Apa keutamaan dan kemuliaan ilmu menurut Islam?

Allah SWT berfirman,

“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tak ada Tuhan selain Dia. Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Ali Imran: 18)

Allah SWT mempersaksikan orang-orang yang berilmu atas sebab yang dipersaksikan kepada-Nya, yaitu tauhidullah (mengesakan Allah SWT). Karena itu, Allah berfirman, “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia yang menegakkan keadilan.” (Ali Imran: 18)

Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu dari beberapa segi.

Satu.Terpilihnya mereka untuk memberikan kesaksian.

Dua.Beriringannya kesaksian mereka dengan kesaksian Allah SWT.

Tiga.Beriringannya kesaksian mereka dengan kesaksian para malaikat.

Empat Semua hal di atas menunjukkan bahwa Allah SWT mengakui “kebersihan” dan keadilan mereka, karena Allah SWT tidak meminta kesaksian kecuali dari makhlukNya yang adil. Dalam sebuah riwayat Nabi saw pernah bersabda,

"llmu ini akan dibawa oleh orang-orang adil dari generasi yang akan datang. Mereka menghilangkan distorsi orang-orang ekstrim, tipu daya orang-orang yang melakukan kebatilan, dan takwil orang-orang bodoh. "

Muhammad bin Ahmad bin Ya’kub bin Syaibah berkata, "Saya melihat seorang lelaki mengajukan tuduhan atas seseorang kepada Ismail bin Ishaq, seorang qadhi. Lalu Ismail bin Ishaq bertanya kepada sang terdakwa tersebut, tetapi dia menolak tuduhan itu. Lalu dia bertanya kepada lelaki yang mengajukan tuduhan, ‘Apakah anda memiliki saksi?’ Dia menjawab: ‘Ya, si fulan dan fulan, adapun si fulan yang pertama kesaksiannya bisa diterima, sedangkan yang satunya lagi tidak bisa diterima.’

Ismail bin Ishaq pun bertanya, ‘Jadi Anda mengetahui hal itu?’ orang tersebut menjawab, ‘Ya, saya tahu.’ Ismail bin Ishaq bertanya kembali, ‘Dengan apa Anda mengetahuinya?’ orang tersebut pun menjawab, ‘Saya mengetahuinya melalui kitab-kitab hadits.’ Ismail bin Ishaq bertanya lagi, ‘Bagaimana Anda mengetahuinya dengan kitab-kitab hadits?’ Orang tersebut menjawab, 'Saya tahu dari kitab-kitab hadits hal yang baik, yaitu bahwa Nabi saw. bersabda, ‘Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang adil dari generasi mendatang. Dan orang yang dinilai adil oleh Rasulullah saw. adalah lebih utama dari orang yang Anda anggap adil.’ Lalu Ismail bin Ishaq pun berkata, ‘Pergilah dan datangkan orang itu. Saya sungguh telah menerima kesaksian orang itu.’"

Lima . Allah SWT menyebut mereka sebagai orang-orang yang berilmu. Ini menunjukkan bahwa mereka benar-benar orang-orang yang berilmu, bukan sekedar kiasan.

Enam. Allah SWT bersaksi dengan diri-Nya sendiri, dan Dialah Saksi Yang Maha Agung, kemudian dengan makhluk-makhluk yang menjadi pilihannya, yaitu para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Hal ini cukup menjadi bukti bagi kemuliaan dan ketinggian derajat mereka.

Tujuh. Dengan kesaksian mereka, Allah SWT membuktikan hal yang sangat agung, besar, dan tinggi yaitu bahwa ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Zat Yang Maha Kuasa hanya mengambil saksi dari hamba-hamba-Nya yang terpilih bagi suatu perkara agung.

Delapan. Allah SWT menjadikan kesaksian mereka sebagai argumen atas orang-orang yang ingkar. Dengan demikian, mereka ibarat dalil, ayat, dan bukti-bukti yang menunjukkan ketauhidan Allah SWT.

Sembilan. Allah SWT menyebutkan satu kata kerja (fi’il) untuk kesaksian dariNya, dari malaikat, dan dari mereka (orang-orang berilmu), tanpa menyebutkan kata kerja lagi. Hal ini menunjukkan eratnya keterkaitan kesaksian-kesaksian mereka dengan kesaksian-Nya. Seakan-akan Allah SWT menyatakan ketauhidan-Nya melalui lidah mereka. Jadi Allah SWT menyatakan kesaksian-Nya atas keesaan-Nya dengan diri-Nya sendiri sebagai permulaan dan pengajaran. Sedangkan, orang-orang yang berilmu memberikan kesaksian atas ketauhidan Allah SWT sebagai penegasan, pengakuan, pembenaran, dan keimanan.

Sepuluh. Dengan kesaksian tersebut, Allah SWT menjadikan mereka sebagai orang-orang yang menunaikan hak-Nya atas makhluk-Nya. Jika mereka menunaikannya, maka mereka telah menunaikan hak-Nya, dan tetaplah hak tersebut atas seluruh makhluk-Nya. Dengan demikian, seluruh makhluk-Nya juga wajib menunaikan hak Allah tersebut, karena itu adalah jalan menuju puncak kebahagiaan mereka, baik di dunia maupun di akhirat.

Orang-orang yang berilmu tersebut mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mendapatkan petunjuk berkat mereka. Ini merupakan kemuliaan besar yang batasnya tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT. Inilah sepuluh bentuk makna dari ayat ini.

Sebelas. Mengenai kemuliaan ilmu dan pemiliknya, maka Allah SWT telah menyatakan ketidaksetaraan antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu, sebagaimana Allah membedakan antara penghuni neraka dengan penghuni surga. Allah SWT berfirman, "

Katakanlah (Muhammad), tidak sama antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui." (az-Zumar: 9)

“Tidak sama antara penghuni neraka dan penghuni surga.” (al-Hasyr: 20)

Ini menunjukkan tingginya kemuliaan dan keutamaan mereka.

Dua belas. Allah SWT memposisikan orang-orang bodoh sebagai orang-orang buta. Allah SWT berfirman,

“Apakah orang yang mengetahui bahwa hanya kebenaran yang diturunkan kepadamu sama dengan orang buta?” (ar-Ra’ad: 19)

Jadi di sini hanya ada dua komunitas, yaitu orang-orang berilmu dan orang-orang bodoh. Dan di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan bahwa orang-orang bodoh adalah orang yang tuli, bisu, dan buta.

Tiga belas. Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang berilmu mengakui bahwa apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya adalah benar adanya. Allah menjadikan hal ini sebagai pujian bagi mereka, sedangkan pengakuan mereka tersebut merupakan kesaksian. Allah berfirman,

“Dan orang-orang yang diberikan ilmu bahwa yang diturunkan kepadamu dari Tuhannya adalah kebenaran.” (Sabaa": 6)

Empat belas. Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertanya dan merujuk kepada pendapat-pendapat mereka, dan Allah SWT menjadikan hal itu sebagai kesaksian bagi mereka. Allah berfirman,

“Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu ya Muhammad, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami wahyu kepada mereka. Maka, tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (alAnbiyaa": 7)

Ahl adz-dzikr adalah orang-orang berilmu yang mengetahui apa yang Allah SWT turunkan kepada para nabi-Nya.

Lima belas. Allah SWT memberikan kesaksian bagi orang-orang berilmu. Yakni sebuah kesaksian yang di dalamnya terkandung makna bahwa Dia menjadikan mereka sebagai saksi atas kebenaran apa yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya. Allah SWT berfirman,

“Maka patutkah saya mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka mengetahui bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka, janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (al-An’aam: 114)

Enam belas. Allah SWT menghibur Nabi-Nya dengan keimanan orang-orang yang berilmu dan memerintahkan kepadanya untuk tidak mempedulikan orang-orang bodoh. Karena itu, Allah SWT berfirman,

“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah, ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi peringatan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.’ Dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami. Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’” (al-lsraa : 106-108)

Ini merupakan penghargaan sangat besar bagi orang-orang berilmu, yang di balik penghargaan tersebut tersirat bahwa orang-orang yang berilmu telah mengetahui, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an, walaupun orang lain tidak beriman.

Tujuh belas. Allah SWT memuji dan memuliakan orang berilmu karena mereka menjadikan kitab Allah sebagai tanda-tanda yang jelas yang ada di dada mereka. Ini adalah kelebihan dan keistimewaan mereka yang tidak dipunyai oleh yang lain. Allah SWT berfirman,

“Dan demikian pulalah Kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al-Qur’an). Maka orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Al-kitab (Taurat) mereka beriman kepadanya (Al-Qur’an) dan di antara mereka (kafir Mekah) ada yang beriman kepadanya. Dan tidak adalah yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir. Kamu tidak pernah membaca sebelum (Al-Qur’an) suatu kitab pun dan kamu tidak pernah menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu. Andaikata kamu pernah menulis dan membaca, benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). Sebenarnya Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.” (al-'Ankabuut: 47-49)

Ayat di atas mempunyai dua makna, yang keterkaitan antara keduanya sangat erat dan tiada pertentangan. Kedua makna tersebut, pertama, bahwa Al-Qur’an terpatri dan terpelihara di dada orang-orang yang berilmu, dan hal ini merupakan ayat-ayat Allah SWT yang sangat jelas. Dengan makna ini, maka Allah SWT menjelaskan tentang Al-Qur’an dengan dua hal. (a) Al-Qur’an adalah tanda-tanda yang nyata. (b) Al-Qur’an terpatri, terpelihara, dan terjaga di dada orang-orang yang berilmu. Kedua, Al-Qur’an itu adalah tanda-tanda yang jelas di dada mereka. Artihya, Al-Qur’an adalah tanda-tanda yang jelas yang mereka ketahui dan terpatri di dada mereka. Kedua makna ini merupakan pujian bagi mereka, karena di dalamnya mengandung pujian bagi mereka, dan renungkanlah hal ini.

Delapan belas. Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk meminta tambahan ilmu dari Allah SWT. Allah SWT berfirman,

“Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’” (Thaahaa: 114)

Hal ini cukup menunjukkan kemuliaan ilmu, karena Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan darinya.

Sembilan belas. Allah SWT memberitahukan secara khusus tentang tingginya derajat orang yang beriman dan orang yang berilmu. Terdapat empat tempat di dalam Al-Qur’an di mana Allah SWT memberitakan tingginya derajat orang yang berilmu. Yang pertama, Allah berfirman

“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, 'Berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujaadalah: 11)

Kedua, firman Allah SWT,

Sesungguhnya orang-orang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka karenanya dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Yaitu, orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dan rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki yang mulia." (al-Anfaal: 2-4)

Ketiga, firman Allah SWT,

“Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang telah memperoleh tempat-tempat yang mulia.” (Thaahaa: 75)

Keempat, firman Allah SWT,

“Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar, yaitu beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(an-Nisaa*: 9596)

Inilah empat tempat tersebut yang di tiga tempat pertamanya menunjukkan tingginya derajat orang yang beriman yaitu ilmu bermanfaat dan amal saleh. Sedangkan yang keempat menunjukkan ketinggian derajat mereka dengan ilmu dan jihad, yang dengan keduanya merupakan pilar agama.

Dua puluh. Pada hari kiamat Allah SWT menjadikan orang-orang yang berilmu dan beriman sebagai saksi atas kebatilan perkataan orang-orang kafir. Allah SWT berfirman,

"Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, ‘Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja.’ Seperti demikianlah mereka selalu berpaling dari kebenaran. Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang kafir), ‘Sesungguhnya kamu telah berdiam dalam kubur menurut ketetapan Allah, sampai hari bangkit. Maka, inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakininya.’ (ar-Ruum: 55-56)

Dua puluh satu. Allah SWT memberitakan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada-Nya, bahkan Allah mengkhususkan mereka dalam hal itu. Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya hanya orang berilmu dari hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Faathir: 28)

Ini menunjukkan bahwa hanya orang-orang berilmulah yang takut kepada-Nya. Allah SWT juga berfirman,

“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Aden yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridhla kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang takut kepada Tuhannya.” (al-Bayyinah: 8)

Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa pahala yang disebutkan pada dua teks hanya untuk para ulama. Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Takut kepada Allah SWT merupakan sebuah ilmu (pengetahuan) dan lalai dari Allah merupakan kebodohan.”

