Berkaitan dengan tidak pemberian jabatan kepada napi koruptor, hal tersebut harus disesuaikan kembali dengan perbuatan serta jatuhan hukuman kepada napi koruptor dan pasal-pasal yang terdapat pada Undang-Undang.
Hukum sebagai sarana rekayasa sosial digunakan untuk mewujudkan cita-cita politik nasional dalam tuntutan politik yang harus dijalankan oleh penguasa politik, dalam hal ini dapat tergambarkan dalam hukum nasional sebagai produk politik, namun tidak semua produk politik dapat diterima masyarakat. Salah satu diantaranya yakni larangan pencalonan mantan narapidana kokrupsi pada pemilu legislatif serentak pada tahun 2019.
Pro-kontra terhadap larangan tersebut merupakan tahapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Peraturan KPU) No.20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, dan Peraturan KPU No.14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang sekarang sudah di ubah menjadi Peraturan KPU No.26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU No.14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (aturan larangan), yang ada pokoknya aturan mengenai larangan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebgai calon legislatif pada pemilu serentak pada tahun 2019.
Mengenai kasus napi koruptor tidak diberi jabatan lagi ini pernah dibahas pada beberapa peraturan perundang-undangan, salah satu diantaranya sebagai berikut.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 58 huruf f Undang Undang yang mengatakan bahwa "*Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat⌠pada huruf f yang berbunyi "tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih"emphasized text
Dari beberapa aturan larangan tersebut, terlihat bahwa aturan mengenai larangan ini sudah pernah ada namun dianggap melanggar konsititusi, maka Mahkamah Konstitusi membatalkan bebera[a aturan tersebut dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK) No. 14-17/ PUU-V/2007, No. 004/PUU-VII/2009, No. 42/PUU-XII/2015, dan No. 71-PUU-XIV-2016.
Namun melihat dari sisi âhukum sebagai sarana rekayasa sosialâ, terdapat keinginan menciptakan pemimpin hasil pemilu yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme dengan harapan terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berintegriitas, karena pemimpin dalam suatu pemerintahan mempunyai pernan dan sangat menentukan eksistensi suatu negara.
Maka dari itu, saya sangat setuju jika mantan napi koruptor tidak diberikan jabatan lagi agar dapat memberikan efek jera kepada masyarakat terhadap dampak dari korupsi.