Secara etimologi kata ijtihad berasal dari kata al-jahd, al-juhd, dan ath-thaqat, yang artinya kesulitan, kesusahan, dan juga berupa suatu kesanggupan atau kemampuan ( almasyaqat). Kata Al-Juhd menunjukkan
…(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya , maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. QS At-Taubah : 79.
Sementara Ahmad Fayyumi dalam kamusnya membedakan antara al-Jahdu dan al-Juhdu. Ia menyebutkan bahwa “Al-Juhd adalah kata yang dipakai oleh orang- orang Hijaz sementara kata al-Jahd dipakai oleh selain Arab Hijaz. Al-Jahd memiliki arti mengerahkan segenap kemampuan. Sementara kata al-Juhd mengandung makna kesulitan.” Berkaitan dengan kata ijtihad,
Rasulullah bersabda dalam sebuah haditsnya:
Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sunguhlah dalam berdo’a.
Dalam Bab ‘Kaifa As Sholah ‘Alan Nabiyi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam’ An- Nasa’i meriwayatkan bahwa Zaid bin Kharijah berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda :
…pada waktu sujud bersungguh- sungguhlah dalam berdoa”
Dalam riwayat yang lainnya dari Aisyah ra istri Nabi sempat mengomentari perilaku Rasulullah ketika memasuki bulan Ramadhan. Ibnu Majah menukilkan dari Aisyah ra:
Rasulullah ‘alaihi shallallaahu wasallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir (pada bulan Ramadlan) yang tidak beliau lakukan di saat-saat lain.” HR. Muslim.
Bila kita perhatikan maka tidak ada perbedaan mendasar antara kata al-Jahdu dan ijtihad, hal ini karena dua kata ini memiliki satu sumber yang sama. Kata al-Jahdu yang berarti mengerahkan segenap kemampuan tidak akan pernah dilakukan oleh seseorang bila tidak menemui sebuah kesulitan, artinya kedua kata ini saling melengkapi.
Raghib Al-Isfahani dengan indah mengartikan kata ijtihad dengan menggabungkan dua unsur tersebut. Beliau menyebutkan bahwa Ijtihad adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan segala kemampuan yang dimiliki dan menanggung semua kesulitan yang ada.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata ijtihad secara bahasa memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan istilah syara’ yaitu :
Mengerahkan kesungguhan untuk memperoleh suatu perkara yang berat .
Sedangkan ijtihad secara istilah adalah “Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari (jawaban) hukum yang bersifat dzanni, hingga merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.”
Menurut Ibrahim Husain “Ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam , baik melalui suatu nash maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syari’ah yang disebut maslahat. Sementara itu Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa Ijtihad adalah penggunaan akal fikiran semaksimal mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum syara. Adapula Al-Amidi mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
Mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.
Sementara itu Al-Ghazali merumuskan ijtihad sebagai berikut :
Pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar’i.
Para sahabat Nabi memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "Penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash - yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan "mashlahat."
Kata ijtihad bila dilihat lebih luas lagi memiliki makna khusus dan makna umum. Dalam makna yang khusus ijtihad dipahami memiliki makna yang sinonim dengan qiyas. Hal ini sebagaimana diebutkan oleh Muhammad bin Idris as-Syafi’i ra dalam ar-Risalahnya ada bab yang judulnya Qiyas, Ijtihad, Istihsan dan Ikhtilaf. Pada bab Qiyas ditanyakan: “Apa itu qiyas, apakah Qiyas sama dengan ijtihad ataukah keduanya adalah kata yang memiliki arti berbeda?” Aku (Syafi’i) menjawab: “Kedua adalah dua kata untuk satu makna”. Dalam hal ini Imam Syafi’i menyebutkan bahwa antara qiyas dan ijtihad adalah semakna. Sebenarnya penyamaan ini bisa kita lihat dari sisi bahwa dalam prosess ijtihad, qiyas menjadi salah satu metode dalam menghasilkan suatu hukum, sehingga wajar jika beliau menyamakan antara keduanya.
