Apa Hubungan Antara Optimisme dan Problem-Focused Coping pada Mahasiswa?

Hubungan Antara Optimisme dan Problem-Focused Coping pada Mahasiswa

Optimisme merupakan keyakinan bahwa hal-hal baik akan terjadi di masa depan walaupun mengalami situasi yang kurang menyenangkan. Orang yang optimis terbuka pada pengalaman baru dan berusaha mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya, mereka memandang masalah sebagai sesuatu hal yang dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan orang yang pesimis cenderung menarik diri ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (Franken, 2002; Carver & Scheier, 2003)

Problem-Focused Coping yang selanjutnya ditulis PFC, merupakan strategi individu dalam mengatasi atau mengurangi stresor yang dianggap mengancam atau berbahaya bagi dirinya dan untuk memperoleh kontrol terhadap situasi.

Bagaimana Hubungan Antara Optimisme dan Problem-Focused Coping pada Mahasiswa ?

Hubungan Antara Optimisme dan Problem-Focused Coping pada Mahasiswa


Mahasiswa termasuk dalam remaja akhir yang akan beranjak dewasa, mereka dituntut untuk lebih dewasa dalam bersikap dan bertanggungjawab ketika memutuskan sesuatu. Mereka dituntut agar mampu mengambil keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan sosial, serta tentang gaya hidup (Santrock, 2002).

Tekanan yang mereka hadapi juga bertambah berat, seperti bertambahnya tekanan untuk mencapai prestasi, unjuk kerja, dan nilai-nilai ujian yang baik (Santrock, 2003). Mahasiswa selalu berusaha untuk mencapai suatu keberhasilan atau kesuksesan agar memperoleh masa depan yang baik. Tekanan-tekanan yang muncul dapat menimbulkan suatu situasi yang tidak menyenangkan jika tidak diatasi dengan baik. Mahasiswa diharapkan ketika menyelesaikan suatu masalah menggunakan pikirannya dan fokus pada sumber masalah. Mereka tidak bisa menggunakan emosi semata untuk menyelesaikan masalah yang mereka alami karena hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah sama sekali.

Di sisi lain, menurut Piaget (dalam Santrock, 2003) mereka memiliki kemampuan untuk berpikir abstrak, yaitu mampu membayangkan situasi rekaan, kejadian yang semata-mata berupa kemungkinan hipotesis, dan mencoba mengolahnya dengan pemikiran yang logis; berpikir idealis, yaitu munculnya pemikiran-pemikiran yang penuh idealisme dan berpikir tentang kemungkinan hal-hal yang dapat terjadi; dan berpikir logis, yaitu mulai menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah, dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan. Hal ini menunjukkan bahwa para mahasiswa yang tergolong dalam remaja akhir memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal ke depan dan mampu menganalisa suatu masalah, serta mencari pemecahan masalah yang sedang dihadapinya.

Mahasiswa yang optimismenya tinggi memiliki keyakinan bahwa adanya kesuksesan di masa depannya dan berusaha untuk menghadapi segala rintangan sebagai tantangannya untuk mencapai apa yang diinginkannya. Sedangkan mahasiswa yang optimismenya rendah, ia tidak begitu yakin akan kesuksesan di masa depannya dan kurang mau untuk berusaha mengatasi rintangan yang muncul (Carver & Scheier, 2003).

Orang yang optimis terbuka pada pengalaman baru dan berusaha mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya, mereka memandang masalah sebagai sesuatu hal yang dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan orang yang pesimis cenderung menarik diri ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (Franken, 2002; Carver & Scheier, 2003).

Menurut Seligman (2005), optimisme merupakan keyakinan bahwa hal-hal baik akan terjadi di masa depan walaupun mengalami situasi yang kurang menyenangkan. Cara individu memandang situasi yang sedang terjadi dapat menunjukkan apakah orang tersebut merupakan orang optimis atau pesimis. Cara pandang yang positif terhadap suatu peristiwa akan menimbulkan rasa mampu menghadapi peristiwa tersebut. Sedangkan cara pandang yang negatif akan menimbulkan rasa tidak mampu dan tidak berdaya pada individu tersebut. Cara pandang seseorang dalam menghadapi masalah akan berpengaruh pada motivasi, mood, dan perilaku mereka (Gerrig & Zimbardo, 2008).