Dua puluh dua. Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memberitahukan bahwa Dia membuat perumpamaan-perumpamaan yang Dia buat bagi hamba-hamba-Nya untuk menunjukkan kebenaran risalah yang Dia turunkan. Allah SWT juga memberitahukan bahwa hanya orang-orang yang berilmulah yang dapat mengambil manfaat dari perumpamaan-perumpamaan tersebut serta hanya merekalah yang mengetahuinya. Allah SWT berfirman,

“Dan perumpamaan ini Kami buatkan bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-'Ankabuut: 43)

Di dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari empat puluh perumpamaan. Dahulu ada beberapa ulama salaf yang ketika membaca satu perumpamaan di dalam Al-Qur’an dan tidak memahaminya, maka mereka akan menangis seraya berkata, “Kami tidak termasuk golongan ulama.”

Dua puluh tiga. Allah SWT mengisahkan tentang perdebatan antara Nabi Ibrahim dengan ayah dan kaumnya, serta mengisahkan tentang kemenangan Nabi Ibrahim a.s. atas mereka dengan argumentasi yang ia ajukan. Allah SWT juga memberitahukan bahwa Dia mengangkat derajat Nabi Ibrahim a.s. dengan mengajarkan kepadanya argumentasi. Allah SWT berfirman,

“Dan itulah hujjah (argumentasi) kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (al-An’aam: 83)

Zaib bin Aslam r.a. berkata bahwa makna ayat di atas adalah, “Kami (Allah) mengangkat derajat orang yang Kami inginkan dengan ilmu argumentasi.”

Dua puluh empat. Allah SWT memberitahukan bahwa Dia telah menciptakan makhluk dan menetapkan Baitul Haram, Syahrul Haram (bulan-bulan yang suci) dan kurban supaya hamba-Nya tahu bahwa Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah SWT berfirman,

“Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (ath-Thalaaq: 12)

Ini menunjukkan bahwa pengetahuan (ilmu) hamba kepada Tuhan dan sifat-Nya, serta pengetahuannya bahwa hanya Dialah yang berhak disembah merupakan tujuan dari penciptaan makhluk.

Dua puluh lima. Allah SWT memerintahkan orang-orang berilmu untuk bergembira dengan apa yang Dia berikan kepada mereka. Juga memberitahukan bahwa ilmu yang mereka dapatkan lebih baik dari apa yang dikumpulkan manusia. Allah SWT berfirman,

“Katakanlah, 'Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan,” (Yunus: 58)

Kata fadhlullah (anugerah Allah) ditafsirkan sebagai keimanan, dan rahmatNya ditafsirkan sebagai Al-Qur’an. Adapun keimanan dan Al-Qur’an, keduanya merupakan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, petunjuk dan agama yang benar. Keduanya adalah ilmu dan amal yang paling mulia.

Dua puluh enam. Allah SWT bersaksi bahwa seseorang yang telah Dia beri ilmu sesungguhnya telah Dia berikan kebaikan yang sangat berlimpah. Allah SWT berfirman,

“Allah memberikan hikmah kepada orang yang dikehendakinya. Dan barangsiapa yang diberikan hikmah, sungguh dia telah memperoleh kebaikan yang banyak.” (al-Baqarah: 269)

Ibnu Qutaibah dan mayoritas ulama berkata bahwa al-hikmah adalah mendapatkan kebenaran dan mengamalkannya, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.

Dua puluh tujuh. Allah SWT menyebutkan satu persatu nikmat dan anugerahNya kepada Rasul-Nya dan menjadikan anugerah-Nya yang paling agung adalah kitab, hikmah, dan ilmu yang diajarkan kepadanya yang sebelumnya tidak ia ketahui. Allah SWT berfirman,

“Dan Allah menurunkan kepadamu kitab, hikmah, dan mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui. Dan kemuliaan Allah kepadamu sangat besar.” (an-Nisaa:113)

Dua puluh delapan. Allah SWT mengingatkan orang-orang mukmin akan nikmat yang Dia limpahkan kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk mensyukurinya. Juga supaya mereka ingat bahwa nikmat tersebut adalah untuk mereka. Allah SWT berfirman,

“Sebagaimana Kami mengutus kepada kalian seorang Rasul dari golongan kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian, mensucikan kalian, mengajarkan kalian kitab dan hikmah, dan mengajarkan kepada kalian apa yang kalian tidak ketahui. Maka ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kafir kepada-Ku.” (al-Baqarah: 151-152)

Dua puluh sembilan. Tatkala Allah SWT memberitahukan kepada malaikatNya bahwa Dia akan menjadikan seorang khalifah di atas bumi ini, para malaikat itu berkata kepada-Nya, "Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya orang yang akan berbuat kerusakan dalam bumi dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memujimu dan senantiasa mensucikan-Mu.’ Allah menjawab dengan firman-Nya,

'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui. 'Lalu Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu, kemudian Allah mengemukakan nama-nama itu kepada para malaikat dan berfirman, ‘Beritahukan kepada-Ku nama-nama mereka apabila kalian memang benar!’ Mereka berkata, 'Maha Suci Engkau ya Allah, tidak ada ilmu yang kami miliki kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesunggunya Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana." (al-Baqarah: 30-32)

Hingga akhir kisah Adam a.s. dan perintah Allah kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam a.s., serta keenggananan iblis untuk melakukannya, sehingga Allah SWT melaknatnya dan mengeluarkannya dari langit. Penjelasan keutamaan ilmu dalam kisah ini dari berbagai segi.

Kesatu, Allah SWT menjawab pertanyaan para malaikat tentang bagaimana Dia menjadikan di bumi ini orang yang lebih taat kepada-Nya dari para malaikat, Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang kalian tidak tahu.” (al-Baqarah: 30)

Allah menjawab pertanyaan mereka bahwa Dia mengetahui batin dan hakikat segala sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dialah Yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Maka, muncullah dari khalifah ini makhluk-makhluk-Nya yang terbaik, yaitu para rasul, para nabi, orang-orang saleh, para syuhada, para ulama, orang-orang yang beriman dan berilmu, yang semuanya lebih baik dari para malaikat. Dan, dari iblis lahirlah makhluk yang paling buruk di alam ini. Jadi Allah SWT memunculkan hamba-hamba-Nya yang taat juga makhluk-makhluk-Nya yang durhaka. Sedangkan, malaikat sebelumnya tidak memiliki pengetahuan tentang keduanya. Juga tidak mengetahui tentang hikmah yang luar biasa dari penciptaan Adam a.s. dan tinggalnya ia di bumi.

Kedua, tatkala Allah SWT ingin menampakkan keutamaan, kelebihan dan keistimewaan Adam a.s., maka Allah SWT mengajarkan kepadanya ilmu. Kemudian Allah SWT semua nama dan mengemukakannya kepada para malaikat. Lalu Allah berfirman,

“Beritahukanlah kepadaku nama-nama mereka itu apabila kalian memang orangorang yang benar.” (al-Baqarah: 33)

Dalam tafsir ayat ini disebutkan bahwa para malaikat berkata, “Allah tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dari kami.” Jadi mereka mengira bahwa mereka lebih baik dan lebih mulia dari khalifah yang akan Allah ciptakan di bumi ini. Maka tatkala Allah SWT menguji mereka dengan apa yang telah Dia ajarkan kepada khalifah tersebut, mereka mengakui kelemahan dan ketidaktahuan mereka terhadap hal-hal tersebut. Karena itu mereka berkata,

“Maha Suci Engkau yang Allah. Tidak ada ilmu yang kami miliki kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Baqarah: 32)

Ketika itu Allah menjelaskan keutamaan Adam karena keutamaan ilmu yang dikhususkan oleh Allah. Allah berfirman,

“Wahai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama mereka itu. Tatkala Adam memberitahukan kepada mereka nama-namanya…” (al-Baqarah: 33)

Para malaikat pun mengakui keutamaan itu. Ketiga. tatkala Allah SWT memberitahu para malaikat akan keutamaan Adam a.s dengan ilmu yang Dia ajarkan, serta memberitahukan ketidakmampuan mereka untuk mengetahui apa yang telah diketahui Adam, Allah SWT berfirman,

“Bukankah Aku telah berkata kepada kalian, 'Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia (kegaiban) langit dan bumi serta Aku mengetahui apa yang kalian nampakkan dan apa yang kalian sembunyikan.” (al-Baqarah: 33)

Jadi Allah SWT memberitahu mereka bahwa Dia Maha Mengetahui dan Dia mengetahui segala sesuatu, baik lahir maupun batin, serta mengetahui keghaiban langit dan bumi. Karena itu, Allah SWT memberitahu mereka tentang diri-Nya dengan sifat 'Ilm. Allah SWT juga memberitahukan keutamaan Nabi-Nya dengan ilmu, serta memberitahukan ketidakmampuan mereka mengetahui ilmu yang Allah berikan kepada Adam a.s… Maka, tentulah semua ini cukup sebagai bukti akan kemuliaan ilmu.

Keempat, Allah SWT menjadikan dalam diri Adam sifat-sifat kesempurnaan yang dengannya ia lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya. Allah SWT ingin menampakkan kepada para malaikat keutamaan dan kemuliaan Adam a.s., maka Dia menampakkan kepada para malaikat hal terbaik yang dimiliki Adam, yaitu ilmu. Ini menunjukkan bahwa ilmu merupakan hal yang termulia dalam diri manusia. Juga menunjukkan bahwa keutamaan serta kemuliaan manusia terletak pada ilmu.

Hal ini serupa dengan apa yang Allah lakukan kepada Nabi Yusuf a.s., tatkala ingin menampakkan keutamaan dan kemuliannya kepada orang-orang yang hidup pada masanya. Maka, Allah SWT mengajarkan kepadanya ilmu takwil mimpi. Sehingga, tatkala Raja Mesir bermimpi dan para ahli tabir mimpi tidak mampu menakwilkannya, maka Allah menampakkan kelebihan Nabi Yusuf a.s. tersebut. Setelah mengetahui hal itu, sang raja pun percaya kepadanya, menjadikannya sebagai orang terdekat dan menyerahkan tugas bendahara negara kepadanya. Padahal sebelum itu, sang raja telah memenjarakannya karena ketampanan wajah dan keindahan perawakan tubuhnya. Namun, tatkala sang raja mengetahui ilmu dan pengetahuannya, dia membebaskannya dan memberikan jabatan yang tinggi kepadanya. Ini menunjukkan bahwa ilmu keturunan Adam a.s. lebih mempesona dan lebih mulia daripada bentuk tubuh, meskipun itu bentuk yang paling indah. Ini merupakan sisi tersendiri dalam keutamaan ilmu, yang jika ditambahkan dengan keutamaan-keutamaan sebelumnya, maka seluruhnya berjumlah tiga puluh.

