah petunjuk yang dikirimkan dengan perantaraan para Nabi dan para Rasul.

'Dan yang telah mengeluarkan rumput-rumput pengembalaan." (ayat 4). Dengan ayat ini diisyaratkan kepada kita bahwa untuk persediaan hidup kita manusia ini, selalulah ada pertalian dengan makhluk lain, yaitu binatang ternak. Terutama di Tanah Arab tempat mula ayat ini diturunkan. Kehidupan Badwi yang berpindah-pindah adalah sambil menghalau untanya, kambing ternaknya, termasuk juga sapi. Yang mereka cari ialah tanah subur yang di sana tumbuh rumput untuk menggembalakan ternak mereka itu. Asal makanan ternak itu subur terjamin, hidup mereka sendiri pun makmur. Segala yang dicita-citakan dapat dicari.

Lalu kemudiannya menjadikannya kering kehitaman.” (ayat 5). Artinya bahwa pergantian musim pun mempengaruhi tumbuh dan suburnya rumput-rumput di tanah pengembalaan itu. Dan kalau rumput di satu tempat telah kering kehitaman, mereka pun akan mencari padang rumput yang lain, dan selalu ada. Sampai mereka pun menetaplah membuat negeri.

Dapatlah disimpulkan bahwasanya ayat 1 adalah anjuran ataupun perintah kepada ummat yang beriman, di bawah pimpinan Rasul s.a.w. supaya selalu mengucapkan puji suci kepada Allah. Bersihkan anggapan kepada Allah daripada kepercayaan yang karut-marut, mempersekutukan Allah dan berkata atas Allah dengan tidak ada ilmu. Sedang 4 ayat selanjutnya adalah membuktikan kekuasaan Allah itu, yang tiada bersekutu yang lain dengan Dia dalam segala perbuatanNya.

Akan Kami jadikan engkau membaca.” (pangkal ayat 6). Artinya diutus Allah Malaikat Jibril, selain dari membawakan wahyu, ditugaskan lagi kepadanya mengajarkan membacanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. “Maka engkau tidaklah akan lupa.” (ujung ayat 6). Artinya, bahwa setelah diajarkan itu lekatlah selalu dalam ingatan beliau, sehingga beliau tidak lupa lagi mana ayat-ayat yang telah turun itu.

Az-Zamakhsyari menulis dalam tafsirnya; “lnilah satu berita gembira dari Allah kepada RasulNya, s.a.w. yang menunjukkan mu’jizat yang tinggi. Datang Jibril membacakan kepadanya, sampai dia ingat betul dan membacanya pula, sedang dia sendiri adalah ummi, tidak pandai menulis dan tidak pandai membaca; dia pun hapal dan tidak lupa lagi.”

Malahan seketika ayat mula-mula turun diakuinya terus-terang bahwa dia tidak pandai membaca.

Kecuali apa yang dikehendaki Allah.” (pangkal ayat 7). Artinya, bahwa dengan kehendak Allah jua, tidaklah mustahil kalau kadang-kadang ada yang terlupa baginya. Dan kelupaan yang kadang-kadang itu, sebab beliau manusia, mesti ada padanya. Yang tidak pernah lupa sama-sekali hanya Allah sahaja. Nabi s.a.w. pun bersabda:

“Tidak lain aku ini hanyalah manusia seperti kamu jua. Aku pun lupa sebagaimana kamu lupa. Maka bilamana aku kelupaan, peringatilah aku.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Disebut di pangkal ayat ini “kecuali apa yang dikehendaki Allah,” untuk menjelaskan bahwa meskipun pada umumnya tidaklah ayat-ayat itu akan terlupa oleh beliau, namun ingatan beliau tidak jugalah sebagai ingatan Allah, Tetapi kalau telah diingatkan yang lupa sedikit itu, beliau ingat kembali semua­ nya dan beliau teruskan lagi membacanya. Dan itu bukanlah satu aib.

