Apa itu penemuan hukum?

pengertian-hukum-perdata
Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum?

1. Pengertian Penemuan Hukum

Dikala terminologi yang digunakan oleh undang-undang tidaklah jelas, atau disaat undang-undang tidaklah mengatur permasalahan yang dihadapi ataupun saat dimana undang-undang yang berlalu merupakan sebuah peraturan yang bertentangan dengan situasi yang dihadapi, maka dalam saat-saat seperti inilah suatu hakim dapat melakukan suatu penemuan hukum ( rechtsvinding )[1]. Penemuan hukum sendiri terdiri dari kegiatan-kegiatan pembentukan hukum ( rechtvorming ), analogi ( rechtsanalogie ), penghalusan hukum ( rechtverfining ) ataupun penafsiran hukum ( interpretative ). Dengan adanya kehadiran penemuan hukum sendiri didalam aliran begriffsjurisprudenz merupakan solusi terhadap aliran legisme yang terlalu tajam didalam penyikapannya pada suatu persoalan hukum yang ada. Aliran begriffsjurisprudenz sendiri, merupakan suatu aliran yang mengajarkan bahwa sekalipun undang-undang atau hukum positif yang ada tidaklah lengkap, undang-undang masihlah bisa menutupi kekurangan tersebut dikarenakan sifatnya yang meluas. Jadi aliran ini merupakan sebuah aliran yang mengawali bahwa seorang hakim diperbolehkan untuk melakukan penemuan hukum[2].

Penemuan hukum merupakan sebuah aliran yang berpendaoat bahwa sejatinya hakim tetaplah terikat kepada undang-undang yang ada, akan tetapi tidaklah sama ketatnya dengan ajaran legisme, dikarenakan disini hakim juga memiliki sebuah kebebasan. Akan tetapi kebebasan hakim itu disebut sebagai kebebasan yang terikat, hal ini dikarenakan penemuan hukum haruslah dilaksanakan karena merupakan suatu tuntutan zaman[3]. Dengan demikian, penemuan hukum diartikan sebagai sebuah wadah bagi hakim untuk membuat suatu keputusan yang dinamis dengan cara memadukan aturan yang tertulis dan juga aturan yang tidak tertulis.

Menurut salah satu ahli bernama Paul Scholten, penemuan hukum diartikan sebagai suatu yang lain daripada hanya sebuah penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, dimana terkadang atau sering pula peraturan tersebut harud ditemukan, baik melalui jalan interprestasi maupun analogi ataupun pengkokretan hukum[4]. Sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Paul Scholten, Panggabean berpendapat bahwa sejatinya penemuan hukum merupakan suatu proses konkretisasi terhadap peraturan hukum yang ada, yang perarturan tersebut bersifat umum dengan memperhatikan peristiwa konkret yang terjadi di dalam perkara tersebut[5].

Sedangkan Sudikno Mertokusumo, memaknai penemuan hukum sebagai salah satu pembentukan hukum yang dilakukan oleh seorang hakim ataupun petugas hukum lain yang diberikan tugas untuk menerapkan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Jadi yang terpenting didalam kegiatan penemuan hukum ialah bagaiana mencarikan atau menentukan suatu hukum bagi peristiwa atau kasus yang konkrit[6].

Dari berbagai pengertian yang telah dipaparkan diatas, maka sejatinya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan penemuan hukum sendiri yaitu, merupakan sebuah proses pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim, dimana hakim tersebut tidaklah hanya melihat dari dalam konteks tekstual (undang-undangnya saja), namun hakim juga melihat dari sumber hukum lain yang ada. Pada proses penemuan hukum juga, hakim diharuskan untuk melihat apakah undang-undang atau peraturan tersebut jelas dalam memberikan aturan, atau apakah terhdap kasus tersebut ada pengaturan yang mengaturnya. Jika hal yang seperti demikian terjadi, maka hakim dapat melakukan penemuan hukum, yang ditujukan untuk menciptakan suatu hukum yang konkrit dan sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat.

2. Dasar Hukum Positif dalam Penemuan Hukum

Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada intinya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan suatu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan suatu peradilan untuk menegakkan hukum dan juga keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya suatu negara hukum Republik Indonesia. Maka dari itu apabila pasal tersebut dicermati secara lebih dalam, maka kekuasaan kehakiman sejatinya memiliki kebabasan untuk menyelenggarakan peradilan. Maksudnya ialah, bahwa peradilan atau hakim bebas untuk mengadili dan bebas pula dari campur tangan pihak lain. Kebebasan ini pun juga memberikan kewenangan bagi hakim untuk melakukan sebuah penemuan hukum.

Pasal lain yang juga mengatur mengenai diperbolehkannya penemuan hukum oleh hakim sejatinya termaktub didalam Pasal 10 ayat (1) ) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, didalamnya mengatur bahwa pengadilan dilarang untuk menolak untuk memeriksa, mengadili serta memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan mewajibkan hakim atau pengadulan untuk memeriksa dan mengadili perkara. Dengan ini, berdasarkan pasal tersebut hakim tidaklah dapat menolak suatu perkara dikarenakan tidak ada hukumnya atau dikarenakan hukumnya tidaklah jelas. Hakim diwajibkan untuk tetap mengadili perkara, dan apabila memang benar hukumnya tidaklah ada atau hukumnya tidaklah jelas, maka ia harus melakukan penemuan hukum disaat proses persidangan berlangsung.

Pasal lain yang juga mencerminkan bahwa penemuan hukum haruslah dilakukan apabila memang diperlukan oleh hakim, sejatinya terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di atur didalamnya bahwa hakim dan juga hakim konstitusi diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan juga memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat. Maksud yang terkandung dari pasal itu sendiri, ialah agar putusan dari hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat, yang ketentuan mengenai hal ini berkaitan dengan asas iura curia novit . Dengan demikian, pasal ini juga mengatakan bahwa sebenarnya seorang hakim tetaplah memiliki kewajiban untuk menggali suatu hukum yang ada dan nantinya melakukan penemuan hukum apabila terdapat suatu kasus konkrit yang tidak ada landasan hukumnya.

3. Metode Penemuan Hukum

Di dalam kegiatan penemuan hukum, hakim tentunya berusaha untuk menemukan hukum tesebut dalam sumber-sumber penemuan hukum. Yang sumber-sumber tersebut meliputi peraturan perundang-undangan (sebagai hukum tertulis), hukum kebiasaan (sebagai hukum tidak tertulis), yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin. Metode penemuan hukum sendiri terdiri dari dua model, yaitu metode interoretasi dan juga konstruksi hukum. Terdapat beberapa pandangan mengenai kedua model tersebut, yaitu beberapa ahli menyatakan bahwa kedua metode tersebut tidaklah secara tegas dapat dipisahkan. Ahli yang memiliki pandangan demikian ialah Paul Scholten, Pitlo dan juga Sudikno Mertokusumo. Sedangkan beberapa ahli lain seperti L.B Curzon, Ahmad Ali, Arif Sidharta dan Harifin A. Tumpa justru berpendapat bahwa keduanya dapat dipisahkan secara tegas[7].

Interpretasi hukum atau penafsiran hukum, merupakan sebuah metode yang bertujuan untuk mencari dan juga menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum didalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki dan yang dimaksud oleh pembuat undang-undang[8]. Jadi penafsiran merupakan salah satu metode yang ada guna mencapai suatu penemuan hukum yang diperlukan untuk menegakkan keadilan[9]. Untuk metode kontruksi hukum sendiri, merupakan sebuah metode dimana hakim membuat suatu pengertian hukum yang mengandung persamaan ketika tidak dijumpai ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan meskipun telah dilakukan suatu penafsiran[10]. Menurut Ahmad ali perbedaan antara keduanya dapat dilihat sebagai berikut[11]:

  • Pada metode interpretasi, penafsiran yang dilakukan terhadap teks undang-undang masihlah tetap berpegang teguh kepada buny teks tersebut.
  • Pada metode kontruksi, hakim lebih menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, disini hakim tidaklah lagi berpegang kepada bunyi teks, akan tetapi dengan syarat bahwa hakim tidaklah mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.
Referensi

[1] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008, hlm 282.

[2] J.A. Pontier diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Penemuan Hukum , Bandung, Jendela Mas Pustaka, 2008, hlm 73-74.

[3] Zainuddin Ali, Metode Penemuan Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hlm 146.

[4] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta, Kencana, 2015, hlm 154.

[5] H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia, Bandung, PT. Alumni, 2014, hlm 217.

[6] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2014, hlm 49.

[7] Achmad Ali, Op.cit, hlm 131-132.

[8] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm 97.

[9] Muhammad Shiddiq Armia, Perkembangan Pemikiran Ilmu Hukum, Jakarta, Pradyna Paramita, 2003, hlm 90.

[10] Achmad Ali, Op. cit, hlm 201.

[11] Ibid, hlm 176.