Apa Itu Ekolinguistik dan Bagaimana Kaitannya dengan Bahasa?

ekolinguistik
Kajian ekolinguistik yang pada awal kemunculannya dinamakan sebagai kajian ekologi bahasa merupakan paradigma baru yang berkaitan dengan hubungan ekologi dan linguistik yang diprakarsai oleh Einar Haugen pada tahun 1970. Bagaimanakah kaitan dan titik temu dari ekologi dengan bahasa?

Kajian ini menyandingkan kajian bahasa dengan ekologi yang dapat didefinisikan sebagai sebuah kajian atas interaksi antara bahasa-bahasa dengan lingkungannya atau lingkungan tempat keberadaan bahasa itu digunakan, periksa Haugen (1972:323). Pada hakikatnya Haugen berupaya menggunakan analogi dari ekologi dan lingkungan dalam menciptakan metafora berupa metafora ekosistem yang ditujukan untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-macam bentuk bahasa yang ada di dunia. Dalam bentuk metafora tersebut Haugen membuat perbandingan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut.

Haugen juga menjelaskan hubungan kelompok komunitas pengguna bahasa dan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan. Haugen berupaya menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam hubungannya dengan kognitif manusia pada komunitas multilingual dengan keberagaman bahasa yang mereka miliki.

Peneliti bahasa pada umumnya banyak membicarakan permasalahan-permasalahan bahasa yang berkaitan dengan fonologi, kaidah-kaidah bahasa dan leksikon. Jarang sekali pembicaraan yang mengarah kepada ekologi bahasa, padahal menurut Haugen (1972: 325), penelitian ekologi bahasa atau ekolinguistik dapat merambah luas dan bekerja sama dengan antropologi, sosiologi, psikologidan ilmu politik. Hal ini disebabkan kajian ekolinguistik sejatinya merupakan kajian interaksi antara bahasa apa saja dengan lingkungannya.

Definisi lingkungan di sini mencakup pikiran seseorang yang merujuk kepada dunia nyata tempat bahasa itu digunakan karena lingkungan alam dari sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa tersebut. Selanjutnya Haugen (1972: 326) menggambarkan bahwa bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak penggunanya dan hanya berfungsi menghubungkan penggunanya dengan sesama dan kepada alam yaitu lingkungan sosial, lingkungan buatan dan lingkungan alam.

Fill dan Muhlhausler (2001:57) berpendapat bahwa ekolinguistik melibatkan teori-teori, metodologi, dan studi empiris bahasa, serta berkontribusi dalam perspektif semua level linguistik yang berkaitan atau berhubungan dengan ekologi. Jangkauan ekolinguistik luas karena kajian ini dapat menentukan beberapa disiplin ilmu bahasa, seperti:

  • Menemukan teori bahasa yang tepat.
  • Studi tentang sistem bahasa dan teks.
  • Studi keuniversalan bahasa yang relevan dengan isu-isu lingkungan.
  • Studi bahasa yang bertalian dengan pendekan kontrastif.
  • Mempelajari bahasa yang berkaitan dengan ekoliterasi (ecoliteracy), seperti pengajaran pemahaman ekologi kepada anak-anak dan orang dewasa.

Cabang linguistik ini banyak menggunakan metafora ekosistem untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-macam bentuk bahasa yang ada di dunia. Dalam bentuk metafora tersebut Haugen membuat perbandingan hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut. Haugen juga menjelaskan hubungan kelompok masyarakat pengguna bahasa-bahasa dengan lingkungannya baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan. Muhlhausler (1995) dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1), selanjutnya menjelaskan bahwa Haugen berupaya menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam interelasi dan interdependensi dengan kognitif manusia pada komunitas yang multilingual.