Sesungguhnya Dia mengetahui yang nyata dan apa yang tersembunyi.” (ujung ayat 7). Artinya; sesungguhnya hanya Dia saja, Allah, yang serba tahu. Dia tahu barang yang nyata, Dia ingat semuanya, sebab Dia yang empunya, Dia yang menguasai. Dan yang tersembunyi dari penglihatan mata, baik karena terlindung oleh sesuatu, atau tidak akan dapat dilihat buat selama-lamanya oleh kita manusia, meskipun dia barang yang sedekat-dekatnya kepada kita, umpama otak benak kita sendiri, mata dan jantung kita sendiri, atau punggung kita, namun bagi Allah semuanya itu diketahuiNya. Tentu saja Rasul yang mana pun Nabi yang mana pun tidak mencapai martabat Tuhan sebab mereka semuanya adalah Hamba Tuhan, bukan bersekutu dengan Tuhan.

Sungguhpun demikian, pada ayat yang seterusnya, Allah memberikan janji dan jaminan bagi RasulNya;

“Dan akan Kami mudahkan engkau kepada jalan yang mudah.” (ayat 8). Artinya jalan yang akan engkau tempuh ini tidak sukar dan agama ini pun tidaklah sukar. Perintah yang terkandung di dalamnya tidaklah akan berat dipikul oleh ummat manusia, asal mereka percaya; iman. Meskipun akan ada rintangan, namun rintangan itu kelak akan menambah yakinnya engkau akan kebenaran yang engkau bawa itu.

Maka segala perintah yang diperintahkan Tuhan mudah dikerjakan, sebab tidak ada perintah Allah yang tak dapat dipikul oleh manusia. Tidak kuat sembahyang berdiri karena sakit, boleh dikerjakan dengan duduk. Tak kuat duduk boleh dikerjakan dengan tidur. Tak ada air untuk wudhu’, boleh diganti dengan tayammum. Demikian juga perintah-perintah yang lain. Bahkan naik haji hanya sekali saja yang wajib bagi barangsiapa yang sanggup ke sana dengan perongkosan dan kesihatan. Belum lengkap kesanggupan itu, belum wajib ke Makkah.

Demikian juga larangan. Segala yang berbahaya bagi diri, bagi agama, bagi keturunan, bagi hartabenda dan bagi keamanan bersama dilarang oleh Tuhan, agar hidupmu peribadi atau hidupmu dalam masyarakat tetap dalam perseimbangan yang baik.

“Maka beri peringatanlah.” (pangkal ayat 9). Memberi peringatan adalah kewajiban yang ditugaskan kepada diri Nabi s.a.w. Tetapi hendaklah ditilik ruang dan waktu, mungkin dan patutnya, supaya peringatan itu berhasil. Berilah peringatan; “Jika memberi manfaat peringatan itu.” (ujung ayat 9).

Dengan ayat 9 ini bertemulah suatu kewajiban menyelidiki bagaimana agar peringatan itu ada manfaatnya. Jangan sebagai menumpah air ke atas pasir saja, hilang tak berbekas.

Di dalam Surat adz-Dzariat ayat 55 tersebut;

“Beri peringatanlah, karena sesungguhnya peringatan itu ada manfaatnya bagi orang-orang yang beriman.”

Maka tidaklah memberi manfaat misalnya berpidato agama dan menyuruh manusia zuhud membenci dunia dalam gedung parlemen. Atau berpidato lucu-lucuan di rumah orang kematian. Berpidato bersedih hati di perayaan perkawinan. Pidato membenci harta pada rakyat yang miskin. Dan lain-lain sebagainya.

Maka bukanlah memberi peringatan yang dilarang dalam ayat 9 ini, melainkan yang dilarang ialah pidato yang tidak ada manfaatnya, karena tidak tahu waktu dan tempatnya.

Akan beringat-ingatlah orang yang takut.” (ayat 10). Yaitu bahwa bagi orang yang telah tertanam di dalam dirinya rasa khasyyah, takut kepada Allah, peringatan itu akan besarlah faedahnya. Sekepal akan dibumikannya, setitik akan dilautkannya, dipegangnya erat, di buhulnya mati.

Dan sebaliknya bagi yang tidak takut kepada Tuhan;

Dan akan menjauhlah daripadanya orang yang celaka.” (ayat 11). Siapakah orang yang celaka itu?

