Kalimat syahadat pada dasarnya terdiri dari dua persaksian yaitu :
- Syahadat Tauhid : Artinya menyaksikan dan mengakui ke Esaan Allah SWT.
- Syahadat Rasul : Artinya menyaksikan dan mengakui ke Rasulan Nabi Muhammad Saw.
Syahadat Tauhid
Prinsip tauhid atau monoteisme Islam yang terumus dalam kalimat laa ilaaha illallah, dimana kalimat tersebut bersifat komprehensif dan oleh karenanya mencakup banyak pengertian. Di antara pengertian-pengertian itu, sebagaimana dijelaskan Yunahar Ilyas dalam bukunya Kuliah Aqidah Islam adalah :
- Laa khaliqa illallah, tidak ada yang maha menciptakan kecuali Allah.
- Laa raziqa illallah, tidak ada yang maha memberi rezeki kecuali Allah.
- Laa hafidza illallah, tidak ada yang maha memelihara kecuali Allah.
- Laa mudabbira illallah, tidak ada yang maha mengelola kecuali Allah.
- Laa malika illallah, tidak ada yang maha memiliki kecuali Allah.
- Laa waliya illallah, tidak ada yang maha memimpin kecuali Allah.
- Laa hakima illallah, tidak ada yang maha menentukan kecuali Allah.
- Laa ghayata illallah, tidak ada yang maha menjadi tujuan kecuali Allah.
- Laa ma’buda illallah, tidak ada yang maha disembah kecuali Allah.
Laa pada awal kalimat tauhid di atas adalah la nafiyata lijinsi, yaitu huruf nafi yang menafikan segala macam jenis ilah (tuhan). Illa adalah huruf istitsna (pengecualian) yang mengecualikan Allah Swt dari segala macam jenis ilah yang dinafikan. Bentuk kalimat seperti itu dinamakan kalimat manfi. Dalam kaidah bahasa Arab itsbat sesudah nafi itu mempunyai maksud al-hashru (membatasi) dan taukid (menguatkan). Dengan demikian kalimat tauhid ini mengandung pengertian sesungguhnya bahwa tiada Tuhan yang benar-benar berhak disebut Tuhan selain Allah Swt.
Pengertian tersebut terlukis dalam untaian kata-kata laa ilaaha illallah , yang berarti bahwa Allah Swt-lah sebagai satu-satunya Tuhan ( The only God ). Rumusan atau penyataan monoteisme laa ilaaha illallah diungkapkan terlebih dahulu dengan al-nafyu atau negasi ( laa ilaaha ) kemudian al-istbat atau konfirmasi ( illallah ), yakni penolakan Tuhan terlebih dahulu kemudian meneguhkan-Nya. Timbul pertanyaan, mengapa rumusan ketauhidan (pengesaan Allah Swt) harus didahului oleh negasi ( nafyu ) terlebih dahulu, kemudian baru diikuti oleh konfirmasi ( al-itsbat ).
Pernyataan negasi atau al-nafyu dalam untaian laa ilaaha (tiada Tuhan), merupakan sebuah starting point dan proses liberasi (pembebasan) keimanan seseorang terlebih dahulu dari segala bentuk ketuhanan selain Allah atau belenggu ke- syirik -an yang dapat merusak keimanannya kepada Allah. Negasi sebelum konfirmasi ini mutlak dilakukan sebab problem utama manusia untuk bertauhid sebenarnya bukanlah ketidakpercayaan mereka kepada Allah, sebab percaya pada-Nya merupakan keadaan yang paling alamiah atau fitrah manusia.
Terkait dengan masalah ini, Alquran telah mengilustrasikannya dengan baik bahwa sebab kekufuran orang-orang Mekah Jahiliyah pada zaman Rasulullan bukanlah karena mereka tidak percaya pada Tuhan (ateis), akan tetapi karena adanya kepercayaan lain yang mengotori dan merusak kepercayaan mereka kepada Allah Swt. Oleh karena itu, langkah negasi ( al-nafyu ) merupakan prasyarat yang menjadi mutlak ketauhidan dalam Islam.
“Dan jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka (kaum musyrik), siapa yang menciptakan langit dan bumi. Pastilah mereka akan menjawab: Allah. Maka bagaimana mereka dapat terpalingkan (akan kebenaran)” Q.S. az-Zukhruf (43): 87
Setelah langkah negasi ( al-nafyu ) barulah kemudian dilanjutkan dengan langkah konfirmasi ( al-itsbat ). Langkah kedua ini menetapkan ( illallah ) hanya Allah Swt sebagai satu-satunya Tuhan. Istbat merupakan penetapan, peneguhan dan aktualisasi fitrah bawaan yang mendasar tadi hanya tertuju kepada Allah Swt tanpa sekutu, kesamaan, tandingan, atau hal lain yang memiliki sifat ilahiyah (ketuhanan), kecuali Allah semata. Prasyarat negasi kemudian dilanjutkan dengan konfirmasi ini menegaskan bahwa iman sesungguhnya memerlukan kemurnian sejati tanpa reserve agar terhindar dari gejala syirik yang rentan mengganggu kemurnian iman seseorang.
Syirik merupakan sikap dan perilaku di mana seseorang mempercayai Allah Swt sebagai Tuhannya namun ia juga memiliki kepercayaan lain kepada selain Allah. Seseorang yang musyrik dengan demikian mengimani Allah sebagai Tuhannya, akan tetapi menjadikan “sesuatu” atau “seseorang” sebagai “tuhan tandingan” selain Allah yang diyakininya memiliki salah satu, dua atau lebih sifat Allah. Seperti, keyakinan terhadap sesuatu atau seseorang selain Allah yang mampu memberi rezeki, mencipta sesuatu, melindungi, atau menentukan kehidupan. Padahal semua itu hanya bisa dilakukan oleh Allah semata, tidak ada yang mampu melakukannya selain Allah. Sesuatu atau seseorang yang dijadikan tandingan Allah itu bisa berwujud keris, azimat, tongkat, batu aji, dukun, “orang pinter”, dan lain-lain.
Kepercayaan kepemilikian sifat-sifat ketuhanan kepada selain Allah demikian jelas-jelas menjadi belenggu dan penghalang menuju kebenaran iman atau tauhid ini. Selain itu, dalam pemahaman lebih jauh hal itu sekaligus menjadi penyebab gagalnya pencapaian kesempurnaan manusia sebagai makhluk Allah tertinggi ( ahsanu taqwim ) sebagaimana ditegaskan Alquran surat at-Thin (95) ayat 4.
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik- baiknya” (Q.S. at-Thin (95): 4)
Dalam ayat tersebut manusia dijelaskan sebagai sebaik-baik atau puncak ciptaan Allah Swt ( ahsanu taqwim ) atau mahkota ciptaan-Nya. Pandangan manusia sebagai puncak dan mahkota ciptaan Allah bagi beberapa pemikir Muslim memunculkan doktrin taskhir , yakni bahwa alam beserta isinya memiliki posisi lebih rendah atau di bawah manusia karena Allah telah menundukkan seluruh alam ini untuk mereka. Taskhir yang dimaksud bersumber dari pemahaman ayat berikut ini,
Dan Dia telah menundukkan (sakhara) untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. Q.S. al-Jatsiyah (45):13.
Sebagai sebaik-baik ciptaan Allah manusia hendaknya melihat seluruh ciptaan Allah ini “ke bawah” dengan tidak menghina, agar relasi antara manusia dengan alam sejalan dengan desain Allah Swt. Desain yang dimaksud adalah bahwa alam ini –gunung, laut, danau, ladang, dan lain-lain, diciptakan oleh Allah untuk dimanfaatkan manusia seluas-luasnya, bukan untuk dijadikan segalanya, tujuan hidupnya, bukan untuk disembah atau dijadikan tuhan selain Allah.
Kesyirikan pada zaman modern tidak lagi ditandai dengan penyembahan berhala secara fisik, karena berhala pada zaman sekarang lebih didasari sikap dan perilaku. Maksud pernyataan ini adalah sikap dan perilaku pemberhalaan terhadap sesuatu atau seseorang. Ada beberapa syirik pada zaman modern ini yang patut direfleksikan agar setiap orang Muslim dapat lebih terjaga kemurnian tauhidnya kepada Allah Swt kendatipun mereka jelas-jelas tidak menyembah berhala. Beberapa contohnya adalah sikap pemberhalaan terhadap harta benda atau materi, tahta atau kekuasaan, dan syahwat.
-
Harta Benda atau Materi
Hal pertama yang memungkinkan seseorang syirik pada zaman modern ini ialah uang, karena ternyata memang uang ini termasuk “ ilah ” yang paling berkuasa di dunia ini. Di kalangan orang Amerika terkenal istilah The Almighty Dollar (Dollar yang maha kuasa). Memang telah nyata di dunia bahwa hampir semua yang ada di dalam hidup ini dapat diperoleh dengan uang, bahkan dalam banyak hal harga diri manusia pun bisa dibeli dengan uang. Cobalah lihat sekitar kita sekarang ini, hampir semuanya ada “harga’’-nya, jadi bisa “dibeli” dengan uang. Manusia tidak malu lagi melakukan apa saja demi untuk mendapat uang, pada hal malu itu salah satu bahagian terpenting dari iman. Betapa banyak orang yang sampai hati menggadaikan negeri dan bangsanya sendiri demi mendapat uang. Memang “tuhan” yang berbentuk uang ini sangat banyak menentukan jalan kehidupan manusia di zaman modern ini.
Pada mulanya manusia menciptakan uang hanyalah sebagai alat tukar untuk memudahkan serta mempercepat terjadinya perniagaan. Sehingga uang bisa ditukarkan dengan barang-barang atau jasa dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu, uang juga disebut sebagai “harta cair” ( liquid commodity ). Kemudian fungsi uang sebagai alat tukar ini menjadi demikian efektifnya, sehingga di zaman ini, terutama di negeri-negeri yang berlandaskan materialisme dan kapitalisme, uang juga dipakai sebagai alat ukur bagi status seseorang di dalam masyarakat. Kekuasaan, pengaruh, bahkan nilai pribadi seseorang diukur dengan jumlah kekayaan ( asset )-nya, prestasi pribadi seseorang pun telah diukur dengan umur semuda berapa ia menjadi jutawan. Semakin muda seseorang menjadi miliarder, ia dianggap semakin tinggi nilai pribadinya.
-
Tahta atau Kekuasaan
Hal kedua yang memungkinkan seseorang syirik pada zaman modern ini ialah pangkat atau tahta. Pangkat ini erat sekali hubungannya dengan uang, sehingga sangat mungkin bisa dengan mudah disalahgunakan oleh orang-orang tertentu sebagai alat untuk mendapat uang atau harta. Orang yang mempertuhankan jabatan tidak peduli dengan nilai atau etika untuk meraihnya. Jalan tidak benar pun akan ditempuhnya demi kekuasaan. Banyak contoh dari orang yang memberhalakan tahta ini; nilai, teman, guru, dan bahkan keluarga dianggap musuh jika tidak bersedia memberi dukungan suara. Semuanya dibohongi dalam contoh lain untuk mendukung seorang calon yang telah menjadikan posisi tertentu untuk dirinya jika calon tadi “jadi.”
Ada hal yang menarik terkait dengan orang yang memberhalakan kekuasaan ini, di mana Alquran sudah mengajarkan kepada umatnya yang benar-benar bertauhid (beriman) agar mereka memilih pemimpin, selain Allah dan Rasul- Nya, hanyalah dari “orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan membayarkan zakat seraya tunduk hanya kepada Allah.”
Sungguh, pemimpinmu (yang sejati) hanyalah Allah dan Rasul-Nya, dan orang- orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan membayarkan zakat, seraya tunduk (patuh kepada Allah). Q.S. al-Ma’idah (5):55.
Orang yang dipersyaratkan Alquran untuk menjadi pemimpin di atas tentu bukanlah orang yang gila jabatan. Tetapi, mereka adalah orang-orang yang dengan kekuasaannya dapat melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar .
-
Syahwat
Hal ketiga yang memungkinkan seseorang syirik pada zaman modern ini ialah syahwat. Banyak orang untuk memenuhi keinginan tidak lagi mengindahkan nilai-nilai luhur agama, apa saja dilakukan jika dirasa perlu. Orang yang sudah terlanjur mempertuhankan keinginan tidak akan bisa lagi melihat batas-batas kewajaran, sehingga ia akan melakukan apa saja demi kepuasan keinginannya. Nabi Yusuf as. dicontohkan Alquran sebagai sosok yang tidak memberhalakan keinginannya meskipun semua bisa dilakukan,
Dia (Yusuf) berkata: “Hai Tuhanku! Penjara itu lebih kusukai dari pada mengikuti keinginan (syahwat) mereka, dan jika tidak Engkau jauhkan dari padaku tipu daya mereka, niscaya aku pun akan tergoda oleh mereka, sehingga aku menjadi orang- orang yang jahil. Q.S. Yusuf (12): 33.
