Apa Itu Epistemologi Universalitas dan Transferabilitas dalam Sosiologi Sastra?

image
Dalam penelitian sosiologi sastra terdapat istilah epistemologi, universalitas, dan transferabilitas. Apa maksud dari ketiga istilah itu?

Epistemologi adalah cara memperoleh kebenaran dalam suatu penelitian. Epistemologi sastra selama ini, termasuk sosiologi sastra mamsih selalu dicari terusmenerus. Apalagi kata kebenaran (truth) itu sendiri dalam sastra masih sering diragukan. Epistemologi akan memuat langkah konseptual, bagaimana peneliti membahas karya sastra secara sosiologis. Bagaimana langkah yang harus ditempuh, merupakan landasan mendapatkan kebenaran. Yang perlu dipahami, karya sastra bukan fakta eksata, melainkan karya imajinatif. Karena itu kebenaran yang hendak diraih juga membutuhkan imajinasi. Pada tataran tertentu, ada dua cara memperoleh kebenaran dalam sosiologi sastra, yaitu (1) dengan mengkaji karya sastra yang relatif banyak, untuk memperoleh kebenaran yang berlaku umum (universal), (2) dengan mengkaji sedikit karya, yang mendalam, untuk memperoleh makna yang benar-benar adanya.

Cara (1) tersebut banyak ditaati kaum positivistik, yang menghendaki segala fenomena itu mengikuti hukum keteraturan. Biasanya banyak teks sastra, hingga dapat digali simpulan yang lebih universal. Adapun kebenaran melalui cara (2) sebenarnya bahan penelitian tidak perlu banyak. Cara ini menekankan spesifikasi karya, dan menolak universalitas. Universalitas dalam penelitian sastra tidak lazim. Jika ada yang memaksakan universalitas (generalisasi), sia-sia. Sastra itu fenomena yang unik, maka tidak perlu ada upaya generalisasi. Upaya membuat gejala secara umum, hanya akan menodai sastra itu sendiri. Soeratno (2011:65) menegaskan bahwa sastra adalah wujud kreativitas manusia yang tergolong pada karya seni, yang ada berkat ulah manusia, dan yang ada berdasarkan konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya dapat menjadi kaidah. Namun keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat, bahkan keunikan suatu ciptaan sastra, membuat cipta sastra memiliki sifat-sifat yang khusus.

Kekhususan itu, yang mengajak penelitian sosiologi sastra tidak memaksakan ke arah generalisasi, melainkan sebuah transferabilitas. Artinya, penelitian itu bersifat unik, mungkin dapat ditransfer ke gejala lain, ketika ada kesamaan beberapa hal. Trasferabilitas dapat dilakukan ketika kemiripan fenomena sastra tertentu dengan yang lain benar-benar dapat dipertanggung jajwabkan. Ilmu alam yang penuh keteraturan, biarlah bersuka ria dengan universalitas. Berbeda dengan sastra, universalitas akan menemui jalan buntu. Sastra yang dimaknai dengan paksaan, hanya akan memperoleh makna kering.

Tugas peneliti sosiologi sastra, tidak sekedar menafsirkan simbol, melainkan perlu merambah sampai memberikan evaluasi (istilah Segers, 2000) atau penilaian (istilah Teeuw, 1983). Peneliti perlu mempertimbangkan mutu sastra, memberi sumbangan terhadap pengembangan sastra, dan membantu penyusunan sejarah sastra. Menilai sastra tidak seperti menilai ilmu alam, yang serba teratur. Menurut Bakhtin (Todorov 1984:15-16), ilmu alam dan ilmu humaniora merupakan dua ilmu yang tidak sama. Dari tulisan-tulisan Todorov, yang banyak mengiblat Bakhtin, tampak bahwa sastra memang fakta yang khas. Membaca karya sastra perlu siap imajinasi keunikan, bukan untuk menemukan kebenaran universal.

Berbeda dengan ilmu alam, yang menjadi objek adalah benda mati yang tidak mengungkapkan dirinya dalam wacana dan tidak mengkomunikasikan apa pun, sedangkan sastra yang menjadi objek adalah “roh” yang mengungkapkan dirinya dalam wacana dan dengan demikian melibatkan persoalan resepsi dan interpretasi, persoalan pembangunan, pentransmisian, dan penginterpretasian wacana orang lain. Penelitian ilmu alam sering ada generalisasi, sebab objek memiliki keteraturan yang jelas. Adapun sastra, cenderung tidak memiliki keteraturan. Karena sifat objek yang demikian, di dalam humaniora, maka pemahaman terhadap objek hanya dapat dilakukan dengan suatu bentuk pemahaman dialogis yang meliputi dua hal yaitu (1) penilaian dan (2) respon. Menilai karya sastra selalu terkait dengan respon. Menilai sastra adalah pekerjaan tafsir. Tafsir akan membawa ke respon apa saja, karena sastra bersifat multi tafsir. Tafsir sastra, tidak dalam kerangkan mencari generalisiasi.

