Apa hikmah dari diturunkannya Adam ke bumi?

image

Sesungguhnya, Allah SWT menurunkan Adam a.s., bapak manusia, dari surga adalah karena hikmah-hikmah yang tidak mampu dipahami akal dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Karena turunnya Adam a.s. dari surga merupakan esensi kesempurnaan-Nya agar dia kembali ke surga dalam kondisi yang terbaik. Allah SWT ingin membuat Adam dan keturunannya merasakan kehidupan dunia dengan segala kesusahan, keresahan, dan kesulitan di dalamnya, yang semua itu menjadi standar masuknya mereka ke surga di akhirat kelak. Dan, kebaikan sesuatu akan tampak melalui lawannya. Seandainya mereka hidup di surga, maka mereka tidak akan dapat mengetahui agungnya surga. Allah SWT ingin memerintah, melarang, dan menguji mereka, sedangkan surga bukanlah tempat untuk menerima beban taklif (paksaan), karena itu Allah menurunkan mereka ke bumi

Allah SWT menawarkan kepada mereka sebaik-baik balasan, yang tidak mungkin diperoleh tanpa ada perintah dan larangan. Di samping itu, Allah SWT ingin memilih di antara mereka para nabi, rasul, wali, dan syuhada yang Dia cintai serta mereka mencintai-Nya. Maka, Allah SWT membaurkan mereka dengan musuh-musuh-Nya, dan menguji mereka dengan musuh-musuh itu. Tatkala mereka lebih memilih Allah SWT, mengorbankan jiwa dan harta mereka demi keridhaan dan kecintaan-Nya, maka mereka memperoleh kecintaan, keridhaan, dan kedekatan dengan-Nya, yang tidak mungkin diraih tanpa pengorbanan tersebut. Kerasulan, kenabian, syahid, cinta, marah, keberpihakan kepada wali-wali-Nya dan membenci musuh-musuh-Nya karena Dia semata, merupakan derajat yang paling mulia di sisi-Nya. Semua ini tidak mungkin terwujud kecuali dengan cara yang telah diatur dan diputuskan-Nya. Yaitu, menurunkan Adam a.s. ke bumi dan menjadikan kehidupannya serta kehidupan anak cucunya di dalamnya.

Allah SWT memiliki Asmaa’ul-Husnaa (nama-nama yang indah). Di antaranya adalah al-Ghafuur, ar-Rahiim, al-‘Afuww, al-Haliim, al-Khaafid, ar-Raafi’, al-Mu’izz, al-Mudzill, al-Muhyi, al-Mumiit, al-Waarits, dan ash-Shabuur. Dan, pengaruh dari Asmaa’ul-Husnaa tersebut pasti tampak. Maka dengan kebijaksanaan-Nya, Adam dan keturunannya Dia turunkan ke alam ini, di mana pengaruh Asmaa 'ul-Husnaa tersebut menjadi nyata. Di alam inilah Allah SWT mengampuni, mengasihi, mengangkat, memuliakan, menghinakan, menyiksa, memberi, tak memberi, melapangkan dan sebagainya bagi siapa saja yang Dia kehendaki sebagai manifestasi dari asma dan sifat yang Dia miliki.

Allah SWT adalah al-Maalik, al-Haqq, dan al-Mubiin (Maha Penguasa, Maha Benar, Maha Nyata). Al-Maalik adalah Yang memerintah, melarang, memberikan ganjaran, memberikan hukuman, menghinakan, memuliakan, meninggikan, dan merendahkan. Dengan demikian, kekuasaan Allah SWT menghendaki diturunkannya Adam dan keturunannya ke bumi, di mana hukum-hukum kekuasaan-Nya diberlakukan. Setelah itu, mereka akan dipindahkan ke suatu tempat, yang di dalamnya terbukti kesempurnaan kekuasaan-Nya tersebut.

