Apa Hubungan Antara Psikologi dengan Agama?

psikologi agama

Dari sejarahnya yang berawal dari filsafat dan ilmu faal, jelaslah bahwa psikologi berhubungan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dapat dipahami bahwa psikologi sangat berguna dan dapat banyak membantu ilmu-ilmu lainnya, terutama secara tidak langsung menyangkut kehidupan manusia.
Lalu apa hubungan psikologi dengan agama?

Hubungan Psikologi dengan Agama

lmu jiwa agama dalah ilmu pengetahuan yang membahas pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya sehubungan atas keyakinan terhadap ajaran agama yang dianutnya. Untuk lebih jelasnya apa saja ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai berikut:

  • Pengetahuan (kognitif), meliputi segala ragam dan jaringan sistem alam empiris dan non-empiris yang trsusun dalam file serta fungsi otak dan jiwa manusia (pikiran,perasaan,pemahaman, pengenalan, pertimbangan, sosial, insting/kemauan mencari tuhan/agama, insting/kemauan memenuhi kebutuhan biologi, fantasi, mencipta/berkreasi “inovasi”, berprestasi, harga diri, kata hati, dan pengambilan keputusan).
  • Sikap (Attitude), meliputi penentuan prinsip-prinsip diri (fisik, mental, sosial, dan spiritual) berdasarkan berbagai pertimbangan atas pertemuan pengetahuan empiris dan non-empiris tersebut.
  • Perilaku (behavior) adalah pelahiran aktivitas jiwa raga sesuai keputusan yang digariskan oleh sika. Dengan catatan, tingkah laku yang ditampilkan tidak selalu sesuai dengan isi sikap jiwa. Apa yang ditanyakan oleh jiwa raga merupakan perbuatan yang terbuka untuk diketahui orang lain.
  • Lingkungan, meliputi alam goib (ketuhanan, pesuruh/utusan, dan wilayahnya), alam realitas/empiris (diri sendiri,manusia lain, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda).

Sejarah Psikologi Agama sebagai salah satu bidang Psikologi yang mempelajari dinamika psikologis fenomena-fenomena keagamaan memang mengalami fluktuasi (Beit-hallahmi, 1977). Bidang ini sebenamya sudah mulai muncul pada akhir abad ke 19 dan permutaan abad ke 20, bersamaan dengan Iahimya Psikologi modern sendiri.

Awal kajian Psikologi teritang gejala-gejala keagamaan secara sistematis dimulai oleh
penelitian G. Stanley Hall pada taboo 1881, tentang gejala religious conversion (perubahan kehidupan beragama secara dramatis, tennasuk pindah agama) di kalangan remaja. Tabon 1899 terbit buku pertama berjudul The Psychology pf Religion yang ditulis oleh Edwin Diller Stubuck.

Kemudian tahun 1900 George Albert Coe menerbitkan buku The Spiritual Life. Bidang Psikologi Agama mulai kelihatan sosoknya ketika William James, yang juga dikenal sebagai pelopor Psikologi Modem di Amerika, menyampaikan kuliahnya di Edinburg Unnemity pada tahun 1900-1901.

Perkembangan Psikologi Agama yang pesat di awal abad ke 20 ini ternyata tidak berlangsung lama. Pada sekitar tahun 1920 kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang Psikologi Agama mengalami kemandegan. Jurnal-jumal yang pernah muncul sebelumnya tidak terbit lagi. Meskipun ada satu dua buku Psikologi Agama yang terbit, tetapi tidak ada ide-ide baru yang muncul. Menurut Wulff (1991) kemandegan ini ada kaitannya dengan berkembang pesatnya gerakan behaviorisme di Amerika.

Sebagai gerakan baru da1am psikologi yang bersifat deterministik, mekanistik serta membatasi pada tingkah 18ku yang obyektif, maka tidak ada tempat bagi behaviorisme untuk mempelajari pengalamanan-pengalaman keagamaan yang merupakan fenomena subjektif.

Faktor yang lebih penting yang menyebabkan kemandegan perkembangan bidang Psikologi Agama adalah faktor psikolog sendiri. Bagi para psikolog pada waktu itu fenomena-fenomena keagamaan bukanlah suatu hal yang menarik untuk dipelajari dan diteliti. Lebih jauh lagi menurut Wulff (1991) sikap para psikolog pada saat itu disebutkan sebagai tak perduli dan antipati terhadap agama.

Beit-hallahmi (1977) juga menyebutkan faktor psikolog sebagai penentu perkembangan psikologi agama. Secara eksplisit dia bahkan mengemukakan tesisnya bahwa ada bubungan antara keberagamaan para psikolog dengan minat yang ditunjukkankan terhadap Psikologi Agama.

Selain faktor psikolog itu sendiri Beit-hallahmi (1977) menyebutkan faktor sosial-masyarakat sebagai hal yang turut andil da1am perkembangan psikologi agama. Pada waktu psikologi agama mengalami stagnasi, kehidupan beragama secara umum di Amerika memang menga1ami kemerosotan. Gelombang sekulerisasi deras melanda. Agama disisihkan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini lebih lanjut berdampak kepada dunia ilmiah. Tak ada lembaga manapun yang mau memberikan biaya untuk riset -riset di bidang psikologi agama, karena dipandang tidak memberikan manfaat praktis.

Argumentasi Beit-hallami di atas tampak cukup kuat. Hal ini terlihat pada tahun 1960-an, pada saat kehidupan beragama mulai banyak diminati kembali di masyarakat (Amerika) dengan masuknya pengaruh dari tradisi Timur, maka pada saat itu pula perkembangan bidang psikologi agama mulai bangkit kembali. Hal ini selain didukung kesadaran lembaga-Iembaga formal (termasuk pemerintah) akan pentingnya riset di bidang agama, juga keberagamaan para psikolog sendiri semakin meningkat.

Perkembangan Psikologi Agama menjadi semakin semarak mulai tahun 1970 sampai sekarang dengan munculnya berbagai macam jurnal i1miah di berbagai negara di Eropa dan Asia, seperti Scandinavia, Netherland, German, India dan Jepang (Wulff, 1991). Selain itu secara formal bidang ini telah diakui sebagai bagian dari psikologi modern ketika American Psychological Association membentuk Divisi ke 36, yaitu Psychologist interested in Religious Issues (Spilka, 1985).

Robert H. Thouless (1923). Thouless berusaha mempelajari agama dari segi psikologis. Sementara dari beberapa tokoh psikologi juga mengungkap tentang tingkah laku beragama. Sigmud Freud, tokoh psikoanalisa, mengemukakan pendapat bahwa compultion dan obsession adalah agama tertentu yang rusak. Freud menganalisa agama orang-orang primitif sebagai obyek kajiannya, dengan menggambarkan sesembahan totem and tabbo , yang kemudian dibuat perbandingan antara orang-orang yang terganggu jiwanya dengan orang-orang primitif. Di sinilah, menurut Freud, ditemukan hubungan antara kompleks oudipus. Dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa agama adalah gangguan jiwa dan kemunduran kembali kepada hidup yang berdasarkan kelezatan.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Gordon W. Allport dengan karyanya “The Individual and His Religion” (1950), W.H. Clark dengan karyanya “The Psychology of Religion” .