Peneliti-peneliti dari Universitas Bielefelde di Jerman saat ini mulai mengarahkan penelitian mereka ke kajian ekolinguistik. Ide mentransfer konsep-konsep, prinsip-prisip, dan metode-metode, ekologi dan biologi kepada bahasa berkembang pesat. Pieter Finke (1983, 1993, 1996) mentransformasikan konsep-konsep ekosistem ke dalam sistem bahasa dan sistem kultural, seperti yang dijelaskan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:44-45). Ilmuwan ini mengkritik leksikon yang digunakan industri agrikultur untuk kepentingan bisnis dan perdagangan. Kata-kata seperti productionreplace, growing, dan giving yang sebenarnya dapat mengandung makna positif, di dalam dunia industri berubah menjadi makna metafora yaitu pembunuhan (killing) dan pelenyapan (taking away) yang terjadi.

Ruang kajian ekolinguistik menurut Haugen seperti yang dilaporkan oleh Mbete (2009:11-12) memiliki keterkaitan dengan sepuluh ruang kaji linguistik lainnya. Dalam penelitian ekolinguistik sejumlah subdisiplin linguistik dapat disandingkan dengan satu atau lebih dari sepuluh ruang kaji tersebut. Kesepuluh ruang kaji tersebut adalah, Sosiolinguistik, Dialektologi, Linguistik Historis Komparatif, Linguistik Demografi, Dialinguistik, Filologi, Glotopolitik, Linguistik Preskriptif, Tipologi Bahasa, dan Etnolinguistik termasuk pula Antropolinguistik, atau Linguistik Kultural.

Hubungan Bahasa dan Ekologi

Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2), pada tahun 1912 menulis tentang bahasa dan lingkungan yang beranggapan bahwa lingkungan fisik dari sebuah bahasa terdiri atas karakter geografi sebagai topografi dari sebuah negara, berhubungan dengan iklim, termasuk pula ke dalamnya flora dan fauna, curah hujan, serta sumber daya alam yang merupakan sumber kehidupan dan sumber ekonomi manusia yang terekam secara verbal. Sehingga, menurutnya kosa kata yang terdapat dalam bahasa-bahasa itu akan berbeda satu sama lain bergantung pada sosiokultural dan lingkungan (ecoregion) tempat bahasa itu digunakan. Perbedaan ini hanya bersangkut paut dengan unsur-unsur leksikal dan tidak berakibat kepada kaidah atau prinsip struktur bahasa tersebut.

Vokabulari dari sebuah bahasa tidak hanya bergantung atau dipengaruhi oleh lingkungan fisik bahasa tersebut, akan tetapi lingkungan sosial masyarakat penuturnya juga sangat berperan dalam pembentukan vokabulari sebuah bahasa. Lingkungan sosial dimaksud terdiri atas kekuatan masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran setiap individu seperti agama, kepercayaan, etika, dan pemahaman tentang politik.

Berdasarkan klasifikasi dari ke dua lingkungan ini kelengkapan vokabulari bahasa dapat mengindikasikan pengetahuan, minat, pekerjaan serta pandangan hidup penuturnya dan tempat bahasa atau masyarakat tutur tersebut berada. Penutur bahasa yang hidup di pegunungan akan memiliki khasanah vokabulari yang lebih banyak berkaitan dengan lembah, ciri tanah, jenis burung, jenis tumbuhan, kehidupan lebah, dan kehidupan satwa liar yang ada di lingkungan tertentu (ecoregion). Sebagai contoh suku Noocka Indian yang secara ekonomis hidupnya sangat bergantung kepada kekayaan hutan memiliki vokabulari kelautan yang sangat minim. Demikian pula penutur bahasa yang bermukim di pesisir pantai memiliki lebih banyak khasanah vokabulari yang berkaitan dengan lingkungan kelautan, seperti yang terjadi pada suku Paiute, Arizona. Mereka lebih banyak mengenal dan menciptakan nama-nama ikan, ganggang, bunga karang, pasir dan semua kandungan laut.

Contoh lain dapat pula dilihat pada bahasa Aceh yang digunakan oleh masyarakat tutur di Desa Trumon yang menjadikan beras sebagai makanan pokok dan bahan panganan sebagai kudapan, memiliki vokabulari kuliner yang lebih banyak berkaitan dengan pade ‘padi’dan bu‘nasi’, sebagai contoh, eumping pade ‘padi sangrai yang ditumbuk’, bu kulah, bu phet, bu leukat, bu leumak, bu kanji, bu kuneng, dan bu leugok.

Selanjutnya, Sapir beranggapan bahwa bahasa yang diucapkan oleh seseorang sangat bergantung kepada pikiran dan tingkah laku orang tersebutyang terefleksi kepada bentuk vokabulari yang dituturkannya. Anggapan ini dikenal dengan hipotesis Sapir–Whorf yang diperkenalkan oleh Whorf dalam tulisannya tahun 1956.

Secara biologis, pada umumnya manusia memiliki kemampuan sama dalam kapasitas mempelajari bahasanya. Seperti yang diutarakan oleh Halliday (2001:21-22) bahwa kemampuan ini sama halnya dengan kemampuan manusia tersebut pada saat belajar berjalan serta belajar berdiri. Kesemuanya ini tidak bergantung kepada tingkat intelegensia sesorang. Secara ekologis sesungguhnya manusia adalah makhluk ekologis yang unik, karena setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda antara satu dengan lainnya walaupun berada dalam pola lingkungan yang sama dan bahasa yang sama pula.

Pengalaman yang sifatnya personal ini senantiasa berhubungan dengan lingkungannya. Lingkungan ini pula yang membentuk kultur manusia tersebut dan juga membentuk pola penggunaan bahasa seseorang yang seterusnya terekam dalam kognitif orang tersebut. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Heine (1997:3) bahwa bahasa merupakan produk interaksi manusia dengan dunia sekelilingnya, dunia alamih dan dunia sosial. Cara seseorang menciptakan tuturannya dan membangun kemampuan linguistiknya dapat langsung tergambar dari pengalaman yang diperoleh daripengetahuan dan pengalaman tentang lingkungan dan mengaplikasikan pengalaman tersebut dalam komunikasi yang spesifik dengan sesama.

Rekaman pengalaman yang paling dekat dan paling lekat adalah tentang dunia nyata sekitar, baik yang bersifat kultural maupun yang bersifat alamiah. Oleh karena itu, fungsi awal imajineri adalah menggambarkan lingkungan di sekitar dengan menggunakan bahasa karena bahasa didasari imajinari yang ada di otak dan pengalaman manusia (Palmer 1996:3 ; lihat Mbete, 2010:7).

Pakar ekolinguistik, Haugen (1972:326) menggambarkan lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa itu, dan bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak atau kognitif penuturnya yang hanya berfungsi menghubungkan penutur dengan sesamanya, dan dengan alam sekitar yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Makna lingkungan di sini juga mencakup pikiran seseorang yang merujuk kepada dunia atau wilayah tempat bahasa itu ada dan digunakan.

Lebih lanjut Haugen (1972:325) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan ekologi pada dasarnya terjadi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah lingkungan psikologikal (psychological environment) yaitu pengaruh lingkungan terhadap bahasa-bahasa dalam pikiran atau kognitif penutur bahasa-bahasa tersebut, dan bagian ke dua adalah sosiologikal yaitu hubungan lingkungan dengan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut sebagai media komunikasi mereka.

Bahasa layaknya species yang hidup di lingkungan alam yang dapat hidup dan berkembangbiak, dapat berubah dan dapat pula lenyap atau mati. Jika bahasa itu digunakan oleh bertambah banyak penuturnya maka bahasa itu akan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Namun jika jumlah penuturnya sedikit dan dominasi terus berkurang, dikhawatirkan bahasa itu akan bergeser, berubah, lenyap atau berevolusi.

Mufwene (2004:146) berpendapat bahwa ini semua dapat terjadi disebabkan oleh evolusi bahasa. Pakar ekolinguistik ini membedakan dua jenis evolusi bahasa. Pertama, evolusi progresif yaitu perubahan yang menuju ke arah perubahan yang berkembang pesat seperti bahasa Inggris Amerika yang digunakan masyarakat tutur di benua Amerika bahkan di pelbagai belahan dunia dewasa ini. Kedua, evolusi yang beranalogikan kepada evolusi teori Darwin yang menganggap evolusi terjadi melalui proses seleksi alam. Subtipe dari teori Darwin di mana spesis suatu populasi berasal dari atau muncul berbeda dari lainnya. Walaupun bahasa tidak termasuk ke dalam spesies biologi namun rentang umur bahasa dan linguistik berhubungan satu sama lain sebagaimana hubungan dalam rumpun biologi. Evolusi bahasa terjadi melalui seleksi alam dapat disebabkan oleh eksploitasi lingkungan alam dan bencana alam, serta perkembangan teknologi. Evolusi ini dapat dilihat pula pada idiolek dari individu penutur yang berbeda antara satu penutur dengan penutur lainnya.

Referensi

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/53042/Chapter%20II.pdf;sequence=4

Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi. Pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekolinguistik merupakan ilmu bahasa interdisipliner, menyanding ekologi dan linguistik (Mbete, 2008). Dalam the Ecology of Language Shift, Mackey dalam Fill dan Muhlhausler (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (Fill,2001).

Ekolinguistik adalah studi hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua parameter yang hendak dihubungkan adalah bahasa dan lingkungan. Hal ini bergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperkenalkan bagi kelangsungan makhluk hidup, seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini.

Sementara itu, dalam bahasa Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik, linguistik ekologi, ekologi bahasa atau bahasa ekologi, dan ekolinguistik. Kajian ini pertama kali dikenalkan oleh Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa (ecology of language) daripada istilah lain yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya. Para pakar bahasa dapat bekerjasama dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam memahami interaksi antar bahasa (Haugen dalam Fill & Muhlausler, 2001).Haugen (1972 dalam Mbete 2009) menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu

  1. linguistik historis komparatif;

  2. linguistik demografi;

  3. sosiolinguistik;

  4. dialinguistik;

  5. dialektologi;

  6. filologi;

  7. linguistik preskriptif;

  8. glotopolitik;

  9. etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural linguistics); dan

  10. tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan

Dua dekade setelah diciptakannya paradigma “ekologi bahasa‟, barulah muncul istilah ekolinguistik ketika Halliday (1990) pada konferensi AILA memaparkan elemenelemen dalam sistem bahasa yang dianggap ekologis (’holistic’ system) dan tidak ekologis (’fragmented’ system). Berbeda dengan Haugen, Halliday menggunakan konsep ekologi dalam pengertian non-metaforis, yakni ekologi sebagai lingkungan biologis. Halliday mengkritisi bagaimana sistem bahasa berpengaruh pada perilaku penggunanya dalam mengelola lingkungan. Dalam tulisannya yang berjudul “New Ways of Meaning‟, Halliday (2001) menjelaskan bahwa bahasa dan lingkungan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Perubahan bahasa, baik di bidang leksikon maupun gramatika, tidak dapat dilepaskan dari perubahan lingkungan alam dan sosial (kultural) masyarakatnya.

Di satu sisi, perubahan lingkungan berdampak pada perubahan bahasa, dan di sisi lain, perilaku masyarakat terhadap lingkungannya dipengaruhi oleh bahasa yang mereka gunakan (Subiyanto, 2008) Sementara itu, Muhlausler (dalam Sukhrani, 2010) dalam tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University, menjelaskan: “Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support system languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times ”. artinya Ekologi adalah studi tentang keterkaitan fungsional. Dua parameter yang ingin kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan/ekologi pada perspektif seseorang yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Gabungan tersebut merupakan bidang ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan makhluk hidup serta faktor-faktor yang mempengaruhi habitat (tempat) berbagai dewasa ini.

Ekolinguistik merupakan payung dan wadah bersama yang bersifat lintas bidang keilmuan menjadi pilihan yang sangat penting dan strategis. Sebagai kajian yang bertolak dari konsep dan parameter ekologi, yakni

  1. linguistik (environment),
  2. keberagaman (diversity), dan
  3. interaksi, interelasi, dan interdependensi

kajian ekolinguistik menempatkan dan menjadikan fenomena (penggunaan) bahasa dalam suatu perspektif yang lebih integratif, prospektif, dan juga historis.

Dalam kajian ekolingistik hal yang paling terlihat adalah tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai hal dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/multibahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan berbagai kondisi sosial sangat mempengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya (Usman, 2012).

Peneliti bidang ekolingusitik dapat juga membedah makna-makna sosial-ekologis di balik bahasa, khususnya leksikon, di atas dasar konsep dan landasan teoretis yaitu (1) bahasa yang hidup dan digunakan itu menggambarkan, mewakili, melukis (merepresentasikan secara simbolik-verbal) realitas di lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial-budaya); (2) dinamika dan perubahan bahasa pada tataran leksikon. Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan Bundsgaard 2000), antara lain:

  1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan idelologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi, ada upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat.

  2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktik sosial yang bermakna.

  3. Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman) biota danau (atau laut, maupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan tingkat vitalitas spesies dan adanya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis itu secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitasentitas itu tertandakan dan dipahami.

Fill dan Muhlhausler (2001) berpendapat bahwa ekolinguistik melibatkan teori-teori, metodologi, dan studi empiris bahasa, serta berkontribusi dalam perspektif semua level linguistik yang berkaitan atau berhubungan dengan ekologi.

Jangkauan ekolinguistik luas karena kajian ini dapat menentukan beberapa disiplin ilmu bahasa, seperti:

  1. Menemukan teori bahasa yang tepat.
  2. Studi tentang sistem bahasa dan teks.
  3. Studi keuniversalan bahasa yang relevan dengan isu-isu lingkungan.
  4. Studi bahasa yang bertalian dengan pendekan kontrastif.

Mempelajari bahasa yang berkaitan dengan ekoliterasi (ecoliteracy), seperti pengajaran pemahaman ekologi kepada anak-anak dan orang dewasa. Cabang linguistik ini banyak menggunakan metafora ekosistem untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-macam bentuk bahasa yang ada di dunia.

Dalam bentuk metafora tersebut Haugen membuat perbandingan hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut. Haugen juga menjelaskan hubungan kelompok masyarakat pengguna bahasa-bahasa dengan lingkungannya baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan.

Muhlhausler (1995) dalam Fill dan Muhlhausler (2001), selanjutnya menjelaskan bahwa Haugen berupaya menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam interelasi dan interdependensi dengan kognitif manusia pada komunitas yang multilingual.

Ruang kajian ekolinguistik menurut Haugen seperti yang dilaporkan oleh Mbete (2009) memiliki keterkaitan dengan sepuluh ruang kaji linguistik lainnya. Dalam penelitian ekolinguistik sejumlah subdisiplin linguistik dapat disandingkan dengan satu atau lebih dari sepuluh ruang kaji tersebut.

Kesepuluh ruang kaji tersebut adalah, Sosiolinguistik, Dialektologi, Linguistik Historis Komparatif, Linguistik Demografi, Dialinguistik, Filologi, Glotopolitik, Linguistik Preskriptif, Tipologi Bahasa, dan Etnolinguistik termasuk pula Antropolinguistik, atau Linguistik Kultural.

Pakar ekolinguistik, Haugen (1972) menggambarkan lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa itu, dan bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak atau kognitif penuturnya yang hanya berfungsi menghubungkan penutur dengan sesamanya, dan dengan alam sekitar yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Makna lingkungan di sini juga mencakup pikiran seseorang yang merujuk kepada dunia atau wilayah tempat bahasa itu ada dan digunakan.

Lebih lanjut Haugen (1972) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan ekologi pada dasarnya terjadi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah lingkungan psikologikal (psychological environment) yaitu pengaruh lingkungan terhadap bahasa-bahasa dalam pikiran atau kognitif penutur bahasa-bahasa tersebut, dan bagian ke dua adalah sosiologikal yaitu hubungan lingkungan dengan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut sebagai media komunikasi mereka.