Apa makna kalimat tauhid "laa ilaaha illAllah"?

kalimat tauhid

Apa makna kalimat tauhid “laa ilaaha illAllah”?

Mengucapkan klimat tauhid, laa ilaaha illallah, tanpa mengamalkan konsekuensinya, tidak memberikan pengaruh apapun. Karena kalimat tauhid tidak hanya untuk diucapkan. Namun sejauh mana kita bisa mengamalkan. Karena itu, orang yang mendapatkan jaminan surga dengan laa ilaaha illallah, adalah mereka yang memahami makna dan konsekuensinya serta menerapkannya dalam hidupnya.

Dari Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya,

“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa sesungguhnya tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah maka akan masuk Surga” (HR. Muslim 145)

Laa Ilaaha Illallah tersusun dari 4 kata: Laa, Ilaha, illa dan Allah

  • Kata Laa

    Disebut laa nafiyah lil jins (huruf lam yang berfungsi meniadakan keberadaan semua jenis kata benda setelahnya). Misalnya kata: “Laaraiba fiih” (tidak ada keraguan apapu bentuknya di dalamnya). Artinya meniadakan semua jenis keraguan dalam al-Quran.

    Sehingga laa dalam kalimat tauhid bermakna meniadakan semua jenis ilaah, dengan bentuk apapun dan siapapun dia.

  • Kata Ilah

    Kata ini merupakan bentuk mashdar (kata dasar), turunan dari kata: aliha – ya’lahu yang artinya beribadah. Sementara kata ilaahun merupakan isim masdar yang bermakna maf’ul (obyek), sehingga artinya sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah.

    Jika kita gabungkan dengan kata laa, menjadi laa ilaaha, maka artinya tidak ada sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah, apapun bentuknya.

  • Kata Illa

    Ilaa artinya kecuali. Disebut dengan huruf istitsna’ (pengecualian) yang bertugas untuk mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum yang telah dinafikan oleh laa.

    Sebagai contoh, ‘Laa rajula fil Masjid illa Muhammad’, Tidak ada lelaki apapun di masjid, selain Muhammad. Kata Muhammad dikeluarkan dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di masjid.

  • Kata Allah

    Allah, Dialah Sang Tuhan, dikenal oleh makhluk melalui fitrah mereka. Karena Dia Pencipta mereka. Sebagian ahli bahasa mengatakan, nama Allah berasal dari kata al-Ilah. Hamzahnya dihilangkan untuk mempermudah membacanya, lalu huruf lam yang pertama diidhgamkan pada lam yang kedua sehingga menjadi satu lam yang ditasydid, lalu lam yang kedua dibaca tebal. Sehingga dibaca Allah. Demikian pendapat ahli bahasa Sibawaih.

    Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan maknanya, “Allah Dialah al-Ma’bud (yang diibadahi), al-Ma’luh (yang disembah). Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia”. (Madarij as-Salikin, 3/144).

Dari keterangan di atas, ulama menyebutkan rukun kalimat laa ilaaha illallaah ada 2 (at-Tauhid li anNasyiin):

  • Pertama, an-Nafyu (peniadaan)

    Rukun ini diwakili kalimat laa ilaaha. Makna rukun ini, bahwa orang yang mengikrarkan laa ilaaha illallah harus mengingkari semua bentuk sesembahan dan sasaran ibadah apapun bentuknya. Baik dia manusia, benda mati, orang soleh, nabi, maupun Malaikat. Tidak ada yang berhak untuk dijadikan sasaran ibadah. Ketika seseorang beraqidah ateis, berarti dia tidak mengakui penggalan pertama kalimat tauhid:laa ilaaha.

  • Kedua, al-Itsbat (penetapan)

    Rukun ini mewakili kalimat illallaah. Artinya, orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah harus mengakui satu-satunya yang berhak dijadikan sasaran beribadah adalah Allah. Sehingga dia harus beribadah kepada Allah. Dan ketika dia tidak mau beribadah, berarti dia belum mengakui Allah sebagai tuhannya.

Dua rukun inilah yang Allah tegaskan dalam al-Quran,

Siapa yang ingkar terhadap thagut, dan beriman kepada Allah, berarti dia berpegang dengan tali yang kuat (QS. al-Baqarah: 256).

Makna kata Thaghut: segala sesembahan selain Allah, dan arti kata tali yang kuat adalah laa ilaaha illallah

Sehingga makna ayat, siapa yang mengingkari semua bentuk sesembahan dan hanya mengakui Allah sebagai sasaran peribadatannya, berarti dia telah mengikrarkan laa ilaaha illallah dengan benar.