Yaitu orang; “Yang menyala-nyalakan api yang besar.” (ayat 12). Artinya, bahwa di dalam hidupnya di dunia ini tidak ada usahanya hendak mendekati syurga, dengan takut kepada Tuhan, dengan Iman dan Amal yang shalih. Telinganya ditutupnya daripada mendengarkan peringatan yang benar. Dia asyik memperturutkan hawa nafsunya. Sebab itu maka sejak kini dia telah mulai menyalakan api neraka yang besar buat membakar dirinya sendiri. Bertambah dia membikin dosa, bertambah dia menyalakan api. Dia tak mau melaksanakan perintah Ilahi yang telah menciptakannya, yang telah membuat perseimbangan dalam dirinya, yang telah mengatur hidupnya dan memberikan petunjuk kepadanya. Dia tutup telinganya daripada mendengarkan itu semuanya, lalu yang dikerjakannya ialah apa yang dilarang. Merusak peribadi sendiri dengan memakan dan meminum yang haram, tidak sembahyang, tidak puasa, tidak barzakat. Tidak berniat menolong sesamanya manusia yang melarat dan dosadosa lain, sehingga putus tali hubungan batinnya dengan Tuhan dan dengan manusia dan dengan dirinya sendiri panas, mati. Terlalu dingin, mati. Terlalu susah, mati. Malahan ada orang yang ingin saja lekas mati, karena

“Sungguh, beroleh kernenanganlah siapa yang mensucikan.” (ayat 14). Artinya, menanglah di dalam perjuangan hidup ini barangsiapa yang selalu mensucikan atau membersihkan dirinya daripada maksiat dan dosa, baik dosa kepada Allah dengan mempersekutukan Allah dengan yang lain, atau dosa kepada sesama manusia dengan menganiaya atau merampok hak orang lain, atau kepada diri sendiri memendam rasa dendam dan dengki kepada sesamanya manusia. Maka kalau seseorang dapat berusaha mengendalikan dirinya, akan terlepaslah dia daripada kekotoran. Terutama kekotoran jiwa.

“Dan yang ingat akan nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (ayat 15). Usaha mensucikan diri sebagai tersebut di ayat 14 itu, tidaklah akan berhasil kalau tidak selalu mengingat Tuhan. Melakukan zikir, selalu ingat kepada Allah adalah kendali yang sebaik-baiknya atas diri. Karena kita menanamkan rasa dalam diri bahwa Tuhan selalu ada dekat kita dan ingat kepada Allah itu disertai pula dengan mengerjakan sembahyang lima waktu, termasuk di dalamnya doa dan munajat, yaitu menyeru Tuhan selalu, memohonkan bimbingan-Nya. Dan sembahyang itu sendiri pun adalah termasuk zikir juga. Di dalam Surat 8, al-Anfal ayat 2 dijelaskan faedah zikir bagi orang yang beriman; yaitu bahwa hatinya akan bertambah lembut dan patuh kepada Tuhan. Di dalam Surat 20, Thaha, disuruh mendirikan sembahyang agar selalu ingat (zikir) kepada Allah.

“Akan tetapi kamu lebih mementingkan hidup di dunia.” (ayat 16).

Akan tetapi sayang sekali, ada di antara kamu yang tidak memperdulikan seruan Tuhan agar mensucikan diri, mengingat Allah dan melakukan sembahyang. Masih ada di antara kamu yang lebih mementingkan hidup di dunia ini saja, tidak mengingat lanjutan hidup di hari akhirat. Sudah senang tenteram saja hatinya di negeri dunia yang hanya tempat singgah sebentar ini; “Dan Akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (ayat 17).

Tidak mereka sadari bahwa perjalanan hidup ini masih ada lanjutan, yaitu hari akhirat. Padahal untuk mencapai kebahagiaan di akhirat itu, di dunia inilah ditentukan. Dengan mengerjakan amal yang shalih, dengan menanamkan jasa yang baik, dengan memupuk budi yang luhur. Maka apa yang ditanam di dunia ini, di akhiratlah masa mengetamnya. Di situlah kelak nikmat yang tidak putus-putus.

