Sadar dapat diartikan dengan ingat, merasa dan insaf terhadap dirinya sendiri. Mekanisme penemuan kesadaran diri manusia, terbagi ke dalam tiga bagian: Pertama , Sistem Nilai yang terdiri dari refleksi nurani, harga diri serta Taqwa kepada Tuhan. Kedua , Sikap Pandang yang terdiri dari kebersamaan dan kecerdasan. Ketiga , Perilaku yang terdiri dari keramahan yang tulus dan santun serta ulet dan tangguh.
Dalam bahasa Arab, kesadaran diri disebut dengan ma’rifatun nafs. Dalam al-Qur’an dapat ditemukan ayat yang menjelaskan pentingnya kesadaran diri. Salah satu ayat yang menyebutkan hal tersebut terdapat pada firman Allah surah al-Hasyr ayat 19:
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang- orang yang fasik. (QS. Al-Hasyr: 19)
Dalam ayat di atas diterangkan bahwa melupakan Allah menyebabkan manusia melupakan kesadaran dirinya serta menjadikannya masuk ke dalam golongan orang-orang yang fasik. Hakekat mengenal diri adalah mengenal Tuhan, artinya semakin manusia sadar terhadap diri sendiri maka nilai spiritual yang ada pada dirinya akan berkembang ke arah kesempurnaan. Hingga kemudian dapat mengingatkan bahwa akan ada waktunya bagi semua yang hidup untuk kembali kepada Sang Pencipta kehidupan.
Allah SWT berfirman;
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al- Ankabut :57)
Demikianlah, setiap manusia pasti akan sampai pada akhir kehidupannya. Kematian akan menyapa semua manusia tanpa terkecuali. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa manusia sangatlah lemah. Tidak hanya itu, kematian juga menjelaskan bahwa didalam kehidupan ini tidak ada yang abadi.
Firman Allah SWT yang terdapat pada surat Yunus ayat 56 berbunyi :
Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS.Yunus: 56)
Membahas soal kematian bisa menimbulkan sebuah pemberontakan yang menyimpan kepedihan dalam setiap jiwa manusia. Yaitu, kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan punahlah semua yang dicintai dan dinikmati di hidup ini. Setiap orang berusaha menghindari semua jalan yang mendekatkan ke pintu kematian. Jiwa manusia selalu mendambakan dan membayangkan keabadian.
Kehidupan manusia merupakan titipan Allah. Bila suatu saat Allah berkehendak, maka dapat dipastikan tidak akan ada yang bisa mengelak karena Dialah pemilik sejati. Semua orang di muka bumi ini tidak pernah meminta Tuhan untuk menciptakan serta melahirkannya ke dunia ini. Tetapi semua ini merupakan anugerah. Kelahiran dan kehidupan sebagai rezeki-Nya.
Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk menciptakan kehidupan yang baik serta mengembangkan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan. Setiap orang merancang berbagai rencana dan melakukan ragam upaya semata-mata untuk meraih kebahagian dalam hidup. Firman Allah SWT dalam surat Al-Lail menunjukkan tiga karakter orang yang menemukan kebahagiaan dan juga karakter orang yang selalu dirundung derita.
“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS. Al-Lail: 4-10)
Tiada keberuntungan dalam hidup ini kecuali bagi orang yang senantiasa bersandar kepada Allah, karena segala-galanya atas kuasa-Nya bahkan tidak ada satu celah yang luput dari kekuasaan Sang Pencipta. Dia yang membuat semua yang ada dalam kehidupan ini secara total, sempurna, dan sangat rapi. Allah juga menghiasi kehidupan di dunia ini dengan keindahan. Pada titik ini manusia diberi kebebasan untuk memilih: memilih jalan yang mengantarkan pada kebahagiaan atau memilih jalan yang menjerumuskan pada penyesalan dan kehancuran. Sudah diilhamkan di hati manusia kemampuan untuk memilih mana kebaikan dan mana keburukan.
Sesungguhnya manusia meyakini dengan baik bahwa umurnya terbatas dan telah ditentukan oleh Allah SWT. Seiring dengan bergulir dan berjalannya waktu, jatah hidup juga semakin berkurang. Jelas, karena semakin mendekati ke garis final kehidupan (ajal). Jika diilustrasikan dengan sebuah perniagaan, umur adalah aset dan modal usaha bagi pemiliknya. Tentang keterkaitan antara waktu dan kerugian, ahli tafsir terkenal Fakhruddin Al-Razy, seperti dikutip oleh Fathurrahman Kamal menjelaskan demikian;Ketika rugi dipahami sebagai hilangnya modal, sementara modalnya adalah umur itu sendiri, tentunya setiap detik akan mengalami kerugian. Ini logis, karena umur yang menjadi modal terus berkurang. Tidak diragukan lagi jika umur digunakan oleh manusia untuk bermaksiat kepada Allah, ia benar-benar mengalami kerugian. Bukan saja karena ia tidak mendapatkan kompensasi dari modalnya yang hilang, bahkan lebih dari itu ia telah mencelakakan dirinya sendiri. Demikian halnya, jika ia menghabiskan umurnya untuk mengerjakan perkara-perkara yang mubah sekalipun, ia tetap dinyatakan merugi. Sebab, ia menghabiskan modalnya untuk hal-hal yang tidak berimplikasi apa-apa kepada dirinya sendiri.
Dengan penjelasan ini, dapat dipahami dengan baik mengapa iman dan amal saleh menjadi pengecuali bagi pelakunya. Paradigma dan cara pandang ini, setidaknya dapat membangkitkan energi dan kesadaran spiritual untuk menata kehidupan yang ber-ittijah Rabbany (berorientasi kepada Allah SWT semata). Manusia itu ada dari tiada menjadi ada dan akan tiada untuk kembali ada. Manusia lahir dalam keadaan lemah kemudian tumbuh besar, menjadi kuat lalu lemah kembali dan mati.
Kematian begitu dekat dalam kehidupan manusia, tetapi sering kali mudah diacuhkan. Setiap makhluk hidup sadar bahwa dirinya akan pulang ke kampung keabadian kembali kepada Sang Pemilik kehidupan. Manusia yang paling bahagia di saat kembalinya kepada Sang Pencipta ialah dia yang mengakhiri kehidupan duniawinya dengan meraih predikat husnul khatimah. Tidak dengan cara yang gampang seseorang dapat meraihnya. Perlu melalui proses yang panjang dengan penuh ujian kesabaran, dan pasti akan selalu ada rintangan-rintangan. Namun itulah yang menjadi tolak ukur untuk mendapatkan predikat husnul khatimah.
Referensi
- Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme , (Jakarta: Noura Books, 2013)
- Syarif Hade Masyah, Lewati Musibah Raih Kebahagiaan , (Jakarta: Hikmah, 2007).
- Sultan Abdulhameed, Al-Qur’an untuk Hidupmu Menyimak Ayat Suci untuk Perubahan Diri , (Jakarta: Zaman, 2012).
- Bisri M Djaelani, Indahnya Kematian , (Yogyakarta: Madania, 2010)