Apa makna yang terkandung dalam Surat Al Fatihah?

Surat Al Fatihah adalah Surat pertama (pembuka) di dalam kitab suci Al Qur’an yang juga menjadi menu sehari-hari umat Muslim dalam menjalankan ibadah. Tak hanya menu sehari-hari, Surat Al Fatihah telah menjadi nafas umat Islam di belahan dunia. Untuk itu pengertian dan isi makna dari Surat Al Fatihah menjadi penting untuk kita ketahu sebagai umat Islam.

Apa makna yang terkandung dalam Surat Al Fatihah?

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Pemilik Hari Pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. Tunjukkan kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah [1]: 1-7)

Dalam tafsir Fi Zilal al-Qur’an, surah ini mengandung atau memuat akidah Islam secara umum, memuat garis besar ajaran Islam, serta intisari dari ajaran Islam. Oleh karena pentingnya surah ini sebagai landasan pemahaman ajaran Islam, sehingga dipilihlah surah ini untuk diulang-ulang pada setiap rakaat serta menjadikan batalnya shalat bila tidak membaca surah ini di dalam shalat.

1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Terdapat perbedaan pendapat oleh para ulama tentang basmalah ini, apakah basmalah termasuk salah satu ayat dalam surah Al-Fa>tihah ataukah bukan termasuk didalamnya. Namun, pendapat yang paling kuat antara keduanya adalah, pendapat yang menyatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari surah Al-Fatihah. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa surah Al-Fa>tih{ah merupakan surah yang dimaksud oleh Allah dalam salah satu firmanNya:

Sesungguhnya Kami tidak memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur‟an yang agung.” (QS. Al-Hijr : 87)

Dalam setiap mengawali sesuatu hendaknya diawali dengan menyebut nama Allah, sebagaimana yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW pada pertama kali pewahyuan diberikan “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu…”.

Hal ini sejalan dengan kaidah tasawwur, konsepsi, ide Islam yang paling besar bahwa Allah adalah Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Mahanyata serta Maha Tersembunyi. Oleh kerena itu, hanya dengan namaNyalah segala sesuatu dimulai dan dengan namaNya pula segala sesuatu diakhiri.

Memulai segala perbuatan dengan mengawalinya dengan menyebut sifat Allah, al-rahman dan al-rahim telah mencakup segala rahmat dan keadaannya. Dengan tujuan agar segala apa yang dikerjakan dengan menyebut namaNya mampu mendatangkan keridhaanNya terhadap perbuatan baik tersebut.

Hal ini juga diterangkan oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya, bahawa Allah memulia kitabNya dengan basmalah dan memerintahkan NabiNya sejak awal mula pewahyuan untuk memulai dengan menyebut nama Allah, Iqra’ bismi Rabbika, hal ini juga membenarkan jika basmalah merupakan pesan pertama Allah kepada makhluknya. Allah menghendaki agar setiap aktifitas yang dilakukan oleh umat Islam diawali dengan menyebut namaNya.

Sedangkan menurut HAMKA, banyak pendapat dari para ulama mengenai lafal bismillah ini. Perbedaan yang terjadi bukanlah penulisan basmalah tersebut disetiap awal surah kecuali pada surah at-Taubah, namun yang menjadi perselisihan adalah apakah basmalah termasuk dalam surah tersebut ataukah hanya sebagai pembatas antarsurah. Terdapat pendapat yang paling banyak di ikuti yaitu pendapat dari Ulama salaf (Golongan ini terdiri atas ulama salaf Mekah, baik fuqahanya ataupun ahli qira‟at; seperti Ibnu Katsir dan ulama kufah, termasuk didalamnya shahabat Rasulullah dan para tabi‟in yang berada di Madinah. Imam Syaf‟I dengan qoul jadid-nya, dan masih terdapat ulama lainnya yang sependapat dengan beliau) yang menyatakan bahwa basmalah merupakan ayat pertama dari surah tersebut.

Penggunaan basmalah diawal surah sebenarnya memberikan pesan bahwa segala perbuatan baik yang dilakukan hendaknya selalu diawali dengan menyebut namaNya. Dengan tujuan agar segala perbuatan tersebut mendapat pertolonganNya.

