Apa makna dari Surat Al-Baqarah ayat 143 ?

Surah al-Baqarah

Apa makna dari Q.S. Al-Baqarah ayat 143 ?

Menurut Quraish Shibab, Surat Al Baqarah ayat 143 merupakan penjelasan terkait dengan gambaran Allah swt. tentang umat yang wasat (pertengahan), dalam artian tidak memihak ke kiri dan ke kanan, sehingga manusia dapat berlaku adil dan dapat diteladani, dan yang dapat dilihat dari berbagai penjuru karena dia berada pada posisi tengah.

Menjadi umat Wasatan yang menempuh jalan tengah, menerima hidup di dalam kenyataan. Percaya kepada akhirat, lalu beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan, mementingkan kesehatan jasmani dan rohani, karena kesehatan yang satu bertalian dengan kesehatan yang lain. Mementingkan kecerdasan fikiran, tetapi dengan menguatkan ibadah untuk menghaluskan perasaan. Mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, karena kekayaan adalah alat untuk berbuat baik. Menjadi khalifah di bumi, untuk bekal menuju akhirat. Artinya, di samping ada dunia ada juga akhirat, yakni keberhasilan di akhirat ditentukan oleh iman dan amal s}aleh di dunia.

Musthafa al-Maraghy menjelaskan bahwa sebelum lahirnya Islam, umat manusia terbagi menjadi dua kelompok.

  • Pertama, ialah orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia dan kebutuhan jasmaniah, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin.

  • Kedua, orang-orang yang mengekang atau membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan ruhaniah secara total, sehingga sama sekali meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiah, termasuk kebutuhan jasmaniah mereka. Di antara mereka adalah kaum Nasrani dan Sabi’in, di samping beberapa pengikut sekte agama Hindu penyembah berhala, yakni kelompok yang populer dengan olahraga yoga.

Agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar rasul menjadi saksi atas kalian, dipahami bahwa umat Islam akan menjadi saksi atas manusia atau umat yang lain atas baik buruknya kelakuan manusia.

Umat Islam hadir untuk menengahi hal tersebut dengan turunnya wahyu Allah yang menejelaskan ‚dan demikian kami telah menjadikan kamu umat pertengahan‛ yakni umat yang adil dan menjadi panutan di berbagai hal. Sehingga lanjutan dari ayat tersebut menjelaskan tentang umat muslim dan Nabi Muhammad saw. menjadi saksi di dunia. Itu bertanda bahwa umat muslim dapat dijadikan teladan, itu karena saksi selalu dan layak dipilih. Sebgaimana Rasulullah dijadikan teladan atau contoh yang baik.

M. Quraish Syihab juga menafsirkan bahwa menjadi saksi atas perbuatan manusia dipahami juga dalam arti kaum muslimin akan menjadi saksi dimasa akan datang atas baik buruknya perbuatan manusia. Pengertian masa datang dipahami dari penggunaan kata kerja masa datang pada kata litakunu. Penggalan kata ini di isyaratkan tentang pergulatan pandangan dan pertarungan aneka isme. Sehingga dengan ummatan Wasatan akan menjadi rujukan dan saksi tentang kebenaran dan kekeliruan pandangan serta isme-isme itu. Ini juga berarti umat Islam akan dapat menjadi saksi atas umat yang lain dalam berislam sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul saw. Dengan ini Masyarakat Islam akan kembali merujuk kepada nilai-nilai ajaran yang diajarkan Allah, bukan merujuk pada isme-isme yang bermunculan. Maka Rasul akan menjadi saksi apakah sikap dan gerak umat Islam sesuai dengan tuntunan Ilahi atau tidak.

Jadi amal dan perbuatan dan cara beragama umat Islam dapat menjadi saksi di dunia ini, karena dapat bermasyarakat, dapat melindungi batas moral dan spiritual secara tepat. Juga dengan ummatan Wasatan yang dapat menjadi saksi tentang ketidak adanya pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan, antara dunia sekarang dan dunia yang akan datang.

Di dalam tafsir Ibnu Katsir juga menjelaskan, bahwa Allah swt. menjadikan umat Muhammad sebagai ummatan Wasatan, artinya Allah memberi kekhususan dengan syariat yang paling sempurnah, jalan yang paling lurus, dan paham yang paling jelas.

