Apa Makna Al-Qur’an Sebagai Obat Penawar Bagi Manusia?

Al-Qur’an

Apa makna Al-Qur’an sebagai Obat Penawar bagi manusia ?

Al-Qur’an adalah Syifa’ (obat penawar) dapat bermakna dua, yaitu :

  • Pertama, al-Qur’an menunjukkan makna Syifa’ sebagai petunjuk kepada makna umum, Makna ini memberi gambaran tentang seluruh isi al-Qur’an secara maknawi, surat-surat, ayat-ayat maupun huruf-hurufnya memiliki potensi penyembuh atau obat, dan sesuai dengan firman Tuhan Swt dalam surat Yunus ayat 57 sebagai berikut:

    Artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu suatu pelajaran dari Tuhanmu, dan penyembuh segala penyakit yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

    Penyebutan kata “dada” diartikan dengan hati, dan hal itu menunjukan bahwa wahyu- wahyu Ilahi itu berfungsi menyembuhkan penyakit-penyakit ruhani, seperti: ragu, dengki maupun takabur. Di dalam al-Qur’an, hati ditunjukan sebagai wadah yang menampung rasa cinta dan benci, berkehendak dan menolak. Bahkan hati dinilai mampu melahirkan ketenangan ataupun kegelisahan.

  • Kedua, sebagai petunjuk kepada makna khusus. Adapun makna Syifa’ secara khusus yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah hanyalah sebagian ayat atau surat yang menggambarkan tentang obat dan penyembuh bagi hambanya, dan ini sesuai dengan surat al-Israa ’ ayat 82 yang bunyinya sebagai berikut:

    Artinya : “Dan kami menurunkan sebagian dari al-Qur’an sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Atas dasar kedua tipologi di atas, maka petunjuk makna Syifa’ yang dimaksud dalam a-Qur’an hendak menggambarkan tentang nasib manusia secara historis dan begitu komprehensif, yang kemudian diabadikan dalam al-Qur’an. Bukti ini dapat ditemukan di hampir yang mencakup surat-surat yang ber-kriteria Makkiyah, baik berupa tentang lebah dan madu, kesehatan maupun pikiran yang sehat.

Adapun petunjuk lainnya, bahwa pengungkapan Syifa’ dengan berbagai bentuknya disebutkan 6 kali dalam al-Qur’an. Lima di antaranya tergolong ayat Makkyiah dan satu lainnya tergolong ayat Madaniyah. Term Syifa’ ini, pada dasarnya dipersandingkan dengan term marad ; demikian pula perkembangan selanjutnya yang mengarah pada perbedaan karakter dan kecenderungan masing-masing term yang identik dengannya.

Pada umumnya, Syifa’ diartikan dengan “sembuh”, sedangkan marad (diartikan dengan “sakit”. Sakit dan sembuh merupakan sebuah keniscayaan (kemutlakan) dalam kehidupan umat manusia. Bahkan keduanya berkembang seiring dengan sejumlah jenis penyakit maupun penyembuhannya. Karena itu, sebutan sakit dalam al-Qur’an selain menggunakan term marad , juga menyebut istilah syafa yang berarti pinggir maupun sesuatu yang berada diambang kehancuran sebagai bentuk analogi dari penyakit yang sangat berbahaya terkait dengan permusuhan dan sifat-sifat hipokrit (kemunafikan).

Term saqam dalam keadaan tertentu bisa bermakna ganda ( tawriyah ; muystarak ), baik sakit mental maupun fisiknya, meskipun pada umumnya hanya dipahami sebagai bentuk sakit fisik saja, Term aza menunjuk pada segala sesuatu yang menyebabkan sakit; dan term alam merupakan perasaan sakit yang sangat pedih. Sedangkan pengungkapan al-Qur’an selain menggunakan term Syifa’’ dalam arti berbagai usaha penyembuhan, juga menggunakan istilah bur’ah yang menunjuk pada kesembuhan secara mutlak, maupun term salamah yang menekankan pada keselamatan di dunia hingga kelak kemudian.

Untuk memperoleh ampuhnya obat yang tersurat di dalam al-Qur’an, seorang hamba mesti mengabdi kepada khaliq-Nya dengan setia, selalu memperhatikan kehendak- kehendaknya apa pun yang dikehendakinya dan mentaati perintahnya tanpa mengeluh. Inilah sebabnya mengapa al-Qur’an kerapkali menyeru seorang hamba untuk tetap patuh secara mutlak dan penyerahan serta kerendahan diri di hadapan sang khaliq. Sikap yang demikian kerap direalisasikan dengan cara shalat atau sujud (kata kerja sajada ). Objek ini yang juga objek-objek lainnya, seperti ikhlas, ridha, optimis, syukur dan keteguhan hati merupakan kompleksitas terhadap perolehan penyembuhan jiwa seorang hamba, yang barang mesti dilakukan secara simultan melalui proses komunikasi dengan sang khaliq, dengan harapan memperoleh karunia ilahi.

Untuk lebih spesifikasi sasaran atau objek yang menjadi fokus penyembuhan, perawatan dan pengobatan dari Syifa’ sebagai berikut:

  • Pertama, mental. Maksud ini berhubungan dengan akal dan pikiran yang kerap mudah lupa atau malas berpikir. Bahkan terkadang tidak memiliki kemampuan membedakan antara halal dan haram, yang bermanfaat dan yang bermudharat serta antara hak dan yang bathil. Indikasi ini tentu sesuai dengan firman Tuhan dalam surat al-Baqarah ayat 44, yang bunyinya sebagai berikut:

    Artinya: “Mengapa kamu menyeru orang lain berbuat kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu senantiasa membaca al-Kitab, apakah kamu tidak berakal (berpikir)."

  • Kedua, spiritual. Hubungannya tentu berorientasi dengan masalah ruh, semangat atau jiwa-religius dan erat kaitannya dengan agama, keimanan, keshalehan dan nilai-nilai transendental. Kombinasi ini tentu tidak berdiri sendiri, melainkan memerlukan langkah- langkah verbal dengan menyatakan dirinya sebagai Islam, dengan fokus utamanya berdasarkan pada konsepsi wujud manusia sebagai hamba Allah yang menyerah.

  • Ketiga, moral (akhlak). Konsep ini menunjukkan suatu keadaan yang melakat pada jiwa manusia, yang di dalamnya akan melahirkan sejumlah perbuatan-perbuatan yang terkadang tidak mampu dikontrol secara normatif. Karena itu, sikap dan karakter manusia cenderung melahirkan nilai-nilai etika yang bersifat universal.

Implementasi norma-etis dalam perspektif keagamaan merupakan cerminan dari keberagamaan seseorang yang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan. Kehadiran etika menjadi bagian substansial bagi usaha penyelamatan manusia dari keterpurukan berbagai dimensi etis kemanusiaannya. Oleh karena itu, misi penting yang perlu diemban dalam etika bermuara kepada perbaikan perilaku manusia. Tawaran pada sisi etika telah meletakkan nilai- nilai kemanusiaan, baik hubungan itu secara personal dan interpersonal dalam masyarakat secara agung dan luhur. Begitu juga sisi lainnya, hilangnya nuansa perbedaan satu sama lain, adanya keadilan dan menciptakan kedamaian yang mengikat semua aspek manusia.

Dengan demikian, kehadiran Islam, dengan akar kata pada “ salima ” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia sekaligus sebagai nilai fitrah. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya diukur dari sudut pandang normativitas, melainkan perlu dilihat dari sisi historisitas.

Kecenderungan pola pikir yang demikian akan melahirkan celah perbedaan yang saling mengikat. Dari sudut pandang normativitas, perbuatan manusia sesungguhnya telah diatur, dibangun, diramu dan ditelaah melalui pendekatan-pendekatan doktrinal-teologis . Namun demikian, Islam memberikan paradigm moral berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai perilaku manusia yang jujur dan telah membawa pesan-pesan moral secara aplikatif dan konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Pertimbangannya, moral, akhlak atau tingkah laku merupakan ekspresi dari kondisi mental dan spiritual. Ia muncul dan hadir secara spontan dan otomatis.

Untuk menjaga keseimbangan antara apa yang dipercayai sebagai nilai kebenaran dalam agama, dengan tingkat pengakuan yang terdapat dalam perbuatan manusia dipahami sebagai sebuah narasi berdasarkan kehendak Tuhan Swt. Bahkan perbuatan manusia tidak dikatakan maksimal, kalau manusia belum sepenuhnya menyerahkan diri sebagai predikat dalam menentukan spesifikasi perbuatannya sebagaimana tujuan agama. Meski kemudian, pengakuan dan minat manusia pada al-Qur’an sangat-lah objektif. Artinya, perbuatan manusia selalu menuntut pada pembenaran. Terlebih, akal pikiran manusia dianggap memiliki prestisius tinggi untuk membongkar nilai-nilai yang terkadandung di dalam al- Qur’an sebagai kepercayaan manusia.

Peranan al-Qur’an dalam kehidupan individu adalah untuk memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas. Perasaan-perasaan positif seperti itu akan menjadi suatu motivasi untuk bertindak atau melakukan aktivitas. Karena perbuatan yang dilakukan dengan landasan keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian dan ketaatan. Motivasi dapat mendorong seseorang untuk menjadi kreatif, berbuat kebajikan dan mau berkorban.

Al-Qur’an sebagai obat telah memenuhi prinsip-prinsip pengobatan, karena di dalamnya dijelaskan bahwa Allah yang menyembuhkan segala penyakit. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, maka di dalamnya disebutkan sesuatu yang haram dan yang halal yang kemudian hal itu akan menjadi petunjuk bagi manusia untuk membedakan mana yang buruk dan yang baik bagi kesehatan. Al-Qur’an merupakan kitab yang mengandung kebenaran, karena berasal dari sisi Allah langsung, sehingga di dalamnya penuh keyakinan yang benar dan tidak mengandung tahayul. Adapun takhayul, maka itu adalah buatan manusia sendiri.

Dalam surat al-Syuarā ’ ayat 80 dijelaskan bahwasanya hanya Allah yang menyembuhkan segala penyakit. Dalam Tafsir al-Azhar ditegaskan bahwa manusia hanya berusaha mencari obat, tapi Allah-lah yang menyembuhkannya. Mengingat al-Qur’an adalah obat bagi orang yang beriman, maka ia dapat diterima, diyakini kebenarannya dan mengandung keberkahan yang diciptakan Allah di dalamnya. Al-Qur’an memenuhi kaidah- kaidah pengobatan, karena di dalamnya terdapat petunjuk untuk menjaga kesehatan, adanya keringanan dalam mengerjakan suatu amalan wajib, sehingga tidak memberatkan bagi si sakit dan tidak menyebabkan sakitnya semakin bertambah parah, di dalamnya juga terdapat informasi tentang pencegahan agar seseorang tidak terserang suatu penyakit.

Mengingat tubuh manusia dipandang menjadi tempat tinggalnya roh, maka tubuh dan roh itu sangat berkaitan, sehingga mencerminkan dua aspek. Pertama , sebagai simbol tentang keberadaannya. Kedua , manusia harus memelihara wujud lahiriahnya dalam kondisi yang baik dan sehat. Fungsi fisik, walaupun hanya sekedar membantu psikis struktur nafsani, tapi keduanya memiliki hubungan yang erat karena kehidupan bukan sekedar hidup rohaniah tapi juga hidup jasmaniah. Oleh karena itu, keduanya harus berinteraksi untuk kewujudkan suatu tingkah laku.

Keberadaan dari aspek batiniah (jiwa dan roh) tersebutlah yang secara mutlak menjadi bergantung pada yang disebut jasmani. Olah kerena itu, kesehatan dan pemeliharaan jasmani merupakan hal yang amat penting menurut ilmu kedokteran dan agama, yaitu menjaga kondisi kesehatan, lahiriah dan batiniah manusia.16

Beberapa ulama memahami bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat menyembuhkan penyakit- penyakit jasmani. Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur’an hanya sebagai obat penawar keraguan dan penyakit-penyakit yang ada di dalam dada yang biasa dikenal dengan hati. Terkait dengan pernyataan ulama bahwa al-Qur’an dapat menyembuhkan penyakit jasmani mungkin maksudnya adalah penyakit psikosomatik, yaitu penyakit jiwa yang berdampak pada jasmani karena tidak jarang orang merasa sesak nafas atau dada bagaikan tertekan karena adanya ketidakseimbangan rohani.

Dengan demikian dan berdasarkan sejumlah uraian di atas, bahwa fungsi al-Qur’an memang sebagai obat bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, akan tetapi perlu diketahui bahwasanya penyakit hati yang berlarut-larut juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit jasmani meski banyak ulama tafsir memahami kata Syifa’ sebagai obat penawar dan segala bentuk penyakit hati. Hadits rasul saw juga menjelaskan bahwa al-Qur’an dapat menjadi bacaan yang menyembuhkan bagi sejumlah penyakit fisik. Misalnya saja surat al-Fatihah dinamakan surah al-Syifā atau al-Syafiyah, karena menurut sebuah riwayat surat ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit baik itu fisik maupun psikis.

Sumber : Umar Latif, Al Qur’an sebagai sumber rahmat dan obat penawar bagi manusia, Jurnal Al-Bayan / VOL. 21, NO. 30

Referensi :

  • Aswadi, Konsep Syifa’ dalam al-Qur’an , (Jakarta: Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012)
  • Toshihiko Izutsu, (peng.,) Machasin, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Sementik terhadap Al-Qur’an , (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003).
  • Yusny Saby, “Etika Agama dalam Wacana Kehidupan Modern,” Seminar , (Banda Aceh: Fak. Ush- uluddin IAIN Ar-Raniry, 2002).
  • M. Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas dan Historisitas , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
  • Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar , Jilid ke-6, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1987).
  • Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam , (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006).
  • Afzalur Rahman, al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan , (Jakarta: Rineka Cipta, 1992).
  • M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah , Jilid ke-7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).