Tiga puluh satu. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT berulang kali mencela orangorang bodoh. Allah SWT berfirman,

“Tetapi sebagian besar dari mereka tidak mengetahui.” (al-An’aam: 111)

“Tetapi sebagian besar dari mereka tidak mengetahui.” (al-An’aam: 37)

`“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (al-Furqaan: 44)

Allah SWT tidak saja menyerupakan orang-orang bodoh dengan binatang, bahkan Allah menjadikan mereka lebih sesat dari binatang tersebut. Allah berfirman,

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli tidak mengerti apa pun.” (al-Anfaal: 22)

Di dalam ayat ini Allah SWT mengabarkan bahwa orang-orang bodoh adalah binatang yang paling buruk dengan berbagai jenisnya, seperti keledai, binatang buas, anjing, bakteri, dan jenis-jenis hewan lainnya. Maka, orang-orang bodoh lebih buruk dari binatang-binatang tersebut. Tidak ada yang lebih bahaya bagi agama yang dibawa para rasul selain dari orang-orang bodoh. Bahkan pada hakikatnya mereka itu adalah musuh-musuh para rasul. Walaupun Allah SWT telah melindungi Nabi Muhammad saw. dari kebodohan, namun Allah SWT tetap berfirman kepada beliau,

“Maka, janganlah kalian menjadi golongan orang-orang bodoh.” (al-An’aam: 35)

Allah SWT mengisahkan kata Kalimul-Lah, Musa a.s. yang berkata,

“Saya berlindung kepada Allah dari menjadi orang-orang bodoh.” (al-Baqarah: 67)

Dan Allah berfirman kepada rasul-Nya yang pertama, Nuh a.s.,

“Sesungguhnya Aku menasehatimu untuk tidak menjadi bagian dari golongan orang-orang bodoh.” (Hud: 46)

Demikianlah gambaran tentang ihwal orang-orang yang bodoh di sisi Allah SWT, dan yang dikemukakan pertama adalah ihwal orang-orang yang berilmu di sisi-Nya. Allah SWT memberitakan tentang hukuman terhadap musuh-musuh-Nya, yaitu Allah menghalangi mereka untuk mengetahui, mengenali, dan memahami Kitab Allah. Allah berfirman,

“Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami akan adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup. Dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya.” (al-lsraa : 45-46)

Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk berpaling dari mereka,

“Dan berpalinglah dari orang-orang bodoh itu.” (al-A’raaf: 99)

Allah SWT memuji hamba-hamba-Nya yang berpaling dan meninggalkan orang-orang bodoh tersebut,

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan berkata, 'Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amalmu. Kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang yang jahil.” (al-Qashash: 55)

Allah berfirman,

“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (al-Furqaan: 63)

Semuanya ini menunjukkan buruknya kebodohan; dan kebencian Allah terhadapnya dan terhadap orang-orang bodoh. Manusia juga membenci kebodohan dan orang-orang yang bodoh tersebut. Setiap orang tidak mau dikatakan sebagai salah satu dari mereka, meskipun terkadang hal itu adalah sifat mereka.

Tiga puluh dua. Sesungguhnya ilmu adalah kehidupan dan cahaya. Sedangkan, kebodohan adalah kematian dan kegelapan. Semua keburukan penyebabnya adalah tidak adanya kehidupan (hati) dan cahaya. Semua kebaikan sebabnya adalah cahaya dan kehidupan (hati). Sesungguhnya cahaya itu menyingkap hakikat segala sesuatu dan menjelaskan tingkatan-tingkatannya. Dan, kehidupan adalah pembukti sifat-sifat kesempurnaan yang mengharuskan munculnya pembenaran terhadap ucapan dan perbuatan.

Karena itu setiap kali dia berbuat dalam kehidupan, maka semuanya adalah kebaikan, seperti rasa malu yang disebabkan oleh kesempurnaan kehidupan hati, pemahamannya terhadap hakekat keburukan, dan ketakutannya dari keburukan. Sebaliknya, kebodohan dan keburukan yang disebabkan oleh kematian hati dan tidak takutnya kepada yang buruk. Ini seperti kehidupan di mana hujan adalah sebab kehidupan segala sesuatu. Allah berfirman,

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang; dengan cahaya itu dia berjalan di tengahtengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (al-An’aam: 122)

Hatinya pernah mati karena kebodohan, lalu Allah menghidupkannya dengan ilmu dan memberinya iman sebagai cahaya yang dipakai untuk berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia. Allah SWT berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmatnya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Hadiid: 28)

“Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelum kamu tidaklah mengetahui apakah Al-kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu. Tetapi, Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asySyuuraa: 52)

Allah SWT menyatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah ruh yang menyebabkan adanya kehidupan, dan cahaya yang menyebabkan adanya penerangan. Dengan demikian, dia menghimpun dua asas, yaitu kehidupan dan cahaya. Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, (dan dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (alMaa idah: 15-16)

“Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada cahaya yang Kami turunkan. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.” (at-Taghaabun: 8)

"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu suatu bukti dari Tuhan kamu dan Kami telah menurunkan cahaya yang menerangkan. "(an-Nisaa’:174)

“Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu dan mengutus seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dari kegelapan kepada cahaya.” (ath-Thalaaq: 10-11)

“Allah Pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara yang dinyalakan di dalamnya dengan minyak dan pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah (barat)nya, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (belapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nuur: 35)

Di dalam ayat ini Allah SWT membuat perumpamaan bagi cahaya-Nya yang Dia tanamkan dalam hati orang yang beriman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ubai bin Ka’ab r.a.,

“Allah membuat perumpamaan atas cahaya-Nya yang terdapat dalam hati orang beriman, yaitu Al-Qur’an dan iman yang diberikan kepadanya sebagaimana dalam firman-Nya pada akhir ayat, “Cahaya di atas cahaya.” (an-Nuur: 35) Yakni cahaya iman di atas cahaya Al-Qur’an.”

Juga sebagaimana dikatakan beberapa ulama salaf,

“Seorang mukmin dapat berbicara berdasarkan hikmah meskipun dia tidak pernah mendengarnya dari riwayat. Dan apabila ia pernah mendengarnya dari riwayat, maka itu ibarat cahaya di atas cahaya.”

Di dalam Al-Qur’an beberapa kali Allah SWT mengulang penyebutan kedua cahaya ini, yaitu Al-Qur’an dan iman secara bersamaan, seperti dalam firman-Nya,

“Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa itu Al-kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (asy-Syuuraa: 52)

“Katakanlah, 'Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Yunus: 58)

Karunia Allah adalah Al-Qur’an dan rahmat-Nya adalah keimanan.

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia serupa dengan keadaan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya.” (al-An’aam: 122)

Mengenai ayat ini telah dijelaskan di depan. Allah SWT berfirman,

“Cahaya di atas cahaya” (an-Nuur: 35)

Yaitu cahaya iman di atas cahaya Al-Qur’an. Dalam hadits an-Nuwas bin Sam’an r.a. mengenai ayat 25 surah Yumus,

“Sesungguhnya Allah membuat suatu perumpamaan jalan lurus dan pada kedua tepinya ada dua rumah. Keduanya memiliki pintu yang terbuka, dan di atas pintu ada tirai dan seseorang yang menyeru ke jalan tersebut dan di atasnya ada seorang lagi yang menyeru, 'Allah mengajak kepada tempat keselamatan dan menunjuki orang yang dikehendakinya kepada jalan lurus,” Nabi saw. bersabda, “Pintu-pintu yang berada di pinggir jalan adalah hukum-hukum Allah. Jadi tidak ada orang yang sampai ke hukum-hukum Allah tersebut sebelum tirainya disingkapkan. Adapun orang yang menyeru dari atasnya adalah penasehat dari Tuhan.” (HR Tirmidzi)

Sedangkan riwayat dan lafal Imam Ahmad adalah, "Dan penyeru di ujung jalan adalah kitab Allah dan penyeru dari atas jalan adalah penasehat Allah yang ada dalam hati setiap orang mukmin. "(HR Ahmad dan Hakim) Jadi dia menyebutkan dua pokok, yaitu Al-Qur’an dan iman, yang keduanya merupakan penyeru dari-Nya. Hudzaifah mengatakan bahwa Rasulullah,

“Sesungguhnya keimanan itu turun ke relung hati orang-orang, setelah itu turun Al-Qur’an kepadanya. Maka, terlebih dahulu mereka mengetahui dari keimanan kemudian mereka mengetahui Al-Qur’an.”(HR Bukhari dan Muslim) Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,

“Perumpamaan orang-orang mukmin yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah atrujah (limau), rasanya enak dan baunya harum. Perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah kurma, rasanya enak namun tidak memiliki aroma. Dan, perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an adalah seperti tumbuhan wangi-wangian, baunya harum namun pahit rasanya. Sedangkan, perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Hanzhalah (sejenis labu), rasanya pahit dan tidak berbau.” (HR Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadits di atas Rasulullah saw. membagi manusia menjadi empat bagian.
Pertama, orang-orang yang beriman dan selalu membaca Al-Qur’an. Mereka ini adalah orang-orang yang terbaik. Kedua, orang-orang beriman namun tidak membaca Al-Qur’an. Mereka ini di bawah tingkatan golongan pertama. Kedua golongan ini adalah orang-orang yang berbahagia.

Dan Rasulullah saw. membagi orang-orang menderita menjadi dua golongan. Pertama, orang-orang yang membaca Al-Qur’an tanpa keimanan. Mereka adalah orang munafik. Kedua, orang-orang yang tidak beriman dan tidak mendapatkan cahaya Al-Qur’an. Maksudnya, Al-Qur’an dan iman adalah dua cahaya yang diletakkan Allah SWT di dalam hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keduanya merupakan pangkal dari segala kebaikan di dunia dan di akhirat. Pengetahuan tentang keduanya merupakan ilmu yang paling tinggi dan mulia. Bahkan, tidak ada ilmu yang dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya kecuali ilmu tentang keduanya.

“Dan Allah menunjuki orang yang dikendakinya kepada jalan lurus.” (al-Baqarah: 213)

Tiga puluh tiga. Allah SWT menjadikan hewan buruan yang ditangkap dengan bantuan anjing yang tak terlatih sebagai jenis bangkai yang haram dimakan. Namun, Allah SWT menghalalkan hewan buruan yang ditangkap dengan bantuan anjing terlatih. Hal ini juga menunjukkan kemuliaan ilmu, sebab hanya yang ditangkap oleh anjing terlatih yang halal dimakan, dan sebaliknya anjing yang tidak terlatih hasil buruannya haram dimakan. Allah berfirman,

“Mereka menanyakan kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka’ makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cermat hisab-Nya” (al-Maa idah: 4)

Seandainya bukan karena keistimewaan dan kemuliaan ilmu, pasti hewan buruan anjing yang terlatih sama hukumnya dengan anjing yang tak terlatih.

Tiga puluh empat. Allah SWT mengisahkan kepada kita tentang Nabi Musa a.s., yang Dia tuliskan kepadanya kitab Taurat, bahwa dia akan menemui seseorang yang alim. Allah SWT mengatakan bahwa Musa a.s. akan belajar dari orang tersebut dan ilmunya akan bertambah dengan belajar dari orang itu. Allah SWT berfirman,

“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya, 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (al-Kahfi: 60)

Nabi Musa a.s. berkata demikian karena keinginannya yang menggebu-gebu untuk bertemu dengan orang yang alim tersebut serta karena keinginannya untuk belajar kepadanya. Tatkala bertemu dengannya, Nabi Musa a.s. bersikap sebagai seorang murid kepada gurunya seraya berkata,

“Musa berkata kepada Khidir, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’” (al-Kahfi: 66)

Setelah mengucapkan salam kepada orang alim tersebut, Nabi Musa a.s. meminta izin untuk mengikutinya dan bahwa dia tidak akan mengikutinya kecuali dengan seizinnya. Nabi Musa a.s. berkata, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar?” (al-Kahfi: 66) Jadi Nabi Musa a.s. tidak datang kepada alim tersebut untuk menguji dan mendebatnya, tetapi ia datang untuk belajar dan menambah ilmunya. Cukuplah ini menjadi bukti kemuliaan dan ketinggian ilmu.

Kalimullah, Nabi Musa a.s. melakukan perjalanan hingga merasakan keletihan untuk mempelajari tiga masalah dari seorang alim. Dan tatkala mendengar berita mengenai orang alim tersebut, Nabi Musa a.s. tidak bisa merasa tenang. Maka ketika bertemu dengannnya, Nabi Musa a.s. meminta izin kepadanya untuk mengikutinya dan belajar darinya. Dalam kisah ini terdapat pelajaran dan hikmah yang tidak tepat untuk disebutkan di sini.