2. “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam”

Inilah perasaan yang dirasakan oleh setiap umat muslim, dan rasa ini telah merasuk kedalam hati mereka, bahwa segala apa yang ada di dunia ini merupakan nikmat karunia yang diberikan Allah kepada mereka, karena hanya Allah yang menguasai seluruh alam baik dilangit maupun dibumi serta diantara keduanya. Disamping itu, sampai serta melimpah pula karunia Allah yang telah diberikan kepada hambaNya yang mengucapkan Alhamdulillah serta baginya sebuah kebaikan didalamnya. Basmalah mengandung sifat-sifat Allah, yakni sifat al-rahman dan al-rahim. Kemudian ditegaskan lagi pada ayat ini bahwa segala puji bagi Allah, karena dialah satu-satunya dzat yang mampu memelihara seluruh alam. Pujian serta sanjungan dalam hal ini, merupakan luapan syukur yang memenuhi hati orang muslim, karena Dia-lah yang memberikan nikmat serta anugerah kepada manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Serta atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka.

Ayat ini mengandung makna yang dalam lebih dari sedekar ungkapan pujian belaka. Ayat ini menjelaskan bahwa segala puji yang terdapat di dunia ini hanyalah milik Allah hal ini terletak pada penggunaan Al atau Alif-lam sebelum lafal hamdu yang memiliki makna segala puji. Bila kita mengucapkan sanjungan atau pujian terhadap orang yang telah membantu kita sebenarnya pujian tersebut hakikatnya hanyalah kepada Allah.

Kemudian mengenai “pemelihara semesta alam” merupakan penggabaran Allah sebagai Rabbun yang memelihara dan mengatur seluruh alam. Bila di ayat lain terdapat sifat Allah sebagai khaliq atau pencipta, disini Allah menunjukkan sifat yang lebih dari sekedar pencipta namun juga dzat yang mengatur segala apa yang terdapat di seluruh alam, baik alam manusia, jin dan malaikat. Pengaturan dan pemeliharaan inilah yang menunjukkan bahwa Dia-lah dzat Yang Maha Teliti.

3. “Yang Maha Pengasih Maha Penyayang”

Sifat ini mencakup seluruh rahmat terdahap semua keadaan. Pengulangan kalimat ini didalam surah menegaskan bahwa adanya hubungan dalam masalah rububiyah serta untuk memantabkan hubungan antara Rabb dengan hambaNya, antara Khaliq dengan makhlukNya, hubungan yang menghimpun segala rahmat (kasih sayang) dan memelihara serta menghimpun segala pujian dan sanjungan. Sependapat dengan Sayyid Qutb, Quraish Shihab menambahkan bahwa pemeliharaan terhadap seluruh alam tidak akan berjalan dengan baik dan sempurna, kecuali bila pemeliharaan tersebut tidak disertai dengan sifat rahmat kasih sayang.

Kemudian Quraish Shihab menambahkan pula, pengulangan sifat al-rahman dan al-rahim ini bertujuan menghapus anggapan bahwa Allah dengan sifat Rabb yang berkuasa sepenuhnya akan berlaku semena-mena dalam mengatur alam semesta. Menurut HAMKA, ayat ini merupakan penyempurna ayat sebelumnya. Pada ayat sebelumnya dipaparkan mengenai sifat Allah Yang Maha Memelihara, pemeliharaan yang dilakukan oleh Allah disini mencakup pula pendidikan. Namun, pendidikan yang Allah berikan kepada makhlukNya bukanlah pendidikan yang bersifat untuk membuat “kader” yang suatu saat akan dijadikan Allah layaknya seorang pegawai. Namun, pemeliharaan yang dilakukan oleh Allah berlandaskan pada sifat rahman Allah.

Pemeliharaan yang dilakukan oleh Allah karena Dia adalah al-rahman yang bertujuan agar makhlukNya juga mempunyai sifat rahman yang memberkas pada diri makhluk tersebut. Bila seorang makhluk tersebut memiliki kecerdasan yang tinggi dan terus bertambah pemahamannya terhadap sifat Allah sebagai al-rahman, maka justru Allah semakin memberikan karunia yang lebih kepadanya, bukan malah meninggalkannya sebagaimana seorang pelatih yang meninggalkan atau melepas anak asuhnya ketika sudah selesai masa pendidikan.

4. “Pemilik Hari Pembalasan.”

Ayat ini mengisyaratkan akan adanya kehidupan setelah mati. Hari dimana seluruh amal diperlihatkan, ditimbang dan hari dimana orang-orang akan mendapat balasan terhadap segala perbuatan yang telah diperbuatnya di dunia. Dalam ayat ini menegaskan bahwa Allah sebagai dzat yang memiliki sifat Malik yakni puncak tingkat kekuasaan, pada yaumiddin yakni hari pembalasan di akhirat. Ayat ini juga menepis anggapan bagi kaum yang mengingkari adanya hari pembalasan yang selama ini mereka sangkakan. Karena banyak diantara manusia yang mengingkari adanya yaumiddin (hari pembalasan). Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam firmanNya:

“Bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringaan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orang-orang kafir, „ini adalah suatu yang amat ajaib. Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (kami akan kembali lagi)?‟ itu adaah suatu pengembalian yang tidak mungkin” (QS. Qaf: 2-3)

Percaya akan datangnya hari pembalasan (hari kiamat) merupakan salah saru dari rukun iman seorang muslim. Oleh sebab itu, kaum muslim tidak terkekang oleh kehidupan duniawi, yang membebani hati mereka dengan segala perkara-perkara yang bersifat material. Serta mereka tidak terkekang dengan keinginan ingin disanjung oleh orang lain atau berharap apa yang mereka perbuat mendapatkan imbalan dari manusia, namun segala apa yang mereka lakukan semata-mata dilandasi oleh keyakinan mengharap ridha Allah, dan menanti pembalasan dari Allah semata. Peletakan ayat ini setelah pemaparan sifat-sifat Allah dirasa sangat tepat. Ayat ini ingin menunjukkan bahwa perlakuan Allah terhadap makhluknya dalam hal penjagaan, kasih sayang serta bimbingan dan pendidikan mencakup perintah dan larangan yang telah ditetapkan oleh Allah. Maksudnya, manusia tidak bisa hanya mengandalkan sifat kasih sayang Allah dalam melakukan segala perbuatan yang dilakukan dengan tanpa memperhatikan imbas dari perbuatan itu sendiri. Ayat ini menegaskan bahwa segala apa yang diperbuat oleh manusia pada akhirnya akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Dan Allah sebagai dzat yang menjadi Raja di hari pembalasan, akan memberikan ganjaran yang setimpat dengan apa yang manusia perbuat ketika di dunia.

Senada dengan apa yang telah di uraikan oleh Quraisy Shihab, HAMKA juga menyatakan bahwa pada ayat ini juga merupakan penegasan kepada makhlukNya, agar mereka lebih berhati-hati dalam berperilaku dan berbuat sesuatu. Hal ini karena segala apa yang diperbuatnya akan dipertanggungjawabkan dihadapanNya kelak dihari pembalasan. Meskipun Allah pada ayat sebelumnya menyatakan bahwa Allah memilki sifat al-rahman dan al- rahim namun juga perlu dipahami bahwa Allah juga memiliki sifat adil. Dan segala amal perbuatan manusia akan mendapat balasannya
di hari pembaalasan ini.

5. “Hanya kepada Engkauah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”

Inilah puncak dari keimanan seorang muslim, yakni penyerahan mutlak kepada kekuatan yang mutlak yakni Allah SWT semata. Segala apa yang mereka perbuatan semata-mata untuk menyembah (beribadah) kepadaNya serta kepasrahan diri semata-mata hanya kepada Allah, karena hanya Dia-lah zat yang mampu memberikan pertolongan mutlak. Bagi seorang muslim, terdapat 2 jenis kekuatan.

  • Pertama, kekuatan yang memperoleh petunjuk, beriman kepada Allah dan menjalankan segala ajaranNya. Kekuatan inilah yang wajib didukung.

  • Kedua, kekuatan sesat yang tidak berhubungan dengan Allah dan juga tidak mengikuti ajaran-ajaranNya. Kekuatan seperti inilah yang harus dilawan dan dirubah.

Ayat ini menurut Quraish Shihab merupakan gambaran hubungan antara makhluk dengan Tuhannya. Terlebih setelah sebelumnya ayat-ayat yang dipaparkan merupakan ayat pujian yang ditujukan untuk memuji dan menyanjung Allah. kemudian pada ayat ini berisi tentang penyerahan dan merendahkan diri kepada Allah sembari meminta pertolongan kepada dzat Yang Maha Menjaga. Dalam tasirnya, Quraish Shihab juga memaparkan bahwa al-fatihah terbagi menjadi 2 bagian, yakni setengah surat diawal merupakan ayat-ayat sanjungan untukNya yang berisi sanjungan dan setengah terakhir merupakan ayat-ayat yang ditujukan untuk makhluk yang berisi pemintaan perlindungan serta bimbingan.

