Apa Itu Inklusif Sastra?


Karya sastra sering dimaknai secara eksklusif. Namun, ada juga istilah inklusif sastra.

Apa yang dimakud dengan inklusif sastra?

Pembahasan tentang definisi karya sastra sering terpaku pada teks yang dihasilkan oleh pengarang besar atau ternama seperti Chairil Anwar atau Ahdiat K. Mihardja. Lebih spesifik lagi, karya yang dijagokan ini pun terkadang hanya terbatas pada hasil karya pengarang Barat seperti Shakespeare dan Homer. Kenyataan ini sepertinya tidak terlalu berlebihan. Bukankah salah satu dari definisi karya sastra adalah adanya pengakuan masyarakat atau khalayak ramai tentang karya sastra tersebut. Bukankah para pengarang ternama juga telah melewati rentetan “ujian” bersama berjalannya waktu yang relatif panjang atau bila tak panjang, mungkin telah menunjukkan pemikiran intens yang melahirkan inovasi dalam anasir penting bidang ini sehingga mereka mendapat pengakuan seperti itu dari masyarakat? Oleh karena itu, terasa wajar jika karya mereka mendapat penghargaan yang layak di mata halayak ramai.

Dalam tataran yang lebih luas, pengakuan masyarakat terhadap sebuah karya sastra atau teks tidak otomatis menjadikan karya tersebut sebagai karya yang secara resmi dijagokan (kanon). Perhatikan contoh kecil ini: hampir semua remaja atau pelajar SMA di Indonesia mengenal dan kemungkinan sudah membaca novel Lupus karya Hilman, namun novel tersebut sampai saat ini belum dianggap sebagai kanon, karena berbagai alasan yang tak diketahui banyak orang. Sebaliknya, karya yang dianggap kanon dan oleh karena itu masuk dalam daftar karya di antara kandungan kurikulum sekolah tak jarang kurang diminati, terutama oleh generasi muda dengan berbagai alasannya pula.

Penentuan sebuah karya sastra sebagai kanon sering bermuatan politis. Berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa, pada awal mulanya, penamaan sastra dunia sangat eurocentris berpusat dan menggunakan kriteria kebenaran tunggal ala eropa. Laura Bohannan, seorang antropolog berkebangsaan Amerika bahkan meyakini bahwa karya-karya Shakespeare memiliki kekuatan magis yang bisa diterima oleh masyarakat di seluruh dunia, dengan tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang budaya pembaca. Ide seperti ini tentu saja perlu dipertanyakan keabsahannya. Untungnya, pemikiran seperti ini lambat-laun berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sekarang, istilah world literature ( atau sastra dunia) semakin banyak dikenal oleh masyarakat dan memperkenalkan karya sastra dari belahan dunia lain di luar wilayah eropa.

Dewasa ini, sejalan dengan perkembangan teori poskolonial, istilah multicultural literature semakin mendapat tempat di publik Eropa dan Amerika Utara (Scott, 2002). Jika kita perhatikan daftar nama-nama pemenang hadiah Nobel kesastraan (salah satu hadiah sastra dunia yang bergengsi) selama enam dekade pertama didominasi oleh orang Eropa dan Amerika Serikat. Di tahun 1920-an, misalnya, hampir semua pemenang hadiah ini berasal dari Eropa dan Amerika Serikat. Hanya dua orang yang berasal dari wilayah di luar itu, yakni Rabindranath Tagore dari India (1913) dan Gabriela Mistral dari Cili (1945). Tren ini mulai bergeser tahun 1960an. Dari tahun 1965-1995, sebelas pemenang hadian Nobel kesastraan berasal dari luar dua wilayah tersebut. Di antara nama-nama pemenang hadiah Nobel tersebut adalah Pablo Neruda dari Cili (1971), Gabriela Garcia Marquez dari Kolumbia (1982), Wole Soyinka dari Nigeria (1986), Naguib Mahfouz dari Mesir (1988), Octavia Paz dari Mexico (1990), dan Derek Walcott dari Trinidad (1992).

