Apa yang dimaksud dengan Ijtihad?

ijtihad

Kata ijtihad berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang berarti mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum.

Orang yang melakukan ijtihād dinamakan mujtahid.

Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?

1 Like

Secara etimologi kata ijtihad berasal dari kata al-jahd, al-juhd, dan ath-thaqat, yang artinya kesulitan, kesusahan, dan juga berupa suatu kesanggupan atau kemampuan ( almasyaqat). Kata Al-Juhd menunjukkan

…(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya , maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. QS At-Taubah : 79.

Sementara Ahmad Fayyumi dalam kamusnya membedakan antara al-Jahdu dan al-Juhdu. Ia menyebutkan bahwa “Al-Juhd adalah kata yang dipakai oleh orang- orang Hijaz sementara kata al-Jahd dipakai oleh selain Arab Hijaz. Al-Jahd memiliki arti mengerahkan segenap kemampuan. Sementara kata al-Juhd mengandung makna kesulitan.” Berkaitan dengan kata ijtihad,

Rasulullah bersabda dalam sebuah haditsnya:

Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sunguhlah dalam berdo’a.

Dalam Bab ‘Kaifa As Sholah ‘Alan Nabiyi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam’ An- Nasa’i meriwayatkan bahwa Zaid bin Kharijah berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda :
…pada waktu sujud bersungguh- sungguhlah dalam berdoa”

Dalam riwayat yang lainnya dari Aisyah ra istri Nabi sempat mengomentari perilaku Rasulullah ketika memasuki bulan Ramadhan. Ibnu Majah menukilkan dari Aisyah ra:

Rasulullah ‘alaihi shallallaahu wasallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir (pada bulan Ramadlan) yang tidak beliau lakukan di saat-saat lain.” HR. Muslim.

Bila kita perhatikan maka tidak ada perbedaan mendasar antara kata al-Jahdu dan ijtihad, hal ini karena dua kata ini memiliki satu sumber yang sama. Kata al-Jahdu yang berarti mengerahkan segenap kemampuan tidak akan pernah dilakukan oleh seseorang bila tidak menemui sebuah kesulitan, artinya kedua kata ini saling melengkapi.

Raghib Al-Isfahani dengan indah mengartikan kata ijtihad dengan menggabungkan dua unsur tersebut. Beliau menyebutkan bahwa Ijtihad adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan segala kemampuan yang dimiliki dan menanggung semua kesulitan yang ada.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata ijtihad secara bahasa memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan istilah syara’ yaitu :

Mengerahkan kesungguhan untuk memperoleh suatu perkara yang berat .

Sedangkan ijtihad secara istilah adalah “Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari (jawaban) hukum yang bersifat dzanni, hingga merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.”

Menurut Ibrahim Husain “Ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam , baik melalui suatu nash maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syari’ah yang disebut maslahat. Sementara itu Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa Ijtihad adalah penggunaan akal fikiran semaksimal mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum syara. Adapula Al-Amidi mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:

Mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.

Sementara itu Al-Ghazali merumuskan ijtihad sebagai berikut :

Pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar’i.

Para sahabat Nabi memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "Penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash - yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan "mashlahat."

Kata ijtihad bila dilihat lebih luas lagi memiliki makna khusus dan makna umum. Dalam makna yang khusus ijtihad dipahami memiliki makna yang sinonim dengan qiyas. Hal ini sebagaimana diebutkan oleh Muhammad bin Idris as-Syafi’i ra dalam ar-Risalahnya ada bab yang judulnya Qiyas, Ijtihad, Istihsan dan Ikhtilaf. Pada bab Qiyas ditanyakan: “Apa itu qiyas, apakah Qiyas sama dengan ijtihad ataukah keduanya adalah kata yang memiliki arti berbeda?” Aku (Syafi’i) menjawab: “Kedua adalah dua kata untuk satu makna”. Dalam hal ini Imam Syafi’i menyebutkan bahwa antara qiyas dan ijtihad adalah semakna. Sebenarnya penyamaan ini bisa kita lihat dari sisi bahwa dalam prosess ijtihad, qiyas menjadi salah satu metode dalam menghasilkan suatu hukum, sehingga wajar jika beliau menyamakan antara keduanya.

