Apa makna yang terkandung di dalam Surat Adh Dhuha?

Surah Ad-Duha adalah surah ke-93 dalam al-Qur’an dan terdiri atas 11 ayat. Surah ini termasuk golongan surah Makkiyah dan diturunkan sesudah surah Al-Fajr. Nama Adh Dhuhaa diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “waktu matahari sepenggalahan naik”.

Surat Adh Dhuhaa menerangkan tentang pemeliharaan Allah SWT terhadap Nabi Muhammad SAW dengan cara yang tak putus-putusnya, larangan berbuat buruk terhadap anak yatim dan orang yang meminta-minta dan mengandung pula perintah kepada Nabi supaya mensyukuri segala nikmat.

Adapun Tafsir makna dan kandungan Surah Ad-Dhuha adalah sebagai berikut :

  1. Ibnu Katsir berkata, “Dianjurkan bertakbir dari akhir surah Adh Dhuha sampai akhir surah An Naas. Para ahli qiraa’at menyebutkan, bahwa hal itu termasuk sunnah yang ada riwayatnya, dan mereka menyebutkan alasan mengucapkan takbir dari awal surah Adh Dhuha, yaitu bahwa ketika wahyu terlambat turun kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan terputus selama waktu tersebut, kemudian malaikat datang dan menyampaikan wahyu kepada Beliau, “Wadh Dhuhaa-Wallaili bidzaa sajaa.” Yakni surah Adh Dhuha sampai akhirnya, maka Beliau bertakbir karena gembira dan senang.” Ibnu Katsir berkata pula, “Riwayat tersebut tidak diriwayatkan dengan isnad yang dapat dihukumi shahih maupun dha’if, wallahu a’lam.”

  2. Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Jundub bin Sufyan ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah sakit sehingga tidak bangun selama dua atau tiga malam, lalu ada seorang wanita yang datang berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya aku berharap setanmu telah meninggalkanmu, karena aku tidak melihat dia mendekatimu sejak dua atau tiga malam.” Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Wadh dhuhaa—Wallaili idzaa sajaa—Maa wadda’aka Rabbuka wamaa qalaa.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim, Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahih,” Ahmad, Thayalisi, Ibnu Jarir, Al Humaidiy, dan Al Khathiib dalam Muwadhdhih Awhaamil Jam’i wat Tafriiq juz 2 hal. 22).

  3. Allah Subhaanahu wa Ta’aala bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam ketika telah sunyi untuk menerangkan perhatian Dia kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.

  4. Maksudnya, ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam terhenti untuk sementara waktu, orang-orang musyrik berkata, "Tuhannya (Muhammad) telah meninggalkannya dan benci kepadanya.” Maka turunlah ayat di atas untuk membantah perkataan orang-orang musyrik itu, yaitu, “Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu,” yakni Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidaklah meninggalkan Beliau dan membiarkannya sejak Dia mengurus dan mendidik Beliau, bahkan Dia senantiasa mengurus dan mendidik Beliau dengan pendidikan yang sebaik-baiknya serta meninggikan Beliau sederajat demi sederajat.

  5. Yakni Dia tidak membencimu sejak Dia mencintaimu. Inilah keadaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang dahulu dan yang sekarang; yakni keadaan yang paling sempurna; kecintaan Allah untuk Beliau dan tetap terus seperti itu serta diangkatnya Beliau kepada kesempurnaan, dan tetap terusnya mendapatkan perhatian dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Adapun keadaan Beliau pada masa mendatang, maka sebagaimana firman-Nya, “Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.”

  6. Maksudnya, bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan meskipun permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. Allah Subhaanahu wa Ta’aala menguatkan agama Beliau, memenangkan Beliau terhadap musuh-musuhnya serta memperbaiki kondisi Beliau sehingga Beliau mencapai keadaan yang tidak dapat dicapai oleh orang-orang terdahulu maupun yang datang kemudian, baik dalam hal keutamaan, kebanggaan maupun kegembiraan. Sedangkan di akhirat, maka tidak perlu ditanya tentang keadaan Beliau; keadaan Beliau penuh dengan berbagai kemuliaan dan kenikmatan. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.” Pemberian-Nya yang besar tidak mungkin diungkapkan selain dengan kata-kata itu.