Penggunaan qiyas sebagai metode sejatinya juga lebih dulu dilakukan oleh Abu Hanifah, sebagai penggagas mazhab Hanafiyah, beliau memopulerkan penggunaan qiyas. Hal itu dapat dimaklumi mengingat mazhab yang dikembangkannya disebut dengan madrasah ra’yu. Ensiklopedia fiqih Islam yang dikenal dengan nama Mausu’ah Fiqh Jamal Abdun Naser’ (Ensiklopedia Fiqih Jamal Abdun Naser), pada pasal Anwa’ Ijtihad (bentuk- bentuk ijtihad), setelah menjelaskan makna ijtihad dalam arti yang umum, memerikan apa arti ijtihad khusus.
Disebutkan: “Kedua, ijtihad lewat pemikiran pribadi. Ijtihad yang dilakukan ketika tidak ditemukan teks-teks Al-Qur’an dan hadis juga tidak ada ijma’ berkenaan dengan sebuah masalah. Demikian pula mencakup proses penyimpulan sebuah hukum syar’i dengan memakai kaedah-kaedah umum syariat. Ijtihad yang semacam ini disebut Ijtihad Ra’yu”.
Muhammad Salam Madkur meng- gambarkan sikap para sahabat sekaitan dengan masalah ijtihad tidak hanya melakukan qiyas tapi juga mencakup Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah dan Istihsan. Beliau menulis: “Ijtihad para sahabat Nabi ada tiga bentuk.
- Pertama, penjelasan teks-teks syar’i dan penafsir- annya.
- Kedua, mengqiyaskan masalah dengan teks-teks syar’i dan ijma’.
- Ketiga, Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah, Istihsan. Kelompok ketiga inilah yang sering dilakukan oleh para sahabat”.
Hadis dari Mu’adz Bin Jabal ra berkenaan dengan pengutusannya ke Yaman sangat jelas bagaimana ia berijtihad dengan ra’yu-nya. Dalam dialognya dengan Rasulullah saw yang ditulis oleh ad-Darimi dalam Sunannya menyebutkan:
“Rasulullah bertanya kepada Mu’adz, Bila ada masalah yang menuntutmu menyelesaikannya bagaimana engkau akan menyelesaikannya?”
“Aku akan menyelesaikannya dengan berpegangan pada Kitab Allah”, jawabnya.
Rasulullah saw kembali bertanya: “Seandainya masalah yang engkau selesaikan tidak terdapat dalam Kitab Allah apa yang kau perbuat?”
“Aku akan berpegangan dengan sunnah Rasulullah”, kembali Mu’adz menjawab.
“Bila masalahnya tidak kau temukan dalam Kitab Allah dan sunnah RasulNya?”, tanya Nabi.
Mu’adz menjawab: “Ajtahidu bira’yi” (aku akan berijtihad dengan pikiranku sendiri).
Saifuddin al-Amidi as-Syafi’i (W. 631 H) berkata: “Ijtihad adalah usaha serius untuk sampai pada zhan tentang hukum syar’i sehingga seseorang akan merasakan bahwa sulit dibayangkan kemampuannya lebih dari itu”. Ibnu Subki berpendapat:
“Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh untuk menghasilkan dzhan terhadap hukum syar’i”. Pendapat terakhir adalah yang disebutkan oleh Wahbah Zuhaili, ia menyatakan :
“Dan defenisi yang paling sesuai menurut pendapat kami dari defenisi-defenisi yang disadur adalah, apa yang telah disampaikan oleh Qadi al-Baidhawi, bahwa (Ijtihad) adalah mengarahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syara’.
Dari semua definisi yang disebutkan oleh para pakar sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah kesungguhan seseorang atau beberapa orang untuk menghasilkan suatu hukum yang diambil dari nash-nash syar’i.