Apa makna yang terkandung dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi ?

Kidung Rumeksa Ing Wengi

Kidung Rumeksa Ing Wengi merupakan sarana dakwah dalam bentuk tembang yang popular dan menjadi “kidung wingit” karena dipercaya membawa tuah seperti mantra sakti.

Apa makna yang terkandung dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi ?

Dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi dibahas tentang hal-hal yang bersifat keagamaan untuk memberikan pedoman bagi masyarakat Jawa dalam menghadapi datangnya jaman edan atau jaman kala bendhu dan kalatidha.

Jaman Kalabendu; (Kala: Jaman, masa; Bendu: marah; kalau dikatakan “antuk bebenduning Pangeran”, artinya mendapatkan amarah atau hukuman dari Allah. Mengapa Tuhan marah? Tentunya karena perbuatan manusia di dunia sudah melampaui batas, terlalu banyak melanggar hukum-hukum Allah).Dalam “Sarine Basa Jawa”, Padmasukatja (1967) disebutkan “Kalabendu” sebagai jaman dimana kesusilaan manusia sudah rusak. Ada pengaruh “Bathara Kala disitu”.

Unsur-unsur keagamaan dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi dibagi menjadi tiga, yaitu ; Tuhan, manusia dan relasinya dengan Tuhan.

1. Tuhan

Iman kepada Allah menjadikan landasan yang kuat bagi kehidupan setiap Muslim untuk mengarungi bahtera kehidupan yang penuh dengan gelombang, mereka tidak bimbang, tidak ragu-ragu menghadapi setiap persoalan yang dihadapinya. Pikirannya cerah, hatinya terang dan tentram, mempunyai pendirian yang kuat serta mempunyai sikap optimis dalam hidup sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran:

Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah Allah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (QS.al-Ra’d [13]:28).

Allah menurut ajaran Islam, adalah Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu mengenai Tuhan disebut ke-Tuhan-an. Iman kepada Allah merupakan dasar-dasar keselamatan manusia menurut al- Quran. Tanpa keimanan ini perbuatan manusia menjadi sia-sia. Demikian pula dinyatakan bahwa kekufuran menghapus amal, sebagaimana syirik, ketiadaan iman, pengingkaran terhadap ayat- ayat Allah dan kehidupan yang berdasarkan kepentingan duniawi semata.

Sedemikian sentralnya posisi teologis dalam Islam, sehingga dengannyalah diukur segala perbuatan manusia, baik dan buruknya. Allah pun memberikan sarana kepada manusia untuk sampai kepada-Nya. Diantaranya adalah ayat-ayat Allah yang ada disekitar manusia.

Gambara teologis Islam dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi terdapat tentang Tuhan dalam bait pertama, yaitu:

Ana Kidung rumeksa ing wengi Teguh hayu luputa ing lara Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun Paneluhan tan ana wani Miwah panggawe ala Gunaning wong luput Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah mring mami Guna duduk pan sirna

Ada nyanyian yang menjaga di malam hari Kukuh selamat terbebas dari penyakit Terbebas dari semua malapetaka
Jin setan jahat pun tidak ada yang berani Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat Guna-guna pun tersingkir Api akan menjadi air
Pencuri pun jauh tak ada yang menuju padaku Guna-guna sakti pun lenyap.

Dari kata-kata ‘Ana Kidung rumeksa ing wengi’ (ada nyanyian yang menjaga di malam hari), Sunan Kalijaga ingin mengajak umat Islam saat itu untuk membaca dan mengamalkan sungguh-sungguh Kidung-nya ini demi keselamatan di malam hari. Sebab dengan cara inilah niscaya mereka akan selamat dari berbagai macam kejahatan yang berasal dari jin, setan, dan manusia yang menggunakan ilmu hitam. Mengapa Sunan Kalijaga sangat menekankan pentingnya berjaga-jaga dari kejahatan di malam hari? Boleh jadi ini merupakan pemahaman atau penjelasan Sunan Kalijaga atas surah al-Falaq dan an-Nas, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh; dari kejahatan makhluk-Nya; dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita; dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul; dan kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki” (QS. al-Falaq [113]: 1-5).

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan manusia; Raja manusia; Sembahan manusia; dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi; Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia; dari jin dan manusia” (QS. an-Nas [114]: 1-6).

