Apa makna mimpi menurut Islam ?

Mimpi adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat (rapid eye movement/REM sleep).

Apa makna mimpi menurut Islam ?

Menurut ustadz Abu Sa’ad al-Wa’izh berkata,

“Pada prinsipnya mimpi yang baik itu bersumber dari aneka amal yang benar dan mengingatkan akan aneka akibat dari berbagai urusan. Dari mimpi yang baik itu muncullah aneka perintah, larangan, berita gembira, dan peringatan. Dikatakan demikian karena mimpi yang baik merupakan sisa dan bagian dari kenabian, bahkan ia merupakan satu dari dua bagian kenabian, sebab ada nabi yang wahyunya berupa mimpi. Orang yang menerima wahyu melalui mimpi disebut Nabi. Adapun orang yang menerima ucapan malaikat saat dia terjaga disebut Rasul. Inilah yang membedakan antara nabi dan rasul.”

Abu Ali Hamid bin Muhammad bin Abdullah ar-Rafa` memberitahukan kepada kami, dari Muhammad ibnul-Mughirah, dari Makki bin Ibrahim, dari Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

Jika masa semakin dekat, mimpi seorang muslim nyaris tidak pernah dusta. Muslim yang paling benar mimpinya adalah yang paling jujur perkataannya. Mimpi seorang mukmin merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian. Mimpi ada tiga macam: mimpi yang baik sebagai berita gembira dari Allah ‘azza wa jalla, mimpi seorang muslim yang dialami oleh dirinya sendiri, dan mimpi sedih yang berasal dari setan. Jika salah seorang di antara kamu mengalami mimpi yang tidak disukai, janganlah menceritakannya kepada orang lain, bangunlah, kemudian shalatlah.” (Muttafaq ‘alaih)

Beliau bersabda,

“Aku menyukai mimpi ihwal rantai, tetapi tidak menyukai mimpi ihwal belenggu.” (Shahih al-Jami’)

Rantai ditakwilkan dengan keteguhan pada agama.

Abu Abdullah al-Mahlabi dan Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf menceritakan kepada kami dari al-‘Abbas ibnul-Walid bin Mazid, dari ‘Uqbah bin ‘Alqamah al-Mu’arifi, dari al-Auza’i, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abi Salamah bin Abdurrahman, dari ‘Ubadah ibnush-Shamit bahwa ia bertanya kepada Rasulullah tentang ayat 63-63 surah Yunus, “ Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam kehidupan di akhirat.”

Maka, Rasulullah menjawab,

“Sungguh kamu telah menanyakan sesuatu kepadaku yang belum pernah ditanyakan oleh seorang pun selainmu. Al-busyra ialah mimpi yang baik yang dialami oleh seseorang atau dianugerahkan Allah kepadanya.” ( As-Silsilah ash-Shahihah )

Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Hadits-hadits yang kami riwayatkan tersebut menunjukkan bahwa mimpi itu memang sesuatu yang benar secara substansial dan bahwa mimpi itu memiliki ketentuan dan dampak.”

Di antara dalil yang menunjukkan kebenaran mimpi ialah bahwa saat Ibrahim tidur, Allah memperlihatkan kepadanya seolah-olah dia menyembelih putranya. Setelah bangun, dia pun melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya saat tidur. Allah Ta’ala mengisahkan kejadian tersebut,

“Maka tatkala anak itu mencapai kesanggupan berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah apa pendapatmu!’ Dia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’” (ash-Shaaffat: 102)

Setelah Ibrahim a.s. memahami mimpinya dan berupaya melaksanakannya, lalu Allah memberinya jalan keluar karena kasih-sayang-Nya, dia mengetahui bahwa mimpi itu merupakan

hukum. Demikian pula halnya dengan mimpi yang dialami Yusuf a.s., yang dikisahkan Allah dalam Al-Qur`an sebagai kisah yang populer dan terkenal.

Mimpi terbagi dua: mimpi yang benar dan yang batil. Mimpi yang benar ialah yang dialami manusia tatkala kondisi psikologisnya seimbang dan keadaan cuaca sedang seperti ditandai oleh bergoyangnya pepohonan hingga berjatuhannya dedaunan. Mimpi yang benar tidak didahului dengan adanya pikiran dan keinginan akan sesuatu yang kemudian muncul dalam mimpi. Kebenaran mimpi juga tidak ternodai oleh peristiwa junub dan haid.

Adapun mimpi yang batil ialah yang ditimbulkan oleh bisikan nafsu, keinginan, dan hasrat.

