Apa Makna Dari Rida dalam Agama Islam?

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan agama inilah Allah menyempurnakan agama-agama sebelumnya dengan mengganti menjadi islam. Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Islam mengajarkan kita untuk berbuat Rida. Apa makna dari Rida dalam agama Islam ?

Ridha adalah sikap menerima segala ketentuan Allah Swt, tenang dalam menghadapi cobaan dengan senantiasa berusaha, dan tidak mudah putus asa. Bersikap ridha berarti menerima secara sungguh-sungguh dari dalam hati atas pemberian Allah melalui nalar pikiran yang positif bahwa Allah telah memberikan kenikmatan sesuai ukuran kebutuhan kita.

Jika seseorang memiliki kehendak yang besar, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan, akan menyebabkan stres. Untuk mengatasi kondisi ini, sikap terbaik dengan ridha terhadap apa pun yang telah menjadi kehendak Allah.

Allah Swt telah memberikan karunia rezeki kepada seluruh makhluk di dunia ini. Meskipun rezeki Allah itu melimpah tidak terbatas, tetapi Dia menetapkan takaran atau ukuran kepada tiap-tiap hamba-Nya. Dengan demikian, perolehan rezeki Allah untuk tiap manusia bisa berbeda, meskipun mereka sama-sama telah bekerja dan berusaha.

Adanya perbedaan dalam pendapatan ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an:

Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki . . . . (Q.S. an-Nahl [16]: 71)

Dengan adanya kesadaran bahwa perolehan rezeki manusia telah ditentukan oleh Allah, mengantarkan kita untuk memiliki sifat ridha. Kita harus rela menerima kenyataan yang tengah dihadapi. Rasulullah menyampaikan banyak hadis yang menjelaskan tentang perlunya sikap ridha. Suatu kali beliau di hadapan sahabat bersabda yang artinya,

”Beruntunglah orang yang mendapatkan hidayah Islam, rezeki yang mencukupi hidupnya, dan ia pun ridha atas segala ketetapan Allah”. (H.R. Tirmizi)

Selain hadis di atas, kita perlu menyimak keridhaan yang dicontohkan para sahabat. Salah satunya adalah sahabat Abdullah bin Mas’ud r.a. Beliau pernah menyatakan,

”Sungguh aku lebih suka menjilati kerikil yang panas daripada aku berkata, ’Seandainya hal ini tidak terjadi,’ padahal peristiwa itu telah terjadi. Atau mengatakan, ’Seandainya hal ini benar-benar terjadi,’ ketika peristiwa itu tidak terjadi.”

Anjuran untuk bersikap ridha dengan ketetapan yang telah terjadi memberi pelajaran kepada kita bahwa mengeluh diiringi penyesalan dan angan-angan kosong tentang sesuatu yang telah terjadi, tidak boleh kita lakukan.

Referensi :

Ridha adalah menjernihkan hati dan berlapang dada atau ikhlas ketika menerima ketentuan Allah SWT. Al-Ghazali mengatakan bahwa ridha adalah pintu Allah SWT terbesar. Barang siapa yang menemukan jalan ridha dan mampu memandang dengan mata hatinya, maka ia akan mendapatkan karomah (keistimewaan) serta kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT. Seseorang yang telah mencapai maqam ini, hatinya senantiasa berada dalam ketenangan karena tidak diguncang oleh apapun. Sebab segala yang terjadi di alam ini bergantung dari qadr Allah SWT.

Seseorang bisa melaksanakan ridha apabila ia telah berlatih sabar dan syukur. Artinya ia senantiasa sabar manakala mendapatkan cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Tanpa dua hal itu, ridha tidak akan dapat dilaksanakan dengan sempurna. Melatih hati ridha dalam berbagai hal, menjadikan seseorang memiliki mental baja dalam menghadapi kehidupan di dunia. Jika ia diterpa cobaan, maka tetap sabar. Jika mendapatkan kenikmatan tidak lupa diri. Sedangkan jika berbuat baik, tidak ingin dipuji.

Al-Ghazali menyampaikan seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis,

“Allah SWT menampakkan diri kepada orang-orang mukmin seraya berkata, “mintalah kepada-Ku” maka mereka menjawab, “aku minta keridhaan-Mu”. (HR Hakim)

Permintaan akan keridhaan Allah SWT adalah tujuan dari setiap amalan yang dilakukan oleh setiap mukmin. Diterangkan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “siapakah kalian?” jawab mereka, “kami adalah orang-orang mukmin. ”Rasulullah SAW bertanya lagi, “apa tanda iman kalian?” mereka menjawab, “kami bersabar ketika mengalami ujian dan bersyukur ketika mendapatkan kesejahteraan serta rela menerima keputusan Allah.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Demi Tuhan(nya) Ka’bah, kalian memang orang-orang mukmin”.

Adapun tujuan dari setiap perbuatan baik (ihsan) yang dilakukan oleh setiap mukmin adalah ridha Allah SWT serta pahala dari keridhaan tersebut.Diterangkan dalam sebuah hadis, “sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) untuk orang-orang yang beriman, lalu Dia berfirman, ‘mintalah kamu semua kepada-Ku’. Lalu mereka berkata, ‘keridhaanmu’. Tidak ada lagi tingkatan di atas keridhaan Allah SWT. Karena keridhaan Allah SWT merupakan batas terakhir yang ingin diperoleh oleh setiap mukmin.