Menurut Scheier dan Carver (dalam Baron, 1998; Bourne & Russo, 1998), orang yang optimis dan pesimis menggunakan strategi koping yang berbeda dalam menghadapi stres. Orang yang optimis fokus pada penyelesaian permasalahan, seperti membuat dan menetapkan rencana dalam mengatasi sumber stres, serta mencari dan mendapatkan dukungan sosial dalam mengatasi stress. Sedangkan orang yang pesimis cenderung menggunakan strategi yang berbeda, seperti merasa putus asa dalam mencapai tujuan atau keinginannya, menyangkal bahwa ia mengalami stres dan lebih menggunakan emosi dalam mengatasi permasalahan.

Hubungan antara optimisme dan problem-focused coping akan lebih dijelaskan melalui pengembangan teori ABC milik Ellis yang dilakukan oleh Seligman (dalam Franken, 2002). Adapun yang dimaksud dengan teori ABC adalah:

1. Adversity (A)

Berupa suatu peristiwa atau suatu masalah, seperti ujian semester, kegagalan dalam melakukan sesuatu, kendala-kendala dalam kuliah, dan sebagainya.

2. Belief (B)

Belief adalah keyakinan dan interpretasi tentang suatu peristiwa (A) yang menimbulkan akibat. Dalam hal ini, optimisme berada dalam kawasan belief ini. Mahasiswa yang memiliki optimisme (B) tinggi akan lebih mampu mengatasi masalah atau suatu peristiwa (A) dibandingkan dengan mahasiswa yang optimismenya (B) rendah. Menurut Seligman (2005; Bourne & Russo, 1998; Hockenbury & Hockenbury, 2003), optimisme (B) merupakan keyakinan individu bahwa kegagalan (A) hanya bersifat sementara, tidak berpengaruh pada seluruh aktivitas, dan bukan secara mutlak disebabkan oleh diri sendiri. Sedangkan ketika mengalami peristiwa yang menyenangkan (A), individu yang optimis akan 28 berkeyakinan bahwa peristiwa tersebut akan berlangsung lama, bisa terjadi pada segala situasi, dan disebabkan oleh usaha diri sendiri. Cara pandang seseorang yang positif (B) dalam mengatasi masalah atau peristiwa (A) akan berpengaruh pada motivasi yang tinggi, suasana hati yang positif, dan perilaku orang tersebut yang cenderung fokus dalam mengatasi masalahnya ( C). Hal ini menunjukkan bahwa cara pandang seseorang terhadap suatu masalah atau peristiwa merupakan hal yang penting dalam menentukan bagaimana seseorang berprilaku dalam mengatasi masalahnya (Gerrig & Zimbardo, 2008).

3. Consequences ( C)

Yaitu bagaimana perasaan dan perilaku yang mengikuti peristiwa (A). Individu yang memiliki keyakinan yang positif (B) dalam menghadapi suatu peristiwa atau masalah (A) cenderung lebih menggunakan penyelesaian masalah secara langsung atau active coping ( C), karena memandang bahwa masalah (A) sebagai tantangan yang dapat diselesaikan, dibandingkan dengan yang memiliki keyakinan yang negatif (B).

Hubungan antara Optimisme dan PFC yang dijelaskan melalui teori ABC milik Ellis yang dikembangkan oleh Seligman (dalam Franken,2002) menunjukkan bahwa faktor belief (B) meerupakan hal yang penting dan menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Keyakinan (B) seseorang dalam memandang suatu peristiwa atau masalah (A) akan berpengaruh pada motivasi, suasana hati, dan perilaku mereka dalam mengatasi masalah tersebut ( C) (Gerrig & Zimbardo, 2008). Ketika seseorang memiliki belief optimis yang tinggi maka kecenderungan untuk melakukan PFC akan lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang memiliki belief optimis yang rendah. Menurut Scheier dan Carver (dalam Bourne & Russo, 1998), individu yang memiliki keyakinan dan cara berpikir yang positif dalam memandang suatu masalah lebih banyak menggunakan koping secara aktif ketika menyelesaikannya.

Hal di atas menunjukkan pentingnya optimisme pada individu dalam menghadapi situasi yang penuh stres. Sebagai mahasiswa yang memiliki optimisme tinggi maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan baik, dengan cara penanganan masalah yang berfokus pada sumber masalah. Sedangkan pada mahasiswa yang memiliki optimisme yang rendah atau pesimis dalam menghadapi hidup, ia cenderung melarikan diri dari masalah dan kurang mampu mengatasi masalah dengan baik sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan yang dihadapi.