Penggunaan qiyas sebagai metode sejatinya juga lebih dulu dilakukan oleh Abu Hanifah, sebagai penggagas mazhab Hanafiyah, beliau memopulerkan penggunaan qiyas. Hal itu dapat dimaklumi mengingat mazhab yang dikembangkannya disebut dengan madrasah ra’yu. Ensiklopedia fiqih Islam yang dikenal dengan nama Mausu’ah Fiqh Jamal Abdun Naser’ (Ensiklopedia Fiqih Jamal Abdun Naser), pada pasal Anwa’ Ijtihad (bentuk- bentuk ijtihad), setelah menjelaskan makna ijtihad dalam arti yang umum, memerikan apa arti ijtihad khusus.

Disebutkan: “Kedua, ijtihad lewat pemikiran pribadi. Ijtihad yang dilakukan ketika tidak ditemukan teks-teks Al-Qur’an dan hadis juga tidak ada ijma’ berkenaan dengan sebuah masalah. Demikian pula mencakup proses penyimpulan sebuah hukum syar’i dengan memakai kaedah-kaedah umum syariat. Ijtihad yang semacam ini disebut Ijtihad Ra’yu”.

Muhammad Salam Madkur meng- gambarkan sikap para sahabat sekaitan dengan masalah ijtihad tidak hanya melakukan qiyas tapi juga mencakup Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah dan Istihsan. Beliau menulis: “Ijtihad para sahabat Nabi ada tiga bentuk.

  • Pertama, penjelasan teks-teks syar’i dan penafsir- annya.
  • Kedua, mengqiyaskan masalah dengan teks-teks syar’i dan ijma’.
  • Ketiga, Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah, Istihsan. Kelompok ketiga inilah yang sering dilakukan oleh para sahabat”.

Hadis dari Mu’adz Bin Jabal ra berkenaan dengan pengutusannya ke Yaman sangat jelas bagaimana ia berijtihad dengan ra’yu-nya. Dalam dialognya dengan Rasulullah saw yang ditulis oleh ad-Darimi dalam Sunannya menyebutkan:

“Rasulullah bertanya kepada Mu’adz, Bila ada masalah yang menuntutmu menyelesaikannya bagaimana engkau akan menyelesaikannya?”

“Aku akan menyelesaikannya dengan berpegangan pada Kitab Allah”, jawabnya.

Rasulullah saw kembali bertanya: “Seandainya masalah yang engkau selesaikan tidak terdapat dalam Kitab Allah apa yang kau perbuat?”

“Aku akan berpegangan dengan sunnah Rasulullah”, kembali Mu’adz menjawab.

“Bila masalahnya tidak kau temukan dalam Kitab Allah dan sunnah RasulNya?”, tanya Nabi.

Mu’adz menjawab: “Ajtahidu bira’yi” (aku akan berijtihad dengan pikiranku sendiri).

Saifuddin al-Amidi as-Syafi’i (W. 631 H) berkata: “Ijtihad adalah usaha serius untuk sampai pada zhan tentang hukum syar’i sehingga seseorang akan merasakan bahwa sulit dibayangkan kemampuannya lebih dari itu”. Ibnu Subki berpendapat:

“Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh untuk menghasilkan dzhan terhadap hukum syar’i”. Pendapat terakhir adalah yang disebutkan oleh Wahbah Zuhaili, ia menyatakan :

“Dan defenisi yang paling sesuai menurut pendapat kami dari defenisi-defenisi yang disadur adalah, apa yang telah disampaikan oleh Qadi al-Baidhawi, bahwa (Ijtihad) adalah mengarahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syara’.

Dari semua definisi yang disebutkan oleh para pakar sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah kesungguhan seseorang atau beberapa orang untuk menghasilkan suatu hukum yang diambil dari nash-nash syar’i.

