Apa itu hukum adat sasi?

Indonesia dikenal juga sebagai negara maritim. Potensi maritim atau laut di Indonesia sangatlah besar dan bervariasi. Namun kenyataan yang saat ini terjadi adalah bahwa potensi yang begitu besar tersebut dengan cepat tergerus akibat pola pengelolaan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan dan kelestarian.

Hal berbeda dilakukan oleh masyarakat pesisir di daerah timur Indonesia. Di sekitar Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, masyarakatnya masih melestarikan adat yang disebut dengan sasi. Sasi merupakan tradisi atau aturan tidak tertulis masyarakat adat yang melarang untuk melakukan penangkapan hewan laut dalam waktu tertentu. Dengan diberlakukannya aturan sasi, maka keseimbangan dan kelestarian sumber daya laut tersebut sampai sekarang tetap terjaga dengan baik.

1 Like

1. Konsep hukum adat sasi

Sasi merupakan pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam di darat dan laut yang dilaksanakan masyarakat adat Maluku yang akhirnya menyebar ke beberapa daerah di Papua Barat. Definisi sasi berasal dari kata “sanksi” yang artinya larangan. Bentuk sasi adalah tradisi atau aturan tidak tertulis masyarakat adat yang melarang untuk melakukan penangkapan hewan laut dalam waktu tertentu. Sasi berlaku hampir di seluruh pulau di Provinsi Maluku (Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, Kep. Lease, Watubela, Banda, Kep. Kei, Arudan Kep. Barat Daya dan Kep. Tenggara di bagian barat daya Maluku) dan Papua (Kep. Raja Ampat, Sorong, Manokwari, Nabire, Biak dan Numfor, Yapen, Waropen, Sarmi,Kaimana dan Fakfak). Sasi juga memiliki nama lain, yakni Yot di Kei Besar dan Yutut di Kei Kecil.

Tidak ada catatan sejarah yang pasti, tentang kapan diberlakukan sasi, namun diyakini praktek sasi sudah ada sejak dahulu kala. Aturan adat ini menjadi komitmen atau perjanjian mengenai pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya alam antara kepala adat, tokoh masyarakat dan masyarakat desa/kampung tersebut. Prinsip pengelolaan Sasi didukung oleh hukum adat yang sudah ada turun-temurun. Aturan ini diberlakukan karena masyarakat berpikir ketersediaan sumber daya alam semakin terbatas, sementara kebutuhan masyarakat akan terus meningkat. Dalam hukum adat sasi, ada larangan menangkap dan memancing ikan selama setahun. Masyarakat kemudian diperbolehkan menangkap hasillaut setelah jeda sasi. Pemberlakuan sasi tidak untuk semua jenis ikan yang ada, tetapi hanya untuk jenis tertentu saja misalnya udang, lola dan teripang. Sedangkan untuk jenis ikan lainnya dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat kapanpun mereka inginkan.

Wilayah laut yang diberi tanda sasi (disasi) menandakan bahwa masyarakat tidak boleh mengambil atau melakukan aktivitas apapun yang dapat mengganggu biota di dalamnya. Batas wilayah Sasi umumnya dilakukan dengan cara menarik garis lurus ke arah laut dari pantai hingga batas tepi terumbu karang. Dahulu batas-batas sasi laut ditetapkan secara imaginer oleh masyarakat, hal ini dilakukan sebelum adanya kawasan konservasi dengan batasan pulau-pulau yang ada di sekitar kampung. Setelah adanya kawasan konservasi, maka terdapat zona-zona yang diatur untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Masyarakat memberikan tanda untuk bata-batas sasi, berupa tongkat kayu yang dililit oleh daun muda kelapa (janur) yang dipancangkan pada lokasi-lokasi sasi.

2.Tujuan hukum adat sasi

Tujuan Sasi adalah:
a) Menjaga ketertiban dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga terjadinya pengrusakan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut.
b) Mengatur penggunaan hak seseorang secara tepat, menurut waktu yang ditentukan dalam pengelolaan maupun pemanfaatan hasil produksi tanaman.
c) Menumbuhkan tingkah laku dan pola pikir masyarakat yang berwawasan lingkungan terhadap generasi berikutnya.