Allah juga tegaskan di ayat yang lain,

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (QS. An-Nisa: 36)

Kita bisa lihat penolakan orang kafir terhadap dakwah Laa ilaaha illallah,

“Sesungguhnya mereka apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” maka mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami hanya karena seorang penyair gila?”. (QS. Ash-Shoffat : 35-36)

Ketika ada orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah namun dia masih rajin berbuat syirik, berarti perbuatannya bertentangan dengan apa yang dia ikrarkan. Karena dia mempertuhankan selain Allah, meskipun hanya dengan satu ibadah.

Mengucapkan Laa ilaaha illallah Tapi Tidak Beramal


Ini kebalikan dari yang pertama. Penyakit kedua yang dialami sebagian masyarakat, ada yang beralasan dengan laa ilaaha illallah namun dia sama sekali tidak pernah beramal. Tidak shalat, tidak puasa, tidak peduli dengan agamanya. Ketika diingatkan, dia beralasan, yang penting saya masih punya laa ilaaha illallah.

Kasus semacam ini pernah terjadi di zaman ulama Tabiin Wahb bin Munabbih (w. 114 H). Ada seseorang yang bertanya kepada beliau,

“Bukankah laa ilaaha illallah adalah kunci surga.”

Maksud orang ini, yang penting orang sudah mengucapkan laa ilaaha illallah, dia terjamin masuk surga, sekalipun dia tidak beramal.

Kemudian dijawab oleh Imam Wahb bin Munabih,

“Benar, laa ilaaha illallah adalah kunci surga. Namun bukankah setiap kunci harus punya gigi. Jika kamu membawa kunci yang ada giginya, dibukakan surga untukmu, jika tidak ada giginya, tidak dibukakan surga untukmu.” (HR. Bukhari secara Muallaq sebelum hadis no. 1237 dan disebutkan Abu Nuaim secara Maushul dalam al-Hilyah 4/66).

Agar laa ilaaha illallah diterima, kita harus beramal.

Arti yang Tidak Tepat

Kita sering mendengar orang mengartikan, laa ilaaha illallah dengan tiada tuhan selain Allah. Mungkin pemaknaan ini perlu diluruskan.

Ketika kita mendengar ungkapan, tiada roti kecuali enak, berarti semua roti enak. Seperti itu pula kalimat

“Tiada Tuhan selain Allah”. Konsekuensi terburuknya, berarti setiap yang disembah oleh manusia, itulah Allah. Maha suci Allah dari yang demikian.

Karena itulah, para ahli bahasa meluruskan bahwa laa nafiyah lil jins pada kalimat laa ilaaha illallah butuh khabar (predikat). Pada kalimatlaa ilaaha, kata ilaah sebagai isim laa, sementara khabar laa (predikatnya) mahdzuf (tidak dimunculkan), yang jika dinyatakan berwujud kata haqqun. Sehingga jika kita baca lengkap menjadi: laa ilaaha haqqun illallaah, yang artinya Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. (At Tanbihaat Al Mukhtasharah, Ibrahim al-Khuraishi)

Di sekitar kita banyak tuhan. Semua yang disembah oleh orang kafir, itulah tuhan mereka. Namun semua itu tidak berhak disembah. Satu-satunya yang berhak disembah hanya Allah.

Makna seperti ini yang diajarkan dalam al-Quran,

“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil” (QS. al-Hajj : 62)

Allahu a’lam

Firman Allah SWT:

Artinya: “Orang-orang yang mereka seru (sembah) itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan) kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti” (QS Al-Isra:57).

Dalam ayat yang mulia ini, Allah SWT memberitahukan kepada kita bahwa mereka termasuk para malaikat dan orang-orang saleh yang disembah oleh orang-orang musyrik kepada Allah SWT, mereka sendiri mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadat dan taat; mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya karena mengharap rahmat-Nya; dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya karena takut akan azab-Nya. Sebab, azab-Nya itu ditakuti oleh setiap mukmin.

Ayat tadi menunjukkan bahwa arti tauhid dan syahadat: (Tiada tuhan selain Allah) ialah meniggalkan do’a orang-orang musyrik kepada para nabi dan orang-orang saleh dan minta syafaat melalui mereka kepada Allah. Sesungguhnya tidak cukup mengucapkan syahadat selama segala yang disembah selain Allah tidak dikufuri.

Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah. Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku” (QS Az-Zukhruf: 26-27).

Dalam ayat ini, Allah SWT memberitahukan kepada kita bahwa Rasul-Nya dan kekasih-Nya Ibrahim AS telah memberitahukan kepada bapaknya bahwa dia bebas dari segala yang disembah oleh mereka kecuali satu yang disembah, yaitu Allah yang telah menciptakannya dan yang berkuasa memberi taufik-Nya. Dan di tangan-Nyalah kemanfaatan dan kemudaratan itu.

Ayat tadi menunjukkan bahwa tauhid seseorang tidak sah kecuali apabila ia terbebas dari penyembahan terhadap segala yang selain Allah.

Firman Allah SWT:

Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS At-Taubat: 31).

Dalam ayat ini Allah SWT memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani telah menyimpang dari jalan yang lurus dan mereka mendatangkan apa yang tidak disuruh. Lalu mereka menjadikan orang-orang alim dan hamba-hamba mereka sebagai Tuhan mereka; mereka menyembah selain Allah, yaitu mereka menaati mereka dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengaharamkan apa yang dihalalkan Allah. Lalu mereka mempersekutukan-Nya dengan mereka dalam perundang-undangan. Dan orang-orang Nasrani tidak cukup dengan itu saja, bahkan mereka menyembah Isa AS dan menganggapnya sebagai putra Allah. Padahal mereka tidak diperintahkan demikian, baik dalam kitab Taurat maupun Injil, kecuali menyembah Allah saja. Maha Luhur dan Maha Suci Allah dari apa yang orang-orang musyrik nisbatkan kepada-Nya.

Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mecintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, sedangkan orang-orang yang beriman sangat mencin- tai Allah. Dan seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat) bahwa kekuatan itu semuanya kepunyaan Allah dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)” (QS Al-Baqarah:165).

Dalam ayat ini, Allah SWT memberitahukan kepada kita bahwa sebagian manusia memasang berhala-berhala untuk mereka sembah sebagaimana mereka menyembah Allah. Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman lebih kuat cintanya kepada Allah, yaitu bahwa orang-orang yang beriman cintanya lebih murni kepada Allah, sedangkan orang-orang musyrik cintanya itu bercabang antara Allah dan berhala-berhala mereka. Barangsiapa yang cintanya murni kepada Allah, maka cintanya lebih kuat daripada cintanya yang bercabang.

Kemudian Allah SWT mengancam orang-orang musyrik ini dan Dia menjelaskan kepada mereka bahwasanya ketika mereka melihat siksa pada hari kiamat, yang menimpa mereka, mereka akan berangan-angan bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dengan selain-Nya, tidak dalam cintanya dan tidak pula dalam yang lainnya. Dan mereka akan mengetahui seyakin-yakinnya bahwa kekuatan semuanya kepunyaan Allah dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya.

Hadits Rasulullah SAW:

Dalam hadits sahih, dari Nabi SAW, sesungguhnya beliau telah bersabda: Barangsiapa yang mengucapkan (Tiada tuhan selain Allah) dan mengingkari segala yang disembah selain Allah, maka haram hartanya dan darahnya, sedangkan perhitungan nya terserah kepada Allah SWT.

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW memberitahukan kepada kita bahwa orang yang bersyahadat (bersaksi): Tiada Tuhan selain Allah dan dia mengingkari dalam hatinya dan dengan ucapannya segala yang disembah selain Allah, maka haram atas orang-orang muslim mengambil hartanya, kecuali apa yang diwajibkan oleh hukum syara seperti zakat. Dan haram atas mereka menumpahkan darahnya kecuali apa yang diwajibkan oleh hukum syara, seperti zina setelah muhsan (kawin) atau kufur setelah iman atau kisas. Dan perhitungan atas hatinya, maka ia akan mendapat pahala. Akan tetapi jika ia berdusta dan munafik, maka ia akan mendapat siksa.

Pengertian tauhid dalam agama Islam secara bahasa berasal dari kata wahhada yang berarti satu atau esa. Dalam Lisan al-Arab diterangkan bahwa tauhid adalah beriman kepada Allah serta tidak menyekutukanNya. Al-Imam al-Junaid al -Baghdadi juga menerangkan bahwa Tauhid adalah mensucikan Allah yang Maha Qadim (tanpa permulaan) dari menyerupai makhluk-Nya.

Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda:

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darang-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak” (HR al-Bukhari).