Dalam sebuah riwayat diinformasikan bahwa Bani Isra’il berkata kepada Nabi Musa as, “mintalah untuk kami dari Rabbmu suatu perbuatan yang apabila kami mengerjakannya, niscaya Dia senang kepada kami. ”Nabi Musa as lalu berdo’a, “wahai Rabbku, Engkau telah mendengar apa yang telah dikatakan oleh mereka.Maka Allah berfirman, “wahai Musa, katakan kepada mereka, ‘jika saja kamu semua ridha kepada-Ku, Aku pun akan ridha kepadanya,”

Ridha merupakan suatu maqam yang erat kaitannya dengan tawakkal, dan yang berhubungan dengannya.Oleh sebab itu menampakkan keluh kesah dari cobaan Allah SWT, dalam bentuk mengadu dan mengingkarinya dengan kalbu pada Allah SWT adalah berlawanan dengan sikap ridha. Sebaliknya, menampakkan diri dari coban Allah SWT atas cara bersyukur dan penyingkapan dari qudrat Allah SWT itu tidaklah berlawanan dengan qadha Allah SWT.

Ucapan dari seseorang yang mengatakan, bahwa kemiskinan itu adalah cobaan dan ujian.Maka, ucapan yang demikian itu, bisa menghilangkan sikap ridha. Akan tetapi, seseorang bisa melaksanakan sikap ridha jika semua itu diserahkan pengaturannya kepada Allah SWT, sebagaimana yang dikatakatan oleh sayyidina ‘Umar ra, “aku tidak memperdulikan, aku menjadikan orang kaya atau orang miskin. Aku tidak tahu, mana diantara kedua itu yang lebih baik untukku.”

Dengan demikian ridha menurut al-Ghazali adalah menjernihkan hati dan berlapang dada serta ikhlas menerima segala ketentuan dan keputusan Allah SWT. Untuk bisa mencapai ridha menurut al-Ghazali seseorang harus berlatih sabar terlebih dahulu artinya seseorang harus sabar ketika mendapatkan cobaan dari Allah SWT. Untuk mencapai sikap ridha seseorang juga harus memiliki sikap mahabbah (cinta) kepada Allah SWT artinya apapun keputusan Allah SWT ia akan menerima dengan senang hati karena kecintaannya kepada-Nya.

ridha

Dasar Ridha Menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali menjelaskan, ridha adalah salah satu buah dari cinta (mahabbah). Apabila kecintaan kepada Allah SWT telah ada dalam jiwa atau qalbu seseorang, maka bukan suatu hal yang mustahil jika menjalankan semua perintah-Nya adalah suatu kesenangan dan kegembiraan. Kecintaan kepada Allah SWT bisa dilakukan apabila qalbu telah suci dari segala sesuatu yang bisa menghilangkan kecintaan kepada-Nya, sehingga hati tidak ditutupi oleh kesalahan serta kegelisahan.Gembira dengan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT, dan tidak terlalu sedih apabila ada yang hilang atau datangnya kematian serta menganggap semua itu merupakan peringatan dari Allah SWT, maka ini semua merupakan bentuk dari kecintaan serta keridhaan dari segala pemberian dan ketentuan dari Allah SWT.

Ketika cinta kepada sesuatu (Allah SWT) semakin kuat,maka mengerjakan atau menjalankan segala perintah atau kehendak yang di cintai merupakan suatu kesenangan dan kebahagiaan bagi qalbu. Meskipun ketetapan Allah SWT tidak sesuai dengan yang dikehendaki akan tetapi karena kecintaannya ia tidak merasakan kepedihan dan tidak mengeluh terhadap ketetapan tersebut. Barangsiapa yang tidak merasakan cinta kepada Allah SWT, niscaya ia tidak mengenal akan keajaiban-keajaiban-Nya.Terkadang orang kehilangan penglihatan, ia memungkiri pada keindahan bentuk.Orang yang kehilangan pendengaran, ia memungkiri akan enaknya nyanyian dan lagu-lagu yang merdu. Maka, orang yang kehilangan mata kalbu, niscaya secara pasti ia memungkuri lezatnya kenikmatan-kenikmatan yang dimaksud, yang tidak ada tempat sangkaan untuknya, kecuali kalbu.

Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa hakikat ridha adalah menutup diri dari segala hal yang bisa menjauhkan manusia dari Allah SWT. Selain itu seseorang bisa melaksanakan ridha apabila ia telah berlatih sabar dan syukur. Artinya, ia senantiasa sabar manakala mendapatkan cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Tanpa dua hal itu, ridha tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa dasar ridha menurut al-Ghazali adalah kecintaan atau mahabbah kepada Allah SWT. Dengan cinta kepada Allah SWT seseorang bisa menerima dengan senang hati apapun keputusan dan kehendak Allah SWT meskipun hal itu diluar dari yang ia kehendaki.

Tahapan Menuju Ridha Menurut Al-Ghazali

Menurut al-Ghazali ridha merupakan salah satu maqam dari tasawuf yang mesti diusahakan seorang sufi dalam mendekatkan dirinya kepada Allah SWT, selain itu al-Ghazali juga berpendapat bahwa ridha merupakan maqam tertinggi yang dimiliki orang-orang yang dekat (muqarrabun) kepada Allah SWT.

ridha

Untuk mencapai maqam ridha seorang sufi harus melewati maqam-maqam dari tasawuf itu sendiri diantaranya:

  1. Taubat (al-taubah)

    Sesungguhnya bertaubat dari dosa dengan kembali kepada Allah SWT, merupakan pemulaan bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT.Mengetahui dosa yang telah dilakukan serta menyadari bahwa dosa tersebut menjadi dinding atau pembatas antara hamba dengan Allah SWT, maka dengan dosa tersebut membuat hati seorang hamba menjadi sakit karena disebabkan kehilangan yang dicintai (Allah SWT). Jika rasa sakit pada qalbu seorang hamba disebabkan oleh perbuatannya sendiri maka ia menyesal terhadap perbuatannya tersebut.

    Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa taubat intinya adalah penyesalan. Adapun penyesalan yang dimaksud oleh al-Ghazali yaitu berkaitan dengan pengetahuan tentang dosa serta akibatnya pada masa sekarang, dan keinginan untuk meninggalkan segala dosa yang telah dilakukan dimasa lalu dan dimasa yang akan datang. Jadi inti taubat adalah menyesali perbuatan dosa yang dilakukan dimasa lalu dan akibatnya yaitu terhalangnya ia dari yang dicintai (Allah SWT) karena dosa, lalu bertekad untuk menghentikan seluruh dosa tersebut agar terjalin kembali hubungan mesra dengan-Nya. Dengan begitu timbul lagi kesenangan dan kebahagiaan dengan-Nya.

    Dalam pandangan sufi, penyebab manusia jauh dari Allah SWT adalah karena sering berbuat dosa. Sehingga dosa tersebut membuat hati mejadi berkarat. Akbatnya hati tidak bisa meihat keajaiban-keajaiban yang datangnya dari Allah SWT. Para nabi menerima wahyu karena hati mereka bersih dari dosa. Sedangkan manusia, jika bersih dari dosa, tidak ada hijab (pembatas) antara dirinya dengan sang Khaliq. Sehingga ia mudah menerima ilham.

    Bertekad membuka hijab dan ingin memiliki daya ketajaman mata batin, maka tindakan pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan bertaubat. Syarat seseorang bisa menempuh jalan taubat ialah harus mengetahui dan menyadari tentang bahaya dosa.Ia harus sadar bahwa dosa merupakan dinding penghalang antara hamba dengan Allah.

    Sahl bin Abdillah At Tasturi berkata, “taubat adalah menggantikan perbuatan-perbuatan tercela dengan perbuatan yang terpuji. Pada demikian itu tidak akan sempurna kecuali jika ia menyadari, diam, dan makan makanan halal.”Menyendiri dan diam maksudnya ialah merenungi dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

    Taubat merupakan pintu pertama yang harus dilewati. Tahapan ini adalah merupakan perubahan dan pertanda kehidupan baru, karena taubat sebagai batas antara kehidupan yang gelap dengan terang.Taubat mengandung makna ‘kembali’. Jika seseorang bertaubat maka ia berniat kembali kepada fitrahnya semula. Atau, sesorang yang bertaubat, berarti ia kembali ke jalan yang benar setelah hidup dijalan yang salah.

    Setiap hamba Allah wajib bertaubat atas dosanya. Banyak dalil yang menerangkan betapa orang yang mau bertaubat, ia akan beruntung. Keberuntungan itu karena dengan mudahnya ia dapat menempuh jalan menuju ma’rifatullah. Misalnya dapat dijumpai dalam Al Qur’an Surat An-Nuur ayat 31

    “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

    Sebagaimana juga dalam firman Allah SWT (QS at-Tahrim ayat: 8)

    “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai- sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang- orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

    Dengan demikian taubat berarti mengetahui dan menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang telah dilakukan serta adanya keinginan untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa tersebut, baik yang telah dilakukan dimasa lalu maupun dimasa yang akan datang yang bisa menjauhkan diri dari Allah SWT.

  2. Sabar (al-shabr)

    Sabar merupakan sebagian dari iman, selain itu sabar merupakan derajat serta kedudukan dalam agama. Semua kedudukan agama itu tersusun atas tiga perkara yaitu: “ma’rifat, hal-ihwal, dan amal perbuatan”. Ma’rifat adalah pokok dan ia menimbulkan hal-ihwal, dan hal-ihwal membuahkan amal perbuatan. Ma’rifat adalah seperti pohon dan hal-ihwal adalah seperti dahan, dan amal perbuatan seperti buah-buahan.

    Sifat sabar merupakan ciri khas dari manusia yang tidak terdapat pada malaikat maupun binatang, sabar ibarat penggerak agama menghadapi penggerak hawa nafsu jika seseorang dikalahkan oleh hawa nafsu maka ia termasuk kedalam golongan syaitan. Jadi meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diinginkan oleh hawa nafsu merupakan hasil dari perbuatan sabar.

    Menurut al-Ghazali sabar dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :

    • Sabar yang pertama adalah sabar yang berkaitan dengan fisik, seperti ketabahan dan ketegaran memikul beban dengan badan. Kesabaran seperti ini kadang dilakukan dengan perbuatan, seperti melakukan pekerjaan yang berat berupa ibadah atau yang lainnya. Kadang berupa ketabahan, seperti sabar menahan pukulan berat, penyakit yang parah atau luka yang menyakitkan. Hal ini menjadi terpuji apabila sesuai dengan syari’ah.

    • Sabar yang kedua disebut dengan kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan diri dan tabiat atau tuntutan hawa nafsu.

    Kebanyakan hati manusia ditutupi oleh kegelisahan-kegelisahan. Oleh sebab itu untuk melepaskan kegelisahan dalam hati, tiada lain yang dapat ditempuh kecuali belajar bersabar. Sabar adalah menahan nafsu terhadap segala sesuatu yang menggelisahkan atau kelezatan yang dapat membuat manusia jauh dari Allah SWT.Ini termasuk sifat terpuji. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat An-Nahl Ayat 128

    Bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

    Sebagaimana juga diterangkan dalam firman Allah SWT (QS an-Nahl: 96).

    “apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan Sesungguhnya Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

    Dari Aisyah ra. Bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda:

    “sabar yang sempurna adalah pada pukulan (saat pertama menghadapai cobaan). HR. Bukhari dan Muslim.