Tiga puluh lima. Allah berfirman,

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk mendalami pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga diri.” (at-Taubah: 122)

Allah mendorong orang-orang mukmin untuk memahami agama-Nya, yaitu mempelajarinya dan mengajarkannya kepada kaum mereka saat kembali. Terjadi perbedaan pendapat dalam memahami ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah tidak semua orang mukmin diharuskan pergi untuk belajar dan memahami agama Allah. Tetapi, seyogyanya dari satu kelompok terdapat beberapa orang yang pergi untuk belajar, kemudian ketika kembali orang-orang tersebut mengajari orang-orang yang tidak pergi. Jadi orang-orang yang pergi tersebut adalah orang-orang yang terpelajar.

Adapun kata thaa’ifah adalah dipakai untuk satu orang atau lebih. Kelompok ini mengatakan bahwa ayat ini merupakan dalil diterimanya riwayat dari satu orang Qthabar al-wahid. Penafsiran inilah yang menjadi pendapat Imam Syafi’i dan sekelompok ulama lainnya. Sedangkan, kelompok lainnya mengatakan bahwa maknanya adalah tidak seharusnya semua orang mukmin pergi berjihad. Tapi, hendaknya sebagian dari mereka berangkat jihad dan yang lain tinggal mendalami agama. Jika pihak yang pergi berjihad telah kembali, maka orang-orang yang tidak turut berjihad memahamkan dan mengajarkan pokok-pokok agama Allah dan persoalan halal-haram kepada mereka.

Berdasarkan pendapat ini, maka perintah dalam kata-kata liyatafaqqahuu waliyundziruu adalah untuk orang-orang yang berangkat berjihad ketika kembali. Dan, ini adalah pendapat kebanyakan ulama. Berdasarkan pendapat ini, maka nafar (orang-orang) yang dimaksud dalam ayat di atas adalah yang berangkat berjihad, karena lafal nafar biasanya dipakai dalam masalah jihad. Seperti dalam firman-Nya,

“Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan maupun merasa berat dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah.” (at-Taubah: 41)

Juga sabda Nabi saw.,

“Tidak ada lagi hijrah sesudah al-fath (penaklukan Makkah), akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Dan jika kamu diseru untuk berangkat berjihad, maka berangkatlah!” (HR Muslim)

Makna inilah yang biasanya dipakai untuk lafal nafar. Berdasarkan dua pendapat ini, maka ayat ini merupakan motivasi untuk mendalami, mempelajari, dan mengajarkan agama Allah. Sesungguhnya nilai dari semua ini adalah menyamai nilai jihad, bahkan bisa jadi lebih baik dari jihad.

Tiga puluh enam. Allah SWT berfirman,

“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orangorang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasehati dengan kebenaran dan saling menasehati dengan kesabaran.” (al-'Ashr: 1 -3)

Imam Syafi’i r.a. berkata, “Seandainya semua manusia benar-benar memikirkan surah ini, maka hal itu sudah cukup baginya.” Sebagai penjelasan dari perkataan Imam Syafi’i adalah bahwa ada empat tingkatan bagi manusia dalam mencapai kemuliaan. Dengan menyempurnakan semua tingkatan tersebut, maka seseorang akan memperoleh kemuliaan yang tertinggi.

  • Pertama, mengetahui kebenaran.
  • Kedua, mengamalkan kebenaran tersebut.
  • Ketiga, mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya.
  • Kempat, bersabar dalam mempelajari, mengamalkan, dan mengajarkannya.

Di dalam surah al-Ashr di atas Allah SWT menyebutkan empat tingkatan ini dan Allah bersumpah di dalam surah tersebut dengan al-'Ashr ‘masa’. Allah SWT menyatakan bahwa setiap orang adalah merugi kecuali mereka yang beriman. Ini adalah tingkatan pertama, yaitu tingkatan orang-orang yang mengetahui kebenaran. Kemudian mereka mengamalkan kebajikan berdasarkan apa yang mereka ketahui dari kebenaran. Ini adalah derajat kedua. Setelah itu mereka saling memberi nasehat dalam kebenaran dengan saling mengingatkan dan mengajarkannya. Ini adalah tingkatan ketiga. Kemudian mereka yang saling menasehati untuk bersabar dan teguh dalam kebenaran. Ini adalah tingkatan yang keempat. Dan, ini adalah akhir dari kesempurnaan, karena kesempurnaan seseorang adalah jika dirinya sempurna dan menyebabkan orang lain sempurna. Kesempurnaan itu dicapai dengan cara meningkatkan kualitas potensi ilmiah dan amaliahnya. Kebaikan kualitas ilmiah seseorang dengan iman, sedangkan kualitas kekuatan amaliah dengan amal saleh. Adapun menyempunakan orang lain adalah mengajarnya dengan penuh kesabaran dan mewasiatkan kepada orang tersebut untuk bersabar dalam mencari ilmu dan beramal.

Jadi surah ini meskipun singkat, ia merupakan salah satu surah Al-Qur’an yang paling komprehensif dalam masalah kebaikan dengan segala aspeknya. Puji syukur kepada Allah SWT yang telah menyempurnakan kitab-Nya sehingga tidak membutuhkan kitab lain, menjadikannya obat segala penyakit dan petunjuk kepada jalan yang lurus.

Tiga puluh tujuh. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT menyebutkan anugerah dan karunia-Nya kepada para nabi, rasul, wali dan hamba-hamba-Nya berupa ilmu pengetahuan yang Dia berikan kepada mereka. Allah SWT menyebutkan nikmatNya kepada para nabi dan rasul dalam firman-Nya,

“Allah telah menurunkan kepadamu kitab dan hikmah. Dia mengajarkan kepadamu tentang apa yang kamu tidak tahu. Dan, karunia Allah kepadamu adalah sangat besar.” (an-Nisaa: 113)

Mengenai penjelasan ayat ini telah disebutkan sebelumnya. Allah SWT berfirman tentang Nabi Yusuf a.s.,

“Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikian kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 22)

Dan berfirman tentang Nabi Musa a.s.,

“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-Qashash: 14)

Manakala sesuatu yang Allah berikan kepada Nabi Musa a.s. adalah sesuatu yang besar, sedangkan hanya orang-orang kuat dan mempunyai tekad tinggi yang mampu memikulnya, maka Allah SWT memberikan sesuatu tersebut kepada Nabi Musa a.s. setelah ia dewasa, yaitu setelah sempurna kekuatannya. Allah SWT berfirman dalam hal Isa a.s., "

Ingatlah ketika Allah mengatakan, 'Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruh qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan ingatlah di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil." (al-Maa idah: 110)

Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Isa a.s. Mengenai Alkitab, hikmah, Taurat dan Injil. Allah mengajarkan kepadanya hal-hal tersebut sebagaimana telah Dia beritahukan kepada ibunya, yang membuatnya merasa bahagia. Allah berfirman tentang Nabi Daud a.s.,

“Dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam penyelesaian perselisihan.” (Shaad: 20)

Allah SWT berfirman tentang Nabi Khidir, teman Nabi Musa a.s.,

“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (al-Kahfi: 65)

Allah SWT menyebutkan bahwa di antara nikmat-Nya kepada Nabi Khidir adalah ilmu dan rahmat yang Dia ajarkan serta Dia karuniakan kepadanya. Allah SWT berfirman tentang nikmat-Nya kepada Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.,

“Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum yang lebih tepat dan masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” (al-Anbiyaa : 78-79)

Dalam ayat di atas Allah SWT menyebutkan dua orang nabi yang mulia dan memuji keduanya atas ilmu yang mereka miliki dan kebijaksanaan dalam memberi keputusan. Namun, Allah SWT mengkhususkan salah satu di antara keduanya dalam pemahaman masalah.

Allah SWT berfirman,

“Katakanlah, ‘Siapakah yang menurunkan kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia. Kamu jadikan kitab itu sebagai lembaran kertas yang bercerai-berai. Kamu perlihatkan sebagiannya dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahuinya?’ Katakanlah, 'Allahlah (yang menurunkannya).” (al-An’aam: 91)

Maksudnya, Zat yang menurunkan Taurat kepada Musa a.s. menjadikan pengajaran kitab ini kepada mereka —yang sebelumnya mereka dan bapak-bapak mereka tidak mengetahuinya— merupakan bukti kenabian dan kerasulan. Karena pengetahuan terhadap Alkitab ini tidak diperoleh kecuali melalui para rasul. Lalu bagaimana mereka bisa mengatakan bahwa Allah tidak pernah menurunkan sesuatu pun kepada umat manusia? Ini adalah salah satu keutamaan dan kemuliaan ilmu, yang merupakan bukti atas kebenaran kenabian dan kerasulan. Allah SWT berfirman,

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (as-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Dan juga kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikialah karunia Allah diberikan kepada siapa saja yang dikendakinya. Allah itu mempunyai karunia yang besar.” (al-Jum’ah: 2-4)

Yakni, Allah SWT juga mengutus para rasul kepada kaum lainnya yang belum berjumpa (berhubungan) dengan mereka. Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud berjumpa {berhubungan) dalam ayat ini. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud adalah mereka tidak berjumpa (tidak berhubungan) dalam satu masa, atau antara mereka dipisahkan oleh zaman yang berbeda. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud adalah mereka dipisahkan oleh keutamaan dan keunggulan. Maksudnya, mereka tidak berjumpa (hubungan) dalam hal kemuliaan. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka Allah SWT memberikan nikmat kepada mereka dengan mengajarkan pengetahuan dan memberikan petunjuk kepada mereka. Alangkah besarnya nikmat pengetahuan tersebut yang melampaui nikmat-nikmat lainnya, dan tidak dapat ditakar dengan harga.

Tiga puluh delapan. Surah pertama yang diturunkan Allah SWT dalam kitabNya adalah surah al-Alaq. Di dalam surah tersebut Allah SWT menyebutkan nikmat yang Dia karuniakan kepada manusia berupa pengajaran apa yang mereka tidak tahu. Allah SWT menyebutkan di dalamnya karunia pengajaran ilmu dan karunia keutamaan manusia dengan apa yang Dia ajarkan kepada mereka. Maka, hal ini menunjukkan keutamaan dan kemuliaan pengajaran dan ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman,

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-'Alaq: 1-5)

Allah mengkhususkan manusia di antara makhluk ciptaaan-Nya dengan keajaiban dan tanda-tanda yang Dia karuniakan kepadanya yang menunjukkan adanya Tuhan, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, hikmah-Nya dan kesempurnaan rahmat-Nya. Tanda yang menunjukkan bahwa tiada Tuhan dan Rabb selain Dia. Di dalam surah al-'Alaq ini Allah menyebutkan bahwa awal penciptaan manusia adalah dari segumpal darah, karena segumpal darah tersebut merupakan awal dari semua fase yang dilalui setelah nuthfah. Kemudian Allah mengulangi perintah membaca dengan memberitahukan bahwa Dialah yang paling pemurah (al-akram). Kata al-akram, ‘paling pemurah’ merupakan bentuk superlatif dari kata al-karam, yaitu yang memberikan banyak kebaikan. Tiada sesuatu pun yang lebih pantas memiliki sifat ini kecuali Allah SWT, karena semua kebaikan, nikmat, kesempurnaan, dan kemuliaan berasal dari Allah. Maka, hanya Dialah Yang Maha Pemurah. Kemudian Dia menyebutkan pengajaran secara umum dan khusus. Allah berfirman,

“Yang mengajarkan dengan perantara qalam.” (al-'Alaq: 4)

Ini mencakup pengajaran kepada malaikat dan manusia. Kemudian Allah SWT menyebutkan pengajaran manusia secara khusus, yaitu dalam firman-Nya,

“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(al-'Alaq: 5)

Ayat ini mengandung makna bahwa Dialah yang memberikan kehidupan kepada semua makhluk hidup dengan segala jenisnya. Wujud makhluk itu memiliki empat tingkatan. Pertama, tingkatan yang berada pada alam luar yang diisyaratkan dengan firman-nya yaitu kholaqo (menciptakan). Yang kedua, wujud yang berada dalam ide yang diisyaratkan dengan firman Allah 'allamal insaana maa lam ya’lam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketiga dan keempat, wujud yang bersifat lafal dan tulisan. Yang bersifat tulisan dijelaskan dengan firman 'allama bil qolam. Dan yang bersifat lafal merupakan konsekuensi dari tulisan tersebut. Sebab tulisan merupakan bagian dari ucapan lisan dan ucapan lisan merupakan bagian dari konsepsi. Jadi kalimat ini mencakup semua tingkatan wujud.