Referensi :

  • Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir al-Azhar, (Jus 2, Pustaka Nasional PTE LTD: Singapura, )
  • M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
  • Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, terj. oleh Anwar Rasyidi dkk, (Jus.I, Cet. II; PT. Karya Toha Putra Semarang: Semarang, 1992)
  • Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an; Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur’an, (Jilid. 5, Cet. I; Jakarta: Al-Huda, 2004).

Wa każālika ja’alnākum ummataw wasaṭal litakụnụ syuhadā’a 'alan-nāsi wa yakụnar-rasụlu 'alaikum syahīdā, wa mā ja’alnal-qiblatallatī kunta 'alaihā illā lina’lama may yattabi’ur-rasụla mim may yangqalibu 'alā 'aqibaīh, wa ing kānat lakabīratan illā 'alallażīna hadallāh, wa mā kānallāhu liyuḍī’a īmānakum, innallāha bin-nāsi lara`ụfur raḥīm

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

Untuk lebih memaknai ayat tersebut, berikut adalah makna kata-kata penting yang ada didalam ayat tersebut.

Ja’ala.

Kata ja’ala ini berarti menjadikan atau menciptakan. Digunakan dua kali dalam ayat 143 di atas yaitu, ja’alnakum yang artinya (Kami telah menjadikan kamu) dan ja’alna yang berarti (kami menetapkan). Al-Qur’an menggunakan kata ja’ala dengan beberapa arti:

  • Ja’ala yang mempunyai satu objek, berarti khalaqa (menciptakan) dan ikhtaraa (membuat atau menjadikan), yakni menjadikan, menciptakan, dan membuat sesuatu dari ketiadaan dan belum ada.

  • Ja’ala yang berarti menjadikan atau mengadakan sesuatu dari materi atau bahan yang sudah ada sebelumnya.

  • Ja’ala berarti menuduh dengan dusta. Arti ini terkandung didalam Q.S. al-Hijr/15: 91, (yaitu orang-orang yang telah menjadikan al-Qur’an itu terbagi-bagi). Ayat ini menunjukkan kedustaan perkataan kaum kafir terhadap kitab suci al-Qur’an. Mereka menuduh bahwa al-Qur’an itu adalah sihir, dongeng, dan buatan Rasulullah saw.

  • Ja’ala berarti menjadikan sesuatu dengan mengubahnya dari suatu bentuk keadaan kepada bentuk yang lain.

  • Ja’ala berarti menetapkan atau memutuskan sesuatu untuk dijadikan suatu yang lain, baik benar maupun salah.

Ummatan

Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya tentang pengertian umat, bahwa arti dari kata tersebut tidak hanya menunjuk kepada manusia saja, namun umat memiliki pengertian yang sangat luas, yakni setiap golongan baik dari manusia maupun dari makhluk lain yang mempunyai ikatan persamaan yang dapat menyatukan kelompok tersebut dan memiliki tujuan bersama. Di dalam ayat 143, kata umat mengkhususkan kepada pengertian umat Islam atau umat nabi Muhammad saw.

Penunjukan kata ‚ ummah dalam al-Qur’an yang menunjuk kepada himpunan pengikut nabi Muhammad Saw, adalah sebagai isyarat bahwa umat dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah mereka selama masih pada arah yang sama, yaitu Allah Swt.

Menurut Ali Syari’ati bahwa dasar tatanan umat adalah kesamaan akidah dan kesamaan dalam kepemimpinan yang satu agar individu-individunya bergerak menuju kiblat yang sama. Ini menjadi cirri khas umat atau masyarakat Islam yang bersifat agama dan risalah yang memperjelas jalan dan kiblat anggotanya. Karena itu kata ‚ umat‛ adalah suatu istilah yang mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju pada satu arah, harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya.

Wasatan

Kata wasat dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur’an disebut lima kali masing-masing dalam Q.S. al-Baqarah/2: 143 dan 238, Q.S. al-Maidah/5: 89, Q.S. al- Qalam/68: 28, dan QS. al-‘Adiyat/100: 5.