Itulah beberapa contoh berhala baru di zaman sekarang, yang mungkin akan menodai bahkan merusak ketauhidan seseorang kepada Allah Swt sekalipun dia tidak mempertuhankan berhala-berhala fisik. Apalagi jika berhala itu divisualisasikan secara fisik, jelas sudah kesyirikan ada di sana. Tauhid laa ilaaha illallah meniscayakan totalitas tanpa ada tandingan atau sekutu apa pun kepada Allah Swt.
Tauhid la ilaha illallah jelas tidaklah cukup bagi seseorang hanya sekedar meyakini keesaan Allah namun ia juga harus mengimani Allah dalam kualitas- Nya sebagai pencipta seluruh alam, satu-satunya Dzat yang memiliki sifat ketuhanan ( ilahiyah ) dan sama sekali tidak memandang “sesuatu”, “seseorang”, atau “alam” memiliki kualitas seperti Allah. Tauhid demikian dalam bangunan keislaman seseorang digambarkan seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menuju ke langit). Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Allah Swt. Buah dari iman yang benar demikian bisa melahirkan pribadi-pribadi yang dapat berdiri bebas, ia akan kreatif dalam mengolah hidup dan alam untuk kebaikan bersama. Tidak ada aspek khurafat dan takhayul yang menghalanginya.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” Q.S. Ibrahim (14): 24-25.
Syahadat Rasul
Syahadat Rasul mempunyai arti menyaksikan dan mengakui ke Rasulan Nabi Muhammad Saw.
Makna kata Muhammad Rasulullah, menuntut kesediaan menjadikan Rasullullah sebagai teladan, sehingga bernilai disisi Allah. Kalimat ini menjadikan seorang muslim memiliki rasa cinta, ridho dengan segala yang dicontohkan dari segi amal, perkataan dan semua tingkah laku beliau.
“Katakanlah (wahai Muhammad): ’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada sesembahan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummiy yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” (QS. Al-A’rof: 158).
Selain sifatnya yang dimaksud oleh Allah atau juga karena keteladanan Rasulullah dan juga pengorbanan yang sangat mulia kepada umatnya. Allah telah menganugerahkan syafaat dan derajat yang tinggi kepada Rasulullah, menunjuki manusia agar manusia mencintai beliau dan melandasi kehendak untuk mengikuti beliau karena cinta kepada Allah swt
Tentang akhlak beliau, Sayyidah ‘Aisyah pernah berkata :
“Akhlak beliau adalah alquran.”
menurut Syaikh Muhammad Ali Al Harakan :
“Maka siapa yang memiliki akhlak seperti akhlak beliau, dialah orang yang paling baik, paling sempurna, dan paling layak menerima cinta semua hamba ALLAH.”
Konsekuensi syahadat ini juga tidak berkeyakinan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai hak dalam rububiyyah (hak untuk diibadahi) dan mengatur alam atau hak dalam ibadah, akan tetapi ia adalah seorang hamba yang tidak diibadahi dan seorang Rasul yang tidak berdusta, dan dia tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk memberi manfaat dan mudharot untuk dirinya sendiri maupun orang lain kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah (ya Muhammad):’Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku…” (QS. Al-An’am: 50).
Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang diperintah dan mengikuti/mematuhi apa yang diperintahkan kepadanya, firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah:’Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan’.
Katakanlah:’Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya” (QS. Al-Jin: 21-22).
Firman-Nya:
“Katakanlah:’Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al-A’rof: l88).
Dengan makna ini kamu tahu bahwasanya tidak ada yang berhak atas ibadah baik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maupun makhluk lainnya dan sesungguhnya ibadah itu tidak untuk siapapun kecuali Allah semata. Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah:’Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb alam semesta, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS. Al-An’am: 162-163).
Sedangkan hak Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah kita menempatkannya pada tempat yang telah Allah tempatkan baginya, yaitu beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, sholawat dan salam Allah atas beliau.
Referensi :
- Roni Ismail, Hakikat monoteisme islam : Kajian atas konsep tauhid “laa ilaaha illallah”
- Pangulu abdul karim, Mema’nai syahadatain dan keutamaannya dalam kehidupan, UIN Sumatera Utara
- Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Makna Syahadatain