Allah SWT juga menurunkan manusia ke bumi, di mana keimanan kepada yang gaib dapat terwujud. Keimanan kepada yang gaib adalah keimanan yang hakiki dan bermanfaat, berbeda dengan keimanan hanya kepada yang tampak. Setiap orang percaya bahwa pada hari kiamat hanya keimanannya yang bermanfaat. Seandainya mereka tetap ditempatkan di dalam surga, maka mereka tidak akan memperoleh tingkat keimanan kepada yang gaib ini. Mereka pun tidak akan merasakan kelezatan dan kemuliaan yang hanya dapat terwujud dengannya. Bahkan kelezatan dan kemulian yang tersedia bagi mereka di surga, tempat kenikmatan itu, tidak seperti yang akan mereka peroleh karena keimanan kepada yang gaib.

Allah SWT menciptakan Adam a.s. dari segenggam materi yang diambil dari semua zat bumi. Bumi yang mengandung zat baik, buruk, lapang, keras, mulia, dan jahat. Allah SWT mengetahui bahwa di punggung Adam a.s. ada keturunannya yang tidak layak tinggal bersamanya di surga sebagai alam kenikmatan. Karena itu, Allah SWT menurunkannya ke bumi, di mana kebaikan dan keburukan dikeluarkan dari tulang sulbinya. Lalu Allah SWT memisahkan keduanya dan masing-masing Dia tempatkan di tempat yang berbeda. Maka, Allah SWT menjadikan orang-orang baik sebagai teman dan sahabat Adam a.s. di surga kelak, dan menjadikan orang-orang yang jahat sebagai penghuni neraka, tempat orang-orang yang menderita dan orang-orang jahat. Allah SWT berfirman,

Supaya Allah memisahkan golongan yang buruk dari yang baik dan menjadikan yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu semuanya ditumpukannya dan dimasukkannya ke dalam neraka Jahanam. (Mereka itulah orang-orang yang merugi).” (al-Anfal: 37)

Karena Allah SWT tahu bahwa dari keturunan Adam a.s. ada yang tidak layak tinggal bersamanya di surga, maka Dia menurunkan Adam a.s. dan keturunannya ke tempat di mana orang-orang yang tidak layak tinggal di surga itu dipisahkan, lalu dimasukkan ke tempat yang sesuai dengan mereka. Semua itu terjadi karena hikmahNya yang agung dan kehendak-Nya yang sempurna. Demikianlah ketetapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Tatkala Allah SWT berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Para malaikat pun bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (al-Baqarah: 30) Maka, Allah SWT menjawab pertanyaan itu dengan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)

Kemudian Allah SWT pun menampakkan ilmu-Nya kepada hamba-hamba dan malaikat-Nya. Dia menjadikan di atas bumi ini orang-orang yang istimewa; yaitu para rasul, para nabi, dan para wali. Juga orang-orang yang mendekatkan diri kepadaNya dengan mengorbankan jiwa melawan syahwat dan hawa nafsu demi cinta dan ridha dari-Nya. Mereka meninggalkan semua yang mereka cintai untuk mendekatkan diri kepada-Nya, mereka melawan hawa nafsu demi mencari keridhaan-Nya, dan mereka mengorbankan jiwa dan raga demi menggapai cinta-Nya.

Maka, Allah SWT memberi mereka keistimewaan dengan sebuah pengetahuan yang tidak dimiliki para malaikat. Mereka selalu bertasbih dengan memuji-Nya siang malam. Mereka senantiasa menyembah-Nya meskipun hawa nafsu, syahwat, dan godaan jiwa serta musuh-musuh mereka selalu merongrongnya. Sedangkan para malaikat, mereka menyembah Allah SWT tanpa ada tantangan yang menghadang, tanpa ada syahwat yang menggoda, dan tanpa ada musuh yang semena-mena, karena ibadah para malaikat kepada Allah SWT seakan menyatu dengan jiwa mereka. Di samping itu, Allah SWT ingin menampakkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, perihal musuh-musuh-Nya, pembangkangan mereka, dan ketakaburan mereka terhadap perintah-Nya. Allah SWT juga ingin menampakkan usaha musuh-musuh-Nya itu dalam menentang keridhaan-Nya.

Dan sebelumnya, semua itu tersembunyi dan tidak diketahui oleh bapak manusia dan bapak jin. Oleh karenanya, Allah SWT menurunkan mereka ke bumi, dan di sana Dia memperlihatkan apa yang sebelumnya hanya diketahui oleh-Nya. Maka, nyata dan sempurnalah kebijaksaanan serta perintah-Nya, dan pengetahuan-Nya pun menjadi tampak oleh para malaikat.