Pada dasarnya penggunaan istilah wasat{ dalam ayat-ayat tersebut dapat merujuk pada pengertian‚ tengah‛, adil‛ , dan pilihan.

Kata wasat mempunyai makna segala yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada di antara dua ekstrem. Keberanian adalah pertengahan sifat ceroboh dan takut, kedermawanan merupakan pertengahan antara sifat boros dan kikir. Yang menghadapi dua pihak berseteru dituntut untuk menjadi wasit dan berada pada posisi tengah agar berlaku adil. Jadi wasat adalah pertengahan dan adil sehingga menjadi seimbang.

Syuhadaa

Kata Syuhadaa yang diartikan menjadi saksi-saksi adalah jamak dari kata syahid yang berarti menghadiri atau menyaksikan sesuatu dengan mata kepala atau mata hati. Arti tersebut kemudian berkembang, antara lain seperti, bukti, sumpah, gugur di medan perang, alam nyata, pengakuan, dan surah keterangan. Akan tetapi, kesemuanya tidak terlepas dari arti asalnya.

Kata Syuhadaa terulang sebanyak 19 kali di dalam al-Qur’an. Dari kandungan ayat-ayat tersebut dipahami bahwa al-Qur’an menggunakan kata Syuhadaa untuk dua pengertian, yaitu “saksi-saksi peristiwa”, seperti dalam Q.S. al-Nur/24: 4, 6, dan 13, dan “Muslim yang gugur di medan pertempuran membela kebenaran”, seperti dalam Q.S. Ali Imran/3: 140.

Al-Nas

Kata Al-Nas diterulang sebanyak 240 kali di dalam al-Qur’an. Makna dari kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk hidup sosial, secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya. Jadi kata ini mengandung pengertian dalam al-Qur’an adalah sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya.

Kata Al-Nas lebih umum jika dibandingkan dengan kata al-Insan, itu karena penekanan makna yang dikandungnya. Itu karena pengertian dasar dari al-Insan adalah makhluk jasmani dan rohani, artinya gambaran al-Qur’an tentang al-Nas menunjukkan bahwa manusia terdiri dari jasad dan ruh. Berbeda juga pengertian manusia dari kata al-Basyar dalam al-Qur’an, dimana menunjukkan pada sisi biologis atau hanya mencakup pada aspek fisik dari manusia tersebut.

Al-Rasul

Kata tersebut berasal dari akar kata rasala yang memiliki beberapa makna di antaranya;

  • Pertama, ‘menguasai’ dalam hal mengatur, sebagaimana dalam Q.S. Maryam/19: 83,

  • Kedua, berarti ‘membiarkan’, seperti dalam Q.S. Yusuf/12: 12,

  • Ketiga, berarti ‘menimpakan’, seperti dalam Q.S. al-zariyat/51:33,

  • Keempat, berarti ‘mencurahkan air’, seperti dalam Q.S. al-An’am/6: 6.

Dalam ayat 143 surah al-Baqarah tersebut kata rasul disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal). Secara umum rasul adalah nabi yang diperintahkan Allah swt. untuk menyampaikan berita tentang syariat atau seruan agama, supaya menegakkan dan melaksanakannya. Kata rasul memiliki arti yang khusus yakni orang yang datang membawa syariat baru, berbeda dengan pengertian nabi yang mencakup makna orang yang datang untuk menetapkan syriat yang terdahulu seperti para nabi bani Israil yang hidup diantara nabi Musa a,s. dan masa nabi Isa a.s.

Qiblata

Al-Qiblah dipahami apa yang ada dihadapan orang, tepat di depan wajahnya. Di antaranya kiblat untuk shalat, qiblah lawan dari muqabalah, sinonimnya adalah wijhah yang berasal dari kata muwajaha, artinya, keadaan arah yang dihadapi. Kemudian pengertiannya dikhususkan pada satu arah, dimana semua orang yang mendirikan shalat menghadap kepadanya.