Referensi :

Asababun nuzul surat adh Dhuha, sebagian riwayat menuturkan, bahwa pada saat itu Rasulullah saw “cemas” lantaran musuh-musuh islam telah semakin ofensif menyerang kaum muslimin dengan menyebarkan isu-isu menyesatkan, sehingga beliau menunggu datangnya wahyu guna memberikan pertolongan. Turunnya ayat-ayat Surah adh-Dhuha ini menggembirakan beliau laksana bilasan air hujan yang turun menyegarkan tetumbuhan. Cahaya ayat-ayat adh-Dhuha benar-benar memberikan kekuatan baru guna menghentikan hinaan musuh-musuh islam. Kita semua tahu dan meyakini bahwa pribadi Rasul saw adalah pribadi yang kuat. Sebab itulah, kita hanya dapat menerima riwayat yang menerangkan bahwa Rasul hanya merasa gelisah dan jiwanya tidak tentram lantaran terhentinya wahyu.

Surat ad Dhuha:

  1. Demi waktu pagi

  2. Demi malam, apabila telah sunyi

  3. Tuhanmu tidaklah meninggalkan engkau (ya Muhammad), dan tiada pula membenci (engkau)

  4. Sesungguhnya akhirat lebih baik bagi engkau dari pada dunia

  5. Nanti Tuhanmu akan memberi engkau, lalu engkau menjadi suka

  6. Bukankah engkau didapatiNya seorang anak yatim, lalu dilindungiNya?

  7. Dan engkau didapatiNya dalam kesesatan (belum medapat petunjuk), lalu ditunjukiNya

  8. Dan engkau didapatiNya seorang miskin, lalu diberinya kekayaan.

  9. Adapaun anak yatim jangan engkau paksa

  10. Dan orang yang meminta (bertanya) janganlah engkau hardik

  11. Adapun nikmat Tuhanmu hendaklah engkau beritakan (jangan disembunyikan)

Di ayat pertama Allah swt memulainya dengan harf qasam (sumpah) dengan huruf wâw dan dhuhâ sebagai muqsamu bih-nya (obyek yang digunakan untuk bersumpah). Pendapat yang berlaku di kalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa sumpah al-Qur’an dengan wâw mengandung makna pengagungan terhadap muqsamu bih. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa sumpah Allah dengan sebagian makhluk-Nya menunjukkan bahwa ia termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang besar.

Kata adh Dhuha ditafsirkan sebagai matahari atau lebih tepatnya ketika matahari pagi yang terbit . Penafsir tidak menggunakan secara terjemahan harfiah, padahal kita tahu bahwa kata adh Dhuha dikalangan umat muslim Indonesia sudah begitu populer digunakan untuk melaksanakan waktu shalat sunah dhuha yang sekurangnya 2 rakaat, atau 4 rakaat, atau sampai 8 rakaat pada sekitar pukul enam sampai sepuluh pagi.

Kata adh Dhuha secara umum digunakan dalam arti sesuatu yang nampak dengan jelas . Dalam tafsirnya Quraish Shihab menggambarkan kata adh Dhuha adalah ketika matahari naik sepenggalahan, cahayanya ketika itu memancar dengan menerangi seluruh penjuru, pada saat yang sama ia tidak terlalu terik, sehingga tidak mengakibatkan gangguan sedikitpun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan dan kesehatan.

Pada ayat ketiga, penafsir memaknai keseluruhan ayat tersebut dengan tidak meninggalkan dan membenci, dengan tasydid ada juga yang membacanya tanpa tasydid , keduanya mempunyai makna dasar berarti meninggalkan. Menarik juga melihat pendapat ar Arghib al-Ashfahani yang berpendapat bahwa kata wadda’a berasal dari kata ad-da’ah dan mengartikannya dengan “doa untuk seorang musafir semoga Tuhan meringankan baginya kesulitan-kesulitan perjalanan”. Dari sini kemudian wadda’a diartikan sebagai ucapan selamat kepada orang yang meninggalkan suatu tempat. Kemudian kata qala, dalam kamus al ashri, berarti benci. Quraish Shihab berpendapat benci disini bukan hanya benci biasa namun benci yang diartikan sebagai kebencian yang sangat.

