Apa Hukum Memakan Kepiting dalam Islam?

Kepiting

Kepiting merupakan salah satu hewan laut yang bisa diolah menjadi makanan lezat. Namun habitat kepiting yang diduga hidup di dua alam menimbulkan pro dan kontra tentang halal atau haramnya hewan ini untuk dikonsumsi.

Apa hukum memakan kepiting dalam Islam?

Hukum hewan air jenis pertama menurut pendapat yang paling kuat adalah halal. Kemudian, jenis kedua yaitu hewan yang hidup di dua alam. Pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai adalah halal kecuali katak.

Kepiting memang hidup di darat dan di air, namun bukan seperti katak yang hewan amfibi. Seekor katak hidup di darat dan di air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit. Namun berbeda dengan kepiting yang bernapas dengan insang. Kepiting bisa bertahan hidup di darat selama 4-5 hari karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa bernapas. Namun, jika tidak ada airnya sama sekali, maka akan terjadi evaporasi, dan akhirnya akan mati. Jadi, kepiting sangat bergantung dengan air.

Sejauh ini tidak ada ayat maupun hadits yang menyatakan bahwa kepiting haram dikonsumsi. Di sebagian buku pengetahuan dijelaskan bahwa hewan yang hidup di dua alam, yakni di darat dan di laut, hukumnya haram. Mungkin dari sinilah sebagian orang beranggapan jika mengkonsumsi kepiting adalah haram. Namun, sekali lagi hal ini tidak ada dalilnya yang kuat. Sedangkan di dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa seluruh makanan itu halal kecuali yang diharamkan oleh Allah SWT.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan lembaga Pengkajian Pangan, Obat‐obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI) dan Pengurus Harian MUI, pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 15 Juni 2002 Masehi, telah menetapkan fatwa bahwa kepiting halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Apabila membahayakan orang yang mengkonsumsinya maka hukumnya menjadi haram.

Dalam menetapkan hukum halal dan haramnya kepiting untuk dikonsumsi, MUI mengacu pada tiga patokan. Pertama, adanya dalil berupa nash (Al-Quran atau hadis) yang menyatakan makanan itu halal. Kedua, Adanya dalil dalam Al-Quran atau hadis yang menyatakan makanan itu haram. Kemudian yang ketiga, tidak ada dalil yang menegaskan makanan itu haram atau halal.

Berdasarkan patokan tersebut, MUI berpendapat bahwa kepiting termasuk ke dalam patokan yang ketiga, yakni binatang yang tidak ditegaskan dalam Al Qur’an maupun hadis tentang halal atau haramnya. Maka hukumnya ditentukan menurut hukum asal bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah halal sepanjang tidak berdampak buruk bagi jasmani dan rohani. Jadi, ditegaskan kembali bahwa kepiting halal untuk dikonsumsi.

Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain :

“Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah‐langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. al‐Baqarah [2]: 168).

” (yaitu) orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menhalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan! bagi mereka segala yang buruk… " (QS. al‐A’raf [7]: 157).

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka? " Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik‐baik dan (buruan yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab‐ Nya”. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah jika kamu hanya kepada‐Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik ! dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada‐Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang‐orang yang dalam perjalanan panjang,… (QS. al‐Baqarah [2] : 172).

Makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. (Nabi memberikan komentar), 'Jika demikian halnya, bagaimana mumgkin ia akan dikabulkan doanya"… (HR. Muslim dari Abu Hurairah), “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ad! a hal‐hal yang musytabihat (syubhat, samar‐samar, tidak jelas halas haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati‐hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR. Muslim).

Hadis Nabi : “Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)‐nya” (HR. Khat‐iisa11),

(atidah finhiyyah) • Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya.

Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan :

  1. Bernafas dengan insang.
  2. Berhabitat di air.
  3. Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.

Kepiting termasuk keempat,jenis di atas (lili._angka 1) hanya ada yang :

  1. Hidup di air tawar saja
  2. Hidup di air taut saja, dan
  3. Hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.

Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam : dilaut dan didarat :

  1. Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia.

  2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana:, mestinya.

1 Like