"Sesungguhnya (pangkal ayat 18). Yaitu nasihat-nasihat dan peringatan yang telah dimulai pada ayat 14 tadi, bahwa yang menang dalam hidup ialah orang yang selalu berusaha mensucikan atau

membersihkan jiwa, bukanlah dia semata-mata pengajaran yang timbul sejak Nabi Muhammad s.a.w. dan bukan wahyu dalam al-Quran saja. Ajaran ini; “Telah ada di dalam shuhuf yang dulu-dulu.” (ujung ayat 18).

Sebagaimana telah kita ketahui, wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi itu ada saja catatannya. Catatan itu dinamai shuhuf, kertas yang digulung, lalu dikembangkan ketika membacanya. Maka macam-macamlah shuhuf itu. Yang lebih tebal dinamai Kitab atau Zabur dan yang terpecah-pecah dinamai shuhuf. Al-Quran sendiri setelah dikumpul jadi satu Surat- surat yang 114, ada yang panjang dan ada yang amat pendek, dinamailah dia mushhaf.

Tersebutlah di dalam ayat ini bahwa pengajaran ini bukanlah pengajaran sekarang saja. Dia telah tua. Dia telah tersebut juga dalam shuhuf yang dulu-dulu. Terutama; “(Yaitu) Shuhuf Ibrahim dan Musa.” (ayat 19).

Samalah kiranya ajaran yang diberikan kepada ummat manusia ini dari zaman ke zaman. Supaya kiranya manusia berusaha selalu membersihkan dari dosa, atau menyadari diri agar jangan sampai bergelimang dengan dosa. Karena telah pun tersebut dalam Surat 26, asy-Syu’ara’, ayat 88 dan 89, bahwa pada hari itu kelak tidaklah bermanfaat harta yang disimpan dan tidak pula anak-anak dan keturunan. Kecuali barangsiapa yang datang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih.

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan, dan yang menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lain dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. Dan Kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah, oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. Surat Al-A’la, ayat 1-13

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ayyub Al-Gafiqi, telah menceritakan kepada kami pamanku Iyas ibnu Amir; ia pernah mendengar Uqbah ibnu Amir Al-Juhani mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar. (Al-Haqqah: 52; Al-Waqiah 74, 96) Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada kami: Jadikanlah bacaan ayat ini dalam rukuk kalian! Dan ketika turun firman-Nya: Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi . (Al-A’la: 1) Maka beliau Saw. bersabda kepada kami: Jadikanlah bacaan ayat ini dalam sujud kalian!

Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Ibnul Mubarak, dari Musa ibnu Ayyub dengan sanad yang sama.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Muslim Al-Batin, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. apabila membaca firman-Nya: Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi. (Al-A’la: 1) Maka beliau Saw. mengucapkan: Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi.

Demikianlah menurut riwayat Imam Ahmad, dan Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Zuhair ibnu Harb, dari Waki’ dengan sanad yang sama. Abu Daud mengatakan bahwa nama Waki’ masih diperselisihkan, karena dalam riwayat lain disebutkan Abu Waki’ dan Syu’bah, dari Abu Ishaq, dari Sa’id, dari Ibnu Abbas secara mauquf.

As-Sauri telah meriwayatkan dari As-Saddi, dari Abdu Khair yang mengatakan bahwa aku pernah mendengar Ali membaca firman-Nya : Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi . (Al-A’la: 1) Lalu ia mengucapkan, “Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi.”

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Hakam, dari Anbasah, dari Abu Ishaq Al-Hamdani, bahwa Ibnu Abbas apabila membaca firman-Nya: Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi. (Al-A’la: 1) Maka ia mengucapkan, “Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi.” Dan apabila membaca firman-Nya: Aku bersumpah dengan hari kiamat . (Al-Qiyamah: 1) dan bacaannya sampai pada ayat terakhirnya, yaitu firman Allah Swt : Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Maka ia mengucapkan, “Mahasuci Engkau, dan tidaklah demikian (sebenarnya Engkau berkuasa untuk itu).”

Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi. (Al-A’la: 1) Diceritakan kepada kami bahwa Nabi Saw. apabila membaca ayat ini, maka beliau mengucapkan, “Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi.”