Allah SWT mencintai orang-orang yang sabar, orang-orang yang berbuat baik, orang-orang yang bersatu untuk berperang di jalan-Nya, orang-orang yang bertobat, orang-orang yang bersih, dan orang-orang yang bersyukur. Kecintaan Allah SWT adalah kemuliaan yang paling tinggi. Karena itu, dengan hikmah-Nya Dia menempatkan Adam a.s. dan keturunannya di suatu tempat, di mana kecintaan Allah SWT itu dapat terwujud. Dengan demikian, diturunkannya Adam dan keturunannya ke bumi ini adalah nikmat yang paling tinggi bagi mereka. Allah berfirman,

“Dan Allah menentukan siapa yang dikehendakinya untuk diberi rahmat dan Allah mempunyai karunia yang sangat besar.” (al-Baqarah: 105)

Allah SWT juga ingin mengambil dari keturunan Adam orang-orang yang Dia bela, Dia kasihi serta Dia cintai, dan mereka juga mencintai-Nya. Kecintaan mereka kepada-Nya merupakan puncak kehormatan dan kemuliaan. Derajat yang mulia ini tidak mungkin terealisasi tanpa adanya keridhaan dari-Nya dengan mengikuti perintah-Nya, serta meninggalkan keinginan hawa nafsu dan gejolak syahwat yang dibenci oleh-Nya, Zat yang mereka cintai. Maka, Allah SWT menurunkan mereka ke bumi ini, di mana mereka menerima perintah dan larangan untuk mereka taati. Sebab itu, mereka memperoleh kemuliaan cinta dari-Nya. Itulah kesempurnaan hikmah dan kasih sayang-Nya, Dia Yang Maha Baik lagi Maha Penyayang.

Karena Allah telah menciptakan makhluk-Nya secara berjenjang dan berjenisjenis, dan dengan hikmah-Nya Dia mengutamakan Adam a.s. beserta keturunannya atas seluruh makhluk-makhluk-Nya, maka Dia menjadikan penyembahan ('ubudiyyah) mereka kepada-Nya sebagai derajat yang paling mulia. Yaitu 'ubudiyyah yang mereka lakukan sesuai keinginan dan pilihan mereka sendiri, bukan karena keterpaksaan. Sebagaimana diketahui, Allah SWT telah mengutus Jibril kepada Nabi saw. untuk memberinya pilihan; antara menjadi seorang raja dan nabi, atau menjadi seorang hamba dan nabi. Lalu Nabi saw. memandang Jibril seolah berkonsultasi kepadanya, dan Jibril mengisyaratkan supaya beliau bersikap tawadhu. Kemudian beliau bersabda, “Saya memilih menjadi seorang hamba dan nabi.”

Maka, Allah SWT menyebut beliau dengan sifat kehambaan dalam tingkatnya yang paling mulia. Yaitu, ketika Allah SWT menceritakan tentang isra’ beliau, tentang kewajiban dakwah beliau, dan ketika Allah SWT mengajukan tantangan kepada musuh-musuh-Nya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman tentang isra’ Nabi saw.,

“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.” (al-Israa’: 1)

Dalam ayat di atas Allah SWT menyebut Nabi Muhammad dengan kata-kata hamba, bukan ‘rasul-Nya atau nabi-Nya’. Ini merupakan sebuah isyarat bahwa ketika Nabi Muhammad saw. menunaikan isra’ yang merupakan kehormatan tertinggi bagi seorang hamba, maka itu kesempurnaan penghambaan beliau kepada Allah SWT.

