Apa Makna Perempuan dalam Interpretasi Mufassir Kontemporer?


Perempuan akan selalu mempunyai banyak makna, tergantung interpretasi yang digunakan dalam memaknainya. Salah satunya dengan interpretasi Mufassir Kontemporer.

Apa makna perempuan dalam interpretasi Mufassir Kontemporer?

Fazlur Rahman (1983), seorang pemikir kontemporer, telah menginterpretasikan QS. Al-Nisa [4]: 34 menyangkut eksistensi perempuan sebagai berikut:

Laki-laki adalah qawwam atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian hartanya. Hal tersebut bukanlah perbedaan hakiki, melainkan perbedaan fungsional. Artinya, jika seorang isteri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri, baik karena warisan dari orangtuanya maupun karena usaha sendiri dan dapat memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya berkurang, karena sebagai suami ia tidak mempunyai keunggulan dibandingkan isterinya.

Jadi seorang isteri jika dapat mandiri di bidang ekonomi karena memiliki aset kekayaan yang mampu menghidupi rumah tangganya, baik karena pemberian dari orangtuanya maupun karena kemampuan dalam usahanya sendiri, maka secara fungsional perempuan tersebut memiliki kelebihan. Oleh karena itu pantaslah Amina Wadud (1992) mengatakan, “Superioritas laki-laki tidak melekat secara otomatis kepada setiap laki-laki, tetapi superioritas laki-laki hanya terjadi secara fungsional selama yang bersangkutan memenuhi kriteria dapat memberi nafkah”.

Dengan demikian, tidak semua laki-laki otomatis memiliki kelebihan atas perempuan. Kelebihan dan keunggulan tersebut tidak bersifat absolut, tetapi bersifat relatif, sangat tergantung usaha pribadi laki-laki maupun perempuan itu. Apalagi jika dicermati ayat tersebut, tentulah dapat dipahami bahwa yang memiliki keunggulan dan superioritas itu tidak seluruh laki-laki, melainkan hanya sebagian lakilaki saja dan ini berarti keunggulan itu dimiliki pula oleh sebagian perempuan. Menurut Engineer (1994), “Seandainya al-Qur’an mengukuhkan superioritas itu hanya dimiliki laki-laki, tentu akan menggunakan kalimat seperti bima fadhdhala lahum ‘alaihinn, atau lebih tegas lagi dengan lafadz bima fadhdhala al-rijal ‘ala al-nisa. Akan tetapi al-Qur’an tidak menggunakan kalimat tersebut, hanya menyatakan bima fadhdhalallah ba’dhahum ‘ala ba’dh”.

Di samping itu perlu juga dipahami, bahwa laki-laki qawwam atas perempuan itu merupakan kalimat pernyataan kontekstual, bukan kalimat pernyataan normatif, dan bukan pula kalimat perintah. Hal ini menurut Engineer (1994: 1) menunjukkan al-Qur’an hanya mengatakan bahwa dalam realitas sejarah laki-laki menjadi qawwam, dan tidak menyatakan laki-laki harus qawwam