Firman Allah Swt.:

yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya). (Al-A’la: 2)

Yakni Dia telah menciptakan makhluk dan menyempurnakan setiap makhluk-Nya dalam bentuk yang paling baik.

Firman Allah Swt.:

dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk. (Al-A’la: 3)

Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah yang memberi petunjuk kepada manusia untuk celaka dan untuk bahagia, dan memberi petunjuk kepada hewan ternak untuk memakan makanannya di padang-padang tempat penggembalaannya. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam kisah Musa a.s. yang berkata kepada Fir’aun:

Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk . (Thaha: 50)

Allah Swt. telah menentukan kadar bagi makhluk-Nya dan memberi mereka petunjuk kepada takdirnya. Sebagaimana pula yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim dari Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Sesungguhnya Allah telah menentukan kadar-kadar bagi semua makhluk-Nya sebelum Dia menciptakan langit dan bumi dalam jangka waktu lima puluh ribu tahun, dan adalah 'Arasy-Nya masih berada di atas air.

Firman Allah Swt.:

dan yang menumbuhkan rumput-rumputan . (Al-A’la: 4)

Yakni semua jenis tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman.

lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. (Al-A’la: 5)

Menurut Ibnu Abbas, artinya kering dan berubah warnanya; dan hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Qatadah, dan Ibnu Zaid.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian orang yang ahli dalam bahasa Arab (ulama Nahwu) mengatakan bahwa dalam kalimat ini terkandung taqdim dan takhir dan bahwa makna yang dimaksudnya ialah bahwa Tuhan Yang telah menumbuhkan rumput-rumputan, kemudian tampak hijau segar, lalu berubah menjadi layu berwarna kehitam-hitaman, sesudah itu menjadi kering kerontang. Kemudian Ibnu Jarir memberi komentar, bahwa sekalipun pendapat ini termasuk salah satu dari takwil makna ayat, tetapi tidak benar mengingat pendapat ini bertentangan dengan pendapat-pendapat ulama ahli takwil.

Firman Allah Swt.:

Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa . (Al-A’la: 6)

Hal ini merupakan berita dari Allah Swt. dan janji-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. bahwa Dia akan membacakannya kepadanya dengan bacaan yang selamanya dia tidak akan melupakannya.

kecuali kalau Allah menghendaki . (Al-A’la: 7)

Demikianlah menurut pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Qatadah mengatakan bahwa adalah Rasulullah Saw. tidak pernah melupakan sesuatu kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah.

Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan firman:Nya: maka kamu tidak akan lupa. (Al-A’la: 6) Ini mengandung makna talab; dan mereka menjadikan makna istisna berdasarkan pengertian ini ialah apa yang dijadikan subjek oleh nasakh. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa kamu tidak akan melupakan apa yang telah Kubacakan kepadamu kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah untuk dilupakan, maka janganlah kamu membiarkannya.

Firman Allah Swt.:

Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. (Al-A’la: 7)

Allah mengetahui apa yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya secara terang-terangan dan juga apa yang mereka sembunyikan dari ucapan dan perbuatan mereka. Tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.

Firman Allah Swt:

Dan Kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah. (Al-A’la: 8)

Artinya, Kami akan memudahkan kamu untuk mengerjakan perbuatan dan ucapan yang baik, dan Kami akan mensyariatkan kepadamu suatu hukum yang mudah, penuh toleransi, lurus, lagi adil, tidak ada kebengkokan padanya dan tidak ada beban dan tidak pula kesulitan.

Firman Allah Swt.:

oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat. (Al-A’la: 9)

Yakni berikanlah peringatan bilamana peringatan itu bermanfaat. Maka dari sini disimpulkan etika dalam menyebarkan ilmu, yaitu hendaknya tidak diberikan bukan kepada ahlinya (tidak berminat kepadanya), sebagaimana yang dikatakan oleh Amirul Mu’minin Ali r.a., “Tidak sekali-kali engkau menceritakan suatu hadis kepada suatu kaum yang akal mereka masih belum dapat mencernanya, melainkan hal itu akan menjadi fitnah bagi kalangan sebagian dari mereka.” Ali r.a. telah berkata pula, “Berbicaralah kepada orang-orang lain sesuai dengan jangkauan pengetahuan mereka, maukah kamu bila Allah dan Rasul-Nya didustakan.”