Pada ayat ke-3 surat al-Falaq disebutkan “dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita”, yang mengisyaratkan bahwa biasanya malam memang menakutkan, karena sering kali kejahatan dirancang dan terjadi dicelah kegelapannya, baik dari para pencuri, perampok, pembunuh, maupun binatang buas, berbisa, atau serangga. Tentu, malam tidak selalu melahirkan kejahatan. Sebaliknya, bahkan al-Quran memuji malam sebagai saat yang terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah:

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat untuk khusyuk dan bacaan di waktu itu lebih berkesan (QS. al-Muzzammil [73]: 6).

Dengan demikian, peringatan Sunan Kalijaga agar berhati-hati di malam hari itu ada dua hal yang disampaikannya.

  • Pertama, pada saat itu memang kejahatan sering terjadi pada malam hari.
  • Kedua, ia sesungguhnya tengah menafsirkan firman Allah dalam surat al-Falaq dan an-Nas tersebut secara implisit.

Hal ini didasarkan pada bentuk- bentuk kejahatan yang dikemukakannya sangat berkaitan dengan bentuk-bentuk kejahatan dalam kedua surat tersebut. Karena itu, tempat untuk berlindung yang sejati adalah kepada Allah, yang menguasai alam semesta dan seluruh makhluk di dunia ini.

Haruslah dipahami sebagai kiasan, adapun filosofis yang sesungguhnya itu adalah Sang Sabda Kun ( Sang Guru Sejati atau Tuhan Yang Maha Esa). Dialah yang menjaga malam artinya Sang Guru Sejati trsebut akan membawa segala kepastian (takdir) manusia dan yang memiliki daya kuasa yang demikian besar itu.

Maka sama dengan orang yang sudah menguasai ilmu, bila waktu malam selalu berdo’a menunggu ilham apa yang harus dilakukannya setiap harinya, dapat dijadikan pedoman tekad, sehingga pada siang harinya tingga nasibnya, dengan mawas dan sadar diri. Bila tujuannya tadi dapat terbiasa dengan Sang Sabda Kun maka tentu juga memiliki daya kekuasaan seperti yang dijelaskan dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi.

2. Tentang manusia

Bukan hanya filsafat barat atau alam pikiran India yang kaya dengan telaah kehidupan diri manusia. Sunan Kalijaga pun meng- ajarkan jati diri manusia kepada masyarakat. Seperti juga pada do’a ajaran tentang filsafat kehidupan yang dituangkan dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi. Jika filsafat lebih menitik beratkan pada wacana intelektual, tidak demikian halnya dengan ajaran Kidung Rumeksa Ing Wengi Sunan Kalijaga, yaitu lebih difokuskan kehidupan nyata (menjadi manusia yang waspada).

Sunan Kalijaga mengajak untuk memahami perjalanan hidup dan posisi seseorang dalam menghadapi hidup ini, agar bisa menerima tugas atau kodrat yang telah disetujui dengan suka rela/ mengemban tugas dengan legawa (hati yang lapang). Dari mana dan siapa diri yang sebenarnya, adalah merupakan pertanyaan sejak ribuan tahun lalu yang oleh para ahli pikir dan mistikus mengajukan pertanyaan tentang hal ini. Lebih dari dua ribu tahun yang lalu para ahli pikir dari tanah Yunani beranggapan bahwa manusia itu adalah hewan yang berakal (animal rasionale). Dengan demikian, hakikat jiwa adalah kesadaran atau rasio yang terperangkap badan jasmani. Keadaan ini mendorong seorang filosof barat yang bernama Arthur Schopenhauer (1788-1868) memunculkan gagasan atau esensi hakikat manusia. Menurutnya, “Manusia lahir dari kehendak buta”.

Dengan pandangan tersebut diatas manusia sama dengan menerima nasib secara pasif total. Seolah-olah kehadiran manusia di alam ini hanya karena kecelakaan sejarah. Seakan-akan manusia hadir karena paksaan dari luar dirinya. Enak dan tidak enak, bahagia dan menderita bukan karena usaha manusia melainkan takdir yang menimpa. Lain halnya dengan keterangan Sunan Kalijaga dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi, menjelaskan bahwa:

Songing landak guwaning wong lemah miring Myang pakiponing merak

Liang landak jadilah gua untuk orang berlaku jahat Dan tempat merak bermandi pasir.