Ketika menceritakan tugas beliau sebagai da’i (pendakwah) Allah SWT berfirman, “Dan bahwa tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin itu desak-mendesak mengerumuninya.” (al Jinn: 19) Demikian juga ketika menantang musuh-musuh-Nya untuk mengajukan alasan keraguan mereka terhadap kerasulan beliau, Allah SWT berfirman, "Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah saja yang semisal Al-Qur’an itu.’ (al-Baqarah: 23)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang syafaat Nabi saw. dan penolakan para nabi untuk memberi syafaat serta perkataan Almasih a.s., “Pergilah kepada Muhammad, seorang hamba yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang”, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. memperoleh kedudukan yang paling agung ini, karena kesempurnaan penghambaan beliau dan sempurnanya pengampunan Allah SWT atas beliau. Jika kehambaan ('ubudiyyah) di sisi Allah SWT memiliki kedudukan yang sedemikian rupa tingginya, maka hikmah-Nya menghendaki untuk menempatkan Adam a.s. dan keturunannya di suatu tempat, yang di dalamnya mereka memperoleh kedudukan tinggi tersebut yang bisa dicapai dengan kesempurnaan ketaatan dan kedekatan mereka kepada Allah SWT, serta karena kecintaan Allah SWT kepada mereka. Juga karena mereka meninggalkan segala yang mereka suka demi kecintaannya kepada Allah SWT. Inilah kesempurnaan nikmat dan kebaikan Allah SWT kepada mereka.

Allah SWT juga ingin mengetahui hamba-hamba-Nya yang berhak menerima kesempurnaan dan keagungan nikmat-Nya, supaya cinta, rasa syukur, dan kelezatan nikmat yang mereka rasakan semakin besar. Karena itu, Allah memperlihatkan kepada mereka tindakan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya, serta azab dan kepedihan yang dipersiapkan untuk musuh-musuh tersebut. Dan di sisi lain, Allah memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bahwa mereka dibebaskan dari azab dan siksa, serta kekhususan yang mereka peroleh berupa nikmat dan kecintaan yang paling tinggi; cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Itu semua agar kebahagiaan mereka semakin bertambah, kebanggaan mereka sempurna, dan kegembiraan mereka semakin besar.

Semua itu tidak akan berlaku kecuali dengan menurunkan mereka ke bumi, di mana mereka diuji dan dicoba. Dan di bumi inilah Dia memberikan taufik kepada siapa yang Dia kehendaki sebagai bukti kasih sayang dan kemurahan-Nya. Di bumi ini juga Dia menelantarkan orang-orang yang Dia kehendaki sebagai bukti kebijaksanaan dan keadilan-Nya. Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Tidak disangsikan bahwa jika seorang menyaksikan musuhnya atau orang yang dekat dengannya merasakan berbagai macam siksa dan kepedihan, sedangkan ia bergelimang dengan berbagai jenis nikmat dan kelezatan, maka kegembiraannya akan semakin bertambah serta kelezatan dan nikmat yang ia rasakan semakin besar dan semakin sempurna.

Allah SWT menciptakan makhluk-Nya adalah untuk beribadah kepada-Nya, dan itulah tujuan penciptaan mereka. Allah berfirman,

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepadaKu.” (adz-Dzaariyaat: 56)

Dan, dimaklumi bahwa kesempurnaan ibadah yang dituntut dari manusia tidak dapat terealisasi dalam surga; sebagai tempat kenikmatan yang abadi. Karena surga sebagai tempat kelezatan dan kenikmatan, bukanlah tempat untuk mendapatkan cobaan, ujian, dan beban. Akan tetapi, kesempurnaan ibadah tersebut hanya dapat terealisasi di bumi; tempat cobaan dan ujian. Hikmah Allah SWT juga menghendaki agar Adam a.s. dan keturunannya mempunyai struktur tubuh yang sarat dengan dorongan hawa nafsu dan fitnah, serta dibekali akal dan ilmu. Allah SWT menciptakan dalam diri Adam a.s. akal dan syahwat, dan memberi keduanya kecenderungan yang berbeda. Hal itu dimaksudkan untuk merealisasikan kehendak-Nya dan menampakkan keagungan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.

Semua itu dilakukan Allah SWT dalam frame hikmah, kehebatan, kasih sayang, kebaikan dan kelembutan-Nya, yang menjadi bukti kekuasaan dan kerajaan-Nya. Hikmah dan rahmat Allah SWT juga menghendaki untuk menimpakan kepada Adam a.s. akibat dari tindakannya menyalahi aturan-Nya. Allah SWT juga memberitahu Adam apa yang ia peroleh akibat mengikuti syahwat dan hawa nafsunya, supaya dia semakin berhati-hati dan semakin menjauhinya. Dengan demikian, kondisi Nabi Adam a.s. bagaikan seseorang yang berada dalam perjalanan, di mana musuh-musuhnya bersembunyi di samping, di belakang, dan di depannya, sedangkan dia tidak menyadarinya. Jika dia mendapat serangan satu kali saja, maka dia akan terus waspada dan bersiap siaga sepanjang perjalanan. Dia juga akan melakukan persiapan untuk menghadapi musuh-musuhnya, serta mempersiapkan segala sesuatu yang dapat melindunginya dari serangan musuh-musuh tersebut. Seandainya dia sama sekali tidak pernah merasakan kekalahan akibat serangan dan konspirasi musuh, maka ia tidak akan pernah waspada dan bersiap siaga serta tidak akan mempersiapkan persenjataan.

Maka, di antara kesempurnaan nikmat Allah SWT kepada Adam a.s. dan keturunannya, Dia memperlihatkan apa yang dilakukan musuh terhadap mereka, supaya mereka bersiap siaga dan melakukan persiapan untuk menghadapinya. Kalau dikatakan bahwa bisa saja musuh-musuh tersebut tidak mampu menguasai Adam a.s. dan keturunannya, maka jawaban untuk hal ini adalah bahwa Allah SWT telah menciptakan Adam a.s. dan keturunannya dalam bentuk dan struktur tubuh yang mengharuskan mereka berbaur dengan musuh-musuh tersebut, serta mengharuskan mereka menjalani ujian di tangan musuh-musuh itu.

Seandainya Allah SWT menghendaki, niscaya Dia menciptakan Adam a.s. dan keturunannya seperti malaikat, yang memiliki akal tanpa syahwat sehingga musuh-musuh tidak mampu mengganggu mereka. Akan tetapi, seandainya mereka diciptakan dalam bentuk demikian, maka mereka adalah makhluk lain, bukan anak cucu Adam a.s… Karena sesungguhnya anak-cucu Adam a.s. terbentuk dari unsur akal dan syahwat.

Di samping itu, karena cinta kepada Allah SWT yang merupakan puncak kesempurnaan dan kebahagiaan seorang hamba hanya terwujud dengan menanggung kesulitan demi ketaatan dan keridhaan-Nya, maka hanya dengan menjalani semua itulah cinta sejati dapat terwujud dan dapat diketahui keteguhannya di dalam hati. Hikmah Allah SWT menghendaki untuk mengeluarkan Adam a.s. dan keturunannya ke tempat yang diliputi syahwat dan kecintaan kepada hawa nafsu. Sedangkan, cinta kepada Allah SWT hanya akan terwujud dengan mengutamakan kebenaran dan menghindari hawa nafsu, serta hal-hal yang lain di dunia. Dengan demikian, manusia dituntut untuk memikul kesulitan yang berat, menjalani marabahaya, menanggung celaan, bersabar menghadapi kezaliman dan kesesatan, serta dituntut untuk menanggulanginya. Semua ini memperkokoh kekuatan cinta yang tertanam di dalam relung hati. Kemudian hasilnya pun akan dinikmati oleh seluruh anggota tubuhnya.

Sesungguhnya cinta yang hakiki dan membuahkan hasil adalah cinta yang tetap tegar menghadapi berbagai hambatan, tantangan, dan gangguan. Sedangkan, cinta yang mensyaratkan (menuntut) kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan, dan terpenuhinya keinginan sang pencinta dari yang dicinta, maka ini bukanlah cinta yang sejati. la sama sekali tidak mempunyai keteguhan menghadapi tantangan dan rintangan. Karena sesuatu yang tergantung pada syarat, akan hilang di kala syarat itu hilang. Barangsiapa menyayangi Anda karena sesuatu, maka dia akan berpaling di saat sesuatu tersebut hilang. Jadi orang yang menyembah Allah SWT hanya di kala bahagia, sejahtera, dan sehat, berbeda dengan orang yang tetap menyembah Allah SWT di kala susah dan bahagia, menderita dan sejahtera, serta di kala sakit dan sehat.