    Dengan demikian sabar berarti menahan diri dari tuntutan hawa nafsu yang dapat menjauhkan diri dari Allah SWT. Al-Ghazali menjelaskan bahwa kesabaran yang sempurna merupakan suatu kesabaran yang dilakukan sesuai dengan tuntunan syari’at baik kesabaran dari segi fisik, maupun dari segi jiwa.

  3. Kefakiran (al-faqr)

    Adapun orang yang memiliki sikap fakir mempercayai bahwa dengan kefakiran itu tidak ada yang menghalangi antara hamba dengan Allah SWT, bahkan orang yang memiliki sikap fakir percaya bahwa kekayaan dalam segi harta membuat seorang hamba berpaling dari Allah SWT. Bagi orang yang memiliki sikap fakir harta diibaratkan seperti air, karena bagi orang yang memiliki sikap fakir harta bukan digunakan untuk bersenang-senang kecuali hanya sekedar memenuhi kebutuhannya. Selain itu kebutuhan itu juga lebih utama dari pada tidak ada sama sekali.

    Makna fakir disandarkan pada macam-macam kebutuhan seorang hamba, karena kebutuhan seseorang itu tidak ada batasnya, adapun kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan dari segi harta. Oleh sebab itu seseorang yang tidak memiliki atau kekurangan dalam segi harta disebut fakir. Orang yang fakir tidak rakus dalam urusan mencari harta, bahkan ia menerima dan mensyukuri apa yang sudah dimilikinya.

    Kefakiran diartikan oleh al-Ghazali sebagai ketidaktersedianya apa yang dibutuhkan oleh seseorang atau sesuatu. Maka dalam arti ini, seluruh wujud, selain Allah, adalah fakir karena mereka membutuhkan bantuan Tuhan untuk kelanjutan wujudnya. Tetapi yang dimaksud fakir disini adalah kebutuhan manusia akan harta, dan ini bisa dibagi-bagi lagi macamnya, Yang penting diantaranya adalah zuhud. Tapi ada juga yang lebih tinggi lagi dari zuhud , yaitu keadaan dimana keberadaan dan ketiadaan harta tidak mengubah kebahagiaan seseorang. Kalau mendapatkan harta, ia tidak menampakkan kebahagiaan yang berlebihan, demikian juga kalau ia tidak memiliknya, tidaklah ia sedih dibuatnya.

    Dengan demikian fakir berarti kekurangan manusia dalam segi harta, meskipun demikian seseorang yang memiliki sikap fakir percaya bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik yang diberikan Allah SWT.

  4. Zuhud (al-zuhd)

    Zuhud merupakan satu maqam yang mulia dari beberapa maqam bagi orang yang menempuh jalan menuju akhirat.Zuhud juga berarti lebih mengutamakan kehidupan diakhirat dibandingkan dengan kehidupan di dunia. Zuhud merupakan suatu ibadah dari meninggalkan suatu hal yang diperbolehkan (mubah), zuhud diibaratkan tentang tidak sukanya seseorang terhadap duniakarena berpaling kepada akhirat. Maksudnya kelezatan akhirat lebih baik dan lebih kekal dibandingkan dengan kelezatan di dunia.

    Orang yang memiliki sikap zuhud adalah orang yang qalbunya bersih dalam urusan dunia, ia menikmati dunia tanpa mengurangi kemegahan dan keburukan nama, tanpa mengghilangkan keberuntungannya disisi Allah SWT. Kemudian ia meninggalkan dunia karena takut qalbunya menyayangi dunia serta mencintai selain dari Allah SWT.

    Zuhud didefenisikan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian atau celaan, karena keakrabannya dengan Tuhan.

    Al-Ghazali menyebut tiga tanda zuhud. Tanda zuhud Adalah :

    • Pertama, tidak bergembira dengan yang ada dan tidak bersedih karena ada yang hilang.

    • Kedua, sama saja baginya orang yang mencela dan orang yang memujinya.

    Tanda zuhud yang pertama dalam harta, sedangkan yang kedua tanda zuhud dalam kedudukan. Ketiga, hendaknya ia bersama Allah SWT dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan dan cinta Allah SWT. Al-Fudhail berkata, “Allah menjadikan segenap keburukan dalam sebuah rumah tangga dan sebab utamnya adalah cinta dunia”. Allah SWT juga menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah tangga dan sebab utamanya adalah zuhud dari dunia”.

    Dalam dunia tasawuf, zuhud artinya menjadikan hati agar tidak tertarik dengan duniawi.Mereka menganggap duniawi nilainya sangat rendah dibandingkan dengan kepentingan akhirat.Esensi kehidupan zuhud adalah sikap moral yang diajarkan oleh Al Qur’an.Kitab suci ini menjelaskan bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal dari pada dunia. Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 77

    Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.

    Al-Ghazali mengibaratkan bahwa dunia dan akhirat itu ibarat salju dan mutiara.Jika didalam salju itu tersimpan mutiara, maka nilainya lebih mahal. Tetapi jika salju diletakkan dibawah matahari, ia akan hancur dan tinggallah mutiara yang kekal. Agar bisa menempuh sikap zuhud, maka seseorang harus memiliki keyakinan bahwa sesungguhnya akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.

    Menurut al-Ghazali, zuhud bukan berarti meninggalkan harta atau menghabiskan kekayaan sama sekali untuk diberikan karena rasa dermawan. Hal tersebut memang kebiasaan baik. Namun zuhud yang sesungguhnya jika seseorang menilai duniawi itu lebih rendah nilainya dibandingkan akhirat. Sebab kadang-kadang sesorang memberikan sedekah, bukan karena niat ikhlas namun karena mengharap sesuatu yang disebut riya’.