Pada ayat ke empat, al akhirah dan al uula diartikan sebagai dengan akhirat dan dunia . Secara leksikal dapat dipahamai bahwa kata al akhirah berarti yang akhir atau sesudah dan tidak selalu diartikan sebagai akhirat . Dalam tafsirnya Hasbi ash Shiddieqy memberikan catatan opsi terjemahan “sesungguhnya penghabisan urusan engkau adalah lebih baik dari permulaan.”

Umumnya kata al akhirah dimaknai akhirat apabila kata tersebut bergandengan dengan kata dar atau kita sering dengar dengan dar al akhirah yang artinya tempat akhirat . Dan kata al uula berarti sesuatu yang pertama atau berada diawal.

Lebih dipilih menerjemahkannya dengan kata akhirat dan dunia artinya tanpa kita sadari corak penerjemahan pada saat itu sangat berpengaruh pada pola pikir umat islam Indonesia yang lebih mementingkan negri akhirat daripada hidupnya di dunia .

Menurut Quraish Shihab, kata akhirat dan uula diartikan sebagai masa datang dalam kehidupan dunia , Shihab beranggapan bahwa konteks ayat ini berbicara tentang kehidupan yang berkaitan dengan ketidakhadiran wahyu saat itu. Artinya bahwa pemaknaan yang dilakukan oleh Mahmud Yunus lebih kepada teks bukan konteksnya yang saat itu berkaitan dengan kegelisahan Rasul karena lamanya wahyu yang tak kunjung ia terima dari Allah swt.

Kemudian kata fatardha, diterjemahkan denga kata suka, dalam kamus al-ashri kata radha berarti senang, puas dan rela. Walaupun kata ridho sendiri sudah cukup populer dengan bahasa Indonesia yang memang banyak mengadopsi kata asing khususnya Arab dan Inggris ini tidak mereka pakai. Artinya bahwa penerjemahan dengan kata suka merupakan penerjemahan dengan gaya terjemahan semantik leksikal.

Kata dhallan yang ada pada ayat ketujuh surat ad Dhuha, dipadankannya dengan kata sesat. Kata dhalla- yadhillu yakni kehilangan jalan atau bingung tidak mengetahui arah. Makna ini berkembang hingga bermakna binasa, terkubur dan dalam pengertian immaterial yakni sesat dari jalan kebajikan atau antonim dari makna hidayah . Pengertian umum terakhir ini yang lebih populer dikuping bahwa padanan kata dhallan adalah sesat . Pengertian tersebut dibantah oleh Fakhruddin ar Razi dengan berpendapat bahwa dua puluh kata dhallan yang terdapat dalam al Qur’an tidak logis atau terlalu remeh untuk diabadikan dalam ayat apalagi menjadi bukti betapa besar anugerah Allah kepada Rasul-Nya.

Istilah dhâlalan (kesesatan) di sini tidak berarti “tidak adanya iman, tauhid, kesalehan, dan kebajikan”. Namun, dengan merujuk pada ayat-ayat di atas dan pendapat banyak mufasir, istilah ini bermakna “tidak memahami rahasia- rahasia kenabian, hukum-hukum tertentu dalam Islam dan fakta-fakta tersembunyi lainnya”. Akan tetapi setelah ditunjuk sebagai Nabi, Muhammad saw pun menguasai semua itu dengan bantuan dan bimbingan Allah. Dapat disimpulkan kata dhallan yang dalam berbagai bentuknya berarti segala sesuatu yang tidak atau belum mengantar pada kebenaran . Setiap tindakan atau ucapan yang tidak menyentuh keberan adalah dhallan.

Referensi :

  • Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia: al -Ashri , (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, Cet. kelima), 1998.
  • Shihab, Tafsir al Misbah : Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Vol 15),