Firman Allah Swt.:

orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran . (Al-A’la: 10)

Yaitu yang mau menerima sebagai pelajaran dari apa yang engkau sampaikan, hai Muhammad, adalah orang yang hatinya takut kepada Allah dan meyakini bahwa dia pasti akan menghadap dan berdua dengan-Nya.

orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (Al-A’la: 11-13)

Yakni tidak dapat mati sehingga ia terhenti dari siksaannya, dan tidak pula hidup dengan kehidupan yang memberi manfaat baginya. Bahkan kehidupannya itu merupakan penderitaan dan mudarat baginya, karena dengan kehidupannya yang kekal ia selalu menderita pedihnya siksaan dan berbagai macam pembalasan yang ditimpakan kepadanya secara abadi dan kekal.

Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Adiy dari Sulaiman yakni At-Tamimi dari Abu Nadrah dari Abu Sa’id yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni tetapnya, maka mereka tidak mati dan tidak (pula) hidup. Dan orang-orang yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan rahmat (Nya) maka Allah mematikan mereka di dalam neraka, dan orang-orang yang telah diberi izin untuk memberi syafaat masuk menemui mereka, kemudian seseorang dari para pemberi syafaat itu mengambil segolongan besar manusia lalu dia menumbuhkan mereka dengan memasukkan mereka ke dalam sungai kehidupan, atau ke dalam sungai yang ada di dalam surga, hingga mereka tumbuh (hidup) kembali sebagaimana biji-bijian yang dibawa oleh banjir tumbuh (di tepian sungai). Dan perawi melanjutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda pula: Pernahkah kalian melihat proses tumbuhnya pohon, pada awal mulanya hijau, kemudian menguning, kemudian hijau kembali ? Perawi melanjutkan, bahwa sebagian di antara mereka mengatakan bahwa Nabi Saw. menceritakan demikian seakan-akan beliau Saw. pernah berada di daerah pedalaman.

Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Yazid dari Abu Nadrah dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a. yang telah mengatakan, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni tetapnya maka sesungguhnya mereka tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup. Berbeda halnya dengan orang-orang yang dikenai oleh api neraka karena dosa-dosa atau karena kesalahan-kesalahan mereka; maka Allah mematikan mereka dengan sebenarnya, hingga manakala mereka telah berubah menjadi arang, diberilah izin untuk mendapatkan syafaat. Kemudian didatangkanlah mereka serombongan demi serombongan, lain dimasukkanlah mereka ke dalam sungai-sungai yang ada di dalam surga. Kemudian dikatakan, “Hai ahli surga, sambutlah mereka!”, maka mereka tumbuh (hidup) kembali sebagaimana biji-bijian yang dibawa oleh arus banjir tumbuh . Perawi melanjutkan bahwa seorang lelaki dari kalangan kaum yang hadir saat itu mengatakan, bahwa seakan-akan Rasulullah Saw. pernah tinggal di daerah pedalaman.

Imam Muslim meriwayatkan hadis ini melalui hadis Bisyr ibnul Mufaddal dan Syu’bah, yang keduanya dari Abu Salamah alias Sa’id ibnu Yazid dengan teks yang semisal.

Imam Ahmad telah meriwayatkan pula melalui Yazid dari Sa’id ibnu Iyas Al-Jariri dari AbuNadrah dari Abu Sa’id dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya ahli neraka yang tidak akan dikeluarkan oleh Allah, mereka tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup. Dan sesungguhnya ahli neraka yang dikehendaki oleh Allah untuk dikeluarkan, maka Allah mematikan mereka dengan sebenarnya hingga tubuh mereka hangus menjadi arang. Kemudian dikeluarkanlah mereka (dari neraka) rombongan demi rombongan, lalu dilemparkan ke dalam sungai surga dan mereka disirami dengan air dari sungai surga, maka mereka tumbuh (hidup) kembali bagaikan biji-bijian yang dibawa arus banjir tumbuh.

