Apa Itu Sikap Berbahasa?


Bahasa merupakan hasil dari kebudayaan yang harus dijaga kelestariannya agar tidak punah. Salah satu cara untuk mempertahakan sebuah bahasa yaitu melalui sikap berbahasa.

Apa itu sikap berbahasa?

Untuk dapat memahami apa yang disebut sikap bahasa (Inggris: language attitude ) terlebih dahulu harus dijelaskan apa itu sikap. Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai suatu reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, sikap itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku.

Oleh karena yang namanya sikap ini yang berupa pendirian (pendapat atau pandangan) berada dalam batin, maka tidak dapat diamati secara empiris. Namun, menurut kebiasaan jika tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, sikap yang ada dalam batin itu dapat diduga dari tindakan dan perilaku lahir.

Triandis dalam Chaer, berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada sikap mental atau kepada sikap perilaku.

Anderson dalam Chaer membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan, dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap etis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini (kebahasaan atau nonkebahasaan) dapat menyangkut keyakinan atau kognisi mengenai bahasa.

Krech et al. dalam Rokhman, mendefinisikan sikap sebagai “…an enduring systems of positivise or negative evaluations, emotional feelings, and pro or con action tendencies with respect to social objects” (suatu sistem yang sifatnya menetap dari penilaian-penilaian positif atau negatif, perasaan-perasaan emosional dan kecenderungan tindak pro atau kontra terhadap objek sosial).

Dengan demikian, berdasarkan definisi Krech et al . tersebut sikap terdiri atas tiga komponen. Ketiga komponen itu berkaitan erat, sehingga perubahan salah satu komponen akan mempengaruhi komponen lainnya. Ketiga komponen tersebut adalah komponen kognitif yang berhubungan dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek sehingga melahirkan suatu kepercayaan atau keyakinan ( belief ), komponen afektif yang berhubungan dengan keadaan emosional seseorang, serta komponen konatif yaitu kecenderungan untuk bertindak.

Dalam Suhardi, Allport berpendapat sikap adalah “…a mental and neural state of readiness, organized through experience, exerting a directive or dynamic influence upon the individual’s response to all objects and situations with which it is related” (… kesiagaan mental dan saraf, yang tersusun melalui pengalaman, yang memberikan arah atau pengaruh dinamis kepada tanggapan seseorang terhadap semua benda dan situasi yang berhubungan dengan kesiagaan itu). Dari pengertian itu tersirat bahwa sikap tidak dapat diamati secara langsung tetapi harus disimpulkan melalui introspeksi dari seorang subjek.

Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone (salah-seorang tokoh terkenal di bidang pengukuran sikap), Rensis Likert (juga seorang pionir di bidang pengukuran sikap), dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Berkowitz). Secara lebih spesifik, Thurstone sendiri menformulasikan sikap sebagai ‘derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis’ (Edwards).

Kelompok pemikiran yang kedua diwakili oleh para ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre, Mead, dan Gordon Allport (tokoh terkenal di bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian) yang konsepsi mereka mengenai sikap lebih kompleks. Menurut kelompok pemikiran ini, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons.

LaPierre, mendefinisikan sikap sebagai ‘suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan’.

Kelompok pemikiran yang ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema triadic (triadic scheme) . Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Secord & Backman, misalnya, mendefinisikan sikap sebagai ‘keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya’.

Rokeach dalam Firmanto mendefinisikan sikap sebagai, “tata kepercayaan yang secara relatif berlangsung lama mengenai suatu objek atau situasi yang mendorong seseorang untuk merespons dengan cara-cara tertentu”.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa sikap adalah tatanan beberapa kepercayaan terhadap suatu objek yang saling berhubungan satu sama lain. Tata kepercayaan ini bertahan dalam benak manusia dalam waktu yang lama dan mempengaruhi cara-cara bertindak atau merespons. Jika tata kepercayaan tersebut tidak bertahan lama, maka tidak dapat disebut sikap.