Allahlah yang memberikan segalanya yang berupa penciptaan dan pengajaran. Dialah pencipta dan pengajar. Segala sesuatu di luar ada karena penciptaan-Nya dan segala ilmu yang ada di dalam akal adalah karena pengajaran-Nya. Segala lafal yang diucapkan lidah dan tulisan yang tersurat adalah karena ketetapan, penciptaan dan pengajaran-Nya. Ini adalah di antara tanda dan bukti kekuasaan dan kebijaksanaanNya. Tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Maksudnya, Allah SWT memperkenalkan Zat-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan apa yang diajarkan kepada mereka yang berupa tulisan, lafal, dan makna. Jadi ilmu merupakan salah satu dalil yang menujukkan Zat-Nya, bahkan ini merupakan bukti yang paling besar dan paling nyata. Cukuplah ini sebagai bukti kemuliaan dan keutamaan ilmu.

Tiga puluh sembilan. Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebut bukti ilmiah sebagai sulthaan (kekuatan). Ibnu 'Abbas r.a. berkata, "Semua kata as-sulthaan (kekuatan) di dalam Al-Qur’an adalah bukti, sebagaimana firman Allah SWT,

“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, 'Allah mempunyai anak. Maha Suci Allah, Dialah Yang Maha Kaya. Kepunyan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai bukti tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Yunus: 68)

Maksudnya, kalian tidak mempunyai bukti bagi kebenaran apa yang kalian katakan, karena yang semua kalian tuduhkan kepada Allah SWT tidak berdasarkan ilmu. Allah SWT berfirman,

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk menyembahnya.” (an-Najm: 23)

Maksudnya, Allah SWT sama sekali tidak menurunkan bukti atas kebenaran nama-nama itu, Tapi nama-nama tersebut buatan dari kalian sendiri dan nenek moyang kalian. Allah SWT berfirman,

“Atau apakah kamu mempunyai bukti yang nyata? Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang yang benar.” (ash-Shaaffaat: 156-157)

Maksudnya, jika kalian mempunyai bukti yang nyata atas kebenaran pengakuan kalian, maka datangkanlah bukti itu. Jadi semua kata sulthaan di dalam Al-Qur’an selalu diartikan dengan bukti, kecuali dalam satu tempat, di mana kata sulthaan diperselisihkan maknanya, yaitu dalam firman Allah SWT,

“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku.” (al-Haaqqah: 28-29)

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah kekuatan dan kepemilikan. Artinya telah hilang harta dan kekuatanku, sehingga aku tidak lagi mempunyai harta dan kekuasaan. Sebagian lagi berpendapat bahwa arti ayat di atas adalah aku tidak bisa lagi mengajukan alasan dan bukti.

Kesimpulan dari penjelasan ini, Allah SWT menamakan pengetahuan atas bukti dan argumen sebagai sulthaan (kekuasaan/kekuatan), karena ia membuat pemiliknya mempunyai kekuasaan dan kekuatan. Dengan bukti dan argumentasi, seseorang mampu menguasai orang-orang bodoh. Bahkan, kekuasaan yang berdasarkan ilmu lebih kuat daripada kekuasaan yang berdasarkan kekuatan tangan. Oleh karena itu, orang-orang tunduk kepada bukti dan argumentasi, namun tidak tunduk kepada kekuatan tangan. Hal ini dikarenakan hati manusia tunduk kepada bukti dan argumentasi, sedangkan kekuatan tangan hanya tunduk kepadanya badan manusia.

Bukti dan argumentasi menawan, menjerat, dan menundukkan hati orang-orang yang menentang, meskipun lahirnya menampakkan penentangan dan perlawanan. Bahkan, kekuatan kekuasaan apabila tidak dibarengi dengan ilmu yang mengarahkannya, maka ia bagaikan kekuatan binatang buas dan semisalnya. Yaitu, kekuatan yang tidak dibarengi ilmu dan kasih sayang. Lain halnya dengan kekuasaan yang berdasarkan bukti dan argumentasi. Kekuatan kekuasaan ini diiringi dengan ilmu, kasih sayang, dan hikmah. Sedangkan orang yang dengan ilmunya tidak mempunyai kemampuan dan kekuatan, maka bisa jadi disebabkan kelemahan bukti dan argumentasinya, atau karena adanya tekanan kekuasaan tangan dan senjata atas dirinya. Namun jika tidak demikian keadaannya, maka bukti dan argumentasi selalu menang dengan sendirinya, dan selalu mengalahkan serta menundukkan kebatilan.

Empat puluh. Allah SWT menyebut para penghuni neraka sebagai orang-orang bodoh dan memberitahukan bahwa Dia menghalangi ilmu pengetahuan dari mereka. Allah SWT berfirman ketika mengisahkan kondisi penghuni neraka,

“Dan mereka berkata, 'Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.'Mereka mengakui dosa-dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (al-Mulk: 10-11)

Dalam ayat ini para penghuni neraka menyatakan bahwa mereka masuk neraka karena mereka tidak mau mendengar dan memikirkan. Adapun mendengar dan berpikir, keduanya merupakan jalan utama dapat diperolehnya ilmu. Allah berfirman,

"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) Mereka mempunyai mata, tapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. "(al-A’raf: 179)

Dalam ayat ini Allah SWT memberitakan bahwa para penghuni neraka tidak memperoleh ilmu melalui salah satu dari tiga jalan diperolehnya ilmu, yaitu akal, pendengaran, dan penglihatan. Di tempat lain Allah SWT juga berfirman,

“Mereka tuli, bisu dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti.” (alBaqarah: 171)

“Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al-Hajj: 46)

“Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.” (al-Ahqaaf: 26)

Sebagaimana Anda lihat dalam ayat-ayat di atas, Allah SWT terkadang menyebut orang-orang yang menderita karena tidak berilmu sebagai binatang, keledai yang membawa lembaran-lembaran kitab bahkan lebih rendah lagi. Terkadang juga menyebut mereka sebagai binatang yang paling buruk, orang-orang mati, orang yang berada dalam gelapnya kebodohan dan kesesatan. Allah juga mengabarkan bahwa hati, telinga, dan mata mereka tertutup. Semua ini tentunya menunjukkan kemurkaan dan celaan Allah SWT terhadap orang-orang bodoh dan kebodohan. Juga menunjukkan pujian dan kecintaan-Nya kepada orang-orang berilmu. Wallaahul-musta’aan.

Empat puluh satu. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Kitab Shahih mereka dari Mu’awiyah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memberinya pemahaman tentang agama.” Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak memahami agama-Nya adalah orang yang tidak Dia kehendaki memperoleh kebaikan, sebagaimana orang yang Dia beri pemahaman agama maka Dia menghendakinya memperoleh kebaikan. Hal ini jika yang diinginkan dari ilmu adalah yang mendorong seseorang untuk melakukan kebajikan. Sedangkan, jika yang diinginkan adalah sekedar ilmu tanpa amal, maka ini tidak menunjukkan bahwa Allah SWT menghendaki kebaikan bagi orang yang memperoleh ilmu. Dalam ayat ini pemahaman terhadap agama merupakan syarat dicapainya kebaikan, yang menunjukkan bahwa pemahaman terhadap agama merupakan faktor yang mengharuskan tercapainya kebaikan. Wallahu wa a’lam.

Empat puluh dua. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari riwayat Abu Musa al-Asy’ari r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang dengannya Allah mengutusku adalah seperti air hujan yang jatuh ke tanah. Di antara tanah Tersebut ada yang baik yang menerima air, maka tumbuhlah darinya rerumputan dan pepohonan. Dan tanah itu ada yang keras yang menghimpun air, sehingga dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia, yaitu untuk minum, memberi minum ternak, dan bercocok tanam. Dari tanah itu ada juga yang berupa rawa, tidak menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanaman. Demikianlah perumpamaan orang-orang di hadapan agama yang diturunkan Allah SWT. Di antara mereka ada yang memahaminya, maka Allah memberikan manfaat kepadanya sehingga dia tahu dan mengamalkannya. Ada juga orang yang tidak peduli kepada agama tersebut dan tidak menerima petunjuk Allah SWT, yang dengannya aku diutus.”(HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw. mengumpamakan ilmu dan petunjuk yang ia bawa dengan air hujan, karena ilmu dan air sama-sama memberi manusia kehidupan, makanan, pengobatan, dan segala kebaikan. Jadi ilmu itu seperti air hujan. Beliau mengumpamakan hati dengan tanah yang diguyur air hujan, karena tanah adalah tempat yang mampu menerima air agar seluruh jenis tanaman yang bermanfaat tumbuh sebagaimana hati yang menampung ilmu hingga berbuah, bertambah dan menampakkan berkah serta hasilnya.

Lalu beliau membagi manusia kepada tiga golongan sesuai dengan potensi dan kesiapan mereka dalam menghafal, memahami, menyimpulkan hukum serta mengeluarkan hikmah-hikmah dan faidah-faidah dari petunjuk yang beliau bawa. Pertama, orang-orang yang mempunyai kemampuan menghafal dan memahami. Mereka adalah orang-orang yang mampu menghafal, berpikir, memahami, dan menyimpulkan hukum-hukum, hikmah-hikmah dan faidah-faidah dari petunjuk yang dibawa Rasulullah saw. tersebut. Mereka itu seperti tanah yang menyerap air, yang diserupakan sebagai hafalan; dan menumbuhkan rerumputan dan pepohonan yang diserupakan untuk pemahaman, pengetahuan, dan pengambilan hukum. Ini adalah perumpamaan bagi para ahli fikih yang mumpuni baik dalam hal periwayatan maupun dalam hal pemahaman.

Kedua, orang-orang yang diberi karunia ketelitian dalam menghafal dan meriwayatkan, tetapi tidak diberi kemampuan untuk memahami makna, menyimpulkan hukum, hikmah dan faidah-faidah dari petunjuk tersebut. Mereka bagaikan orang-orang yang membaca dan menghafal Al-Qur’an, sangat memperhatikan huruf dan i’rabnya tetapi tidak diberi kemampuan pemahaman yang mendalam oleh Allah SWT. Sebagaimana dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa mereka tidak diberi pemahaman khusus terhadap Kitab-Nya, yang diberikan kepada hamba-hamba tertentu. Hal ini karena kemampuan manusia dalam memahami nash yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya sangat berbeda-beda, Ada seseorang yang hanya mampu memahami satu atau dua hukum dari satu nash, sedangkan orang lain mampu memahami seratus atau dua ratus hukum darinya. Orang-orang yang diberi kemampuan menghafal ini ibarat tanah yang menampung air untuk manusia sehingga mereka memperoleh manfaat dari air itu. Ada orang yang memanfaatkannya untuk air minum, untuk menyirami tanaman, dan bercocok tanam. Golongan pertama dan kedua ini adalah orang-orang yang berbahagia, namun golongan pertama merupakan golongan yang paling tinggi derajatnya.

