Apa hukumnya menggugurkan kandungan atau aborsi dalam islam?

Kehamilan

Kehamilan adalah masa di mana seorang wanita membawa embrio atau fetus di dalam tubuhnya. Dalam kehamilan dapat terjadi banyak gestasi (misalnya, dalam kasus kembar, atau triplet/kembar tiga).

Apa hukumnya menggugurkan kandungan dalam islam?

Dalam dunia medis, istilah aborsi atau menggugurkan kandungan berarti mengeluarkan hasil konsepsi atau pembuahan, sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibunya. Sementara itu, dalam Bahasa Arab aborsi disebut dengan istilah al Ijhadh. Kata al Ijhadh ini berasal dari kata ajhadha – yajhidhu yang memiliki arti ‘wanita yang melahirkan anaknya secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya’.

Dalam kitab al Misbah al Munir juga disebutkan bahwa aborsi dalam fikih disebut isqath (menggugurkan), ilqaa (melempar), atau tharhu (membuang).

Jika kita merujuk pada proses penciptaan manusia yang dibahas sebelumnya, kita bisa mengetahui bahwa ada masa dimana bayi di dalam kandungan masih belum mendapatkan ruh. Dari sinilah kita akan membahas lebih jauh mengenai hukum menggugurkan kandungan, mengingat ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai hal ini.

1. Menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh

Ada sebagian ulama yang membolehkan menggugurkan kandungan sebelum terjadi peniupan ruh. Pendapat ini dianut oleh ulama-ulama yang bermadzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Adapun dalil yang menjadi dasar dari pendapat ini adalah hadits yang menunjukkan bahwa sebelum kandungan memasuki usia 4 bulan, maka ruh belum ditiupkan ke janin dan penciptaan masih belum sempurna sehingga janin masih dianggap sebagai benda mati.

Akan tetapi, tidak semua ulama berpendapat yang sama. Ada sebagian ulama yang menghukumi menggugurkan kandungan dengan hukum makruh, dan sebagian lainnya berpendapat hal ini haram dilakukan. Bagi ulama yang berpendapat menggugurkan kandungan sebagai hal yang makruh, didasarkan pada pendapat bahwa waktu peniupan ruh tidak diketahui secara pasti. Maka, tidak boleh untuk seseorang menggugurkan janin jika telah mendekati waktu peniupan ruh, sebagai bentuk kehati-hatian. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan Imam Romli, salah satu ulama madzhab syafi’i (Hasyiyah Ibnu Abidin: 6/591, Nihayatul Muhtaj: 7/416).

Namun, ada sebagian ulama lainnya yang mengharamkan menggugurkan kandungan, meskipun usia kandungan belum memasuki waktu peniupan ruh. Dalil untuk pendapat mereka adalah sperma yang sudah tertanam di dalam rahim telah bercampur dengan ovum wanita dan siap menerima kehidupan. Oleh karena itu, tindakan yang merusak hal ini termasuk dalam tindakan kejahatan. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat yang dianut oleh Imam Ghazali, Ahmad Dardir dan Ibnu Jauzi (Syareh Kabir: 2/267, Ihya Ulumuddin: 2/53, Inshof: 1/386).

2. Menggugurkan kandungan setelah peniupan ruh

Jika masih ada perbedaan pendapat tentang hukum menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh, lain halnya dengan pendapat ulama tentang hukum menggugurkan kandungan setelah peniupan ruh. Pada umumnya, para ulama menyepakati bahwa menggugurkan kandungan setelah ruh ditiup adalah tindakan yang haram.

Ketentuan tersebut didasari oleh hadits tentang waktu peniupan ruh, yaitu pada saat kandungan memasuki usia 4 bulan. Setelah ruh ditiupkan pada bayi dalam kandungan, maka secara otomatis bayi tersebut telah hidup menjadi seorang manusia. Maka, tentu saja tindakan untuk menggugurkannya sama dengan tindakan pembunuhan yang haram untuk dilakukan jika tidak ada sebab-sebab darurat.

Namun, jika ada sebab-sebab darurat yang mengharuskan pengguguran kandungan dilakukan, masih ada beberapa perbedaan pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tindakan ini tetap haram untuk dilakukan, meskipun telah diperkirakan bahwa bayi di dalam kandungan bisa membahayakan nyawa ibunya. Pendapat ini didasarkan pada ayat al Quran, pada surat al Israa’ ayat 33,

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.

Para ulama yang menganut pendapat tersebut mengemukakan bahwa kematian ibu masih diragukan, maka tidak boleh membunuh janin yang sudah ditiup rohnya, hanya karena sesuatu yang meragukan (Hasyiyah Ibnu Abidin: 1/602).

Sementara itu, ada ulama lain yang berpendapat bahwa menggugurkan kandungan hukumnya adalah boleh walaupun sudah ditiupkan ruh kepadanya, jika memang hal tersebut merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa ibunya. Alasannya adalah menjaga kehidupan ibu lebih utama dibanding menjaga kehidupan janin, karena hidup ibu telah ada lebih dulu dan ada secara yakin, sementara kehidupan janin masih belum yakin dan keberadaannya terakhir (Mausu’ah Fiqhiyah: 2/57). Besarnya resiko tentang prediksi keselamatan ibu dan bayi bisa didasarkan pada ilmu kedokteran, walaupun memang hal ini tidak mutlak kebenarannya.

Mengingat banyaknya tindakan menggugurkan kandungan yang bermula dari kehamilan yang tidak diinginkan, disebabkan oleh pergaulan bebas di kalangan remaja, maka alangkah baiknya kita menjaga anak-anak kita supaya terhindar dari pergaulan yang demikian.

Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.

Wallahu a’lam bishawab.