Apa Makna Kehidupan Dunia Sebagai Ujian?

Kehidupan Dunia Sebagai Ujian

Kehidupan dunia ini tidak lain hanya merupakan masa ujian pada hari kiamat kelak, apa yang telah diperbuat seseorang di dalamnya akan ditimbang dengan timbangan keadilan, untuk diketahui hasil usahanya. Menurutmu, apa makna kehidupan dunia sebagai ujian ?

Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa kehidupan di dunia merupakan sebuah ujian, diantaranya firman Allah Swt., QS. Tāhā/20 ayat 131:

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Tāhā/20: 131).

Asbāb al-Nuzūl: Ibnu Abī Syaibah, Ibnu Mardawih, al-Bazzar, Abu Ya’la meriwayatkan dari Abū Rāfi’,dia berkata, “Nabi Saw., menjamu seorang tamu, lalu beliau mengutus saya kepada orang Yahudi untuk berutang tepung yang akan dibayar pada bulan Rajab. Kata si Yahudi, “Tidak bisa kecuali dengan gadai.” Saya pun menghadap Nabi Saw., dan memberi tahu beliau. Beliau bersabda” “Demi Allah aku sungguh terpercaya di langit dan terpercaya di bumi.” Belum sempat saya keluar dari rumah beliau, ayat ini sudah turun. (Jalāluddīn al-Suyūṭī, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie, (Depok: Gema Insani, 2009) h. 370.)

Ayat ini menjelaskan bahwa untuk menguatkan hati Rasūlullah dalam menghadapi perjuangan menegakkan kalimah Allah, Allah mengamanatkan kepadanya agar dia jangan mengalihkan perhatiannya kepada kesenangan dan kekayaan yang dinikmati sebagian orang kafir karena hal itu akan melemahkan semangatnya bila matanya disilaukan oleh perhiasan dunia. Semua nikmat yang diberikan kepada orang-orang kafir itu hanyalah sementara. (Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al- Qur’an Kementrian Agama, 2010). Jilid 6, h. 216.)

Sejalan dengan ini Abū Ja’far mengatakan, rezeki yang dijanjikan kepada Rasul akan diberikan di akhirat kelak, sehingga Rasul merasa senang karena yang diberikan kepada RasulAllah jauh lebih baik daripada yang diberikan kepada mereka, berupa bunga kehidupan dunia, dan lebih kekal karena tidak terputus dan tidak ada habisnya. (Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah al-Risālah, 1994), Jilid 5, h. 234.)

Kemudian al-Sya’rāwī berpendapat bahwa sesungguhnya apa yang mereka terima itu adalah cobaan dari Allah semata, dan segera akan meninggalkan mereka. Menurutnya kata zahrah adalah simbol dari segala berakhirnya kenikmatan yang diterima kaum kafir tersebut. Demikianlah Allah memberikan kenikmatan dunia yang sementara dan hanya cobaan belaka. Karena Allah hendak mencoba hamba-Nya dengan hal baik maupun buruk. (Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 15, h. 9457.)

Sebagaimana firman Allah Swt:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiyā/21: 35).

Pada akhir penafsiran Kemenag dikatakan, Allah telah menganugerahkan kepada Nabi sebagai ganti nikmat lahiriyah itu nikmat yang lebih baik yaitu ketenangan hati dan kebahagiaan yang berupa keridhaan Illahi. (Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al- Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 6, h. 216.)

Terkait hidup adalah sebuah ujian, hal ini juga termaktub dalam firman Allah Swt., dalam surat al-Mulk ayat 1-2:

“Maha Pemberi berkah Tuhanmu, segala kekuasaan pada hakikatnya ada di genggamanNya. Dia Maha Kuasa untuk melakukan apa saja. Tuhanlah yang menjadikan kematian dan kehidupan (dalam kerangka) untuk menguji diantara kamu siapa yang paling bagus amalnya.” (QS. al-Mulk/67: 1-2)

Allah menciptakan kematian dan kehidupan adalah untuk menguji manusia, siapa diantara mereka yang beriman dan beramal saleh dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad dan siapa pula yang mengingkarinya. Kemudian dengan menciptakan kehidupan itu, Allah memberi kesempatan yang sangat luas kepada manusia untuk memilih mana yang baik menurut dirinya. Apakah ia akan mengikuti hawa nafsunya, atau ia akan mengikuti petunjuk, hukum, dan ketentuan Allah sebagai penguasa alam semesta ini. Seandainya manusia ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti, maka azab itu pada hakikatnya ditimpakan atas kehendak diri mereka sendiri. Begitu juga jika mereka memperoleh kebahagiaan, maka kebahagiaan itu datang karena kehendak diri mereka sendiri sewaktu hidup di dunia.

Menurut al-Qurṭubī, Allah menciptakan manusia untuk kematian dan kehidupan. Maksudnya, untuk kematian di alam dunia dan kehidupan di akhirat. (Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt: Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 21, h. 110.)

Mengenai hal ini beliau menukil dari sahabat Qatādah berkata, bahwa “Rasūlullah Saw., pernah bersabda;

“Sesungguhnya Allah telah menghinakan anak cucu Adam dengan kematian dan menjadikan dunia sebagai tempat kehidupan lalu tempat kematian, serta menjadikan akhirat sebagai tempat pembalasan lalu tempat kekekalan. Supaya Allah dapat menguji seorang hamba dengan kematian orang yang disayanginya, dimana tujuannya adalah agar kesabarannya terlihat jelas, dan juga dengan kehidupan (orang yang disayanginya), dimana tujuannya adalah agar syukurnya terlihat jelas. (Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an, Jilid 21, h. 112.)