Lina’lama

Kata tersebut dalam ayat 143 berarti (agar kami mengetahui), yang berasal dari kata ‘alim dengan akar kata ‘ilm, yang menurut pakar bahasa berarti menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaanya yang sebenarnya. Bahasa Arab menggunakan semua kata yang tersusun dari huruf-huruf ‘ain, lam, mim dalam berbagai bentuk untuk menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan. Misalnya kata ‘ilmu, diartikan sebagai suatu pengenalan yang sangat jelas terhadap suatu objek. Sifat Allah yaitu ‘alim karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap bagi-Nya hal-hal yang sekecil apapun.

Kata ‘alim dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 166 kali, dan juga ditemukan banyak sekali ayat-ayat yang menggunakan atau seakar kata dengan al-‘alim. di samping itu terdapat pula sekian banyak kata ‘alim yang menunjuk kepada Allah swt., sebagaimana banyak juga yang menunjuk-Nya dengan menggunakan redaksi a’lam (lebih mengetahui). Banyaknya ayat serta beraneka ragamnya bentuk yang digunakannya itu, menunjukkan betapa luas dan banyaknya ilmu Allah swt.

Manusia juga tentunya dapat meraih ilmu berkat bantuan Allah, bahkan istilah ‘alim pun dibenarkan al-Qur’an untuk disandang manusia, dalam Q.S. al-zariyat/51: 28, tetapi betapapun dalam dan luasnya ilmu manusia, terdapat sekian banyak perbedann ilmunya dengan ilmu Allah.

Allah mengetahui segala sesuatu sedangkan manusia tidak bisa mencapai hal itu seperti dalam Q.S. al-Isra’/17: 85

Terjemahnya: …dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.

Penyaksian manusia tentang kejelasan sesuatu tidak mungkin dapat mencapai kejelasan ilmu Allah. Kejelasan penyaksian manusia hanya bagaikan melihat sesuatu di balik tabir yang halus, tidak dapat menembus objek yang disaksikan sampai kebatas terakhir. Ilmu Allah bukanlah hasil dari sesuatu, tetapi sesuatu itulah yang merupakan hasil dari ilmu-Nya, sedangkan ilmu manusia dihasilkan dari adanya sesuatu. Ilmu Allah tidak berubah dengan perubahan objek yang diketahui-Nya, artinya tidak ada kebetulan di sisi Allah. Allah mengetahu tanpa alat dan ilmunya kekal. Sedangkan ilmu manusia diraih dengan alat yakni panca indra, dan ilmu manusia dapat dilupakan yakni tidak kekal.35

Yattabi’a

Kata yattabi’a berasal dari kata tabaa’ yang terdiri dari tiga huruf, ta’, ba’, dan a’in , yang berarti berjalan mengikuti dari belakang.36 Sebagimana dikatakan oleh Ibn Mansur Attabau’ adalah mengikuti jejak sesuatu dan isim failnya ‘tabaatun. Hal ini sesuai dengan al-Jauhari, attabau’ adalah bentuk jamak dari tabiu’n berarti pengikut.

Yanqalibu

Kata tersebut berakar dari kata qalaba yang artinya membalik, berpotensi untuk berbolak-balik. Kata ini terulang sebanyak 167 dengan segala bentuk perubahannya. Kata tersebut mempunyai dua arti dasar, yakni mengembalikkan atau berubah dan menunjukkan kemurnian sesuatu yakni hati manusia. Hati dinamakan qalb sebab ia dapat berubah-ubah dengan cepat.

A’qibaihi

Kata ‘aqibaihi merupakan turunan dari kata ‘aqaba yang memiliki makna dasar yaitu, ‚ta’hiru syai’in wa ityanuh ba’da ghairih‛ (mengakhirkan sesuatu dan menempatkannya setelah sesuatu yang lain). Sehingga merujuk pada makna ‘tumit’ al-‘aqbu’, karena tumit tempatnya di bagian belakang telapak kaki. Dari makna dasar tersebut timbullah beberapa makna antara lain:

  • Pertama, Balasan, yaitu balasan baik atau buruk. Adapun balasan baik beruapa pahala, dan adapun buruk berupa siksaan. Makna balasan baik terdapat pada Q.S. al-Rad/13: 22, 24, 42, dan Q.S. al-Kahfi/18: 44. Adapun bermakna balasan buruk terdapat dalam Q.S. al-Rad/13: 35, Q.S. asy-Syams/91: 15, al-Nahl/16: 126, al-Hajj/22: 60, ali-Imran/3: 137, al-An’am/6: 11, dan al-A’raf/7: 86, 103.

  • Kedua, bermakna menimbulkan sesuatu sebagai akibat dari sesuatu yang mendahuluinya, seperti dalam Q.S. al-Taubah/9: 77:

    Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, Karena mereka Telah memungkiri terhadap Allah apa yang Telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga Karena mereka selalu berdusta.

  • Ketiga, bermakna keturunan atau generasi penerus, seperti dalam Q.S. al- Zukhruf/43: 28:

    Terjemahnya: Dan (lbrahim a. s.) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.

Dari ketiga makna di atas tidak terlepas dari makna asalnya yaitu, mengakhirkan sesuatu dan menempatkannya setelah yang lain.

Lakabirattan

Kata tersebut berarti benar-benar berat, yakni kata yang menyifati tentang suatu perbuatan. Seperti yang tertera di dalam Q.S. al-Baqarah/2: 45

Jadikanlah sabar dan shalat menjadi penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’‛.

Sebagaimana dalam ayat 143 surah al-Baqarah, dimana pemindahan kiblat merupakan hal yang sangat berat, itu bagi orang-orang yang tidak kuat imannya sehingga mereka enggang mengikuti Rasulullah. Kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah swt.

Illa

Illa di dalam Al-Quran mengandung lima makna yaitu;

  • Pertama, berarti ‘kecuali’, makna ini ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an, seperti dalam Q.S. al- An’am/6: 145.

  • Kedua, bermakna ‘unutk pemberitahuan sesuatu’, artian ini ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an dalam surah al-Hijr/15: 21 dan Q.S. Yasin/36:

  • Ketiga, bermakna ‘jika tidak’, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Taubah/9: 39-40.

  • Keempat ‘selain’, dijelaskan dalam Q.S. al-Anbiya/21: 22 dan Q.S. al-Syaffat/37: 34.

  • Kelima ‘tetapi’, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Thaha/20: 2 dan Q.S. Yunus/10: 98.42

Hada

Kata hada pada frase ayat hadallah (petunjuk Allah). Di dalam bahasa Indonesia biasa juga disebut ‘hidayah’ yang secara leksikal berarti ‘petunjuk yang diberikan secara halus dan lemah lembut’. Di dalam al-Qur’an kata tersebut dan kata lain yang seasal dengannya disebut 306 kali. Kata ini muncul dalam berbagai bentuk dan di dalam konteks yang bermacam-macam.

Para ulama membagi huda atau hidayah Allah swt. menjadi empat macam,

  • Pertama , hidayah yang secara umum diberikan kepada manusia berakal, berupa kemampuan menalar, kecerdasan, dan ilmu pengetahuan seperti diungkap dalam Q.S. Taha/20: 50.

  • Kedua, hidayah yang diberikan kepada manusia melalui perantaraan para nabi, berupa ajaran agama, hidayah ini lebih tinggi tingkatannya dari yang pertama. Seperti dalam Q.S. al-Anbiya’/21: 73.

  • Ketiga, hidayah berupa taufik yang khusus diberikan kepada orang tertentu. Ini dapat dilihat dalam Q.S. Muhammad/47: 17, Q.S. Maryam/19: 76, dan Q.S. al-Baqarah/2: 213.

  • Keempat, hidayah yang akan diberikan di akhirat, berupa kenikmatan surgawi, inilah hidayah yang paling tinggi tingkatannya, seperti dalam Q.S. Muhammad/47: 5, dan Q.S. al-A’raf/7: 43.

Dari segi lain hidayah dapat pula dibagi menjadi dua macam, yaitu hidayah umum dan hidayah khusus,

  • Hidayah umum adalah hidayah yang Allah berikan kepada umat manusia berupa ajaran agama melalui para rasul dan nabi, atau yang diketahui manusia melalui kemampuan akalnya, antara lain dalam Q.S. al-Syura/42: 52 dan Q.S. al-Qasas/28: 56.

