Apa yang dimaksud dengan populisme?

Akhir-akhir ini sering sekali muncul istilah populis, Lalu apakah yang dimaksud dengan paham populis ? Dan bahayakah paham tersebut ?

Populisme sangat terkait dengan gaya kepemimpinan. Secara konseptual populisme miliki banyak makna. Secara sederhana populisme dimaknai sebagai suara retorika politik, yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terletak pada rakyat. populisme meletakkan rakyat di atas segalanya. Pemahaman ini dilatari gagasan yang mengutamakan kepentingan rakyat. Karena itu, populisme mendapat simpatik dari masyarakat. Dalam bahasa Richard Hofstadter, karena populisme membangun program-program yang membangun masyarakat.

populisme adalah sebuah ideologi yang ‘tipis’ dalam melihat masyarakat terbagi menjadi dua polarisasi homogen dan antagonistik, yakni orangorang baik yang berhadapan dengan elit korup. Populisme telah membagi antara orang baik dan orang jahat (elit korup). Orang baik dipersepsikan bisa membantu, menolong, dan menggunakan jabatannya untuk masyarakat. Sebaliknya orang jahat tidak berpihak pada rakyat dan menggunakan jabatannya untuk diri dan keluarganya. populisme biasanya dipimpin oleh sosok karismatik yang menggunakan karisma mereka untuk menarik perhatian publik. Mereka kemudian membangun isu pentingnya mempertahankan hak rakyat kecil yang menyengsarakan rakyat.5 Memperjuangkan hak rakyat kecil dan keinginan untuk mengangkat derajat manusia menjadikan politik populisme mendapatkan tempat di hati masyarakat. Karena itu, populisme diyakini sebagai gaya politik yang mencakup beragam fenomena yang bisa diungkap. Setidaknya ada empat gaya populisme :

  1. kediktatoran populis meliputi kasus-kasus dimana tokoh kharismatik punya daya tarik melebihi politisi konvensional, dan mendapat kekuasaan inkonstitusional dengan memberi masyarakat ‘makan dan hiburan’. Juan Peron melalui bantuan istinya, Eva mampu membangun pengikut loyal di Argentina pada tahun 1940-an, adalah contoh yang jelas dari praktik kediktatoran populis.

  2. demokrasi populis adalah musuh politik representasi dan selalu berusaha mempertahankan sebanyak mungkin kekuasaan di tangan rakyat. Ciri institusionalnya yang khas adalah referendum untuk legislasi yang dihasilkan oleh dewan perwakilan; inisiatif umum, dimana pemberi suara bisa melangkahi majelis dan mengajukan undang-undang untuk ditentukan melalui pemungutan suara dalam referendum dan lembaga recall, yakni wakil rakyat bisa dipaksa oleh konstituen mereka yang tidak puas untuk melaksanakan pemilihan ekstra sebelum akhir masa tugas mereka.

  3. populisme reaksioner yang menggambarkan para politisi yang bermainmain dengan prasangka massa dalam negara-negara demokrasi untuk melawan pandanganpandangan yang telah dianggap lebih cemerlang dari elit politik. Para politisi yang mendapat popularitas dengan mempermainkan permusuhan etnis atau pandangan sayap kanan mengenai ketertiban umum paling mudah dituding sebagai populisme dalam pengertian ini.

  4. populisme kaum politisi adalah politisi yang menghindari komitmen ideologis dan mengklaim berbicara atas nama rakyat secara keseluruhan, bukan untuk faksi tertentu, serta gaya partai ‘untuk semua orang’ yang prinsipnya tidak banyak, kebijakannya luwes dan siap menerima semua pendatang. Karena itu, populisme merupakan ekspresi dari kehendak umum.

KEBIJAKAN POPULISME

Kebijakan populis sangat terkait dengan politik pertahanan kepala daerah. Politik pertahanan yang dimaksud adalah upaya kepala daerah menggunakan kuasanya dalam rangka mendapatkan dukungan politik agar tetap berkuasa. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengerahkan sumberdaya guna mencapai tujuan pemimpin8. Salah satu tujuan pemimpin adalah mempertahankan kekuasaannya. Dalam usaha mempertahankan kekuasaannya, maka program-program populis yang bersentuhan dengan masyarakat secara umum perlu disebarkan dan dibagi-bagi.

POPULISME: BELAJAR DARI DAERAH

Populisme tumbuh dan berkembang di daerah dalam beberapa tahun terakhir. Catatan sejumlah pengamat menyebutkan bahwa Jokowi di Solo dan I Gede Winasa di Jembrana adalah pemimpin pionir yang mengusung kebijakan populis. Jembrana yang miskin mampu disulap menjadi daerah sejahtera. Pendidikan gartis dan kesehatan gratis dinikmati masyarakat secara luas dan merata. Tidak hanya itu, jembrana juga dikenal pemimpinnya yang berpihak kepada kepentingan masyarakat miskin. Citra pemimpin populis terus bermuncul di daerah. Menariknya adalah mereka menjadi kepala daerah tanpa ada hubungannya dengan Orde Baru. Namun demikian, mereka memiliki karakteristik yang sama.

Istilah populisme bukan hal yang baru dalam konteks politik di Indonesia, baik dalam segi teori maupun implementasinya. Populisme merupakan sebuah istilah yang masih diperdebatkan oleh para sarjana. Berdasarkan pengalaman yang terjadi di benua Amerika Latin pada 1940-1960an, populisme diidentikkan dengan rezim personalistik yang berkembang pesat ditengah-tengah masyarakat dimana perkembangan organisasi dan institusi telah dilumpuhkan. Banyak sarjana dan analis beranggapan bahwa istilah populisme merujuk pada gaya rejim dimana pemimpin politiknya menggunakan gaya personalistic. Pendapat Allan Knight menjelaskan bahwa populisme merupakan sebuah gaya politik khusus yang memperlihatkan adanya kedekatan hubungan dengan rakyat (Knight, 1998: 17-32). Selain itu, Kenneth M. Roberts juga menyatakan bahwa populisme merupakan mobilisasi politik massa dari atas ke bawah yang dilakukan oleh pemimpin personalistik untuk menentang sekelompok elit dengan mengatasnamakan penderitaan rakyat (the top-down political mobilization of mass constituencies by personalistic leaders who challenge elite groups on behalf of an illdefined pueblo, or “the people”) (Roberts, 2011). Berdasarkan definisi Knight, dan Roberts tersebut nampak jelas bahwa populisme merupakan strategi yang digunakan oleh pemimpin untuk mencapai kekuasaan baik itu sebagai gaya politik maupun sebagai model penggerakan (mobilisasi) massa.

Laclau juga menyimpulkan populisme dari hasil analisisnya yakni sebagai sebuah political logic yakni sebuah konsekuensi dari kondisi politik yang terjadi pada masyarakat; naming and effect yakni pendefinisan kata populisme ataupun populis akan memberikan konsekuensi khusus untuk menentukan kategori tujuan yakni utamanya berorientasi pada rakyat atau „the people‟, dan particular demand yakni sebagai sebuah permintaan sosial (demand, request) dari ketidakpuasan masyarakat dengan kondisinya sosial ekonominya (Laclau, 2005). Dari analysis definisi yang ditawarkan oleh Laclau sebenarnya ia sekaligus menyebutkan indikator faktor berkembangnya populisme. Populisme akan kemungkinan besar berkembang dalam kondisi tatanan sosial yang sudah rusak dimana publik kehilangan kepercayaannya terhadap sistem politik karena kegagalan partai politik menjadi saluran representasi yang efektif sehingga memunculkan apatisme politik masyarakat. Selain itu adanya pengaruh dari perubahan kondisi ekonomi, sosial, dan politik baik di dalam maupun di luar negeri yang akan mempengaruhi gejolak masyarakat untuk menuntut perubahan. Sementara dalam riset PWD, populisme dipahami sebagai gaya politik Manichean yang mencakup tiga dimensi pokok yakni; Pertama, populisme mengacu pada “rakyat”.

Para pemimpin populis umumnya mengaku mewakili dan bertindak atas nama “rakyat” dalam pengertian orang kebanyakan. Kedua, populisme juga berkaitan dengan gagasan menciptakan dan memperkuat hubungan antara para pemimpin populis dan rakyat yang bersifat langsung. Ketiga, gaya politik ini secara pekat mengandung sentimentsentimen anti kemapanan dan anti elit (Savirani, Tornquist, & Stoke, 2014). Pemahaman populisme seperti ini mengandung dua implikasi yang saling berhimpit, antara sebuah gerakan melawan dominasi oligarkis dengan mobilisasi massa dan kelompok terpinggirkan atau gagasan politik tentang cara pandang pembangunan yang berorientasi pada rakyat. Perbedaan ini sangat tipis dan perlu melihat kajian populisme secara induktif agar populisme tidak dibaca secara sinis, hanya dilihat tentang kepemimpinan dan pemimpin namun juga harus dilihat dari posisi dan sudut pandang masyarakatnya

Dalam sejarah Indonesia mempunyai karakter yang berbeda di setiap era. Misalnya pada era Soekarno populisme justru bergerak ke arah progresif, menjadi alat konsolidasi populer menentang neokolonialisme dalam rangka mewujudkan neokolonialisme dalam rangka mewujudkan mimpi Soekarno untuk menciptakan “Sosialisme ala Indonesia”. Dalam hal ini, Soekarno dikategorikan sebagai pemimpin populis karena memiliki gaya kepemimpinan yang kharismatik dan dekat dengan rakyat. Jatuhnya Soekarno menandai periode panjang pembekuan populisme. Rezim orde baru Soeharto secara sistematik telah memberangus demokrasi dan ekspresi-ekspresi populisme melalui depolitisasi dan de-Sukarnoisasi. Namun proses tersebut tetap gagal. Meski beku, populisme tetap berada di benak rakyat, membentuk alam pikiran politik yang menuntun sejumlah aktor politik menyeru dan memobilisasi rakyat. Letupan-letupan gerakan populis tetap muncul seperti dalam protes SDSB (1991), penolakan pemilu 1997, dan perjalanan panjang gerakan mahasiswa 1998-1999.