“Itulah karunia Allah yang diberikan kepada yang diinginkan-Nya. Allah memiliki karunia yang sangat besar.” (al-Hadiid: 21)

Ketiga, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan menghafal, meriwayatkan dan memahami petunjuk yang dibawa Rasul saw. tersebut. Kedudukan mereka sama dengan tanah yang tidak bisa ditumbuhi tanaman dan tidak dapat menampung air. Maka, mereka itu adalah orang-orang menderita. Golongan pertama dan kedua, sama-sama mencari dan mengajarkan ilmu. Masing-masing mendapat kedudukan sesuai dengan ilmu yang mereka terima dan mereka ajarkan. Satu golongan dari mereka mampu menghafal dan mengetahui lafal-lafal Al-Qur’an, dan satu golongan lagi mampu memahami makna, hukum, dan kandungannya. Sedangkan, golongan ketiga tidak berilmu dan tidak mau mencarinya. Golongan ketiga ini sama sekali tidak peduli dengan petunjuk Allah SWT sehingga mereka pun tidak akan mendapatkannya. Mereka lebih buruk dari binatang dan mereka adalah bahan bakar neraka.

Hadits tentang tiga golongan manusia di atas mengingatkan kita akan kemuliaan ilmu dan proses belajar-mengajar. Juga mengingatkan akan penderitaan orang-orang yang tidak memilikinya. Hadits di atas juga menyebutkan pembagian anak cucu Adam berdasarkan ilmu, yaitu mereka yang menderita dan yang berbahagia. Juga pembagian orang-orang yang berbahagia kepada mereka yang bersegera dalam mendekatkan diri kepada Allah dan mereka yang bersedang-sedang dalam berbuat baik. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa kebutuhan hamba terhadap ilmu sama dengan kebutuhan mereka terhadap hujan, bahkan lebih besar. Seandainya mereka tidak memiliki ilmu, maka mereka sama dengan tanah yang tidak tersiram air.

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Orang-orang lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena dalam sehari mereka membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali, sedangkan mereka membutuhkan ilmu dalam setiap embusan nafas.” Allah SWT berfirman,

“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan bagi yang benar dan yang batil.” (ar-Ra’d: 17)

Allah menyerupakan ilmu yang diturunkan kepada Rasul-Nya dengan air yang diturunkan dari langit, karena masing-masing dari keduanya memberikan kehidupan dan kebaikan kepada seluruh manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kemudian Allah SWT menyerupakan hati manusia dengan lembah. Hati yang lapang mampu menampung banyak ilmu, bagaikan sebuah lembah lebar yang menampung air yang melimpah. Sedangkan, hati yang sempit menampung sedikit ilmu seperti lembah kecil yang hanya menampung sedikit air. Allah SWT berfirman,

“Maka, mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, lalu arus itu membawa buih yang mengembang.” (ar-Ra’d: 17)

Ayat ini merupakan perumpamaan yang dibuat Allah SWT untuk ilmu saat ia bersentuhan dengan hati yang lapang. Ketika bersentuhan dan menyatu dengan hati maka ilmu itu akan mengeluarkan buih-buih keraguan dari relungnya. Sehingga, buih-buih itu pun terapung di permukaan hati. Hal ini sebagaimana aliran air yang mengalir ke lembah lalu mengeluarkan kotoran dari dalamnya. Kemudian kotoran itu mengapung di atasnya. Allah SWT menggambarkan bahwa kotoran-kotoran itu akan mengapung di atas permukaan air dan akan mengalir keluar dari lembah tersebut. Demikian juga dengan keraguan yang dikeluarkan oleh ilmu dari relung hati manusia. Ia akan terkumpul di permukaan hati, terapung dan tidak akan menetap, sehingga ia akan terbuang darinya. Maka saat itu, yang menetap dalam hati hanyalah apa yang bermanfaat bagi pemiliknya dan bagi seluruh manusia. Yaitu berupa petunjuk dan ajaran agama yang haq, seperti air jernih yang menetap di lembah dan mengalirkan kotoran.

Tidak ada yang mampu memikirkan perumpamaan-perumpamaan Allah SWT kecuali orang-orang berilmu. Kemudian Allah SWT membuat perumpamaan lain,

“Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.” (ar-Ra’d: 17)

Artinya, emas, perak, tembaga, dan besi yang dilelehkan dengan api untuk dikeluarkan kotorannya. Maka, ketika logam-logam tersebut bersentuhan dengan api hingga meleleh, kotoran-kotoran yang menyatu di dalamnya akan tersingkir, sehingga hanya zat mulia murni yang tersisa. Dalam ayat di atas, Allah SWT membuat perumpamaan dengan air, karena ia merupakan sumber kehidupan, kesejukan, dan manfaat. Allah SWT juga membuat perumpamaan dengan api, karena ia merupakan sumber cahaya, penerangan, dan pembakaran. Jadi ayat-ayat Al-Qur’an menghidupkan hati sebagaimana hujan menghidupkan tanah dengan air. Ayat-ayat ini juga membakar kotoran, keraguan, syahwat dan dengki, sebagaimana api membakar apa yang dilemparkan ke dalamnya. Ayat-ayat Al-Qur’an juga membedakan antara hal baik dan yang buruk, sebagaimana api memisahkan antara zat yang tidak berguna dari emas, perak, dan logam sejenisnya. Inilah sebagian dari pelajaran dan ilmu dalam perumpamaan agung ini. Allah SWT berfirman,

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-Ankabuut: 43)

Empat puluh tiga. Sebuah hadits Nabi saw. yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada Ali r.a., “Seseorang mendapatkan petunjuk Allah SWT dengan perantara dirimu adalah lebih baik dari harta yang melimpah.” Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan proses belajar-mengajar, serta ketinggian derajat orang yang memilikinya. Karena jika ada seseorang mendapatkan petunjuk karena seorang ulama, maka itu lebih baik daripada harta apa pun yang dimiliki manusia. Maka, seseorang yang menjadi perantara bagi sekelompok manusia untuk mendapat petunjuk Allah SWT tentunya mempunyai kemuliaan yang tiada tara.

Empat puluh empat. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang-orang yang mengikuti mereka tanpa mengurangi pahala mereka sama sekali. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebesar dosa orang-orang yang mengikutinya dan hal itu tidak mengurangi dosa mereka sama sekali.” (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini, Nabi Muhammad saw. memberitahukan bahwa orang yang menjadi perantara bagi orang lain untuk memperoleh petunjuk akan mendapatkan pahala sebesar pahala orang yang menerima petunjuk itu. Dan orang yang mengajak kepada kesesatan akan mendapatkan dosa sebesar dosa-dosa orang yang mengikuti seruannya. Hal ini disebabkan orang yang mengajak kepada petunjuk Allah mengerahkan kemampuannya untuk menyampaikan petunjuk kepada umat manusia, dan orang-orang yang menyeru kepada kesesatan juga mengerahkan kekuatannya untuk mengantar manusia kepada kesesatan. Maka, posisi orang yang menyeru kepada petunjuk atau kepada kesesatan bagaikan orang yang melakukannya secara langsung. Ini merupakan kaidah syariat sebagaimana disebutkan di berbagai tempat di dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman,

“(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (an-Nahl: 25)

“Dan sesungguhnya mereka akan memikul (beban) dosa mereka dan beban-beban dosa yang lain di samping beban-beban mereka sendiri.”(al-'Ankabuut: 13)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mengajak manusia untuk mengikuti selain sunnah Rasul-Nya, maka ia adalah musuh-Nya, karena ia telah menghalangi
sampainya pahala kepada orang yang mendapat petunjuk melalui sunnah Nabi saw. Ini merupakan salah satu permusuhan yang paling besar terhadap Allah SWT. Marilah kita memohon perlindungan Allah SWT dari tipu daya mereka yang mengajak kepada kesesatan.

Empat puluh lima. Sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Tidak ada kedengkian kecuali kepada dua orang; seseorang yang diberikan harta oleh Allah SWT, lalu ia menghabiskan harta itu untuk kebenaran; dan seseorang yang diberikan Allah pengetahuan (al-hikmah), lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya.”

Dalam hadits di atas, Rasulullah saw. memberitahukan bahwa tidak pantas seseorang menyimpan rasa dengki kepada seseorang kecuali dalam dua perkara, yaitu berbuat baik kepada manusia dengan ilmu atau dengan harta.

Kedengkian yang dimaksud Rasulullah saw. dalam hadits di atas adalah rasa dengki yang positif. Yaitu mengharapkan agar ia mampu memperoleh apa yang didapatkan orang lain, tanpa mengharapkan hilangnya nikmat Allah dari orang lain tersebut. Sedangkan kedengkian kepada orang lain karena selain kedua hal tersebut tidaklah diperbolehkan, karena manfaatnya sangat sedikit bagi manusia. Empat puluh enam. Dalam Sunannya Imam Tirmidzi berkata, “Muhammad bin Abdullah al-A’la meriwayatkan dari Salamah bin Raja’, dari al-Walid bin Hamid dari al-Qasim, dari Abu Umamah al-Bahili, bahwa diceritakan kepada Rasulullah saw. tentang dua orang, yang satu berilmu dan yang lain ahli ibadah.” Rasulullah saw. bersabda,

“Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian. Sesungguhnya Allah SWT, para malaikat, seluruh makhluk yang di langit dan di bumi, hingga semut di lubangnya dan ikan paus di dalam laut bersalawat kepada para pengajar kebaikan.” (HR Tirmidzi)

Imam Tirmidzi berkata, “Saya mendengar Abu Ammar al-Husain bin Harits alKhuza’i berkata, dari Fudhail bin 'Iyyadh bahwa seorang alim yang selalu melakukan kebajikan dan mengajar kebaikan kepada manusia disebut sebagai orang besar di kerajaan langit.” Ini juga diriwayatkan dari para sahabat Nabi saw. Ibnu Abbas berkata, “Ada dua jenis ulama dari umat ini. Pertama, seseorang yang dikaruniai ilmu pengetahuan, lalu ia mengajarkannya kepada umat manusia tanpa mengambil bayaran dari ilmunya tersebut dan tidak menjualnya dengan apa pun. Merekalah yang mendapatkan doa dari burung yang terbang di langit, ikan paus di dalam laut, binatang melata yang merangkak di permukaan bumi, dan para malaikat pencatat amal. Kedua, seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah SWT, dan ia tidak mengajarkannya kepada hamba-hamba-Nya melainkan dengan mengambil pemberian atas apa yang ia ajarkan, dan ia menjual ilmunya tersebut. Maka, pada hari kiamat orang jenis kedua ini akan berjalan dalam keadaan terikat oleh tali dari neraka.”

Allah SWT, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia disebabkan dengan pengajarannya, maka manusia memperoleh keselamatan, kebahagiaan dan kesucian jiwa. Allah SWT membalasnya dengan hal yang sejenis amal perbuatannya. Yaitu menjadikan shalawatNya, shalawat para malaikat dan penduduk bumi sebagai sebab keselamatan, kebahagiaan, dan kemenangan baginya. Karena orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia adalah mereka yang menegakkan agama dan hukum Allah SWT, memperkenalkan kepada manusia nama-nama dan sifat-Nya yang agung, maka Allah SWT menjadikan shalawat-Nya dan shalawat penghuni langit dan bumi sebagai pujian dan sanjungan kepada orang tersebut di antara penghuni langit dan bumi.

Empat puluh tujuh. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi dari Abu Darda’ menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, niscaya Allah SWT menyediakan jalan untuknya menuju surga. Sesungguhnya para malaikat melebarkan sayapnya karena ridha kepada orang yang menuntut ilmu. Sesungguhnya ulama dimintakan ampun oleh makhluk yang berada di langit dan di bumi sampai paus yang di dalam laut. Keutamaan seorang alim atas seorang abid seperti keutamaan bulan atas segala bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang banyak.”