Definisi ijtihad sangat banyak dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh. Misalnya, Abu Zahra, Ia mengatakan :

“Mengerahkan segala kemampuan bagi seorang ahli fikih dalam melakukan istinbat hukum yang bersifat amali dari dalil-dalil yang terperinci”.

Sementara itu, Fazlur Rahman mendefinisikan ijtihad sebagai

the effort to understand the meaning of a relevant text or precedent in the past, containing a rule and the alter that rule by extending or restricting or otherwise modifying it in such a manner that a new situations can be subsumed under it by a new solution”.

(Ijtihad adalah upaya memahami makna suatu teks atau preseden di masa lampau yang mengandung suatu aturan dan mengubah aturan tersebut dengan cara memperluas, membatasi atau memodifikasinya dengan cara-cara yang lain sedemikian rupa sehingga suatu situasi baru dapat dicakup ke dalamnya dengan suatu solusi baru).

Dalam kamus bahasa Arab, al Munjid, susunan Ma’luf al Yasu’i Beirut, ijtihad diartikan adalah bersungguh-sungguh sehabis usaha. Menurut Abdul Hamid Hakim, arti ijtihad dari segi tehnis hukum adalah bersungguh-sungguh sekuat-kuatnya untuk mencapai hukum syari’i dengan jalan mengambil hukum dari Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan menurut kata-kata atau bahasa, menurut A. Hamid Hakim, ijtihad berarti bersungguh-sungguh yaitu bersusah payah. Imma Syafi’i sendiri menyamakan arti ijtihad dengan arti qiyas yaitu berijtihad berarti menjalankan qiyas atau membandingkan suatu hukum kepada suatu hukum yang lain, ijtihad diartikan secara sempit.

Menurut M. Hasbi Ash- Siddieqy ijtihad dalam arti luas adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari kitab Allah dan hadits Rasul. Muhammad Daud Ali mengartikan ijtihad sebagai usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mengarahkan seluruh kemampuan dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’ yaitu Al Qur’an dan Sunnah.

Menurut Satria Effendi M. Zein, arti ijtihad secara etimologi adalah bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran, di kalangan ulama ushul fiqih, seperti yang dikemukakan Ibnu Abd al-Syukur dari kalangan hanafiyah ijtihad adalah pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan hukum syara’ sampai ke tingkat zanni (dugaan keras) sehingga yang berijtihad itu merasakan tidak lagi bisa lebih dari itu. Sayuti Thalib mengartikan ijtihad sebagai usaha yang bersungguh-sungguh untuk merumuskan garis hukum dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul.

Pembentukan hukum sesuatu hal biasanya tidak hanya dibahas dari segi ijtihad saja, tapi juga dari segi taqlid. Ijtihad berada di pihak paling tinggi berupa mengeluarkan hukum dari alasan-alasannya (orang yang berijtihad disebut Mujtahid), sedangkan taqlid hanya mengikuti saja pendapat mujtahid tanpa mengetahui alasan-alasannya. Orang yang bertaqlid disebut Muqallid, tidaklah salah. Yang dapat dikatakan salah adalah Muqallid yang tidak mau berusaha mengetahui alasan sesuatu persolan. Dan yang lebih dapat dipersalahkan adalah orang yang berusaha agar orang lain yang bertaqlid selalu dihalang-halangi untuk mengetahui alasan yang sebenarnya.

Ibrahim Hosen memberikan makna kebahasaan kata ijtihad sebagai “pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”, sehingga tidak tepat kalau kata ijtihad itu dipergunakan untuk menunjuk suatu hal yang cara melakukannya tergolong mudah atau ringan.

