Apa itu surat pemberian kuasa?

75987bdb9a58c12611e1c68cf34c4579
Apa yang dimaksud dengan surat pemberian kuasa?

1. SURAT PEMBERIAN KUASA

Dengan jaman yang semakin berkembang dan juga semakin modern maka meningkat pula kebutuhan serta kepentingan dari tiap-tiap orang. Agar dapat menjalankan kehidupan dengan mudah, maka terkadang seseorang melakukan pemberian kuasa kepada pihak lain. Kuasa ini diberikan agar pihak tersebut mau membantu menyelesaikan kepentingan atas nama orang yang melakukan pemberian kuasa, jadi seseorang yang diberikan pemberian kuasa mempunyai tugas untuk mewakilkan. Seseorang melakukan pemberian kuasa bisa dikarenakan beberapa hal seperti, adanya benturan atas kepentingan pada waktu yang sama, keinginan untuk penyelesaian akan suatu perkara berjalan lebih mudah, dan lain-lain.

Kuasa adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh sang pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas nama yang memberikan kuasa. Kuasa sendiri merupakan bentuk kewenangan dan merupakan suatu bentuk perjanjian pula. Dengan diberikannya suatu kuasa maka timbul pula kewajiban untuk mewakili bagi yang diberikan kuasa. Artinya, kuasa merupakan hak yang dapat melahirkan kewajiban bagi yang diberi. Karena kuasa merupakan suatu hak, maka kuasa termasuk ke dalam harta kekayaan pemberi kuasa.[1]

Surat pemberian kuasa dijelaskan dan diatur secara tegas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek, yang berbunyi sebagai berikut[2]: “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”

Maksud dari perkataan “menyelenggarakan suatu urusan” adalah diselenggarakannya atau dilakukannya suatu perbuatan hukum, yaitu suatu perbuatan yang memiliki akibat hukum mengikat. Suatu hal yang telah dilakukan oleh seseorang yang diberi kuasa, apabila muncul hak dan kewajiban dari dilakukannya perbuatan itu, maka hak dan kewajiban tersebut menjadi milik seseorang yang telah memberi kuasa.

Apabila menilik dari rumusan yang terdapat di dalam Pasal 1972 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka, pemberian kuasa merupakan suatu bentuk persetujuan dari seseorang kepada orang lain sebagai penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan “atas nama” pemberi kuasa. Maka dapat disimpulkan bahwa sifat dari pemberian kuasa adalah mewakili atau perwakilan. Dengan ini dapat dilihat bahwa unsur-unsur yang terdapat di dalam pemberian kuasa adalah sebagai berikut:

  • Pemberian kuasa merupakan suatu bentuk perjanjian;
  • Adanya penyerahan wewenang atau kekuasaan dari yang memberi kuasa terhadap penerima kuasa;
  • Adanya unsur perwakilan atau mewakili yang dilakukan seseorang dalam mengurus kepentingan dari pihak lain.

Dikarenakan pemberian kuasa merupakan suatu bentuk perjanjian, maka perlu dimengerti terlebih dahulu apa itu perjanjian, menurut Prof. R. Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal[3]. Sedangkan menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang mengatur akan harta benda antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal. Sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan dari perjanjian tersebut[4]. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga diatur di dalam Pasal 1313 akan perjanjian atau persetujuan, yang berbunyi “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih” [5].

Dengan ini agar pemberian kuasa dapat berlaku dan mengikat secara hukum, maka pemberian kuasa tersebut tidak boleh melanggar syarat-syarat perjanjian yang telah ditetapkan di dalam undang-undang. Syarat agar dapat sahnya suatu persetujuan terdiri dari syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif adalah syarat yang menyangkut kepada para pembuatnya, dengan tidak terpenuhinya syarat ini maka perjanjian dapat dibatalkan ( voidable ). Syarat subjektif dari perjanjian adalah sebagai berikut[6]:

  • Adanya kesepakatan ( Bekwaanmheid ). Kesepakatan dan setuju dilakukan dengan penuh kesadaran diantara pihak-pihak yang melakukan kesepakatan. Kesepakatan sendiri dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Suatu perjanjian dapat dianggap cacat hukum sehingga menimbulkan tidak adanya kata sepakat apabila mengandung unsur paksaan ( dwang ), penipuan ( bedrog ), dan juga mengandung kekeliruan atau kesesatan ( dwaling ).
  • Orang yang melakukan suatu perjanjian tersebut cakap. Di dalam Pasal 1329 KUHPerdata dianyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk melakukan perjanjian kecuali orang-orang yang dinyatakan pada Pasal 1330 yaitu: orang yang belum dewasa (umurnya dibawah 21 tahun serta belum menikah), mereka yang berada di bawah pengampuan ( curatele )

Sedangkan untuk syarat objektif, apabila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang telah dibuat tersebut batal demi hukum ( null and void ), syrat objektif ini terdiri dari:

  • Suatu hal tertentu. Artinya, bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda ( zaak ) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya, atau suatu perjanjian haruslah mengenai akan suatu hal tertentu.
  • Kausa hukum yang halal. Apabila objek atau barang dari perjanjian tersebut merupakan hal yang ilegal atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

2. PEMBERIAN KUASA

Isi kuasa: Isi dari pemberian kuasa adalah tindakan atau penyelenggaraan suatu urusan yang telah diwakilkan kepada seseorang yang diberi kuasa.

Tindakan penerima kuasa: Tindakan penerima kuasa merupakan suatu perbuatan hukum dengan nama seseorang yang telah memberikan kuasa, sehingga timbul suatu perwakilan. Perwakilan dapat lahir dari adanya suatu perjanjian dan ada juga yang dilahirkan karena undang-undang. Seseorang yang telah diberikan kuasa dinamakan dengan juru kuasa atau kuasa. Dalam praktiknya tidak semua perbuatan hukum dapat diwakilkan kekuasaannya, hal-hal yang sangat erat hubungannya dengan pribadi seseorang seperti membuat wasiat dan memberi suara dalam rapat anggota suatu perkumpulan tidak dapat diwakilkan kuasanya. Penerima kuasa tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui kuasa yang telah diberikan kepadanya[7]. Apabila sang penerima kuasa melampaui batas wewenang yang telah diberikan kepadanya maka akibat dari dijalankannya perbuatan tersebut menjadi tanggungannya sendiri, bahkan pemberi kuasa dapat menuntut ganti rugi kepada seseorang yang telah melampaui batas kuasa apabila hal tersebut memberikan kerugian baginya [8].

Bentuk kuasa: Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur bahwa bentuk dari surat kuasa dapat diberikan dan diterima di dalam suatu akta umum, dengan tulisan yang bertanda tangan dan bahkan dengan sepucuk surat maupun hanya dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat juga berjalan secara diam-diam[9]. Dengan ini seseorang dianggap telah menerima kuasa dengan dilaksanakannya kuasa atas nama orang lain oleh penerima kuasa tersebut walaupun tidak disampaikan secara formal[10].

Pemberian kuasa: Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma ( free of charge ) kecuali apabila diperjanjikan sebaliknya. Artinya, pemberian kuasa terhadap penerima kuasa itu dianggap gratis apabila tidak diatur di dalam perjanjian untuk membayar. Apabila di dalam perjanjian tidak ditetapkan upah yang harus dibayarkan secara tegas maka seseorang yang telah di beri kuasa tidak dapat meminta upah lebih dari yang ditetapkan[11], yaitu sebesar tiga persen dari segala pendapatan, dua persen dari segala pengeluaran dan satu setengah persen dari modal yang mereka terima[12].

Macam-macam kuasa: Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pemberian suatu kuasa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pemberian kuasa yang berlaku sebagai umum atau pemberian kuasa yang berlaku sebagai khusus[13].