3.Ketentuan hukum adat sasi

Ada 3 hal penting dalam ketentuan hukum adat sasi, yaitu:
a) Terdapat larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu tertentu untuk memberi kesempatan kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya memelihara kualitas dan memperbanyak populasi sumber daya alam tersebut.
b) Ketentuan sasi tidak saja mencakup lingkungan alam, tetapi juga lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia. Misalnya, melarang masyarakat bepergian keluar desa karena alasan tertentu, melarang bentuk-bentuk keramaian pada waktu tertentu seperti pada saat upacara adat, membangun baileu (rumah adat).
c) Ketentuan hukum sasi, ditetapkan oleh masyarakat atas prakarsa mereka sendiri dan pengawasan pelaksanaannya diselenggarakan oleh masyarakat kewang (polisi adat) yang tidak dibayar oleh pemerintah.

4.Buka dan tutup sasi

Sasi dibuat berdasarkan pengetahuan masyarakat mengenai waktu atau periode kapan suatu sumber daya dapat dipanen sehingga tidak mengganggu siklus hidupnya dan masyarakat pun mendapatkan hasil yang baik dan maksimal. Pembukaan Sasi Laut dilakukan berdasarkan dua alasan, yaitu pertama adanya permintaan pasar atau pembeli yang ditujukan untuk kebutuhan ekonomi. Kedua, untuk kebutuhan konsumsi masyarakat sehari-hari dan keperluan sosial masyarakat, seperti pembangunan atau perbaikan masjid atau gereja, fasilitas-fasilitas desa dan perayaan hari-hari besar keagamaan.

Buka sasi adalah saat masyarakat diperbolehkan untuk memanen atau mengambil suatu sumber daya yang sedang disasi, sedangkan tutup sasi adalah ketika sumber daya tersebut dilarang untuk dipanen dan akan dilindungi kembali oleh hukum sasi. Tradisi Sasi Laut dimulai dengan rapat adat di tempat ibadah, seperti di mesjid ataupun di gereja. Tokoh adat, kepala desa dan warga menyiapkan sejumlah sesaji untuk menandai tradisi Sasi Laut akan dilangsungkan. Penutupan dan pembukaan Sasi diawali dengan upacara adat yang dipimpin kepala adat. Upacara ini biasanya berlangsung selama 1-7 hari. Upacara itu diawali penyerahan dan penetapan alat-alat penandaan. Selanjutnya, perkakas tonggak tanda batas, seperti pelampung, bendera, dan jangkar diarak keliling dengan grup suling tambur untuk memberitahu sekaligus mengenalkan kepada seluruh masyarakat tanda-tanda yang akan dipasang di daerah yang akan disasi (Daerah Perlindungan Laut) sehingga masyarakat tidak melanggar tanda-tanda tersebut dan juga tanda itu merupakan wilayah yang disasi.

Dalam upacara ini, diletakkan sebatang pohon yang dihiasi perbagai ukiran, potongan-potongan kain, daun-daun yang dianyam menyerupai hewan-hewan laut, dan buah bakau yang diletakkan di tempat yang akan dilaksanakan sasi. Setelah upacara selesai, tonggak tanda batas yang sudah diupacarai dipancangkan di lokasi yang akan disasi. Selama pelaksanaan ‘buka sasi’ ini, masyarakat akan meninggalkan pekerjaan lainnya seperti pertanian dan perkebunan dan lebih fokus untuk menangkap hasil laut. Apabila sasi berakhir, maka rajaha juga ikut dicabut. Pencabutan rajaha biasanya tak disertai upacara, hanya pemberitahuan dari pemerintahan adat kepada masyarakat bahwa rajaha sudah dicabut. Pemberitahuan penutupan dan pembakaan sasi ini sangat penting sebab pelanggaran dari sasi itu dapat mengakibatkan cacat seumur hidup atau seseorang akan meninggal.

Sasi merupakan contoh dari pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi dan bertujuan untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam agar dapat digunakan secara berkelanjutan. Penerapannya adalah bukti komitmen masyarakat dalam menjaga sumber daya alam di sekitarnya baik di laut maupun di darat agar tidak terganggu atau hilang akibat kegiatan eksploitasi secara berlebihan

Referensi

Abdul Chafid, M. TRADISI SASI DI RAJA AMPAT PAPUA. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, 11(1), 55-66.

Elfemi, N. 2015. Sasi, kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya laut (Kasus; Masyarakat suku Tanimbar di desa Adaut, kecamatan Selaru, kabupaten Maluku Tenggara Barat). Jurnal Pelangi , 6 (1).

Persada, N. P. R., Mangunjaya, F. M., & Tobing, I. S. 2018. Sasi sebagai budaya konservasi sumber daya alam di Kepulauan Maluku. Ilmu dan Budaya , 41 (59).

1 Like