Pemaknaan kata ijtihad dengan arti jahada ini, dalam alQur’an terdapat dalam sejumlah ayat al-Qur’an berikut ini: Qs. An-Nahl (16): 38, Qs. An-Nur (24): 53 dan Qs. Al-Fathir (35): 42, yang semua kata itu mempunyai arti “pengerahan segala kemampuan dan kekuatan” (badzl al-wus’i wa thaqah) atau “berlebih-lebihan dalam sumpah” (al-mubalaghah fi al-yamin). Dan kemudian lebih jauh lagi dikatakan, bahwa di dalam as-Sunnah, kata ijtihad, yang punya makna bahasa jahada semacam itu, antara lain dapat ditemukan pula dalam dua buah sabda Rasulullah saw ini yang artinya: “pada waktu sujud, bersungguhsungguhlah dalam berdoa (fajtahidu fi ad-du’a’), dan hadis lain yang artinya: “Rasulullah saw bersungguh-sungguh (yajtahid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan”

Dalam memberikan arti kebahasaan kata ijtihad, di kalangan ulama’ terdapat keragaman redaksi dalam penjelasannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Nadiyah Syarif al-Umari, Az-Zabidi, misalnya, menegaskan bahwa kata juhda dan jahda mempunyai arti “kekuatan dan kesanggupan”, sedangkan menurut Ibn Katsir term jahda berarti “yang sulit, berlebih-lebihan atau bahkan tujuan”, dan Sa’id at-Taftani memberikan arti ijtihad dengan “tahmil al-juhdi” (ke arah yan membutuhkan kesungguhan); dan kendati demikian, sesungguhnya semua makna itu mengandung arti bahwa ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya. Dan sementara itu, Ibrahim Husein mengidentikkan istilah al-ijtihad dengan alistimbath, yang berasal dari kata nabath (artinya, air yang mula-mula memancar dari sumur yang digali), sehingga secara bahasa (etimologi) istimbath sebagai padanan kata ijtihad mempunyai pengertian : “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya.

As-Syarafi menyampaikan butir-butir penjelasan sebagai mengenai ijtihad berikut ini :

Pertama, istifragh al-wus’i (upaya keras seorang ahli fikih), maksudnya adalah mengeluarkan hukum dengan merasa bahwa dirinya lemah untuk mendapatkan hukum yang lebih jauh. Sebenarnya istifragh adalah sebuah kategori yang mencakup ahli fikih maupun bukan. Kemudian kata itu disempitkan cakupannya dengan al-faqih untuk tidak menyertakan yang bukan al-faqih, sebab yang bukan al-faqih itu bila pun ia telah berusaha dengan segenap kemampuannya tetap saja tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad. Dalam definisi itu tidak dikatakan istifragh al-mujtahid al-wus’i, karena ia menuntut peran dan pengetahuan pelaku ijtihad tergantung pada ijtihad dalam pengertian ini.

Kedua, kata li tahshil zhann (untuk sampai pada hipotesis), untuk menjelaskan bahwa hal yang yang diijtihadi adalah hal-hal yang sifatnya hipotesis, bukan yang definitif yang tidak lagi perlu diijtihadi. Termasuk dalam kategori hipotesis adalah yang disarikan dari dalil hipotesis yang telah diterima, yang telah tebukti, atau yang telah diterima maupun telah terbukti secara bersamaan.

Ketiga, kata bi hukum syar’i (terhadap hukum syari’ah) untuk membuang cakupan yang bersifat sentimental dan logis, karena wilayah pembahasan di sini adalah ijtihad terhadap yang ada kaitannya dengan syari’at saja. Terhadap uraian as-Syarafi tersebut kemudian Imam Syaukani menetapkan adanya tiga hal pokok yang dibahas di dalam ijtihad, yaitu:

  1. Yang berhak melakukan ijtihad adalah ahl al-fiqh;
  2. Wilayah ijtihad dilimitasi hanya pada permasalahan yang bersifat zhanni (hipotetis), bukan yang sudah qath’i (definitif) termasuk sumber hukumnya, dan
  3. Ijtihad hanyalah menyangkut hukum syar’i, bukan masalah i’tiqadi (akidah-keimanan), akhlaqi (akhlak atau etika Islam atau yang lainnya.

Sangat mirip dengan ini, Ibrahim Hosen menyimpulkan tiga hal pokok terkait dengan ijtihad, yaitu:

  1. Pelaku ijtihad adalah ahli fikih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain;
  2. yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yakni hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi; dan
  3. status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah zhann.