Mimpi demikian tidak dapat ditakwilkan. Demikian pula mimpi “basah” dan mimpi lain yang mewajibkan mandi dikategorikan sebagai mimpi yang batil karena tidak mengandung makna. Sama halnya dengan mimpi yang menakutkan dan menyedihkan karena berasal dari setan. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicarana itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.” (al-Mujaadilah: 10)

Jika seseorang mengalami mimpi yang tidak disukai, disunnahkan melakukan lima perbuatan. Yaitu, mengubah posisi tidur, meludah ke kiri sebanyak tiga kali, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, bangun dan shalat, dan tidak menceritakan mimpinya kepada siapa pun.

Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Pelaku mimpi hendaknya memelihara etika yang perlu dipegang teguh dan memiliki batasan-batasan yang selayaknya tidak dilampaui. Demikian pula halnya dengan pentakwil.”

Etika pelaku mimpi ialah,

  • Pertama, dia tidak menceritakan mimpinya kepada orang yang hasud sebagaimana dikatakan Ya’kub kepada Yusuf,

    “Ayahnya berkata, ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara- saudaramu, maka mereka akan membuat makar untuk membinasakanmu.’” (Yusuf: 5)

  • Kedua, jangan menceritakan mimpinya kepada orang yang bodoh. Nabi saw. bersabda, “ Janganlah kamu menceritakan mimpimu kecuali kepada orang yang dicintai atau kepada orang yang pandai.”

  • Ketiga, janganlah menceritakan mimpi kecuali secara rahasia karena dia pun melihatnya secara rahasia pula. Jangan menceritakannya kepada anak-anak dan wanita. Sebaiknya mimpi itu diceritakan menjelang awal tahun dan pada pagi hari, bukan sesudah keduanya lewat.

Adapun etika pentakwil ialah sebagai berikut.

  • Pertama, jika saudaranya menceritakan mimpi kepadanya, maka katakanlah, “Aku kira mimpi itu baik.”

  • Kedua, hendaknya menakwilkan mimpi dengan cara yang paling baik. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Mimpi akan terjadi sebagaimana ia ditakwilkan.” Juga diriwayatkan bahwa beliau bersabda, “ Mimpi itu bagaikan kaki yang menggantung selama belum diungkapkan. Jika telah diungkapkan, maka terjadilah.” Demikian yang disebut dalam as-Silsilah ash-Shahihah.

  • Ketiga, menyimak mimpi dengan baik, kemudian menjawab si penanya dengan jawaban yang mudah dipahami.

  • Keempat, jangan tergesa-gesa menakwilkan mimpi. Lakukanlah dengan hati-hati.

  • Kelima, menyembunyikan mimpi dan tidak menyebarkannya sebab ia merupakan amanat. Jangan menakwilkan mimpi ketika matahari terbit, ketika tergelincir, dan ketika terbenam.

  • Keenam, memperlakukan pelaku mimpi secara berbeda. Janganlah menakwilkan mimpi raja seperti menakwilkan mimpi rakyat, sebab mimpi itu berbeda karena perbedaan kondisi pelakunya.

  • Ketujuh, merenungkan mimpi yang dikemukakan kepadanya. Jika mimpi itu baik, maka takwilkanlah dan sampaikanlah kabar gembira kepada pelakunya sebelum mimpi itu ditakwilkan. Jika mimpi itu buruk, maka janganlah menakwillkannya atau takwilkanlah bagian mimpi yang takwilnya paling baik. Jika sebagian mimpi itu merupakan kebaikan dan sebagian lagi keburukan, maka bandingkanlah keduanya, lalu ambillah mimpi yang paling tepat dan paling kuat pokoknya. Jika pentakwil mengalami kesulitan, bertanyalah kepada pelaku mimpi ihwal namanya, lalu takwilkannya berdasarkan namanya itu.

Pada dasarnya, dalam Islam, mimpi seseorang itu dapat dibagi menjadi tiga kategori, seperti yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw dalam hadisnya.

Dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW; bersabda,

“Ada tiga jenis mimpi: Mimpi yang sebenarnya yang menggembirakan dari Allah SWT; mimpi yang menyebabkan kesedihan berasal dari Setan; dan mimpi yang berasal dari pikiran yang tidak menentu.”

Mimpi Baik


Mimpi Rasulullah SAW; adalah benar adanya. Allah SWT menyebutkan salah satu mimpi Rasulullah SAW;

Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan Sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.