Potongan bait di atas adalah merupakan makna kiasan yang ada dalam kidung Rumeksa Ing Wengi. Songing landak guwaning wong lemah miring, myang pakiponing merak. R.Wiryapanitra menjelaskan bahwa makna filosofi sebenarnya adalah asal-usul kejadian manusia. Sebagai perantaranya adalah laki-laki dan perempuan (bapak dan ibu). Adapun keterangan dari bapak ibu terlebur dalam perpaduan kama (persetubuhan dalam bentuk mani/sperma, madi/ovum, wadi/rasa malu pada laki-laki dan maningkem/rasa malu pada perempuan). Di situlah Sang Maha Suci menciptakan makhluk.

3. Hubungan Manusia dengan Tuhan

Dalam kidung Rumeksa Ing Wengi ini menunjukkan tentang teologis yang ketiga yaitu hubungan manusia dengan tuhan, hal tersebut tercermin pada potongan bait ke delapan yang berbunyi sebagai berikut:

Lan den sabar sukur ing Widhi Insya Allah tinekanan
Sakarsa nureku

Seperti dijelaskan di atas yaitu setiap perbuatan ditampakkan dengan sikap sabar, syukur dan pasrah kepada Allah, apabila ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dapat dikabulkan oleh Allah, dapat tercapai apa yang dicita-citakan. Secara implisit kidung ini mengajak untuk menguatkan tauhid seseorang kepada Tuhan (Allah), karena sangat tidak mungkin seseorang syukur serta pasrah kepada sesuatu yang tidak ia percayai.

Seperti apa yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, yakni kualitas keyakinan penuh terhadap Allah, mengharap ampunan dan kemuliaan dari-Nya bisa meningkatkan jiwa orang beriman kepada Allah itu sampai pada tingkat sabar, teguh dan tawakkal kepada-Nya, dimana keteguhan hatinya bisa diibaratkan sebagai batu yang tersimpan di dalam rusuknya. Tidak ada satupun musibah, penderitaan, ancaman dan kesengsaraan duniawi yang mampu menggeser kedua kakinya, sehingga ia bersedia mengendorkan tali kesadaran yang mengikat ert keteguhan dirinya itu.

Kekuatan sabar, tawakkal, dan istiqomah seperti ini merupakan kekuatan yang jauh di atas kekuasaan manusia, yang dengan itu para Rasul ataupun Nabi mampu menghadapi kesulitan dan penderitaan duniawi, serta mampu menggempur kekuasaan dan umatnya yang sewenang-wenang tanpa mempergunakan sarana fisik ketika menaklukkannya.

Jadi hanya memohon perlindungan kepada Allah, karena Dia yang menetapkan dan mengatur hukum-hukum alam, yang menjadikannya muncul di tengah kegelapan malam. Karena biasanya kejahatan atau kesulitan muncul di malam hari atau direncanakan dalam keadaan gelap, baik kejahatan itu dari manusia, binatang dan sebagainya. Jadi dengan menyakini bahwa Allah adalah yang mampu membelah kegelapan malam dengan terangnya pagi seseorang akan yakin pula bahwa Allah juga mampu menyingkirkan kejahatan dan kesulitan baik kapan dan dimanapun akan muncul pertolongan untuk menyingkirkan kesulitan.

Memang boleh saja seseorang meminta bantuan kepada selain Allah, tetapipada saat yang sama ia harus menyadari bahwa pada hakikatnya pihak yang dimintai bantuan itu hanyalah sebagai sebab atau sarana yang diciptakan Allah untuk membantu atau melindunginya.

perumpamaan orang-orang yang mengambil perlindungan kepada selain Allah adalah bagaikan laba-laba yang membuat rumah. Sesungguhnya serapuh-rapuh rumah adalah rumah laba- laba kalau mereka mengetahui (QS. al-‘Ankabūt [29]: 41).

Sumber : M. Sakdullah, Kidung Rumeksa ing Wengi karya Sunan Kalijaga dalam kajian teologis, UIN Walisongo