  • Kuasa umum adalah pemberian kuasa meliputi perbuatan-perbutaan pengurusan yang mencakup segala kepentingan dari pemberi kuasa. Kuasa umum juga diatur di dalam Pasal 1795 KUHPerdata yang berbunyi “Titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa, dan tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa”. Artinya kuasa umum bertujuan untuk memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan dari sang pemberi kuasa ( latsgever ). Titik berat dari kuasa umum ada pada pengurusan ( beherder ) kepentingan pemberi kuasa
  • Kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang hanya mengenai satu kepentinagn tertentu atau lebih, maka dari itu dibutuhkannya suatu pemberian kuasa yang menyebutkan secara tegas perbuatan apa yang diwakilkan. Di depan pengadilan, kuasa khusus inilah yang di praktikkan. Apabila ada kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa khusus baik tidak memenuhi syarat materil dan formil maka gugatan yang diajukan menjadi batal atau tidak diterima oleh pengadilan. Dalam pembuatan surat kuasa khusus setidaknya harus dicantumkan[14]:
    • Nama para pihak atau identitas;
    • Pokok sengketa atau obyek sengketa;
    • Nama pengadilan;
    • Apa berlaku juga banding/kasasi;

Kewajiban dari juru kuasa[15]: Juru kuasa berkewajiban untuk melaksanakan tugas sebagai penerima kuasa, selama ia belum dibebaskan dari pelaksanaan kuasanya tersebut. Ia pun menanggung segala biaya dan kerugian serta bunga yang timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut. Apabila pemberi kuasa meninggal, akan tetapi urusan yang dibebankan kepada juru kuasa sudah dilaksanakan maka urusan tersebut harus dapat diselesaikan dengan baik dulu sebelum ia dapat mengundurkan diri. Juru kuasa bertanggung jawab atas kelalaian yang telah ia perbuat. Juru kuasa wajib memberikan laporan terhadap apa yang telah diperbuat olehnya dan memberikan perhitungan kepada pemberi kuasa tentang seluruh hal yang telah ia terima berdasarkan kuasanya[16].

Berakhirnya pemberian kuasa: Berakhirnya pemberian kuasa sendiri diatur di dalam Pasal 1831 BW, berdasarkan pasal tersebut berakhirnya kuasa dikarenakan tiga hal yaitu:

  • Ditariknya kembali kuasa yang telah diberikan oleh pemberi kuasa. Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya apabila hal tersebut memang dikehendaki olehnya. Penarikan kembali kuasa ini dapat dilakukan kapan saja ( at any time ) asalkan pemberitahuan kepada juru kuasa dengan waktu yang secukupnya. Apabila sang juru kuasa tidak mau mengembalikan kekuasaan secara sukarela maka ia dapat dipaksa melalui jalur litigasi. Pada praktiknya, penarikan kembali pemberian kuasa biasanya dilakukan dengan cara memberi surat kepada yang berkepentingan. Pengangkatan juru kuasa yang baru menyebabkan ditarik kembali kuasa terhadap juru kuasa yang pertama, terhitung dari diberitahukannya juru kuasa yang pertama tersebut[17].
  • Dengan pemberitahuan penghentian oleh juru kuasa. Si kuasa atau juru kuasa dapat melepaskan dirinya dari kuasa dengan memberitahukan kepada pemberi kuasa bahwa ia telah memberhentikan diri, asal dengan pemberitahuan dalam waktu yang cukup kepada sang pemberi kuasa.
  • Dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya seseorang yang memberi kuasa maupun yang menerima kuasa maka pemberian kuasa menjadi berakhir.
Referensi

[1] Rachmat Setiawan, Hukum Perwakilan dan Kuasa: Suatu perbandingan Hukum Indonesia dan Hukum Belanda Saat Ini, Tatanusa, Jakarta, 2005, hlm 1.

[2] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1792.

[3] Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, hlm 141.

[4] Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, 1986, hlm 9.

[5] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1313.

[6]Novi Ratna Sari, Komparasi Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam, dikutip dari Jurnal Repertorium, Vol. 4 No. 2 Juli – Desember 2017, hlm 81.

[7] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1797.

[8] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1799.

[9] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1793.

[10] Indah Retno Ariyanti, Analisis Yuridis Tentang Penerapan Surat Kuasa Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku , Thesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2008, hlm 20.

[11] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1794.

[12] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 411.

[13] Djaja S. Meliala, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , Nuansa Alulia, Bandung, 2008, hlm 5.

[14] Ali Budiarto, Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Hutang Piutang , Ikahi, Jakarta, 2000.

[15] I Ketut Oka Setiawan, Lembaga Kuasa dan Lembaga Mutlak, dikutip dari Jurnal JUDICAL, Vol. 3 No. 2, Maret 2008, ISSN: 1858-4551, hlm 7.

[16] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1802.

[17] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1816.