Mengenai mimpi yang benar adalah bahwa mimpi tersebut merupakan anugerah dan bagian dari tanda-tanda Allah SWT ciptakan dalam diri manusia untuk menunjukan kebaradaan-Nya. Abu Qatadah meriawayatkan bahwa Rasulullah SAW; bersabda,

“Mimpi yang benar dari Allah, dan mimpi yang buruk dari setan.”

Ini adalah pernyataan umum dari Rasulullah SAW; mengenai mimpi yang benar dan tidak terbatas pada orang yang beriman. Kisah yang diceriatakan dalam al- Qur’an (12: 36-50) menganai nabi Yusuf yang menafsirkan mimpi dua orang tahanan dan mimpi raja Mesir Kuno adalah contoh dari mimpi yang benar yang dialami oleh oarang-orang kafir.

Sunnah menceritakan mimpi yang baik (kepada yang dicintainya) dan jangan menceritakan mimpi buruk kepada siapapun.

Nabi Shallallaahu ‟alaihi wa sallam bersabda :

”Mimpi baik berasal dari Allah. Jika salah seorang dari kalian melihat apa yang ia suka maka janganlah ia ceritakan mimpi tersebut kecuali kepada orang yang mencintainya saja. Dan jika ia melihat mimpi yang tidak ia sukai, maka hendaklah ia meminta perlindungan kepada Allah dari kejahatan mimpi tersebut dan dari kejahatan syaithan, kemudian meludah tiga kali, dan janganlah ia ceritakan kepada siapapun. Sebab mimpi itu tidak akan mendatangkan kemudlaratan”

Hadis riwayat al-Bukhari dari Abû Hurairah:

“Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar.Dan syetan tidak dapat menyerupai diriku.”

Menurut al-Baqillani, makna “melihatku” (Rasulullah) dalam hadis di atas adalah benar adanya, bukan mimpi kosong, juga bukan penyerupaan-penyerupaan dari syetan.

Menurut Imam al-Ghazali, makna sabda Nabi tersebut maksudnya bukan berarti seseorang akan melihat jasadnya atau badannya, melainkan seseorang akan melihat perumpamaan dari makna yang terkandung dalam mimpi tersebut.

Namun, banyak kaum sufi yang berkeyakinan bahwa seseorang dapat bertemu Nabi secara langsung, meskipun Nabi Muhammad saw. telah wafat empat belas abad yang silam.

Menurut penafsiran kaum sufi, hadis di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. masih hidup dan bisa ditemui secara langsung oleh kaum sufi. Apalagi jika didahului mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., maka bisa dipastikan orang yang mimpi tersebut akan mengalami pertemuan langsung dengan Nabi Muhammad saw. Munculnya penafsiran ini, menurut kaum sufi karena dalam hadis terdapat kata ٚyang berarti “bertemu secara langsung”. Oleh karena itu, banyak kaum sufi yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. secara langsung dan mendapatkan wirid-wirid tertentu, kitab, ilmu, bahkan diantara mereka ada yang menyatakan bahwa seluruh ucapannya bersumber dari mulut Nabi Muhammad saw.

Para sufi yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. antara lain adalah al-Tijânî, Abû Hasan al-Syâdzilî, Ibnu Arabi, Muhammad al-Suhaimi, dan lain-lain.

Mimpi Buruk


Mimpi buruk yaitu mimpi yang dirasakan tidak baik oleh si pemimpi, biasanya mimpi yang menyebabkan rasa sedih, takut, khawatir berlebihan, gundah dan gelisah. Mimpi buruk ini datangnya dari syaitan, sebagai musuh utama manusia, syaitan hendak memberikan gangguan dari berbagai arah, salah satunya dari mimpi. Mimpi buruk termasuk salah satu permainan setan kepada ban iAdam. Mereka ingin menakut-nakuti manusia.

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam melarang kita menceritakan mimpi buruk kepada siapa pun.

Dari Jabir radhiallahu „anhu , ada seorang Arab badui datang menemui Nabi kemudian bertanya, “Ya rasulullah, aku bermimpi kepalaku dipenggal lalu menggelinding kemudian aku berlari kencang mengejarnya”. Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepada orang tersebut, “ Jangan kau ceritakan kepada orang lain ulah setan yang mempermainkan dirimu di alam mimpi ”. Setelah kejadian itu, aku mendengar Nabi menyampaikan dalam salah satu khutbahnya, “ Janganlah kalian menceritakan ulah setan yang mempermainkan dirinya dalam alam mimpi ” (HR Muslim)

Oleh karenanya Jika seseorang mengalami mimpi yang tidak disukai, disunnahkan melakukan lima perbuatan. Yaitu, mengubah posisi tidur, meludah ke kiri sebanyak tiga kali, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, bangun dan shalat, dan tidak menceritakan mimpinya kepada siapa pun.

Dan apabila ia melihat tidak demikian dari yang tidak menyenangkannya maka sesungguhnya mimpi itu hanyalah dari syaitan, maka hendaklah ia memohon perlindungan (ta’awwudz kepada Allah swt) dari keburukannya dan janganlah menuturkannya kepada seseorang, maka mimpi itu tidak membahayakannya (madharat).” (HR : Bukhari)

Berikut ini hadits yang menerangkan larangan menceritakan mimpi buruk kepada orang lain disertai penjelasannya yang dikutip dari Kitab Syarah Shahih Muslim karya Imam An-Nawawi.

Qutaibah bin Sa’id telah memberitahukan kepada kami, Laits telah memberitahukan kepada kami. (H) Dan Ibnu Rumh telah memberitahukan kepada kami, Al-Laits telah mengabarkan kepada kami, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir, dari Rasulullah SAW; bahwasanya beliau pernah bersabda kepada seorang arab badui yang datang kepada beliau. Orang arab badui itu berkata, “Aku bermimpi bahwa kepalaku putus dan aku pun segera mengejarnya” Lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang orang itu seraya bersabda, “Janganlah kamu menceritakan tentang gangguan setan terhadap dirimu di dalam mimpi.”

Abu Qatadah (perawi hadis) mengatakan, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

Mimpi itu ada tiga: mimpi yang benar, mimpi bisikan perasaan, dan mimpi ditakut-takuti setan. Barangsiapa bermimpi yang tidak disukainya (mimpi buruk), hendaklah dia melaksanakan shalat .” (HR. at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani)

Mimpi yang Berasal Dari Hasil Pikiran Manusia


Mimpi dalam kategori ini biasanya merupakan khayalan yang tidak utuh dari pengalaman manusia dalam keadaan terjaga, baik di masa lampau atau sekarang, bersifat khayalan atau nyata. Auf ibn Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW; bersabda,

“Sesungguhnya mimpi itu ada tiga: … yang ketiga apa yang dibayangkan orang dalam keadaan terjaga kemudian ia melihatnya dalam mimpinya”.

Gambaran ini sesuai dengan teori ilmiah modern tentang mimpi, yang menyatakan bahwa keadaan mimpi sebagai kelanjutan dari keadaan terjaga yang mencerminkan pengalaman dalam keadaan terjaga. Ulama abad ke-20, al-Baghawi mengatakan bahwa mimpi basah mingkin adalah hasil dari refleksi mental ketika seseorang bermimpi, sebagaimana seseorang yang melakukan aktifitas mungkin menyaksikan dirinya melakukan aktifitas tersebut dalam mimpinya. Dengan demikan pula orang yang jatuh cinta mungkin menyaksikan orang yang dicintainya dalam mimpi.

Mimpi yang berasal dari akal manusia adalah mimpi yang tidak mempunyai arti, mimpi tersebut bukan hal yang menggembirakan dari Allah atau bujukan jahat dari setan. Refleksi mental hanyalah bagian dari fungsi biologis otak. Karenanya tidak perlu mencari penafsiran atas mimpi tersebut dari orang lain. Meskipun begitu jenis mimpi ini mesti dianggap anuugrah dari Allah SWT. Bukti ilmiah menunjukan bahwa tidur bermimpi lebih baik daripada tidur tidak bermimpi. Orang yang sering kehilangan kesempatan tidur bermimpi pada akhirnya akan lebih banyak bermimpi untuk menggantikan tidur bermimpi yang terlewatkan.

Disamping itu hormon yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan manusia, disebut hormon pertumbuhan, dilepaskan diwaktu tidur malam, terutama selama tidur bermimpi. Karenanya tidur tanpa mimpi bisa mempengaruhi faktor-faktor yang menyababkan gangguan pertumbuhan.

Referensi :

  • Abu Aminah bilal Philiphs, Mimpi Yang Bermakna, Bandung, Penerbit Marja, 2001
  • Syauqi Ibrahim, Misteri Tidur: Menyingkap Keajaiban di balik Kematian Kecil. Terj. Faishal Hakim Halimi,Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007
  • Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008
  • Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-hanafi Ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud, jilid 1.