Apa makna filosofi dari cerita Dewa Ruci?


Gambar Dewa Ruci oleh dandeesukagambar

Pada awalnya Bratasena (Bima) sangat merasa sedih karena memikirkan nasib ayahnya “Pandu” yang tidak jelas nasibnya karena dimasukkan ke dalam kawah Candradimuka sehingga membuatnya ingin mencari ilmu kesempurnaan hidup dengan cara berguru kepada Durna.

Keinginan Bratasena diterima oleh Durna tetapi dengan syarat bahwa Bratasena harus mencari Kayu Gung Susuhing Angin yang berada di Gunung Candramuka di hutan Tikbrasara. Mendengar hal tersebut, Bratasena langsung percaya dan minta doa restu Durna untuk mencarinya meskipun banyak sekali rintangannya. Bratasena tidak mengetahui siasat yang direncanakan oleh Durna dan para Kurawa karena ia percaya bahwa guru itu selalu
mengajarkan kebaikan.

Kepergian Bratasena ke Gunung Candramuka diikuti oleh Dursasana dan para Kurawa atas perintah Sengkuni. Sesampainya di Gunung Candramuka di hutan Tikbrasara, Bratasena dihadang oleh dua raksasa yang sangat menakutkan yaitu Rukmuka dan Rukmakala sehingga terjadilah peperangan yang dahsyat antara Bratasena dengan Rukmuka dan Rukmakala tetapi akhirnya dapat dikalahkan oleh Bratasena. Akhirnya kedua raksasa tersebut berubah menjadi Hyang Indra dan Hyang Bayu.

Bratasena memang sengaja duuji kesungguhannya dalam menuntut ilmu oleh Hyang Indra dan Hyang Bayu. Sebagai ucapan terimakasih, Hyang Indra dan Hyang Bayu memberi cincin kepada Bratasena yang bernama Sesotya Mustika Manik Candrama. Cincin tersebut merupakan ikatan yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan dan gunanya adalah Bratasena dapat mengarungi dasar samudera. Hyang Indra dan Hyang Bayu juga menjelaskan tentang Kayu Gung Susuhing Angin kepada Bratasena bahwa Kayu Gung Susuhing Angin artinya niat yang besar akan terlaksana jika disertai dengan pengaturan nafas, heningnya pikiran, mengendapnya panca indera, dan tenangnya rasa.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, Bratasena merasa belum puas sehingga disuruh Hyang Indra dan Hyang Bayu menemui kembali Durna. Bratasena menemui Durna dan memintanya segera menjelaskan ilmu kesempurnaan karena Bratasena sudah berhasil memenuhi syarat seperti yang telah ditugaskan Durna yaitu menemukan Kayu Gung Susuhing Angin tetapi Durna masih mengajukan satu syarat lagi yaitu supaya Bratasena mencari Tirta Pawitra yang berada di Samudera Minangkalbu.

Bratasena menyetjui syarat tersebut dan tanpa basa-basi ia segera minta doa restu Durna untuk mencarinya. Sebelum pergi ke Samudera Minangkalbu, Bratasena kembali ke Amarta untuk meminta doa restu ibunya “Dewi Kunthi”. Pada awalnya Dewi Kunthi sangat keberatan dengan keinginan Bratasena untuk pergi ke Samudera minangkalbu karena banyak rintangannya dan menjelaskan bahwa Durna itu licik tetapi Bratasena tetap teguh pada pendiriannya untuk terus maju menuntut ilmu. Akhirnya ibunya mengizinkan dan merestui serta mendoakannya agar Bratasena selamat dan tercapai cita-citanya.

Bratasena segera pergi ke Samudera Minangkalbu. Di tengah perjalanan, di Wana Sunyapringga (hutan yang berbahaya), ia dihadang oleh saudaranya Tunggal Bayu yaitu Anoman (kera berwarna putih), Jajakwreka (raksasa berwarna merah), Setubanda (gajah berwarna hijau), dan Begawan Maenaka (pendeta berpakaian serba kuning)

Terjadilah peperangan antara Bratasena dengan saudara Tunggal Bayu yang akhirnya dapat dikalahkan oleh Bratasena. Serangan saudara Tunggal Bayu terhadap Bratasena sebenarnya hanya untuk menguji kesungguhan Bratasena dalam menuntut ilmu.

Saudara Tunggal Bayu hanya bisa berdoa agar Bratasena selamat dan tercapai cita-citanya. Bratasena akhirnya sampai di tepi Samudera Minangkalbu atau Laut Selatan. Laut tersebut
sangat ganas, gelombang bergulung setinggi gunung, menggemuruh, mega menutupi sinar matahari, kilat menyambar, dan suara halilintar membuat hati Bratasena gentar. Sekilas Bratasena merasa takut karena ia adalah juga manusia biasa tetapi segera disingkirkan rasa takut itu dengan tekad yang kuat, taat pada perintah guru.

Bratasena segera masuk ke Samudera walaupun harus mati sebagai manusia utama. Karena Bratasena mempunyai cincin Sesotya Mustika Manik Candrama, seketika samudera menjadi tenang yang menandakan bahwa Bratasena sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya. Tiba-tiba ada ular “Nagaraja” menyambar dan melilit tubuhnya. Dengan kuku Pancanakanya, Nagaraja berhasil dikalahkan oleh Bratasena.

Kemudian Bratasena bertemu Dewa Ruci dan dijelaskanlah kepada Bratasena tentang Tirta Pawitra dan ilmu kesempurnaan hidup. Kemudian Bratasena masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci yang kecil. Pada waktu masuk ke tubuh Dewa Ruci yang dirasakan pertama kali adalah bingung karena hanya melihat awanguwung tanpa batas yang melambangkan bahwa pada tingkat pertama mencapai kesempurnaan manusia masih dalam keadaan bodoh dan bingung.

Setelah mendapat petunjuk dari Dewa Ruci, Bratasena menjadi merasa terang dan sampai pada tingkat kesadaran total. Bratasenakemudian melihat cahaya empat warna: hitam yaitu cahaya yang berasal dari bahan makanan yang melambangkan angkara yang merusak, merah dari hewan yang melambangkan sumber kemarahan seperti nafsu hewan, kuning berasal dari segala sesuatu yang terbang yang melambangkan keinginan kekuasaan dan kesenangan belaka, dan putih berasal dari ikan air tawar yang melambangkan ketentraman seperti ikan di air tawar.

Empat warna tersebut menggambarkan nafsu aluamah, amarah, supiah, dan muthmainah. Bratasena merasa nyaman di dalam tubuh Dewa Ruci sehingga tidak mau keluar tetapi hal itu dilarang oleh Dewa Ruci karena belum saatnnya karena masih ada tugas yang harus diselesaikan oleh Bratasena. Setelah keluar dari tubuh Dewa Ruci, Bratasena menjadi manusia suci seperti baru terlahir. Pada saat itu ia mencapai manunggaling kawula Gusti.

Akhirnya Bratasena kembali menemui gurunya “Durna” dan menggap Durna sebagai guru sejati. Sejak berusaha menuntut ilmu sampai berhasil, Bratasena tidak pernah su’udzan (berburuk sangka) pada Durna meskipun dalam Durna pernah ada benih Kurawa. Meskipun demikian Durna telah berhasil mengantarkan Bratasena pada keberhasilan.


Apa makna filosofi dari cerita Dewa Ruci ?

Cerita wayang purwa lakon Dewa Ruci berisi nilai-nilai yang sangat dengan ajaran filosofi. Nilai-nilai edukatif yang terdapat didalamya diambilkan dari tokoh-tokohnya.
Perbuatan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut sangat baik untuk dijadikan teladan atau panutan dalam kehidupan sehari-hari.

Nilai-nilai edukatif dengan sendirinya merupakan akumulasi cipta, rasa, dan karsa seseorang yang diimplemetasikan dalam kata-kata, sikap, dan tingkah laku seseorang.

Nilai-nilai edukatif dalam cerita wayang purwa lakon Dewa Ruci antara lain:

Suka menuntut ilmu dan bekerja keras

Bratasena suka menuntut ilmu meskipun selalu mendapatkan rintangan dan godaan. Syarat yang diajukan gurunya yaitu mencari Kayu Gung Susuhing Angin dan Tirta Pawitra. Bratasena selalu mencarinya sampai berhasil jika ia benarbenar ingin mencari ilmu kesempurnaan hidup.

Hal tersebut menggambarkan bahwa ilmu itu harus didapat dengan usaha. Menurut pendapat KGPAA Mangkunegara IV bahwa dalam serat Wedhatama (Endraswara, 2003: 108), pupuh pocung menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

Ngelmu iku kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya budya pangekesedur angkara

Terjemahan: Ngelmu itu, terlaksananya harus dengan laku (pekerti) Dimulai dengan tekad yang bulat (niat) yang teguh sehingga akan tercapai kesentausaan dan ketenangan batin. Dan pada akhirnya akan menghapuskan nafsu-nafsu jahat manusia

Dengan landasan eling-percaya-minuhu (ingat, percaya, dan taat) manusia akan dapat melakukan memaju hayuning bawana.

Hidup Rukun

Prinsip hidup rukun dapat terlihat dalam keluarga Pandawa. Dewi Kunthi sangat menyayangi anak-anaknya, para Pandawa pun juga saling menyayangi dalam ikatan keluarga yang kuat.

Sepi Ing Pamrih

Sikap ikhlas dimilki oleh Bratasena dalam mencari Kayu Gung Susuhing Angin dan Tirta
Pawitra sehingga ia berhasil. Hal itu semua dilakukan karena kebersihan hati Bratsena dari hal-hal yang tidak ikhlas.

Membentuk Watak Eling

Sikap eling akan membentengi manusia untuk tidak berbuat jahat seperti yang selalu dilakukan oleh Kurawa. Mereka selalu menanamkan permusuhan terhadap Pandawa apalagi Sengkuni yang hidupnya hanya memikirkan masalah duniawi, tidak pernah eling kepada Tuhan.

Taat Kepada Guru

Durna merupakan sosok guru yang dianggap sejati oleh Bratasena. Segala perintahnya ditaati oleh Bratasena walaupun didalam hati Durna tertanam benih Kurawa yang jahat tetapi secara tersirat sebenarnya Durna telah mengajarkan motivasi mandiri kepada Bratasena dalam menuntut ilmu.

Ora Ngaya dan Nrimo

Ora ngaya menggambarkan sikap tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sikap ini menggambarkan sikap hidup seseorang dalam bekerja. Orang yang hidupnya ora ngaya maka ia akan merasa tenang dan tidak terburuburudalam berusaha dan bekerja. Para Kurawa dalam hidupnya selalu ngaya ingin menghancurkan Pandawa karena mereka tidak nrima jika Pandawa menguasai kerajaan Astina sehingga segala laku Pandawa selalu diintai dan diikuti oleh Kurawa untuk dihancurkan. Sengkuni dan Kurawa selalu ngaya dan ora nrima jika Bratasena berhasil dalam menuntut ilmu.

Teguh dalam Pendirian

Orang yang mempunyai pendirian teguh akan menyebabkan tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan. Ia memiliki idealisme yang tinggi sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain. Orang yang teguh dalam pendirian adalah orang yang yakin bahwa idealismenya itu benar.

Sedangkan orang yang tetap mempertahankan pendiriannya tetapi berada pada posisi yang salah maka orang tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang berpendirian teguh tetapi sebagai orang yang kaku. Orang-orang yang kaku dalam tokoh wayang purwa lakon Dewa Ruci dimainkan oleh para Kurawa.

Sedangkan orang yang sangat terkenal dengan pendirian yang teguh adalah Bratasena.
Keteguhan hati Bratasena bisa dilihat dari cara berjalannya yang selalu lurus dan tidak pernah berbelok, berhias rambut terurai berkancing sanggul garuda membelakang dengan terhias yang melambangkan bahwa Bratasena tidak samar kepada Dewa dan jiwanya sendiri.

Keteguhan pendirian Bratasena terlihat ketika ia tetap memutuskan untuk terus berusaha mencari Kayu Gung Susauhing Angin dan Tirta Pawitra meskipun banyak sekali godaannya.

Keadaan demikian digambarkan dalm pupuh Dhandhanggula (dalam Endraswara, 2003: 82) sebagai berikut:

Kamisayan ingkang makripati, den kaasta pamantenging cipta, rupa ingkang sabenere, sinenger bawaneku, urip datan ana anguripi, datan ana rumangsa, ing kahananipun, uwis ana ing sarira, tuhu tunggal sasana lawan sireki, tan kena pinisaha. Dipunweruh sangkanira uni, tunggal sawang kartining bawana, pandulu lan pamyarsane, wis ana ing siresku, panduluning sukma sejati, pan datan mawa netra, pamyasarnipun iya datan lawan karna, netranira karnanira kang kinardi, iya aneng sira.

Maksudnya pupuh di atas adalah bahwa manusia telah mencapai tingkat makrifat. Ia akan melihat kebenaran sejati. Disitulah manusia baru bisa menyatu dengan Sang Khalik yang tidak dapat dipisahkan. Maka, ketahuilah asal-usul manusia sebenarnya dapat dibaca pada diri manusia juga. Namun, cara melihat tidak dengan pancaindera yang tampak.

Keadaan ini telah dialami oleh Bratsena karena keteguhan pendiriannya ketika berada dalam diri Dewa Ruci. Ia menemukan jati dirinya dan lebih percaya diri karena telah mengetahui hakikat hidup serta semakin mantaplah pendiriannya.

Sikap Hormat

Sikap hormat sangat diperlukan dalam kehidupan terutama dalam berinteraksi karena manusia merupakan makhluk sosial. Implikasi sikap hormat akan terkait dengan budi pekerti yang menyangkut unggah-ungguh dan tatakrama terutama dalam budaya Jawa.

Hubungan antara anak-orang tua, murid-guru, sesama saudara secara tidak langsung juga akan mencerminkan aplikasi sikap hormat. Bratasena selalu bersikap hormat kepada Dewa Ruci, Durna, Dewi Kunthi, dan saudara-saudaranya.

Sikap hormat dapat diwujudkan dalam penggunaan bahasa yang menggunakan bahasa krama dan hal tersebut dilakukan oleh Bratasena terhadap Dewa Ruci.

Yang Benar dan Tulus Pasti Menang

Dengan kata lain, tindakan yang jelek dapat dikalahkan oleh ketulusan beribadah dan
kuatnya usaha menuju kebajikan. Seperti diceritakan ketika Bratasena berhasil membunuh dua raksasa yang ternyata jelmaan dari Hyang Indro dan Hyang Bayu, kemudian dia diberi hadiah sebuah cincin yang bernama “Sesutya Mustika Manik Candrama”. Cincin itu adalah ikatan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan memakai cincin itu, Bratasena bisa berjalan di atas angin.

Sumber : Siti Isnaniah, DEWA RUCI: Sebuah Alternatif Sistem Pendidikan