Al-Walid bin Muslim meriwayatkan dari Khalid bin Yazid, dari Usman bin Aiman, dari Abu Darda’ bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Barangsiapa yang pergi untuk mencari ilmu maka Allah SWT membukakan kepadanya jalan menuju surga dan para malaikat pun membentangkan sayap untuk menaunginya. Dan para malaikat di langit serta ikan paus di laut bershalawat untuknya. Keutamaan seorang ulama atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas semua bintang. Ulama adalah pewaris para nabi, para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu, maka dia telah mendapatkan bagian yang banyak (dari warisan itu). Kematian seorang ulama merupakan musibah yang tidak bisa diobati, lubang yang tidak dapat disumbat, dan bintang yang hancur. Kematian satu kabilah lebih ringan daripada kematian seorang alim.” (HR Baihaqi)

Jalan yang dilalui orang yang mencari ilmu adalah jalan menuju surga. Ini sebagai balasan baginya, karena di dunia ia telah menempuh jalan untuk mencari ilmu yang mengantarkan ia kepada ridha Tuhan. Para malaikat pun meletakkan sayap mereka sebagai rasa ketawadhuan, penghormatan, dan pemuliaan terhadap apa yang ia bawa dan ia cari, yaitu warisan para nabi. Semua ini menunjukkan kecintaan dan penghargaan para malaikat terhadapnya.

Di antara kecintaan dan penghormatan para malaikat kepadanya adalah mereka meletakkan sayap mereka karena ia mencari sebab kehidupan dan keselamatan dunia. Antara malaikat dan seorang alim terdapat kesamaan. Malaikat adalah makhluk Allah yang paling baik dan paling bermanfaat bagi anak cucu Adam, dengan perantara mereka juga manusia mendapatkan kebahagiaan, ilmu pengetahuan, dan petunjuk.

Di antara manfaat dan kebaikan para malaikat kepada manusia adalah mereka meminta pengampunan atas dosa manusia, memuji orang-orang mukmin, dan membantu anak cucu Adam menghadapi setan. Bahkan mereka sangat menginginkan kebaikan bagi hamba Allah SWT melebihi keinginan kebaikan bagi diri mereka sendiri. Mereka juga menginginkan kebaikan dunia dan akhirat bagi hamba-hamba Allah SWT yang sama sekali tidak pernah diinginkan oleh hamba tersebut dan tidak pernah terlintas dalam benaknya.

Seperti yang dikatakan beberapa tabi’in bahwa para malaikat adalah makhluk Allah yang paling baik dan setan-setan adalah makhluk yang paling jahat. Allah SWT berfirman,

“(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya serta memintakan ampun bagi orangorang yang beriman (seraya mengucapkan), 'Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmuMu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang bertaobat dan mengikuti jalan-Mu serta peliharalah mereka dari siksa neraka yang menyala-nyala. Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga 'Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari balasan kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan hari itu, maka sesungguhnya Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (al-Ghaafir: 7-9)

Maka, hanya kebaikan para nabi yang menyerupai kebaikan para malaikat ini. Sehingga jika seorang hamba menuntut ilmu, maka ia memperoleh kebaikan yang paling agung. Karena itu, mereka dicintai dan dihormati para malaikat sehingga mereka melebarkan sayap-sayap mereka baginya sebagai rasa senang, cinta, dan penghormatan.

Abu Hatim ar-Razy berkata, “Saya pernah mendengarkan Ibnu Abi Uwais berkata bahwa dia mendengar Malik bin Anas berkata, 'Makna sabda Rasulullah saw. ‘para malaikat melebarkan sayap-sayapnya’ adalah berdoa untuk penuntut ilmu, dan ‘sayap’ dalam hadits tersebut adalah sebagai ganti dari kata tangan.” Ahmad bin Marwan al-Maliki dalam kitab Al-Mujalasah mengatakan bahwa Zakariya bin Abdurrahman al-Bashri berkata bahwa dia mendengar Ahmad bin Syu’aib berkata, “Kami pernah berkumpul dengan beberapa ahli hadits di Bashrah dan mereka menyampaikan kepada kami sebuah hadits Nabi saw. bahwa para malaikat melebarkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu. Pada saat itu ada seorang Mu’tazilah yang ikut di majelis kami menertawakan hadits itu.Lalu orang Mu’tazilah tersebut berkata, ‘Demi Allah, besok aku akan memasang paku di bawah sandalku, lalu aku akan menginjak-nginjak sayap-sayap para malaikat itu.’ Lalu orang Mu’tazilah tersebut melakukan hal itu terhadap sandalnya dan memakainya, setelah beberapa hari tiba-tiba kedua kakinya lumpuh dan terkena penyakit.”

Imam Thabrani berkata, “Saya mendengar Yahya Zakariya bin Yahya as-Saji berkata bahwa ia berjalan di beberapa lorong di Bashrah menuju rumah seorang ahli hadits dengan agak tergesa-gesa. Kala itu kami berjalan dengan seseorang yang cacat dalam agamanya. Dan dengan nada mengejek orang itu berkata, ‘Angkatlah kaki kalian dari sayap-sayap para malaikat, janganlah mematahkannya!’ Belum lagi meninggalkan tempatnya, kakinya kejang dan ia pun terjatuh,”

Dalam Kitab-kitab Sunan dan Musnad-musnad, disebutkan sebuah hadits Shafwan bin Assal, bahwasnya ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang kepadamu untuk menuntut ilmu.” Rasulullah saw. menjawab,

“Selamat datang kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya para malaikat mengelilingi dan menaungi orang yang menuntut ilmu dengan sayap-sayapnya. Maka, karena kecintaan mereka kepada apa yang dicari seorang penuntut ilmu, mereka saling menunggangi satu sama lainnya untuk menaunginya sehingga mencapai langit.”

Lalu Nabi menyebutkan hadits tentang mengusap khuf. Abu Abdullah bin Hakim berkata bahwa sanad hadits ini adalah shahih. Ibnu Abdil Barr berkata bahwa ini adalah hadits shahih hasan tsaabit, mahfuudh dan marfu’, dan hadits semacam ini tidak dikatakan berdasarkan rasio. Dalam hadits ini disebutkan bahwa para malaikat mengelilingi penuntut ilmu dengan sayap-sayapnya hingga mencapai langit. Sedangkan, dalam hadits sebelumnya disebutkan bahwa para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka. Maksud dari meletakkan sayap adalah ketawadhuan, penghormatan, dan pemuliaan. Dan, maksud dari mengelilingi dengan sayap adalah menjaga, melindungi, dan membentengi. Maka, kedua hadits tersebut mencakup penghormatan, kecintaan, perlindungan dan pemeliharaan malaikat kepada orang yang menuntut ilmu. Seandainya hanya ini yang diperoleh seorang penuntut ilmu, tentunya itu sudah merupakan kemuliaan dan kehormatan tersendiri.

Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya seorang alim dimintakan ampunan oleh makhluk yang berada di langit dan di bumi hingga ikan-ikan di lautan,” maksudnya tatkala seorang alim merupakan sebab diperolehnya ilmu yang merupakan kunci keselamatan manusia dari kehancuran, sehingga keselamatan manusia diperoleh dengan perantara dia, maka dia mendapatkan balasan sejenis dengan perbuatannya. Sehingga, semua penghuni langit dan bumi selalu berusaha menyelematkannya dari sebab-sebab kebinasaan, yaitu dengan meminta ampunan untuknya. Jika orang-orang mukmin pada umumnya dimintakan ampunan oleh para malaikat, tentunya lebih utama lagi orang-orang khusus dan terbaik dari mereka. Dikatakan bahwa makhluk langit dan makhluk bumi yang memintakan ampunan bagi orang alim adalah umum, mencakup binatang dan sebagainya, baik yang berbunyi maupun yang tidak.

Ini ditegaskan dengan sabda Rasul saw, “Hingga ikan-ikan di lautan dan semut di sarangnya memintakan ampun bagi orang yang menuntut ilmu.” Ada yang berpendapat bahwa sebab dari permintaan ampunan dari makhluk-makhluk tersebut untuk orang alim adalah karena orang alim mengajarkan kepada manusia cara memelihara binatang, memperkenalkan yang halal dan yang haram, memberitahukan cara menangkap, menggunakan, menunggangi, memanfaatkan dan menyembelih hewan. Orang alim adalah orang yang paling sayang dan paling baik kepada binatang, karena ia menjelaskan kepada manusia tujuan penciptaannya.

Secara global, kasih sayang dan kebaikan yang karenanya dan untuknya hewan diciptakan, serta bagian dari kedua hal itu yang ditetapkan untuknya hanya dapat diketahui dengan ilmu. Maka, orang alimlah yang mengajarkan hal itu. Karena itu, sudah selayaknya semua binatang memohonkan ampunan baginya. Wallaahu wa’alam. Sabda Rasulullah saw, “Keutamaan orang berilmu dari ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang,” merupakan perumpamaan yang sangat pas. Karena bulan menerangi penjuru cakrawala dan cahayanya meluas ke penjuru alam. Ini sebagaimana perihal orang berilmu. Sedangkan bintang-gemintang, cahayanya tidak melewati dirinya atau hanya sampai kepada sesuatu yang terdekat darinya. Hal ini sebagaimana seorang ahli ibadah, dia hanya menerangi dirinya sendiri, tidak menerangi orang lain. Jika cahaya ibadahnya menggapai orang lain, maka jangkauannya tidak jauh sebagaimana cahaya bintang melampaui dirinya sedikit.

Di antara riwayat yang sesuai dengan hadits ini adalah sebuah atsar yang berbunyi, "Pada hari kiamat Allah SWT berfirman kepada seorang ahli ibadah, ‘Masuklah ke surga sendiri, karena manfaatmu hanya untuk dirimu.’ Sedangkan kepada seorang alim dikatakan, 'Berikanlah syafaat kepada orang lain maka kamu akan mendapatkan syafaat, sesungguhnya engkau telah memberi manfaat kepada manusia. "

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Atha’ dari Ibnu Abbas r.a* bahwa pada hari kiamat orang berilmu dan orang ahli ibadah akan dipanggil, lalu dikatakan kepada ahli ibadah, “Masuklah surga”, dan dikatakan kepada orang yang berilmu, “Mintalah syafaat maka kamu akan mendapatkannya.” Dalam penyerupaan seorang alim dengan bulan dan seorang abid seperti bintang terdapat hikmah lainnya. Yaitu bahwa kebodohan seperti malam gelap gulita, sedangkan seorang para ulama dan para ahli ibadah dalam kegelapan itu seperti bulan dan bintang-gemintang. Maka dalam keadaan gelap gulita itu, keutamaan cahaya seorang alim seperti keutamaan cahaya bulan atas cahaya bintang.

Di samping itu, tegaknya agama adalah karena ditopang, dihias, dan diterangi oleh para ulama dan ahli ibadah. Apabila para ulama dan ahli ibadahnya hilang, maka hilanglah agama, sebagaimana langit yang dihias dan diterangi oleh bulan dan bintang gemintang. Jika bulan dan bintang-bintang hilang dari langit, maka datanglah hari kiamat yang dijanjikan Allah SWT.

Apabila seseorang bertanya. “Mengapa orang berilmu diserupakan dengan bulan bukan dengan matahari, padahal cahaya matahari lebih besar?” Terhadap pertanyaan ini ada yang menjawab, bahwa dalam perumpamaan tersebut terdapat dua hal penting.

  • Pertama, karena cahaya bulan merupakan pantulan cahaya matahari, maka orang berilmu yang mengambil ilmu dari risalah Nabi saw. lebih sesuai jika diserupakan dengan bulan daripada dengan matahari.
  • Kedua, cahaya matahari tetap, tidak berubah, dan tidak memiliki tingkatan. Sedangkan bulan, terkadang cahayanya sedikit, banyak, penuh, dan berkurang sebagaimana para ulama yang ilmunya bertingkat-tingkat; ada yang ilmunya sedikit ada juga yang banyak. Perbedaan tingkatan para ulama bagaikan perbedaan keadaan bulan. Dari bulan purnama yang sempurna, lalu berkurang sedikit demi sedikit hingga pada keadaannya yang paling akhir.