Generalisasi

Generalisasi adalah wilayah positivistik yang memanfaatkan pendekatan etik, bukan emik. Generalisasi yang disebut juga universalitas sungguh aneh dalam studi sosiologi sastra. Adapun tranferabilitas makna, berada pada ranah interpretasi, dialogis, dan multimakna. Sastra sebagai fenomena humaniora, lebih tepat dikaji dari transferabilitas dan spesifikasi makna. Bakhtin (Todorov 1984:17) mengatakan, bahwa spesifisitas ilmu humaniora adalah orientasinya pada pikiran-pikiran, makna-makna, signifikasi-signifikasi, yang datang dan orang lain, melalui teks. Teks itu, tertulis ataupun lisan, merupakan data utama dari seluruh disiplin tersebut. Teks merupakan realitas langsung yang di dalamnya pikiran itu membentuk dirinya. Apabila tidak ada teks, tidak ada pula objek pertanyaan dan pikiran. Dengan demikian, objek ilmu humaniora bukanlah manusia semata, melainkan manusia sebagai produsen teks-teks. Apabila manusia dipelajari di luar teks dan terlepas darinya, manusia itu bukan objek humaniora, melainkan objek anatomi atau fisiologi.

Karena yang ada di balik teks yang dipelajari itu adalah manusia, objek humaniora bukanlah objek, melainkan subjek. Apabila di dalam ilmu alam (pasti) yang ada hanyalah suara tunggal, monologi yang di dalamnya subjek berbicara mengenai objek yang tidak bersuara; di dalam humaniora subjek berhadapan dengan subjek lain, membangun suatu dialog. Dengan konsepsi yang demikian, objek humaniora, bagi Bakhtin (Todorov 1984:19-20), bukanlah objek yang dapat direduksi menjadi sesuatu yang bersifat fisik dan material semata seperti yang cenderung dilakukan oleh kaum Formalis yang ingin meniru ilmu alam dengan membatasi karya hanya pada struktur linguistiknya dan bahkan materi foniknya. Atas dasar hal itu, penelitian sosiologi sastra akan lebih cair, tidak kaku, penuh tafsiran terhadap teks yang bergerak.

Sesuai dengan kodrat objeknya, humaniora tidak akan menjadi aktivitas ilmiah dalam pengertian positivistik, melainkan merupakan aktivitas pemahaman. Yang dimaksud dengan pemahaman adalah transposisi yang tetap mempertahankan dua kesadaran yang tidak dapat dicampurkan. Pemahaman selalu bersifat dialogis, mengimplikasikan suatu jawaban terhadap objek, tuturan orang lain. Dalam hal ini, menurut Bakhtin (Todorov 1984:22-23), pemahaman tidak dapat dianggap sebagai metateks yang berada di atas teks, melainkan suatu interteks yang sejajar dengan teks. Pada gilirannya, prinsip dialogis tersebut membuahkan gagasan mengenai perbedaan kriteria antara ilmu pengetahuan (eksakta) dengan pemahaman sastra (humaniora). Kriteria yang pertama adalah bercirikan (a) akurasi, (b) keteraturan, © mudah digeneralisasi, sedangkan yang kedua adalah butuh (a) kedalaman dan (b) usaha menembus ketakterbatasan makna-makna simbolik.

Kedalaman analisis sosiologis akan menandai kehebatan peneliti memasuki wilayah imajinatif. Karya sastra adalah karya humaniora yang kaya simbol. Oleh sebab itu menembus dunia simbol dibutuhkan kedalaman tafsir, bukan akurasi yang hendak menemukan generalisasi. Akan tetapi, kata Bakhtin (Todorov, 1984:24), humaniora itu sendiri bukanlah ilmu yang seragam. Meskipun mempunyai objek yang sama, yaitu manusia yang berbicara dan mengekspresikan dirinya dengan berbagai cara, cara pandangnya bermacammacam sehingga menimbulkan ilmu yang bermacam-macam pula. Menurutnya, elemen formal teks tidak dapat dipisahkan dari struktur keseluruhannya. Struktur keseluruhan itu tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan kesusastraan. Keseluruhan kesusastraan tidak langsung berhubungan dengan realitas sosioekonomik, melainkan dimediasi oleh ideologi. Ideologi menjadi sentral imajinasi sastrawan, yang akan mempengaruhi pikiran, perasaan, dan keinginannya semakin unik.

Pemikiran Bakhtin di atas, mengarahkan penelitian sosiologi sastra agar memperhatikan keunikan sastra. Apabila dalam sebuah struktur harus diperhatikan, tetapi tidak berarti harus memaksakan sampai universalitas. Tiap karya sastra, tiap sastrawan, dari objek garap yang sama pun sering memiliki implikaksi imajiner yang berlainan. Oleh karena itu, pemaknaan sosiologi sastra tidak perlu melakukan universalitas. Yang menjadi masalah, ketika studi sosiologi resepsi sastra, sering terjebak pada paham universalitas. Apalagi kalau penggalian makna resepsi menggunakan angket, ini juga sering merepotkan pemaknaan. Oleh sebab itu, saya setuju apabila resepsi sosiologi sastra itu dilakukan dengan wawancara secara kualitatif.

tidak selalu sebagai fenomena empirik. Fenomena nonempirik karya sastra adalah makna. Pada umumnya yang dipandang sebagai lokus makna adalah kesadaran (consciousness) manusia. Meskipun demikian, karena tidak dapat atau sukar didekati, terdapat berbagat macam pendapat mengenai sifat kesadaran itu. Ada yang menganggapnya terletak dalam kesadaran individu (pengarang) dan ada pula yang menganggapnya terletak dalam kesadaran kolektif.

Karya sastra adalah objek menusiawi, faktor kemanusiaan, atau fakta kultural, sebab merupakan hasil ciptaan manusia. Meskipun demikian, karya itu mempunyai eksistensi yang khas yang membedakannya dari fakta kemanusiaan lainnya seperti sistem sosial dan sistem ekonomi dan yang menyamakannya dangan sistem seni rupa, seni suara, dan sebagainya. Kalau sistem lainnya seringkali dianggap sebagai satuan yang dibangun oleh hubungan antar tindakan, karya sastra merupakan satuan yang dibangun atas hubungan antara tanda dan makna, antara ekspresi dangan pikiran, antara aspek luar dangan aspek dalam.

Dengan demikian penelitian sosiologi sastra memiliki kekhususan. Sosiologi sastra adalah jabaran ilmu humaniora, yang rentang fenomenanya perlu pemaknaan longgar. Upaya generalisasi lewat jalur sosiologi sastra, akan memperkosa karya sastra. Oleh karena karya sastra lahir dari sebuah ekspresi unik, maka hanya dapat ditransferisasi ke fenomena lain, itu pun jika perlu. Perlu disadari bahwa ilmu humaniora memang menyajikan fenomena simbolik, sehingga membutuhkan pemahaman.

Epistemologi Eksistensial

Eksistensi adalah potret keberadaan suatu fenomena. Eksistensi sastra, merupakan kodrat sastra itu ada. Sastra ada melalui sebuah proses. Proses imajinasi yang membuat eksistensi sastra berbeda dengan bidang lain. Salah seorang ahli sosiologi sastra, yang berani mengemukakan masalah epistemologi sastra adalah Faruk (1988:20-22). Dia membahas sastra dari sisi sosiologi sastra, terutama lewat kacamata strukturalisme genetik. Yang menarik perhatian saya, adalah pandangannya tentang karya sastra adalah objek menusiawi, fakta kemanusiaan, atau fakta kultural, sebab merupakan hasil ciptaan manusia. Meskipun demikian, karya itu mempunyai eksistensi yang khas yang membedakannya dari fakta kemanusiaan lainnya seperti sistem sosial dan sistem ekonomi dan yang menyamakannya dengan sistem seni rupa, seni suara, dan sebagainya. Kalau sistem lainnya seringkali dianggap sebagai satuan yang dibangun oleh hubungan antar tindakan, karya sastra merupakan satuan yang dibangun atas hubungan antara tanda dan makna, antara ekspresi dengan pikiran, antara aspek luar dengan aspek dalam. Dalam pengertian serupa itu, terkandung pesan bahwa karya sastra khususnya dan karya seni umumnya sebagai fakta semiotik. Kunci semiotik akan menggiring pemerhati sosiologi sastra ke arah simbol. Semiotik sastra dapat digabung dengan sosiologi sastra. Karya sastra banyak menampilkan semion (tanda-tanda) simbolik yang memuat aspek sosial.

Eksistensi semiotik, menandai aspek simbol selalu hadir dalam karya sastra. Sebagai Kondisi keberadaan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan yang bersifat semiotik itu amat perlu diperhatikan. Sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra merupakan ekspresi dari kebutuhan tertentu manusia, sedangkan sebagai fakta semiotik karya itu mempunyai suatu ciri yang bersifat simbolik. Sastra merupakan fenomena humaniora, membeberkan layar simbolik. Sebapai fakta semiotik, karya sastra mempunyai eksistensi ganda, yakni:

  • Sekaligus berada dalam dunia inderawi (empirik)
  • Dunia kesadaran (consciousness) yang nonempirik.

Aspek keberadaannya yang pertama dapat ditangkap oleh indera manusia, sedangkan aspek keberadaannya yang kedua tidak depat dialami oleh indera. Aspek kedua inilah yang menantang peneliti sosiologi sastra, yakni perlu pemahaman dari sisi abstraksi. Karya sastra dilihat atau didengar lewat aspek tulisan atau bunyinya selalu menawarkan abstraksi sosial. Menurut Glicksberg (196775-76) semua karya sastra memuat unsur fantastik dan misitik. Sastra akan menanruh perhatian pada hal-hal sosial dan kebenaran yang bukan sebuah kekosongan. Fiksi sosial akan melukiskan realisme sosial yang menampilkan banyak hal dan penuh makna. Lorong-lorong makna bias berada pada tataran simbol dan bunyi yang khas. Aspek bunyi dan tulisan itulah yang menjadi aspek empirik karya sastra, yang menjadi aspek yang dapat dialami indera manusia. Sebagai sesuatu yang empirik, aspek tulisan atau bunyi merupakan aspek yang paling pasti dari karya sastra.

Tulisan atau bunyi itu tidak berubah dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat diuji oleh orang lain pada kesempatan tertentu yang lain. Aspek tersebut mempunyai pola tertentu yang relatif dapat diramalkan dan diklasifikasikan. Tulisan adalah simbol bunyi. Bunyi itu sendiri didengar sebagai suatu arus bunyi yang berangkai dan berkesinambungan (continuum) Faruk (1988:21). Kalau saya perhatian, pada sastra anak-anak, banyak permainan bunyi yang kadang-kadang sulit dimaknai. Permainan bunyi dalam sastra itu tidak lain merupakan fakta empirik. Aspek-aspek sosial juga sering hadir dalam serentetan bunyi. Misalkan sastra anak berjudul Tul Jaenak, sungguh sulit menafsirkan permainan bunyi di dalamnya. Format empirik bunyi itu, dapat dipahami lewat keindahan inderawi. Akan lebih Nampak apabila karya itu dilagukan.

Demikianlah perilaku aspek empirik karya sastra. Dengan mengamati perulangan-perulangan, kombinasi-kombinasi bunyi sastra yang didengarnya, orang mungkin dapat membuat klasifikasi den meramalkan perilaku bunyi-bunyi itu. Usaha semacam itu dapat dikatakan sahih bagi teori ilmu, tetapi tidak dapat dikatakan benar dan berhasil mendekati objeknya (objektif). Karya sastra tidak hanya mempunyai aspek tanda, melainkan juga mempunyai aspek makna. Aspek makna itu tidak akan dapat dipahami hanya dengan metode empirik. Dalam banyak aspek makna itu justru menentukan perilaku aspek empirik di atas.

Selain itu, karya sastra juga memuat aspek nonempirik karya sastra adalah makna. Pada umumnya yang dipandang sebagai lokus makna adalah kesadaran (consciousness) manusia. Meskipun demikian, karena tidak dapat atau sukar didekati, terdapat berbagai macam pendapat mengenai sifat kesadaran itu. Ada yang menganggapnya terletak dalam kesadaran individu (pengarang) den ada pula yang menganggapnya terletak dalam kesadaran kolektif. Pandangan mengenai kesadaran kolektif pun ternyata juga bermacam-macam. Ada yang memandangnya terletak dalam kesadaran kolektif kebahasaan, didalam kesadaran kolektif kebudayaan, dan ada pula yang memandangnya terdapat dalam kesadaran kolektif kesastraan.