  • Hidayah khusus yaitu, kemampuan aktual yang dianugerahkan Allah kepada manusia yang dikehendaki-Nya sehingga mereka dapat melaksanakan hidayah yang umum tersebut, antara lain disebutkan dalam Q.S. ali-Imran/3: 86 dan Q.S. al-Nahl/16: 107.44

Allah

Allah mencakup segala sifat-sifat-Nya, artinya jika disebut‚ ya Allah maka semua nama-nama atau sifat-sifat Allah telah dicakup oleh kata tersebut. Berbeda jika disebut nama-nama atau sifat-sifat Allah yang lain, salah satunya kata ar-rahim, maka sesungguhnya itu menunjuk atau bermaksud kepada Allah, dan adapun sifat- sifat yang lainnya tidak tercakup.

Liyudia’

Kata liyudia’ berasal dari kata da-a’, yang terdiri dari da’, alif, a’in. yang berarti menyia-nyiakan, dapat juga berarti meninggalkan. Sebagaimana penjelasan al-Maraghi yang tertera dalam Q.S. Maryam/19: 59; di dalam ayat tersebut menggunakan kata‚ addau’ as - salah yang berarti meninggalkan shalat sama sekali.

Imanakum

Imanakum secara bahasa berarti al-tasdiku (pembenaran). Sebagaimana pengertian dari al-imanu bil qalbi adalah seseorang yang mengatakan tentang sesuatu lalu meyakini kebenarannya dan al - imanu bil-lisan memilki arti keserasian dengan apa yang diyakini kebenarannya. Sedangkan al-Qur’an menjadikan istilah iman sebagai meyakini Allah, hari akherat, para rasul, iradah yang dengannya dapat membuahkan amal salih dan mengantarkan pelakunya mendapatkan kemenangan berupa keselamatan di dunia dan di akherat.

Lara’ufun

Kata ini dalam bahasa arab merupakan bentuk pelaku, ra’ufu yang berasal dari kata ra’fah yang terdiri dari huruf-huruf ra’, hamzah, dan fa’ bermakna kelemahalembutan dan kasih saying. Dalam al-Qur’an kata ra’uf terulang sebanyak sebelas kali, sepuluh di antaranya menjadi sifat Allah swt., delapan dirangkaikan dengan sifat rahim, dua kali hanya berdiri sendiri, dan hanya sekali kata ra’uf yang menjadi sifat manusia, yakni sifat nabi Muhammad saw.

Mufassir al-Biqa>’I, menjelaskan bahwa ra’fah adalah rahmah yang dianugerahkan kepada yang menghubungkan diri dengan Allah melalui amal shaleh. Terjalingnya hubungan terhadap yang dikasihi itu, dalam penggunaan kata ra’fah, membedakan kata ini dengan rahmah, karena rahmah digunakan untuk menggambarkan tercurahnya kasih, baik terhadap siapa yang memiliki hubungan dengan pengasih, maupun yang tidak memiliki hubungan dengannya.

Di sisi lain, ra’fah menggambarkan sekaligus menekankan melimpah ruahnya anugrah, karena yang ditekankan pada adalah sifat ar-Rau’uf adalah pelaku yang am at kasih, sehinggah melimpah ruah kasihnya, sedang yang ditekankan pada ar-Rahim adalah penerima dari besarnya kebutuhan, sedang rahmah sesuai dengan kebutuhan.

Al-rahim

Kata ar-rahim dalam al-Qur’an terulang 95 kali, yang diambil dari akar kata rahma. Rahim merupakan salah satu asma Allah swt. yang artinya pengasih. Menurut pakar kata bahasa Ibnu Faris (w. 395 H) semua kata yang terdiri dari huruf ra’, ha dan mim, mengandung makna kelemahlembutan, kasih sayang, dan kehalusan. Hubungan silaturahim adalah hubungan kasih sayang, rahim adalah kandungan yang melahirkan kasih sayang. Rahim lahir dan tampak dipermukaan bila ada sesuatu yang dirahmati, dan setiap yang dirahmati pasti sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak bisa dinamai rahim.

Referensi :

  • M. Dhuha Abdul Jabbar dan N. Burhanuddin, Ensiklopedia Makna Al-Qur’an, Syarah Alfaazhul Qur’an.
  • M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an, Kajian Kosakata, (Cet. I; Lantera Hati: Jakarta, 2007)
  • M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,