HAMKA dalam tafsirnya menyatakan, bahwa ayat ini adalah sebuah pernyataan seorang hamba kepada Tuhannya. Bahwa hanya Allah saja dzat pantas untuk disembah dan hanya Allah saja sebaik- baik tempat memohon pertolongan. Penggunaan kata iyyaka pada ayat ini terbagi menjadi dua, pertama menunjukkan bahwa hanya kepada Allah saja manusia menyembah, kedua menunjukkan bahwa hanya Allah saja dzat dapat memberi pertolongan.

6-7. “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Setelah menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan pokok-pokok Islam serta menetapkan arah tujuan menyembah hanya kepada Allah SWT saja dan memohon pertolongan, maka mulailah menghadap kepada Allah dengan berdo’a secara umum sesuai dengan yang tertera pada surah al-fatihah.

Pada 2 ayat terakhir ini, adalah ayat dimana seorang hamba mengajukan permohonan kepada Allah, yakni “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”. Allah menganugerahkan petunjukkan kepada makhluk, sesuai dengan petunjuk yang diinginkan oleh makhluk kepada Allah. Seperti Allah memberikan petunjuk kepada setiap makhluk tentang bagaimana dia dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Baik dari hewan yang ada di muka bumi dan yang berada di dalam samudera, apa lagi makhluk yang bernama manusia.

Petunjuk Allah yang diberikan kepada makhlukNya memiliki beberapa tingkatan.

  • Tingkatan pertama, pada tingkatan ini petunjuk yang diberikan berupa naluri penggunaan petunjuk pertama hanya terbatas pada dorongan untuk mencari hal-hal yang berguna sebagai perkara yang memenuhi kebutuhan. Kekurangan naluri adalah ketidak berdayaannya untuk mencapai sesuatu yang berasal dari luar pemilik naluri.

  • Kemudian datanglah petunjuk kedua, yakni panca indera guna untuk mencapai sesuatu yang berada diluar pemilik naluri. Namun, seberapapun hebatnya kemampuan panca indera, tidaklah mampu untuk menangkap esensi sebenarnya dari suatu perkara.

  • Kemudia muncullah petunjuk yang ketiga yaitu akal, guna menyempurnakan dan meluruskan kesalahan yang terjadi pada panca indera. Fungsi akal adalah mengkoordinasikan seluruh informasi yang ditangkap oleh panca indera kemudian membuat kesimpulan yang terkadang akan berbeda dengan apa yang diterima oleh panca indera. Namun, akal yang dijadikan petunjuk ketiga untuk manusia hanya berfungsi pada batasan-batasan tertentu serta tidak akan mempu untuk membimbing manusia keluar dari alam fisika. “Logika adalah satu ilmu yang dirumuskan oleh Aristoteles yang bertujuan memelihara seseorang agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan. Namun, ternyata ilmu itu tidak mampu memelihara perumusnya – apalagi orang lain – dari kesalahan-kesalahan” demikian pendapat yang ditulis oleh Syeikh Abdul Halim Mahmud yang di kutib oleh Quraih Shihab. Karena akal sebagai petunjuk ketika masih memiliki kekurangan pada dirinya, maka manusia memerlukan adanya petunjuk lagi yang lebih kredibel guna meluruskan segala kesalahan nalar yang dilakukan oleh akal.

  • Petunjuk atau hidayah yang dibutuhkan dalam hidayah agama. Petunjuk inilah yang dibutuhkan oleh manusia yang mampu membimbing mereka menuju yang pencipta. Dalam hal ini terwakili oleh kata yang dimaksudkan disini adalah jalan lurus serta luas yang mengantarkan mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Jalan inilah yang diharapkan manusia menuju kenikmatan yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Serta pengharapan mereka jalan ini bukanlah jalan yang justru menyesatkan mereka.

Pada dua ayat terakhir ini, menurut HAMKA merupakan ayat ini merupakan penjelas mengenai pertolongan yang diharapkan oleh manusia kepada Allah. Dengan rincian agar mereka di tunjukkan dan dibimbing oleh Allah menuju jalan yang lurus ang dapat membawa mereka menuju Allah, sebagaimana jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah. Bukan jalan yang justru menyesatkan mereka, sebagaimana jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan orang-orang yang dimurkai oleh Allah.

Referensi :

  • Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, Jilid 1, Mei 2004, cet. IV
  • M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an), Ciputat: Lentera Hati, Januari 2007, Vol. 1, Cet. IX.
  • HAMKA, Tafsir al-Azhar Juz I, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005.