Dan sesungguhnya Allah Swt. telah memberitakan perihal ahli neraka melalui firman-Nya:

Mereka berseru, “Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” Dia menjawab, "Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” Az-Zukhruf: 77)

Dan firman Allah Swt.:

Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya . (Fathir: 36)

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa. Surat Al-A’la, ayat 14-19

Firman Allah Swt.:

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). (Al-A’la: 14)

Yakni menyucikan dirinya dari akhlak-akhlak yang rendah dan mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Rasul-Nya, semoga salawat dan salam terlimpahkan kepadanya.

Firman Allah Swt.:

dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat . (Al-A’la: 15)

Yakni dia mendirikan salat tepat pada waktunya masing-masing karena mengharapkan rida Allah dan taat kepada perintah-Nya serta merealisasikan syariat-Nya.

Sehubungan dengan hal ini Al-Hafizh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan bahwa:

telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ahmad Al-Azrami, telah menceritakan kepada kami pamanku Muhammad ibnu Abdur Rahman dari ayahnya dari Ata ibnus Sa’ib dari Abdur Rahman ibnu Sabit dari Jabir ibnu Abdullah dari Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). (Al-A’la: 14) Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang mengakui bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan tidak mengakui adanya sekutu-sekutu (bagi-Nya) dan mengakui bahwa diriku adalah utusan Allah (itulah makna yang dimaksud oleh ayat). dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat . (Al-A’la: 15) Rasulullah Saw. bersabda: yakni mengerjakan salat lima waktu dan memeliharanya serta memperhatikannya .

Perawi mengatakan bahwa tiada yang diriwayatkan melalui Jabir kecuali melalui jalur ini.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan salat di sini adalah salat lima waktu. Demikianlah menurut pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Amr ibnu Abdul Hamid Al-Aili, telah menceritakan kepada mereka Marwan ibnu Mu’awiyah dari Abu Khaldah yang telah mengatakan, bahwa ia masuk menemui Abul Aliyah, lalu Abul Aliyah mengatakan kepadanya.”Jika besok hari kamu berangkat menuju ke salat hari raya maka mampirlah kepadaku." Kemudian aku (perawi) mampir kepadanya dan ia berkata, “Apakah engkau telah makan sesuatu?.” Aku menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Kalau begitu aku akan menyajikan air minum kepadamu”. Aku menjawab, 'Baiklah."

Lalu ia berkata, “Ceritakanlah kepadaku apa yang telah engkau lakukan terhadap zakatmu.” Aku menjawab, “Aku telah menyalurkannya.” Ia berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menanyakan hal berikut kepadamu,” kemudian ia membaca firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat . (Al-A’la: 14-15)

Dan ia mengatakan, “Sesungguhnya penduduk Madinah memandang bahwa tiada sedekah yang lebih baik daripada mengerjakan salat dan memberi minum.”

Dan sesungguhnya kami telah meriwayatkan dari Amirul Mu’minin Umar ibnu Abdul Aziz, bahwa dia selalu menganjurkan orang-orang untuk mengeluarkan zakat fitrah dan membaca firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri , (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat . (Al-A’la: 14-15)

Abul Ahwas’ mengatakan bahwa apabila seseorang di antara kamu kedatangan seseorang yang meminta-minta sedangkan dia hendak menunaikan salat, hendaklah dia mendahulukan zakatnya sebelum mengerjakan salatnya, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat . (Al-A’la: 14-15)

Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini: Sesungguhnya beruntunglah orang yang memberslhkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat . (Al-A’la: 14-15) Yakni menzakati harta bendanya dan membuat rida Penciptanya.

Kemudian Allah Swt. berfirman:

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi , (Al-A’la: 16)

Yakni kamu lebih mendahulukan kepentingan duniawi daripada kepentingan akhirat, dan kamu memandangnya sebagai tujuanmu karena di dalamnya terkandung kemanfaatan dan kemaslahatan kehidupanmu.

Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (Al-A’la: 17)

Yakni pahala Allah di negeri akhirat lebih baik dan lebih kekal daripada kesenangan dunia. Karena sesungguhnya dunia itu pasti akan fana dalam waktu yang singkat, sedangkan kehidupan akhirat mulia lagi kekal. Maka bagaimana orang yang berakal bisa lebih memilih hal yang fana atas hal yang kekal, dan lebih mementingkan hal yang cepat lenyapnya serta berpaling dari memperhatikan negeri yang kekal dan pahala yang kekal di akhirat.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Duraid, dari Abu Ishaq, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dunia ini adalah rumah bagi orang yang tidak mempunyai rumah, dan harta bagi orang yang tidak mempunyai harta, dan karena untuk dunialah orang yang tidak berakal menghimpun hartanya.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Abu Hamzah, dari Ata, dari Urfujah As-Saqafi yang telah mengatakan bahwa ia belajar mengenai firman Allah Swt. di bawah ini dari Ibnu Mas’ud. Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi . (Al-A’la: 1) ketika bacaannya sampai pada firman-Nya: Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi . (Al-A’la: 16) Maka Ibnu Mas’ud meninggalkan bacaannya, lalu menghadap kepada murid-muridnya dan berkata, “Kita lebih memilih dunia daripada akhirat.” Kaum yang hadir terdiam, dan Ibnu Mas’ud kembali berkata, “Kita telah memilih dunia, karena kita melihat perhiasannya, wanita-wanitanya, makanan dan minumannya sedangkan kepentingan akhirat kita dikesampingkan. Maka berarti kita memilih kehidupan yang segera ini dan kita tinggalkan kehidupan akhirat kita.” Hal ini yang keluar dari Ibnu Mas’ud r.a. merupakan ungkapan tawadu’ (rendah diri)nya, atau barangkali dia hanya mengungkapkan tentang jenis keduanya semata-mata; hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ja’far, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib ibnu Abdullah, dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mencintai dunianya, berarti merugikan akhiratnya; dan barang siapa yang mencintai akhiratnya, berarti merugikan dunianya. Maka utamakanlah apa yang kekal di atas apa yang fana.

Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid. Imam Ahmad telah meriwayatkannya pula dari Abu Salamah Al-Khuza’i, dari Ad-Darawardi, dari Amr ibnu Abu Amr dengan lafaz dan sanad yang semisal.

Firman Allah Swt.:

Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa . (Al-A’la: 18-19)

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Ma’mar ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Ata ibnus Sa’ib, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah Swt.: Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa . (Al-A’la: 18-19) Maka Nabi Saw. bersabda: Adalah semuanya ini atau adalah hal ini terdapat di dalam kitab-kitab Ibrahim dan Musa .

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui ada sanad yang lebih kuat dari Ata ibnus Sa’ib, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas selain sanad ini dan hadis lainnya yang diriwayatkan semisal dengan sanad ini.

Imam Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Ata ibnus Sa’ib, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu: Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi . (Al-A’la: 1) Maka Nabi Saw. bersabda *, bahwa semuanya itu terdapat di dalam lembaran-lembaran Ibrahim dan Musa.*Dan ketika firman-Nya diturunkan, yaitu: dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selain menyempurnakan janji . (An-Najm: 37) Nabi Saw. bersabda, bahwa Ibrahim telah menyempurnakan janji. (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain . (An-Najm: 38)

Ayat ini semakna dengan firman-Nya yang terdapat di dalam surat An-Najm, yaitu:

Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). (An-Najm: 36-42)

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Humaid, dari Mahran, dari Sufyan As-Sauri, dari ayahnya, dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu. (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa . (Al-A’la: 18-19) Bahwa makna yang dimaksud ialah semua ayat yang terdapat di dalam surat Al-A’la. Abul Aliyah mengatakan bahwa kisah dalam surat ini terdapat di dalam lembaran-lembaran terdahulu.

Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud oleh firman-Nya, "Inna haza " (Sesungguhnya ini) ditujukan kepada firman-Nya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (Al-A’la: 14-17)

Kemudian Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya ini . (Al-A’la: 18) Yakni kandungan makna ayat-ayat sebelumnya itu. benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa . (Al-A’la: 18-19)

Apa yang dipilih oleh Ibnu Jarir ini baik lagi kuat. Telah diriwayatkan juga hal yang semisal dari Qatadah dan Ibnu Zaid. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Sumber : Tafsir Ibnu Katsir