Batas waktu “bertahan lama” dan “tidak bertahan lama” sebenarnya mustahil untuk dijelaskan lebih rinci, tetapi dapat diukur dengan melihat konsistensi kecenderungannya melalui pengujian yang berulang-ulang. Adapun kata objek pada definisi sikap di atas mengacu pada hal apapun, termasuk bahasa. Dengan demikian, teori ini juga dapat digunakan untuk meneliti sikap terhadap bahasa dalam konteks sosiolinguistik.

Dalam Firmanto, Rokech kemudian menjelaskan yang dimaksud kepercayaan (belief) adalah, “Proposisi sederhana apa saja, baik yang disadari atau tidak, yang disimpulkan dari perkataan atau perbuatan seseorang, yang dapat didahului oleh frase ‘Saya percaya bahwa ….’.” juga membagi kepercayaan menjadi tiga jenis, yaitu kepercayan deskriptif atau eksistensial, kepercayaan evaluatif, dan kepercayaan perskriptif. Kepercayaan deskriptif memberikan penilaian suatu objek sebagai benar atau salah dalam kenyataannya. Kepercayaan evaluatif memberikan penilaian dengan ukuran baik atau buruk. Adapun kepercayaan preskriptif memberikan penilaian suatu objek dengan ukuran apakah suatu tindakan sebaiknya dilakukan atau tidak.

Dalam Firmanto. Rokech juga membagi setiap kepercayaan dalam sebuah tata sikap menjadi tiga komponen penyusun, yakni komponen kognitif karena mencerminkan pengetahuan seseorang, komponen afektif karena dapat memberikan respons positif atau negatif terhadap suatu objek berdasarkan afeksi atau perasaan, dan komponen perilaku karena dapat menjadi potensi kecenderungan bertindak. Setiap komponen tersebut, dalam sebuah kepercayaan, memiliki intensitas yang berbeda-beda, tidak setiap saat semua komponen aktif. Komponen-komponen tersebut baru akan aktif jika dihadapkan pada keadaan tertentu.

Menurut Anderson dalam Chaer, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Pada intinya sikap bahasa termasuk sikap bahasa bisa positif (kalau dinilai baik atau disukai) dan bisa negatif (kalau dinilai tidak baik atau tidak disukai).

Pap dalam Suhardi, beranggapan bahwa di dalam arti sempit sikap bahasa mengacu kepada:

  • penilaian orang terhadap suatu bahasa (indah atau tidak; kaya atau miskin; efisien atau tidak)

  • penilaian penutur suatu bahasa tertentu sebagai suatu kelompok etnis dengan watak kepribadian khusus, dsb.

Di dalam arti luas, sikap bahasa meliputi pemilihan yang sebenarnya atas suatu bahasa dan pembelajaran atau perencanaan bahasa yang sebenarnya.

Dalam Suhardi, Knops mendefinisikan sikap bahasa sebagai “… een attitude waarvan het object fevormd wordt door taal” (suatu sikap yang objeknya dibentuk oleh bahasa). Meskipun Knops memberikan definisi yang berbeda, dia sependapat dengan Cooper dan Fishman bahwa pengertian sikap bahasa haruslah dianggap luas sekali. Pengertian itu selanjutnya meliputi juga sikap penutur bahasa terhadap pemakaian bahasa atau terhadap bahasa sebagai lambang kelompok.

Berbeda Pap sebuah pandangan tentang sikap bahasa dikemukakan oleh Holmes. Dalam Rokhman, pandangan Holmes sikap bahasa berarti sikap yang merefleksikan penilaian terhadap bahasa, penutur bahasa, dan penggunaan bahasa.

Sikap bahasa seperti halnya dengan sikap pada umumnya, merupakan gejala kejiwaan yang tidak dapat diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur, tetapi tidak setiap perilaku tutur mencerminkan perilaku bahasa.