Pasca Orde Baru, yang penulis soroti adalah pada era Jokowi. Mengapa bukan Susilo Bambang Yudhoyono? Penulis melihat bahwa pada era Jokowilah rakyat begitu antusias dan begitu mengelu-elukan sosok Jokowi yang dianggapnya dekat dengan rakyat. Kepopuleran seorang Jokowi akhirnya tidak hanya pada lingkup wilayah Solo saja namun kemudian meluas hingga ke pelosok nusantara. Pada pemilihan umum Presiden dan Calon Presiden Republik Indonesia yang diadakan pada bulan Juli 2014 lalu, Joko Widodo dan Jusuf Kala terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019. Joko Widodo - Jusuf Kala memperoleh suara sebesar 53,5 per sen, sementara pesaingnya Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendapat suara sebesar 46,85 per sen. Mayoritas rakyat Indonesia memilih Jokowi karena Jokowi diyakini merupakan pemimpin populis yaitu pemimpin yang peduli pada rakyat kecil.

Jokowi hadir benar-benar mencerminkan tokoh populis dengan kebijakankebijakan populisnya. Pada era Jokowi, populisme lebih bersandar pada figure Jokowi itu sendiri. Populisme politik pada era Jokowi lebih didasarkan padakekecewaan rakyat terhadap negara dan partai politik yang dianggap korup dan oligarkhi. Kekecewaan terhadap negara dan partai politik tersebut pada akhirnya ditunjukkan dengan partisipasi elektoral mendukung Jokowi pada Pilpres 2014 lalu. Rakyat memilih Jokowi karena Jokowi dianggap jujur, dan sederhana. Jokowi dianggap sebagai representasi masyarakat, seperti dalam slogan kampanye “Jokowi adalah kita”. Kemunculan sosok Jokowi dalam membangun relasi dukungan personal oleh gerakan relawan yang tidak diikat dalam sebuah organisasi partai politik merupakan ciri dari sebuah gerakan populisme. Populisme Jokowi mulai dibangun saat menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta melalui program populis di bidang kesehatan dan pendidikan untuk rakyat miskin. Populisme Jokowi ini makin kuat dengan pendekatan “blusukan” untuk mengetahui problem langsung masyarakat dan mendiskusikan solusinya dengan mereka. Kesan pejabat negara yang angkuh, birokratis, korup dan formal serta berjarak, ia runtuhkan dengan dialog dan informalitas. Dan pendekatan ini masih ia lakukan sampai hari ini sebagai “JokoWay” dalam menjalankan program Nawacita.

Kajian populisme dalam konteks ke-Indonesia-an sendiri tidak bisa dilepas begitu saja dari perjalanan sejarah transisi menuju demokrasi yang mana sepanjang perjalanannya menemui beragam hambatan dan tantangan dalam mendemokrasikan Indonesia. Beragam kondisi sosial ekonomi mewarnai kehidupan masyarakat namun dalam kecenderungan ketidakpuasan dimana korupsi merajalela dan penegakkan hukum yang tidak adil, selain itu masyarakat tidak merasakan kehadiran pemerintahan yang berfungsi dengan baik untuk menyelesaikan semua persoalan yang akhirnya hanya menyisakan ketegangan politik yang dari waktu ke waktu terus berdinamisasi sementara isuisu publik tidak terurus (Savirani, Tornquist, & Stoke, 2014). Dari perjalanan sejarah ini, populisme di Indonesia merujuk pada analisis Laclau sebagai political logic dan particular demand, sebagai antithesis dari keadaan masyarakat saat ini, dengan gaya kepemimpinan dan cara bertindak „atas nama rakyat‟ dan „anti kemapanan‟ Populis sebagai subjek politik dengan gagasan populisme memiliki identitas yang membedakan dirinya dengan aktor politik lainnya. Hubungan subjek politik dengan struktur kekuasaan dalam menjadi penting untuk dielaborasi. Pembentukan agensi-agensi politik sebagai subjek kekuasaan pada dasarnya merupakan bagian penting dari persoalaan pembentukan identitas politik, khususnya dalam pembentukan atau konstruksi politik tentang „saya I‟ dan „orang lain the other‟ sebagai subjek politik, atau konstruksi tentang „saya I‟ mewakili „kita We‟ dihadapan „mereka they‟. Konstruksi tentang „I – O‟ atau „I = We – They‟, ini saling mendeterminasi dan secara konstitutif membentuk identitas politik sebagai subjek kekuasaan atau agensi politik (Trijono, 2011).

Referensi:

Mustabsyirotul Ummah M. 2019. Tinjauan Kritis Populisme Di Indonesia Antara Gagasan Atau Cara Baru Sirkulasi Elit?. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik . Vol 3, (1)

Garadian, E. A. “ Membaca Populisme Islam Model Baru”. Studia Islamika: 24 nomor 2. (2017):45

Knight, Alan. “Populism and Neopopulism in Latin America, Especially Mexico”, Journal of Latin American Studies: 30, Nomor 2. (1998) : 76

Restu Rahmawati. Populisme Di Aras Demokrasi Indonesia. Artikel. Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta