Apa hukumnya wanita haid membaca al-Quran ?

Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci utama dalam agama Islam, yang umat Muslim percaya bahwa kitab ini diturunkan oleh Tuhan, (yakni Allah) kepada Nabi Muhammad

Apa hukumnya wanita yang sedang berhalangan membaca quran?

Pendapat Pertama: Mereka tidak membolehkan membaca Al-Qur’an bagi perempuan yang sedang haid.

  1. Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’an.” Dalam riwayat yang lain, “Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’an”.

    Hadits ini dha’if, diriwayatkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595 dan 596). Ad-Daruquthni (1/117) dan Baihaqiy (1/89), dari jalan Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar (ia berkata seperti di atas). Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) : Di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyaasy, sedangkan riwayatnya dari penduduk Hijaz dla’if dan di antaranya (hadits) ini. Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), “Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, dan (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar”. Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), “(Hadits) ini batil, “Beliau mengingkari (riwayat) Ismail.

  2. Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW, “Tidak boleh bagi perempuan yang haid dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an)”.

    Hadits ini maudhu’ (palsu), diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (2/87) dan Abu Nua’im di kitabnya Al-Hilyah (4/22). Sanad hadits ini maudhu (palsu) karena Muhammad bin Fadl bin Athiyah bin Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai pendusta sebagaimana keterangan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200). Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) beliau mengatakan bahwa orang ini matruk.

Pendapat Kedua: Membolehkan membaca Al-Qur’an bagi perempuan ketika sedang haid. Adapun dalil yang digunakan oleh pendapat yang kedua diantaranya:

  1. Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi SAW masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji pada tahun ini?” Jawabku, “Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haid)”. (HR. Bukhari (no. 305) dan Muslim (4/30)).
    .
    Syeikh Al-Albany berkata: “Hadist ini menunjukkan bolehnya wanita yang haid membaca Al-Quran, karena membaca Al-Quran termasuk amalan yang paling utama dalam ibadah haji, dan nabi SAW telah membolehkan bagi Aisyah semua amalan kecuali thawaf dan shalat, dan seandainya haram baginya membaca Al-Quran tentunya akan beliau terangkan sebagaimana beliau menerangkan hukum shalat (ketika haid), bahkan hukum membaca Al-Quran (ketika haid) lebih berhak untuk diterangkan karena tidak adanya nash dan ijma’ yang mengharamkan, berbeda dengan hukum shalat (ketika haid). Kalau beliau SAW melarang Aisyah dari shalat (ketika haid) dan tidak berbicara tentang hukum membaca Al-Quran (ketika haid) ini menunjukkan bahwa membaca Al-Quran ketika haid diperbolehkan, karena mengakhirkan keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh, dan ini jelas tidak samar lagi, walhamdu lillah.” (Hajjatun Nabi hal: 69).

  2. Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi SAW biasa berdzikir atas segala keadaannya” [HR. Muslim (1/194 dan lain-lain].

    Hadits yang mulia ini juga dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-Bukhari dan imam yang lain tentang bolehnya perempuan haid membaca Al-Qur’an. Karena Nabi SAW berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya dan yang termasuk berdzikir ialah membaca Al-Qur’an.

Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang kedua dengan alasan bahwa asal dalam sebuah perkara adalah dibolehkan dan halal hingga ada dalil yang melarangnya. Sedangkan dalam masalah ini tidak ada dalil yang shahih yang melarang wanita haid untuk membaca Al-Quran. Apabila tidak ada satu pun dalil yang shahih yang melarang perempuan haid membaca ayat-ayat Al-Qur’an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal tentang perintah dan keutamaan membaca Al-Qur’an secara mutlak termasuk perempuan haid.
.
Pendapat ini juga diperkuat oleh pendapat Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Al- Fatawa (juz 26/hal. 191), beliau berkata: “Para wanita di masa Nabi SAW juga seringkali mengalami haidh, seandainya terlarangnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh atau nifas sebagaimana larangan shalat dan puasa bagi mereka, maka tentu saja Nabi SAW akan menerangkan hal ini pada umatnya. Begitu pula para istri Nabi SAW mengetahuinya dari beliau. Tentu saja hal ini akan dinukil di tengah-tengah manusia (para sahabat). Ketika tidak ada satu pun yang menukil larangan ini dari Nabi SAW, maka tentu saja membaca Al Qur’an bagi mereka tidak bisa dikatakan haram. Karena senyatanya, beliau SAW tidak melarang hal ini. Jika Nabi SAW sendiri tidak melarangnya padahal begitu sering ada kasus haidh di masa itu, maka tentu saja hal ini tidaklah diharamkan. Demikian pula Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla (juz 1/hal. 77-78), beliau mengatakan bahwa wanita haid dan nifas boleh membaca Al-Qur’an.

Meskipun demikian, menyebut nama Allah atau membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci (berwudlu) lebih utama berdasarkan hadits shahih di bawah ini. Dari Muhajir bin Qunfudz, sesungguhnya dia pernah datang kepada Nabi SAW dan beliau sedang buang air kecil, lalu ia memberi salam kepada beliau akan tetapi beliau tidak menjawab (salam)nya sampai beliau berwudlu. Kemudian beliau beralasan dan bersabda :

”Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (berwudlu)”. (Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan lain-lain)