Dari hadist diatas bisa diketahui bahwa tauhid secara istilah bisa diartikan sebagai kesaksian manusia tentang tidak adanya Tuhan selain Allah (KeEsaan Allah) dan Muhammad adalah utusan Allah.

Dengan demikian, wajib bagi setiap muslim yang mukallaf untuk mengi’tiqadkan atau meyakinkan perkara di dalam sifat-sifat Dzat Maha Pencipta (Allah) ta’ala seperti apa yang telah kami terangkan, di mana Allah ta’ala tidak diliputi oleh tempat dan tidak berlaku zaman bagi-Nya. Juga, Dia maha dibersihkan dari segala batasan, dan ujung dan tidak butuh kepada tempat dan arah. Dia selamat dari segala bentuk kerusakan dan keserupaan.

Oleh karena dengan adanya makna ayat ini, maka Imam Malik rahimahullah melarang kepada seseorang untuk menanyakan tentang ayat ini. Beliau berkata: Al-Istiwa’ sesuatu yang sudah disebut. Kaifiat (pertingkah) sesuatu yang samar. Iman dengan ayat ini wajib. Dan, bertanya tentang ayat ini bid’ah.

Kemudian, beliau berkata: Seandainya engkau kembali menanyakan kepada semisal ayat ini, maka aku memerintahkan supaya engkau menepuk lehermu. Semoga Allah melindungi kita dan kalian untuk tidak menyamakan Allah dengan makhluk”

Dari keterangan di atas dapat kita pahami bahwa tauhid menurut Imam Syafi’i adalah menyakini tentang keEsaan Allah sebagai Sang Pencipta serta menyakini bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dari semua segi apapun baik ruang, waktu, batasan dan arah.

Nah dari pendapat para ulama dan hadist Rasulullah saw di atas kita umat Islam dapat menyimpulkan bahwa tauhid adalah meng-Esa-kan Allah swt baik dalam dzat, sifat, perbuatanNya maupun dalam beribadah kepadaNya serta tidak menyamakan Ia dengan makhlukNya.

Pemahaman tauhid ini sangatlah penting karena merupakan sebuah aqidah dasar dalam agama Islam. Apabila tidak dipahami dengan baik dan benar, bisa mengakibatkan pemahaman yang menyimpang seperti pemahaman yang menganggap Allah swt memiliki mata dan tangan layaknya manusia maupun pemahaman menyimpang lainnya. Untuk itu diperlukan dalil-dalil yang pasti dalam menetapkan sesuatu yang wajib bagi Allah dari sifat sempurna, kesucian dari kekurangan/kesalahan dan menyakini kebenaran utusan-utusanNya.

TAUHID adalah Peng-Esaan terhadap Tuhan semesta alam. Ketauhidan yang sejatinya dalam pandanganku bukanlah dengan diEsa-esakan akan tetapi Esa dengan sendiriNYA, Manunggal dan Satu dengan sendiri-NYA.

PengEsa-esaan hanyalah Tauhid dalam istilah dan kata-kata belaka, bukan Tauhid dalam kesejatiannya Tauhid itu sendiri. Karenanya Tauhid yang sejatinya tak akan dapat dinilai-nilai, diukur-ukur maupun ditakar-takar bagaimanapun caranya. Tauhid bersifat asing dan tak bisa dikenali, kecuali hanya dengan KESEMESTAAN,sbb KESEMESTAAN adalah wujud nyata dari KETAUHIDAN itu sendiri, manifestasi dari Tauhid itu sendiri.

Prinsip-prinsip dasar KESEMESTAAN bagiku adalah sebagai berikut:

  1. Setiap makhluk(ciptaan) adalah saudara kita dalam KEMAKHLUKAN.

  2. Setiap manusia adalah saudara kita dalam KEMANUSIAAN.

  3. Setiap umat Islam adalah saudara kita dalam dien.

Dengan demikian, segala sesuatu adalah satu dengan kita, satu tubuh, satu rasa, yang menjadikan beban dan derita setiap segala sesuatu atau setiap makhluk adalah beban dan derita saudara kita jua hakekatnya dan beban saudara kita adalah beban dan derita kita juga.

Jika telah memahami tentang KESEMESTAAN, bagaimanakah kita hendak membenci, memaki, menghujat bahkan membunuh?..sedang yang kita benci, kita maki, kita hujat bahkan kita bunuh itu tak lain dan tak bukan adalah saudara kita sendiri, meski kita suka ataupun tak suka… ~

Mursyid Syech Muhammad Zuhri