    Al-Ghazali berpendapat bahwa zuhud berarti menerima dengan senang hati terhadap apapun yang ditakdirkan oleh Allah SWT, artinya tidak teralu senang dengan yang ada dan tidak sedih apabila ada yang hilang, zuhud bukan berarti menjauhi segala bentuk kehidupan dunia akan tetapi zuhud yang sebenarnya menilai bahwa kehidupan dunia lebih rendah dibandingkan dengan kehidupan di akhirat.

    Dengan demikian zuhud berarti menerima dengan senang hati apapun yang ditakdirkan oleh Allah SWT. Orang yang memiliki sifat zuhud menilai bahwa kehidupan dunia tidak ada bedanya baik dalam situasi susah atau senang, miskin atau kaya, kemuliaan atau kehinaan karena orang yang memiliki sifat zuhud berkeyakinan bahwa kehidupan yang dijanjikan Allah SWT di akhirat jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan di dunia.

  5. Tawakkal (al-tawakkul)

    Hakikat atau makna dari tawakal adalah suatu jalan atau kehendak untuk menauhidkan Allah SWT.Adapun mentauhidkan yang dimaksud disini adalah putusnya perhatian dari segala sesuatu selain dari Allah SWT. Tawakal merupakan bagian dari pintu keimanan, menyerahkan seluruh keadaan serta perbuatan kepada Allah SWT, inilah yang disebut dengan sikap tawakal.

    Tawakkal artinya menyerahkan urusan kepada seseorang, yang kemudian disebut wakil, dan mempercayakan kepadanya urusan tersebut. Tentu saja sesorang tidak akan menyerahkan urusan kepada orang lain (wakil) kecuali ia merasa tenang dengannya dan percaya kepadanya baik dari sudut ke-tsiqah-annya maupun kecakapannya. Tentu saja, dalam hal ini, yang dimaksud adalah tawakkal kepada Allah SWT, Wakil kita yang paling dapat dipercaya, Mahakuasa dan mempunyai kecakapan yang tiada batasnya.

    Menurut al-Ghazali keadaan tawakkal memiliki tiga tingkatan:

    • Pertama, keadaan menyangkut hak Allah SWT dan keyakinannya kepada jaminan dan perhatian-Nya adalah seperti keyakinannya kepada wakil.

    • Kedua, yang lebih kuat, yaitu keadaannya bersama Allah SWT adalah seperti keadaan anak kecil bersama ibunya, dimana ia tidak mengenal yang lainnya, dan tidak bersandar kecuali kepadanya.

    • Ketiga, keadaan tawakkal yang paling tinggi, yaitu hendaknya ia berada di hadapan Allah SWT dalam semua gerak dan diamnya, seperti mayat yang ada di tangan orang yang memandikannya. Ia punya keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT adalah penggerak semua gerak, kekuatan, kemauan, pengetahuan dan semua sifat yang lainnya.

      Sebagaimana firman Allah SWT (QS: al-Maidah:23)

      “Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.

      Sebagaimana juga firman Allah SWT (QS: Ali Imran: 159)

      “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

    Dengan demikian tawakkal berarti menyerahkan segala sesuatu kepada Allah SWT orang yang memiliki sifat tawakkal berkeyakinan bahwa apapun keputusan dari Allah SWT merupakan yang terbaik baginya.

  6. Cinta Ilahi (al-mahabbah)

    Sesungguhnya kecintaan (mahabbah) kepada Allah SWT adalah puncak maqam tertinggi yang ditempuh oleh seorang hamba, sesudah kecintaan kepada Allah SWT tidak ada maqam lagi kecuali buah dari kecintaan tersebut. Adapun maksud atau cara mencintai Allah SWT adalah dengan taat menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

    Adapun hakikat dari kecintaan kepada Allah SWT adalah merasakan kelezat bermunajat kepada-Nya yang dirasakan oleh qalbu, kecintaan terhadap bentuk rupa bukan merupakan kecintaan yang datang dari qalbu melainkan hanya karena nafsu syahwat.Kecintaan terhadap bentuk rupa merupakan kekeliruan karena keindahan tidak terbatas pada yang diketahui oleh pandangan semata.

    Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam kepada Allah SWT. Menurut al-Ghazali orang yang mencintai sesuatu, yang tidak mempunyai keterkaitan dengan Allah SWT, maka orang itu melakukannya karena kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Allah SWT. Adapun cinta kepada selain Allah tapi masih terkait dengan Allah SWT, maka hal tersebut masih dipandang baik.Misalnya, cinta kepada Rasulullah SAW adalah terpuji karena cinta ini merupakan buah dari kecintaan kita kepada Allah SWT.Pokoknya cinta kepada siapapun yang Allah SWT cintai adalah baik, karena pecinta kekasih Allah SWT adalah juga pecinta Allah SWT.

    Alasan bahwa Allah SWT adalah yang paling berhak mendapat cinta dari seorang manusia ada lima:

    • Pertama, cinta manusia kepada dirinya menuntut adanya cinta kepada Allah SWT, karena wujud dan kesempurnannya berasal dari Allah SWT.

    • Kedua, cinta seseorang kepada manusia yang berbuat baik, tidak bisa dipisahkan dari kecintaan kepada siapapun yang yang telah berbuat baik. Tetapi Allah SWT adalah pemberi terbaik, dan karena itu paling patut mendapat cinta kita.

    • Ketiga, apabila mencintai orang-orang besar dimasa lalu, maka ketahuilah bahwa sumber kebaikan mereka tidak lain dari pada Allah SWT.

    • Keempat, manusia mencintai keindahan, tapi ketahuilah bahwa segala keindahan yang ada berasal dari-Nya.

    • Kelima, manusia mencintai sesorang karena kedekatannya. Kedekatan manusia dengan Allah SWT adalah karena upaya ia meneladani sifat-sifat tetentu Allah SWT. Maka yang diteladani itu tentu paling berhak kita cintai.

    Sesungguhnya kecintaan (mahabbah) kepada Allah SWT adalah maqam tertinggi dalam tasawuf. Sesudah kecintaan terhadap Allah SWT tidak ada maqam lagi kecuali hal itu merupakan buah dari kecintaan kepada Allah SWT (mahabbah). Seperti rindu, kasih sayang, sikap ridha, dan sifat-sifat yang sejenisnya.

    Adapun hakikat kecintaan maka itu adalah mustahil kecuali dengan sejenis, dan semisalnya.Ketika mereka mengingkari kecintaan, niscaya mereka mengingkari kasih sayang kalbu, rasa rindu, kelezatan bermunajat, dan hal-hal lain yang tetap pada kecintaan maupun yang mengikutinya.Tidak boleh tidak dari menyingkapkan tutup dari urusan ini.

    Setiap mukmin berpendapat bahwa cinta kepada Allah SWT dan kepada Rasul-Nya merupakan suatu hal yang wajib yang ditetapkan dengan dalil pasti (qhad’i) dan, bagaimana diwajibkan apa yang tidak ada wujud baginya? Juga bagaimana kecintaan itu di tafsirkan dengan taat, dan taat itu mengikuti kecintaan serta buahnya? Maka, tidak boleh tidak mendahulukan kecintaan. Kemudian, sesudah yang demikian orang akan menaati orang yang dicintai dan, yang menunjukan atas ketetapan kecintaan kepada Allah SWT.

    Adalah firman-Nya berikut ini, (QS al- Maidah: 54)

    “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.”

    Juga firman Allah dalam (QS al-Baqarah: 165)

    “dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”.

    Dalil di atas merupakan dalil atas tetapnya cinta, dan kecintaan pada Rasulullah SAW.Telah menjadikan kecintaan kepada Allah SWT.Sebagai bagian dari syarat iman pada banyak hadis yang beliau sabdakan. Di antaranya Abu Razin al-Uqaili pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah iman itu? Rasulullah menjawab, “Yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai dari pada selain keduanya.”

    Dengan demikian yang dimaksud dengan cinta Ilahi atau al- mahabbah adalah kecintaan kepada Allah SWT serta kesenangan dan ketenangan hati terhadap segala keputusan-Nya.

  7. Ridha (al-ridha)

    Maqam terakhir menurut al-Ghazali adalah ridha. Ridha terkait erat dengan cinta. Kalau cinta kepada Allah SWT telah tertanam di hati seseorang, maka cinta tersebut akan menimbulkan rasa ridha atau senang atas semua perbuatan Allah SWT, karena dua alasan:

    • Pertama, cinta bisa menghilangkan rasa sakit atau luka yang menimpa diri seseorang.

    • Kedua, ia mungkin merasakan kesakitan atas apa yang menimpa dirinya, tetapi ia merasa ridha atasnya. Misalnya, musibah yang diterimanya dari Allah SWT, karena yakin bahwa pahala yang dijanjikan oleh Allah SWT lebih besar, maka ia akan rela, bahkan menginginkannya dan mensyukurinya. Ketika cinta yang telah mendominasinya, maka kehendak sang kekasih dan ridha-Nyalah yang lebih ia cari dan ia cintai.

    Adapun sikap ridha, tidaklah bisa dilakukan apabila mengingkari kecintaan kepada Allah SWT. Sebaliknya apabila kecintaan kepada Allah SWT telah ada dalam jiwa qalbudan hilangnya duka-cita dengan kecintaan itu, maka tidaklah mustahil, bahwa kecintaan itu menjadikan keridhaan dengan segala perbuatan orang yang dicintai.Sebagaimana firman Allah SWT (QS: al-Bayyinah: 8)

    “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya.yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”.

    Dengan demikian ridha berarti menerima dengan senang hati apapun keputusan dari Allah SWT, ridha terkait dengan al-mahabbah (cinta Ilahi) karena dengan al-mahabbah bisa menimbulkan ridha atas segala keputusan Allah SWT.

Referensi :

  • Al-Ghazali, Mempertajam Mata Bathin, Penerj. Muhammad Nuh, (Jakarta: Mitrapress, 2007).
  • Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, Penerj. Labib Mz, (Jakarta: Republika, 2013).
  • Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008).

Kata ri a berasal dai bahasa arab berupa kata dasar al-ri a

)الرضا) yang berarti senang, suka, rela. Al-ri ḍa merupakan lawan dari kata al-sukht (السخط) yang berarti kemarahan, kemurkaan, rasa tidak suka.1 Ri ḍa merupakan pelepasan ketidak senangan dari dalam hati, sehingga yang tinggal adalah kebahagiaan dan kesenangan.

Sedangkan ri ḍa menurut istilah adalah kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala karunia yang diberikan atau bala yang ditimpakan kepadanya. Ia akan senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya.

Para ulama mendefinisikan ri ḍa dengan definisi yang bermacam- macam. Setiap orang berbicara sesuai dengan kapsitas dan kedudukannya. Żunnun Al-Miṣri mengatakan bahwa “ ri ḍa ialah kegembiraan hati dalam menghadapi qa ḍa tuhan.5 Ibnu ujaibah berkata, “ ri ḍa adalah menerima kehancuran dengan wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika ketetapan terjadi, atau tidak memilih-milih apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, atau lapang dada dan tidak mengingkari apa-apa yang datang dari Allah.6 Al-Barkawi berkata, “ ri ḍa adalah jiwa yang bersih terhadap apa-apa yang menimpanya dan apa-apa yang hilang, tanpa perubahan.

Ibnu Aṭaillah as-Sakandari berkata, “ ri ḍa adalah pandangan hati terhadap pilihan Allah yang kekal untuk hamba-Nya, yaitu, menjauhkan diri dari kemarahan. Tumbuhnya ri ḍa di dalam hati didahului oleh tumbuhnya mahabbah (cinta). Kecintaan kterhadap Allah Swt menyebabkan hati ri ḍa kepada-Nya. Al-Gazali membuat perumpamaan mengenai tumbuhnya ri ḍa dari cinta, yaitu layaknya seseorang yang sedang asyik memikirkan buah hatinya, pada saat itu tidak tampak olehnya orang lain selain buah hati yang sangat dirindukannya. Demikian pula dengan seseoarang yang sedang asyik bercinta dengan maha kekasih, yaitu Allah Swt. Semua yang datang dari Allah Swt niscaya menyenangkan hatinya. Kalbunya terasa lega dalam menghadapi ketentuan maha Kekasihnya tersebut.

Ri ḍa merupakan kondisi hati, jika seorang mukmin merealisasikannya, maka dia akan mampu menerima semua kejadian yang ada di dunia dan berbagai macam bencana dengan iman yang mantap, jiwa yang tenteram dan hati yang tenang. Bahkan, dia akan sampai pada tingkat yang lebih tinggi dari itu, yaitu merasakan kebahagiaan dan kesenangan terhadap pahitnya takdir. Hal tersebut merupakan hasil dari ma‟rifat kepada Allah dan cinta yang tulus kepada-Nya.

Macam-macam Ri a

Ri ḍa seorang hamba terhadap takdir Allah yang diberikan kepada dirinya menentukan ri ḍa Allah terhadap hamba-Nya.10 Menurut Al- Hujwiri, ri ḍa dibagi menjadi dua, yaitu ri ḍa Allah terhadap hamba-Nya, dan ri ḍa hamba terhadap Allah Swt. Ri ḍa Allah terhadap hamba-Nya adalah dengan memberikan pahala, nikmat, dan karamah-Nya, sedangkan untuk mendapatkan itu semua, seorang hamba harus ri ḍa terhadap Allah yaitu dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan tunduk pada semua hukum-hukum-Nya.

Adapun ri ḍa hamba terhadap Allah ada dua, yaitu ri ḍa billah (باللّه الرضا) dan ri ḍa „anillah )اللّه عن الرضا(, al-ri ḍa billah yaitu ri ḍa terhadap Allah sebagai Tuhan yang berhak diibadahi, dan ditaati syariat- syariat (aturan-aturan) Nya, seperti menauhidkan Allah, melaksanakan ṣalat, menjalankan puasa, menunaikan zakat dan lain sebagainya. Keriḍaan ini terkait dengan qa ḍa keagamaan ( al-qa ḍa al-syar‟iyyah ) dan ri ḍa ini hanya dapat dilaksanakan oleh orang mukmin. Sedangkan al- ri ḍa „anillah yaitu ri ḍa terhadap ukuran-ukuran dan batasan yang telah diciptakan dan diberikan Allah untuk seseorang seperti ukuran dan batas rezeki, kesehatan, bentuk fisik, jenis kelamin kebangsaan, cuaca dan lain sebagainya. Ri ḍa ini terkait dengan qa ḍa keduniawian ( al-qa ḍa al- kauniyyah ). Ri ḍa in bisa dilaksanakan oleh orang mukmin maupun orang kafir, orang mukmin bisa ri ḍa terhadap kondisi fisik yang diterima demikian juga orang kafir.

Hilangnya kerelaan hati menerima keadaan-keadaan tersebut, akan menjadikan hati kotor dan pikiran menjadi kalut dan ri ḍa , pahala, nikmat dan karamah Allah Swt tidak akan turun kepada hamba-Nya.

Sikap Ri a

Orang yang ri ḍa terhadap cobaan dan musibah yang menimpanya sebenarnya merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya. Akan tetapi dia ri ḍa dengan akal dan imannya, karena dia meyakini besarnya pahala dan balasan atas musibah dan cobaan tersebut. Oleh karena itu dia tidak menolaknya dan tidak gelisah. Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “ ri ḍa bukan berarti tidak merasakan bencana. Akan tetapi, riḍa itu berarti tidak menolak qaḍa dan taqdir”

Orang yang jiwanya rela (puas) menerima apapun yang terjadi pada diri mereka, tidak ada sedikitpun kekecewaan yang melanda dirinya. Orang-orang seperti inilah yang disebut dengan orang yang ri ḍa . Orang yang ri ḍa sadar bahwa penderitaan yang menimpanya juga menimpa orang lain, namun dalam bentuk yang berbeda-beda.

Sikap seperti itu muncul karena ia mengimani sepenuhnya rencana dan kebijaksanaan Allah. Apa yang menimpanya diyakini sebagai ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah kepadanya. Ia menerima dan mensikapi dengan senang hati sehingga ia dapat terhindar dari kebencian terhadap manusia, karena seseorang yang berusaha mencari ri ḍa Allah tidak peduli terhadap komentar apapun dari orang lain mengenai dirinya, dan hal itu tidak membuatnya sakit hati, sehingga hatinya menjadi tenang dan jauh dari gejolak dan gelisah. Sementara orang yang senantiasa mencari ri ḍa dari manusia hatinya akan lelah karena tidak mungkin mampu memuaskan manusia, dan pada akhirnya ia hidup dalam penderitaan.

Ciri-ciri Ri ḍ a

Penelitian ini mengacu pada teori Żunnun al-Miṣri yang berpendapat bahwa ri ḍa adalah menerima tawakkal dengan kerelaan hati. Adapun tanda-tandanya adalah:

  1. mempercayakan hasil pekerjaan sebelum datang ketentuan

  2. tidak resah sesudah terjadi ketentuan

  3. cinta yang membara ketika tertimpa mala petaka.

Riḍa adalah kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala karunia yang diberikan atau bala yang ditimpakan kepadanya, ia akan senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya Keutamaan Ri a

Rabiah Al-Adawiyyah pernah ditanyai mengenai ri ḍa , yakni kapan seorang hamba menjadi ri ḍa . Rabiah menjawab, “ bila kegembiraannya di waktu ditimpa bencana sama dengan kegembiraannya di kala mendapat karunia ”. Maqam ri ḍa lebih tinggi dari maqam sabar, karena dalam pengertian sabar masih terkandung pengakuan tentang adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan bagi seseorang yang telah berada pada maqam ri ḍa , ia tidak lagi membedakan antara yang disebut musibah dan apa yang disebut nikmat, semua itu diterimanya dengan rasa senang. Ia mencintai segala sesuatu yang diriḍai oleh Allah, sekalipun itu adalah musibah. Dia melihat semua itu sebagai kebaikan dan rahmat, dan dia akan menerimanya dengan rela, sebagai karunia dan berkah.

Dalam sejarah Rasulullah saw, para khalifah dan para sahabat beliau yang mulia, dan orang-orang yang saleh terdapat banyak sekali kejadian-kejadian yang menunjukkan bahwa mereka telah mencapai derajat ri ḍa yang tertinggi. Rasulullah saw pernah dilempar dengan batu di thaif sampai mata kaki beliau berdarah, lalu beliau menghadap kepada Allah sambil berkata, “selama engkau idak marah kepadaku, maka aku tidak akan peduli (atas apa yang menimpaku). Diriwayatkan, bahwa kaki Urwah bin Zubair r.a dipotong dan anak yang paling disayanginya meninggal di malam yang sama. Ketika sahabat-sahabatnya datang untuk berta’ziah kepadanya, dia berkata “ya Allah, hanya bagi-Mu segala puji. Aku mempunyai tujuh anak, lalu engkau mengambil salah satu dari mereka dan menyisakan enam. Aku mempunyai dua tangan dan dua kaki, lalu engkau mengambil satu dan menyisakan tiga. Kalaupun engkau mengambilnya, karena engkaupun yang memberinya dan kalaupun engkau memberi cobaan kepadaku, karena engkau jugalah yang menyembuhkanku.” Ketika sahabat Bilal sedang menghadapi sakaratul maut, dia berkata, “ Aku sangat bahagia, besok aku akan bertemu dengan orang-orang yang aku cintai, yaitu Muhammad dan para sahabatnya ”.

Rasulullah saw menjelaskan bahwa orang yang ri ḍa terhadap ketetapan Allah adalah orang yang paling merasakan kebahagiaan dan ketenteraman, serta paling jauh dari kesedihan, kemarahan dan kegelisahan.Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa ri ḍa adalah salah satu penyebab utama bagi kebahagiaan seorang mukmin di dunia dan akhirat, sebagaimana kemarahan adalah penyebab kesengsaaan di dunia dan akhirat. Rasulullah saw bersabda :

“salah satu kebahagiaan anak adam Adam adalah ri a-Nya atas apa yang**telah ditakdirkan Allah kepadanya. Dan salah satu kesengsaraan anak Adam adalah meninggalkan istikharah kepada Allah dan kebenciannya terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah kepadanya”. (HR. Tirmi ż i)

Nikmat ri ḍa merupakan salah satu faktor ketenangan yang melingkupi hati para ma‟rifat , dia merupakan salah satu penyebab utama dalam menghilangkan rasa putus asa yang kadang ditimbulkan oleh pikiran tentang tidakakan diperolehnya keberuntungan dan kenikmatan di dunia, yang menyebabkan kekhawatiran, keraguan dan goncangan dalam diri seseorang.

Rasululllah saw telah mengajari para sahabatnya dan menanamkan pada hati mereka ri ḍa kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul. Barang siapa menghiasi dirinya dengan ri ḍa terhadap Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasulnya, maka dia akan merasakan manisnya iman, menikmati lezatnya keyakinan dan memperoleh kebahagiaan yang abadi. Rasulullah bersabda:
Artinya: dari Al-Abbas bin Abdul Mu ṭṭa lib, bahwasanya dia mendengar

Rasulullah bersabda: akan merasakan manisnya iman orang yang ri a menjadikan Allah sebagi Rabb dan Islam debagai agama dan Muhammad sebagai Nabi” Abu Isa bekata: “ini hadis hasanalih (H.R. al-Tirmizi).

Firman Allah :

*Artinya: Telah menceritakan kepada kami, Abdurrahman bin Syuraih Al-*Iskandarani, telah menceritakan kepadaku Abu Hani Al Khaulani bahwa ia mendengar Abu Ali Al Hanbi bahwa ia mendengar Abu Sa‟id Al-Khudri r.a mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “barang siapa mengatakan: ra itubillahi rabba wa bil-islami dina wa bimuhammadin rasulan (aku ri a Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai rasul), maka wajib baginya untuk masuk surga (H.R. Abu Daud)

Sementara orang yang diḥramkan dari kenikmatan iman dan ri ḍa , dia akan selalu dalam kegelisahan, kebosanan dan siksa. Ketika dia terkena bala atau ditimpa musibah, kehidupan terasa kelam di matanya, dunia terasa gelap di hadapannya dan bumi terasa sempit baginya. Lalu datanglah syetan kepadanya untuk mengganggu dan membisikkan kepadanya bahwa tidak ada penyelesaian bagi semua kegelisahan dan kesedihan yang dia hadapi.