Apa Makna Perempuan dalam Interpretasi Mufassir Klasik?


Perempuan akan selalu mempunyai banyak makna, tergantung interpretasi yang digunakan dalam memaknainya. Salah satunya dengan interpretasi Mufassir Klasik.

Apa makna perempuan dalam interpretasi mufassir klasik?

Gugatan kaum feminis yang paling populer mengenai kepemimpinan laki-laki dalam QS.Ali-Nisa [4]: 34. Dalam ayat tersebut, kata qawwam diinterpretasikan oleh mufassir klasik bermacam-macam. Al- Thabari mengartikan dengan “penangung-jawab” (ahl al-qiyam), Ibnu Abbas dengan “penguasa” (mushallatun), Mohamad Asad dengan “penjaga”, dan Abdullah Yusuf Ali dengan “pelindung” (Syafrudin, 1994).

Alasan yang dikemukakan para mufassir mengapa laki-laki menjadi penanggung-jawab, penguasa, penjaga, dan pelindung, menggunakan penjelasan beraneka ragam dan sangat bias laki-laki. Ibnu Abbas (tanpa tahun: 68) memberi alasan karena laki-laki memiliki kelebihan akal dan kelebihan memperoleh harta (ghanimah), dan waris. Al-Zamahsyari (1977: 53) memberi alasan karena laki-laki memiliki kelebihan dalam penalaran akal (al-Aql), tekad yang kuat (al-Hazm), teguh pendirian (al-‘Azal), kekuatan (al-Quwwat), kemampuan menulis (al-Kitabah), keberanian (al-Furusiyah wa al-Ramy). Al-Nawawi (tanpa tahun:149) menjelaskan karena laki-laki memiliki kesempurnaan akal (Kamal al-Aql), matang dalam perencanaan (Husn al-Tadbir), tepat dalam penilaian (Wazanat al-Ra’yi) dan lebih kuat dalam amal dan ketaatan.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Al-Zamahsyari (1977:524) berpendapat bahwa laki-laki pantas mendapat peran dan tugas istimewa untuk menjadi wali, imam, menegakkan syi’ar Islam (adzan, iqamat, dan khutbah), saksi dalam berbagai masalah (hudud dan qishash), wajib melaksanakan jihad, shalat Jum’at, i’tikaf, menerima bagian lebih besar dalam waris, dapat menentukan thalaq dan rujuk. Argumen para mufassir tersebut adalah: (1) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan); (2) karena laki-laki memberi nafkah kepada perempuan.

Meskipun pandangan para mufassir di atas mengesankan misoginistik terhadap perempuan, namun mereka sepakat untuk memposisikan perempuan secara terhormat dan tidak membenarkan menempatkan perempuan pada martabat yang rendah dan tertindas seperti yang terjadi pada masa pra Islam. Atas dasar itu, maka tidak ada halangan bagi perempuan untuk berkiprah melakukan peranperan sosial, ekonomi, dan politik sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sejumlah perempuan pada masa Rasulullah hidup, seperti Siti Khadijah seorang pengusaha yang sukses, Aisyah seorang cendekiawan, pemimpin politik, dan ahli hadits, dan masih banyak.

Apabila jelas posisi perempuan dalam ide Islam demikian terhormat dan setara, lalu dari mana datangnya pemikiran yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, marginal, stereo type, dan bahkan violence? Benarkah kaum agama terlibat dalam pelanggengan budaya patriarkhi lewat interpretasi teologisnya?

Superioritas laki-laki dalam kepemimpinan pada dasarnya untuk mewujudkan kemaslahatan yang menjadi tuntutan kemanusiaan, bukan hak-hak eskatologisnya. Oleh karena itu konsep superioritas perlu dipahami sebagai faktor sosiologis bukan teologis. Akan tetapi yang sosiologis semacam ini seringkali berubah menjadi teologis dan diyakini, sehingga menimbulkan implikasi yang jauh terhadap posisi perempuan.

Klaim tentang superioritas laki-laki seperti digambarkan di atas tentu tidak akan ditemukan dalam al-Qur’an, karena keunggulan lakilaki hanyalah merupakan generalisasi mufassir klasik. Mereka mengabaikan ungkapan al-Qur’an yang hanya menegaskan kelebihan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan. Oleh karena itu tugas yang diemban laki-laki tidak meniscayakan secara mutlak superioritas laki-laki secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian laki-laki yang memiliki kriteria superior itu. Hal ini mengindikasikan, ada sebagian perempuan pula yang superior. Menurut Rasyid Ridha (1973:6970), superioritas laki-laki bukan karena mereka diberi keistimewaan menjadi Bani, Imamah, menegakkan syiar Islam, seperti adzan, iqamah, khutbah, dan lain-lain, sebab andaikata kaum perempuan mampu menjalankan fungsi-fungsi tersebut, fitrah mereka tetap menghalanginya.

Itulah sebabnya para pemikir muslim kontemporer berusaha membaca kembali khazanah pemikiran mereka sebagai upaya tranformasi perempuan dalam posisi yang equal dengan menginterpretasikan ayat al-Qur’an secara kontekstual.