Tiap orang mempunyai pandangan tentang bahasanya sendiri. Dia menyadari bahwa bahasa merupakan suatu kebutuhan untuknya. Kesadaran ini menimbulkan sikap, bagaimana ia bertingkah laku dalam menggunakan bahasanya. Sikap itu diwarnai pula oleh sikap menghormati, bertanggung jawab, dan ikut memiliki bahasa itu. Sikap bertanggung jawab akan melahirkan kemauan baik secara pribadi maupun kelompok untuk membina dan mengembangkan bahasanya.

Garvin dan Mathiot dalam Chaer mengemukakan sikap positif terhadap bahasa itu ditandai adanya tiga ciri pokok, yakni:

  • Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain;

  • Kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; kesadaran adanya

  • Norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use) .

Ketiga ciri sikap yang dikemukakan Garvin dan Mathiot merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya, kalau ketiga ciri sikap bahasa itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa sedang melanda diri orang atau kelompok orang itu.

Tiadanya gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap suatu bahasa bisa terjadi juga bila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang bukan miliknya.

Banyak faktor yang bisa menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri, di antaranya, faktor politik, ekonomi, ras, etnis, gengsi, dan sebagainya. Sikap negatif terhadap bahasa akan lebih terasa lagi apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap ini akan tampak dalam keseluruhan tindak tuturnya. Mereka merasa tidak perlu untuk meggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti kaidah yang berlaku. Tidak adanya kesadaran akan adanya norma bahasa membuat orang- orang seperti itu tidak merasa kecewa dan malu kalau bahasa yang digunakan kacau balau.

Berkenaan dengan sikap bahasa negatif terhadap bahasa Indonesia, Halim dalam Chaer, berpendapat bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah sikap negatif itu menjadi sikap bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, di samping norma-norma sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan.2

Sikap bahasa meliputi pemakaian bahasa, kecenderungan dalam memakai bahasa, dan pemilihan bahasa. Tiap orang harus disadarkan untuk bertanggung jawab terhadap bahasa ibunya dan bahasa nasionalnya. Ciri orang yang bertanggung jawab terhadap suatu bahasa dan pemakaian bahasa adalah:

  • Selalu berhati-hati menggunakan bahasa;

  • Tidak merasa senang melihat orang yang mempergunakan bahasa secara sembarangan;

  • Memperingatkan pemakai bahasa kalau ternyata ia membuat kekeliruan;

  • Tertarik perhatiannya kalau orang menjelaskan hal yang berhubungan dengan bahasa;

  • Dapat mengoreksi pemakaian bahasa orang lain;

  • Berusaha menambah pengetahuan tentang bahasa tersebut;

  • Bertanya kepada ahlinya kalau menghadapi persoalan bahasa.

Jelas disini bahwa tiap orang diusahakan bukan saja harus mencintai bahasanya, melainkan juga menggunakan bahasa secara tertib. Mereka harus sadar bahwa bahasa itu akan diwariskan lagi kepada generasi sesudah dia.

Berdasarkan uraian teori dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Sikap adalah suatu perasaan yang ada pada diri seseorang terhadap suatu objek, serta kesiapan atau kesiagaan seseorang untuk bertindak atau bereaksi bila sesuatu terhadi pada objek tersebut. Objek dalam suatu sikap bisa meliputi apa saja, termasuk bahasa. Dalam sebuah sikap memiliki tiga komponen penyusun, yaitu: komponen kognitif (pengetahuan atau pemikiran terhadap objek), komponen afektif (perasaan terhadap objek), dan komponen konatif (kecenderungan bertindak atau bereaksi terhadap objek).

Sikap berbahasa adalah suatu rasa, sifat, atau pendapat yang menentukan bagaimana seseorang memperlakukan suatu bahasa. Sikap seseorang terhadap suatu bahasa bisa berupa sikap positif ataupun sikap negatif. Sikap positif terhadap bahasa itu ditandai dengan tiga ciri pokok, yakni kesetiaan bahasa (language loyalty) ; kebanggaan bahasa (language pride) ; dan kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness of the norm) . Sikap positif atau negatif tergantung kepada pendapat orang tersebut terhadap bahasa. Sikap bahasa bisa mempengaruhi seseorang dalam menggunakan suatu bahasa dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual.