Apa itu Analisis Wacana?

Analisis wacana hadir karena masih terdapat banyak masalah yang belum bisa diselesaikan dengan ilmu kajian linguistic yang hanya terbatas pada masalah unsur-unsur bahasa dan unsur makna. Oleh karena itu, hadirlah analisis wacana yang merupakan disiplin ilmu yang mengkaji satuan bahasa di atas tararan kalimat dengan memperhatikan konteks pemakaian bahasa tersebut (Rani, dkk., 2013)

Lalu apa yang dimaksud analisis wacana? Apa saja jenis-jenisnya?

Pengertian

Menurut Stubs (dalam Rani, dkk., 2013) menyebutkan bahwa analisis wacana atau critical discourse analysis adalah suatu kajian yang meneliti bahasa yang digunakan secara alamiah –tulis maupun lisan. Stubbs juga menekankan bahwa analisis wacana menekankan penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya antarpenutur. Sedangkan menurut Cook (1986) menyatakan bahwa analisis wacana merupakan kajian yang membahas tentang wacana sedang wacana itu adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Pada intinya, analisis wacana bertujuan untuk mencari keteraturan yang berkaitan dengan keberterimaannya di masyarakat.
CDA sangat berkaitan dengan teori konstruksionisme. Hal ini bisa diidentifikasi dari karakter umum yang ada dalam analisis wacana, antara lain (menurut Munfarida, 2014):

  1. Karakter dari proses-proses dan struktur-struktur kultural dan sosual yang sebagian bersifat linguistic-diskursif, yang menegaskan bahwa dunia sosial terdapat berbagai proses dan struktur sosial, diproduksi melalui praktik linguistic-diskursif.
  2. Diskursus bersifat constituitive dan congstituted, yang artinya diskursus merupakan praktik sosial yang dapat menciptakan dunia sosial sekaligus eksistensinya dicipkatakan oleh praktik-praktik sosial yang lain. CDA menganggap bahasa sebagai diskursus merupakan bentuk tindakan sosial yang menciptakan dan mengubah dunia juga bentuk tindakan sosial yang secara historis kultural muncul dalam hubungna yang dialektis dengan praktik-praktik sosial yang lain.
  3. Dalam CDA, ditekankan dalam perlunya menganalisis penggunaan bahasa secara empiris dalam konteks sosialnya, karena berkepentingan untuk melakukan analaisis tekstual linguistic terhadap penggunaan bahasa dalam interaksi sosial.
  4. CDA menganggap bahwa diskusrsus berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan relasi-relasi kekuatan sosial yang tidak setara di antara berbagai kelompok sosial yang ada.
  5. Ditegaskan bahwa pentingnya kita bersikap kritis terhadap praktik-praktik diskursif. Pendekatan ini berkepentingan untuk mengungkap relasi kekuasaan yang tidak setara dan sekaligus berpretensi untuk melakukan perubahan sosial demi terciptanya tatanan sosial yang lebih setara.

Jenis

CDA dapat dibedakan menjadi beberapa aspek bergantung pada sudut pandang yang digunakan, seperti,

  1. Berdasarkan saluran komunikasi, dibedakan menjadi dua, yakni:
  • Lisan, rangkaian kalimat yang ditranskrip dari rekaman bahasa lisan.
  • Tulis, teks yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam bahasa tulis
  1. Berdasarkan peserta komunikasi, dibedakan menjadi tiga, yakni:
  • Monolog, ketika pendengar tidak memberikan tanggapan secara langsung atas ucapan pembicara
  • Dialot, ketika peserta dalam komunikasi ada dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar atau sebaliknya)
  • Polilog, ketika terdapat lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran.
    Berdasarkan situasinya, wacana dialot dan oililot dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu: sangat resmi (misalnya sidang di pengadilan); sangat tidak resmi (misalnya percakapan di warung).
    Prinsip-prinsip dialog/polilog
    Para peserta dialog atau polilog harus menyadari tugas mereka dalam mengembangkan dialog atau polilog, dan perlu melakukan segala sesuatu yang dapat mendukung pengembangannya sesuai dengan yang diinginkan.
    a. Tugas pendengar (menurut Keenan dan Schieffelin, 1983):
  • Memperhatikan ujaran pembicara
  • Memahami ujaran pembicara
  • Mengidentifikasi objek, individu, ide, peristiwa dll yang memiliki peranan dalam penentuan topik
  • Mengidentifikasi hubungan semantic antara referensi dan topik.
    b. Tugas pembicara (menurut Keenan dan Schieffelin, 1983):
  • Harus mengucapkan ujaran dengan jelas
  • Menjaga perhatian pendengar tetap tinggi
  • Harus menyediakan informasi yang memadai bagi pendengar untuk mengidentifikasi objek dan lain-lain sebagai bagian dari topik
  • Harus menyediakan informasi yang memadai bagi pendengar untuk merekonstruksi hubungan semantic antara referensi dan topik
  1. Berdasarkan tujuan komunikasi
  • Wacana deskripsi, jenis wacana yang ditujukan kepada penerima pesan agar dapat membentuk suatu citra atas suatu hal. Banyak digunakan dalam katalog dan data-data kepolisian. Biasa menggunakan kalimat deklaratif dan kata-kata yang digunakan bersifat objektif dan tidak memiliki penanda pergeseran waktu.
  • Wacana eksposisi, jenis wacana dengan tujuan menerangkan suatu hal kepada penerima agar yang bersangkutan memahaminya. Kalimat yang digunakan adalah kalimat perintah yang disertai dengan kaliamt deklaratif.
  • Wacana argumentasi, jenis wacana yang tujuannya berusaha untuk mempengaruhi pembaca/pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan logis maupun emosional.
  • Wacana persuasi, jenis wacana yang bertujuan untuk mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan tindakan sesuai yang diharapkan. Contoh, iklan.
  • Wacana narasi, yaitu jenis wacana yang berisi cerita. Terdapat unsur-unsur cerita seperti waktu, perilaku dan peristiwa. Karena pada umumnya wacana narasi ditujukan untuk menggerakkan aspek emosi.
Summary
  1. Munfarida, Elya. 2014. Analisis
  2. Wacana Kritis dalam Perspektif Normal Fairclough. KOMUNIKA 8(1) Januari-Juni. Rani, Abdul. Martutuik. Arifin, Bustanul. 2013. Analisis Wacana: Tinjauan Deskriptif. Malang: Surya Pena Gemilang.
  3. Keenan, E Ochs. Schieffelin, Bambi B. 1983. Topic as Discourse Nation: A Study of Topik in Conversational of Children and Adult”. Dalam Ochs, Elinor dan Bambi B. Schieffelin (Ed Acquiring Conversational Competence. London: Routledge & Kegan Paul 66-113.