Muatan politis ekslusivisme karya sastra juga tampak dalam konteks Indonesia. Sebuah karya sastra terkadang dianggap kanon sehingga dijadikan bacaan wajib di sekolah karena isi atau pesan dalam karya tersebut dianggap bisa membangkitkan nasionalisme dan sejalan dengan paham ideologi-politik atau bahkan mendukung kelanggengan sebuah rezim tertentu. Sebaliknya, sebuah karya sering dilarang peredarannya, bahkan pengarangnya pun dipenjarakan, karena dianggap membawa aspirasi yang berlawanan dengan keinginan penguasa. Buku-buku almarhum Pramoedya Ananta Toer, misalnya, merupakan karya terlarang yang termasuk dalam black list selama rezim Soeharto berkuasa. Penulisnya pun dijebloskan ke balik jeruji besi selama bertahun-tahun. Meskipun demikian, tulisan Pramoedya selalu mencuri perhatian dan dicari banyak orang, terutama para kawula muda dan aktivis organisasi pergerakan.

Beberapa tahun belakangan ini, sejalan dengan semakin menggeliatnya semangat keagamaan para kawula muda, terutama para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, sekelompok mahasiswa berinisiatif untuk melakukan dakwah keagamaan lewat tulisan. Mereka memasukkan nilai ajaran agama lewat karya sastra seperti cerpen dan novel. Untuk sastra Islam, dimotori antara lain oleh Helvy Tiana Rosa, muncullah organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena yang memiliki cabang di seluruh nusantara bahkan luar negeri. Di awal kemunculannya, banyak para kritikus sastra yang menganggap karya sastra kelompok ini sangat pekat diwarnai muatan dakwah sehingga terkesan sangat menggurui. Sejalan dengan kematangan kompetensi sastra para penulis kelompok ini, karya tulis mereka semakin matang dan menunjukkan kualitas kesastraannya sehingga semakin mendapat tempat di masyarakat pembaca dan menyemarakkan khazanah kesastraan nasional Indonesia. Semangat menyebarkan misi agama juga terdapat dalam karya-karya sastra Kristen, Hindu, Budha dan agama lainnya. Hal ini sejalan dengan asal muasal kritik sastra yang digunakan untuk menjelaskan teks-teks kitab suci.

Selain sastra keagamaan, sastra daerah dan kesukuan seperti Sunda, Jawa, Bali, dan Cina semakin mendapat perhatian para pegiat dan pecinta sastra. Di Jawa Barat, mulai tahun 1990, setahun setelah didirikan, Yayasan Rancage yang bergerak dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Sunda dan dimotori oleh Ajip Rosidi secara rutin setiap tahun memberikan hadiah sastra Rancage bagi para pengarang daerah Sunda, Jawa, dan Bali. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong kreativitas dan memajukan sastra daerah sehingga akan semakin banyak karya sastra, nasional atau daerah dan kanon atau nonkanon, yang bisa dinikmati oleh masyarakat.

Inklusivitas karya sastra juga berkenaan dengan tingkatan usia pembaca. Selama ini, pembahasan tentang dunia dan karya sastra sering terpaku pada karya sastra untuk orang dewasa. Novel, naskah drama, puisi, atau cerpen yang ramai dibicarakan biasanya untuk konsumsi orang dewasa. Hanya sedikit yang secara khusus diperuntukan bagi remaja atau anak-anak. Hal ini terkait dengan banyak hal, diantaranya tingkat literasi masyarakat yang masih rendah. Sebagian besar masyarakat kita masih merasa asing dengan budaya membaca dan menulis. Oleh karena itu, mereka tidak terlalu mempedulikan ketersediaan bahan bacaan untuk orang dewasa, apalagi yang khusus diperuntukkan bagi kaum remaja dan anak-anak. Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah juga mempengaruhi perlakuan masyarakat terhadap anak. Kebanyakan masyarakat mungkin masih berkeyakinan bahwa remaja dan anak-anak adalah miniatur manusia dewasa. Oleh karena itu, mereka tidak perlu membedakan perlakuan antara orang dewasa dan anak-anak, termasuk dalam bahan bacaan. Bagi mereka, bacaan untuk orang dewasa juga bisa digunakan oleh anak-anak.

Selanjutnya, saat kita mendefinisikan karya sastra, apa yang terbetik dalam benak kita sering terpaku pada karya tertulis atau teks. Padahal jika kita telusuri lebih lanjut, banyak sekali karya sastra lisan yang tidak tertulis. Bentuk karya sastra lisan bahkan lebih beragam, terutama di masyarakat yang baru mengenal dunia literasi atau baca-tulis. Oleh karena itu, jika didefinisikan secara inklusif, sastra memiliki cakupan yang sangat luas. Meskipun demikian, seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, teks merupakan rujukan utama karya sastra.