Di sisi Allah SWT tingkatan ulama pun berbeda-beda. Jika ada yang mengatakan bahwa penyerupaan ulama dengan bintang-gemintang adalah hal yang sudah diketahui secara umum, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw., “Sahabat-sahabatku seperti bintang-gemintang,” lalu mengapa para ulama diserupakan dengan bulan? Sebagai jawabannya, dikatakan adapun perumpamaan ulama dengan bintang karena bintang dipakai sebagai petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut, demikian pula dengan para ulama. Bintang-bintang adalah penghias langit dan ulama adalah penghias bumi. Bintang-gemintang menjadi penghalang bagi para setan agar tidak mencuri dengar berita langit, sehingga tidak bercampur dengan kebohongan-kebohongan yang mereka buat.

Demikian pula para ulama, mereka menjadi lemparan penghalang bagi setan jin dan manusia yang membisikkan kata-kata indah yang memperdaya. Para ulama menjadi penghalang bagi kelompok jahat ini untuk melakukan akivitas mereka. Seandainya tidak karena para ulama, maka hancurlah ajaran-ajaran agama karena pemalsuan orang-orang yang sesat. Allah SWT menjadikan para ulama sebagai penjaga bagi agama-Nya dan sebagai penghalang bagi musuh-musuh para rasul-Nya. Dan ini adalah bentuk keserupaan mereka dengan bintang.

Sementara itu, perumpamaan mereka dengan bulan adalah pada posisi keutamaan mereka atas ahli ibadah semata. Perbandingan antara keduanya adalah perbandingan keutamaan dan makna, yaitu bahwa mereka melampaui ahli-ahli ibadah yang bukan ulama sebagaimana bulan melebihi bintang-bintang. Masing-masing dua perumpamaan itu adalah tepat sesuai tempatnya masing-masing.

Adapun perkataan Nabi saw. bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, merupakan keistimewaan yang paling besar bagi orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya para nabi adalah hamba Allah SWT yang terbaik. Maka, para pewaris mereka juga merupakan orang-orang terbaik setelah mereka. Karena para ulama menunaikan tugas para rasul dalam menyampaikan ajaran agama, maka merekalah orang-orang yang paling berhak mewarisi para rasul. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang terdekat dengan para rasul, karena hanya orang-orang terdekat yang mendapatkan warisan, sebagaimana dalam pewarisan harta.

Sesungguhnya Allah SWT mengkhususkan rahmat-Nya bagi orang-orang yang Dia kehendaki. Dalam sabda Rasulullah saw. bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, menunjukkan perintah bagi umat untuk mentaati, menghormati, meninggikan, dan memuliakan mereka, karena mereka juga adalah pewaris beberapa hak para nabi atas umat. Karena mencintai para nabi adalah bagian dari tuntunan agama dan membenci mereka bertentangan dengan agama, demikian juga terhadap para pewaris mereka.

Ali berkata, “Mencintai ulama merupakan tuntunan agama yang harus dilaksanakan.” Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits Qudsi, “Barangsiapa yang menentang wali-Ku, maka dia telah menantang Aku untuk berperang.”{HR Bukhari dan Abu Nu’aim) Jadi para pewaris nabi adalah para wali Allah SWT. Dalam sabda Nabi saw. bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, terdapat isyarat mereka untuk mengikuti petunjuk para nabi dalam menyampaikan agama. Yaitu, dengan penuh kesabaran, membalas kejahatan manusia dengan kebaikan, lemah lembut dan mengajak manusia kepada jalam Allah dengan cara yang terbaik, serta selalu berusaha memberikan nasehat kepada manusia untuk menunaikan kebajikan. Dengan itulah mereka memperoleh bagian dari warisan para nabi yang sangat berharga dan mulia nilainya.

Ini juga merupakan peringatan bagi orang-orang berilmu untuk mendidik umat sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Maka, mereka harus mendidik umat secara bertahap dan bertingkat, mulai dari pengetahuan-pengetahuan yang kecil sampai kepada yang besar. Mereka juga hanya membebankan kepada umat apa yang mampu mereka pikul, sebagaimana yang dilakukan seorang bapak kepada anaknya yang masih kecil dalam memberikan makanan kepadanya. Manusia bagi para nabi dan rasul seperti anak-anak di hadapan bapaknya, bahkan lebih rendah lagi. Karena itu, setiap jiwa yang tidak terdidik oleh para rasul tidak akan mendapatkan keberuntungan dan tidak dapat melakukan kebajikan. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah syair,

“Orang yang tidak dididik oleh Rasul dan tidak diberi minum dari ajaran agamanya
Maka ia adalah orang hilang yang tidak memiliki ikatan loyalitas
Dan tidak akan tumbuh melampaui anak-anak sebayanya.”

Sabda Nabi saw. bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham tetapi mewariskan ilmu, menunjukkan kesempurnaan para nabi dan besarnya kebaikan mereka terhadap umat, serta menunjukkan kesempurnaan nikmat Allah SWT kepada mereka. Dengan demikian, umat mereka harus menghilangkan penyakit hati yang membuat seseorang berpikir bahwa para nabi adalah seperti raja yang menginginkan dunia dan kemewahannya.

Semoga Allah SWT menjaga umat ini dari anggapan seperti ini. Karena pada umumnya manusia menginginkan kemewahan dunia untuk anaknya sepeninggalnya sehingga ia rela bersusah payah membanting tulang untuk anaknya, maka sabda Rasulullah saw. di atas menunjukkan bahwa Allah SWT menghindarkan para nabi dan rasul dari anggapan semacam itu. Rasulullah saw. bersabda, “Kami -para nabi- tidak meninggalkan warisan. Apa yangkami tinggalkan adalah sedekah.” Jadi para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tapi mewariskan ilmu. Sedangkan firman Allah SWT,

“Dan Sulaiman mewarisi Daud.” (an-Naml: 16)

Ini adalah pewarisan ilmu dan kenabian bukan pewarisan yang lain, sebagaimana disepakati oleh para mufassir. Alasannya karena Nabi Daud a.s. memiliki banyak anak selain Nabi Sulaiman. Seandainya warisan itu berupa harta, maka Nabi Sulaiman a.s. tidak akan dikhususkan untuk mendapatkannya. Di samping itu, firman Allah SWT tidak mungkin dan tidak layak menyampaikan hal semacam itu, karena itu sama saja dengan ucapan kita, “Si Fulan telah mati dan diwarisi oleh anaknya”. Kita juga sudah maklum adanya bahwa setiap orang mewarisi anaknya, sehingga tidak ada gunanya menyampaikan hal seperti ini secara khusus dalam Al-Qur’an. Ayat sebelum dan sesudahnya juga menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah warisan ilmu dan kenabian, bukan warisan harta. Allah SWT berfirman,

“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Daud dan Sulaiman ilmu. Dan keduanya berkata’Puji syukur kepada Allah yang mengutamakan kami atas banyak hamba-hamba-Nya yang beriman.’ Dan Sulaiman mewarisi Daud.” (an-Naml: 15-16)

Dan disebutkan kata-kata “Dan Sulaiman mewarisi Daud” adalah untuk menjelaskan kelebihan dan kekhususan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Sulaiman a.s., berupa kemuliaan yang dimiliki ayahnya yaitu ilmu dan kenabian. Kemudian Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya ini adalah karunia yang sangat jelas.” (an-Naml: 16)

Demikian pula dalam ucapan Zakaria yaitu dalam firman Allah SWT,

“Dan sesungguhnya aku akan khawatir terhadap wali-waliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera yang akan mewarisi aku dengan mewarisi sebagian keluarga Ya’kub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 5-6)

Yang dimaksud di sini adalah warisan ilmu, kenabian, dan dakwah kepada Allah SWT. Sebab tidak dapat dibayangkan jika seorang nabi khawatir tidak memiliki sanak keluarga yang mewarisi hartanya, kemudian memohon kepada Allah SWT untuk dikaruniai seorang anak yang akan mewarisinya dan menjadi orang yang paling berhak untuk menerimanya.

Allah SWT mensucikan para nabi dan rasul-Nya dari sifat semacam ini dan semisalnya. Maka, hal ini jauh sekali dari anggapan orang-orang yang memalsukan kitab Allah SWT dan menuduhkan kepada para nabi hal-hal yang tidak layak ada pada mereka. Puji syukur kepada Allah SWT atas segala taufik dan hidayah-Nya.

Dikisahkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa pada suatu hari ia melewati sebuah pasar dan melihat orang-orang sedang berdagang dan berjual beli, lalu Abu Hurairah r.a. berkata, “Kalian ada di sini. Mengapa kalian tidak ikut mengambil warisan Rasulullah saw. yang dibagikan di mesjid?” Lalu mereka segera bangkit dan pergi menuju ke masjid. Akan tetapi, ketika sampai di masjid mereka tidak menemukan sesuatu kecuali orang-orang yang membaca Al-Qur’an, berzikir, dan majelis ilmu. Maka, mereka pun bertanya kepada Abu Hurairah r.a., “Wahai Abu Hurairah, mana yang engkau katakan tadi?” Abu Hurairah menjawab, “Inilah warisan Nabi Muhammad saw. yang dibagikan kepada para ahli warisnya, bukannya harta dan kernewahan dunia.”

Adapun sabda Rasulullah saw., “Barangsiapa yang mengambil warisan Nabi itu, maka ia mendapatkan bagian yang banyak”, maksudnya bagian yang manfaatnya paling besar, paling baik, dan paling langgeng bagi manusia, dan tidak lain ini adalah ilmu dan agama. Karena manfaat ilmu dan agama yang dimiliki seseorang lalu diajarkan kepada orang lain adalah kekal. Apabila terputus dari pemiliknya, maka kebaikannya akan tetap sampai kepada pemiliknya untuk selamanya, sedangkan hal-hal lainnya akan hilang dan sia-sia. Allah SWT berfirman,

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu beterbangan.” (al-Furqaan: 23)

Sesungguhnya jika tujuan dari pekerjaan seseorang tidak kekal dan terputus, maka setelah kematiannya ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari apa yang ia lakukan, ini merupakan musibah yang tidak bisa diobati. Oleh karena itu, kita berlindung kepada Allah SWT, semoga kita dihindarkan dari kerugian semacam itu. Laa haula walaa quwwata ilia billah. Adapun sabda Rasulullah saw.,

“Kematian orang berilmu adalah musibah yang tidak dapat diobati, kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, dan bintang yang hilang. Dan kematian satu suku lebih ringan daripada kematian seorang berilmu”, karena baiknya kehidupan adalah karena ulama. Jika bukan karena mereka, maka manusia seperti hewan bahkan lebih buruk keadaannya. Sudah barang tentu kematian seorang ulama adalah musibah yang tidak dapat diobati, kecuali oleh seorang ulama baru sesudahnya.

Para ulama adalah orang-orang yang mengarahkan umat, negara, dan kekuasaan. Sehingga, kematian mereka mengakibatkan kerusakan pada sistem alam. Oleh karena itu Allah SWT senantiasa menyiapkan para ulama yang menggantikan ulama-ulama yang terdahulu untuk menjelaskan agama-Nya kepada umat. Dengan mereka maka agama, Kitab, dan hamba-hamba-Nya terpelihara.

Jika ada seseorang yang kaya raya dan dermawan yang melampaui kekayaan dan kedermawanan semua orang di dunia, dan semua umat manusia sangat membutuhkan uluran tangannya, maka jika orang tersebut meninggal apa yang bisa Anda bayangkan? Namun, kerugian karena kematian seorang ulama, jauh lebih besar dibandingkan kematian orang semacam itu. Karena kematian seorang ulama berarti kematian manusia dan makhluk hidup lainnya, sebagaimana dikatakan seorang pujangga,

“Tahukah engkau musibah karena hilangnya harta tidak akan ada kambing dan unta yang mati karenanya Akan tetapi kematian seseorang yang berjasa menyebabkan kematian banyak manusia.” Dan pujangga yang lain berkata, “Kematiannya tidak bisa disamakan dengan kematian satu orang, akan tetapi kematiannya adalah kehancuran bangunan bangsa.”