Hanya milik Allah SWT pujian yang sempurna dan tanpa akhir. Terlihatnya sebab-sebab yang membuat Dia terpuji, merupakan konsekuensi dari Zat-Nya Yang Maha Terpuji. Sebab-sebab itulah yang membuat-Nya terpuji. Adapun sebab yang membuat Dia Maha Terpuji itu ada dua, yaitu Maha Pemurah dan Maha Adil. Maka, Allah SWT terpuji pada kedua hal tersebut. Karena itu, sebab-sebab keadilan dan penyebutan-penyebutannya harus Tampak, sehingga kesempurnaan pujian yang pantas bagi-Nya dapat terwujud. Dan sebagaimana Dia terpuji dalam kebaikan, kasih sayang, dan kemurahan-Nya, Dia juga terpuji dalam keadilan, ganjaran, dan siksaNya, karena semua itu berasal dari keagungan dan kebijaksanaan-Nya. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an Allah SWT seringkali mengingatkan hal ini. Seperti yang terdapat dalam surah asy-Syu’araa’, yang pada akhir setiap kisah para rasul dan umat mereka Dia berfirman, “Sesungguhnya 'pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar, tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (asySyu’araa : 8-9)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, Allah SWT memberitahukan bahwa kebaikan, kasih sayang, kemurahan, keadilan, pahala, dan siksa adalah berasal dari keagungan-Nya, yang mencakup sempurnanya kekuasaan, kebijaksanaan, dan pengetahuan-Nya, serta ketepatan penempatan-Nya terhadap segala sesuatu pada posisinya masing-masing. Hal ini sebagaimana Dia tidak memberikan kenikmatan dan keselamatan kecuali kepada para rasul dan pengikutnya. Dia tidak menimpakan kemurkaan dan kebinasaan kecuali kepada para musuh-Nya. Semua ini merupakan penempatan yang tepat, terjadi karena sempurnanya keagungan dan kebijaksanaanNya. Oleh karena itu, setelah memberitahukan ketetapan-Nya bagi orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara serta perjalanan mereka ke tempat yang sesuai bagi mereka masing-masing, maka Dia berfirman,

"Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan, ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.’ (az-Zumar: 75)

Kemahabijaksanaan dan kemahaterpujian Allah SWT menghendaki adanya perbedaan yang sangat besar dan mencolok di antara hamba-hamba-Nya. Ini Dia lakukan agar hamba-hamba-Nya yang mendapatkan nikmat dan kemurahan-Nya mengetahui bahwa Allah SWT telah menganugerahkan nikmat dan kemurahan serta kemuliaan yang tidak diberikan kepada yang lainnya, semua itu agar mereka mau bersyukur. Seandainya semua manusia sama dalam memperoleh nikmat dan kesejahteraan, maka mereka yang memperoleh nikmat tidak akan mengetahui nilai nikmat itu sendiri dan tidak akan berusaha untuk bersyukur karena merasa bahwa kondisi semua orang sama dengannya.

Di antara sebab yang paling kuat dan paling besar yang membuat seorang hamba bersyukur, adalah ketika dia melihat dirinya dalam kondisi yang berbeda dengan hamba yang lain, di mana dia berada dalam keadaan serba cukup dan beruntung. Dalam sebuah riwayat yang masyhur, tatkala Allah SWT memperlihatkan kepada Adam a.s. kondisi keturunannya dan perbedaan tingkatan mereka, Adam a.s. berkata,“Wahai Tuhanku mengapa Engkau tidak menyamakan derajat hamba-hambaMu?” Allah SWT menjawab, “Saya suka menerima rasa syukur.”

Maka, keinginan Allah SWT untuk disyukuri, menuntut diciptakannya sebab-sebab yang menjadikan rasa syukur hamba-hamba-Nya lebih besar dan lebih sempurna. Dan, inilah esensi kebijaksanaan Allah SWT yang berasal dari sifat keterpujian-Nya.

Tidak ada sesuatu yang lebih disenangi Allah SWT dari seorang hamba, selain ketundukan, kepatuhan, ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepasrahan di hadapan-Nya. Sebagaimana diketahui bahwa hal-hal di atas yang dituntut dari seorang hamba, hanya tercapai jika sebab-sebab pendukungnya ada. Sedangkan, sebab-sebab tersebut tidak bisa terwujud di dalam surga, yang merupakan tempat kenikmatan yang mutlak dan kesehatan yang sempurna. Karena jika sebab-sebab tersebut terwujud di surga, maka hal ini memiliki konsekuensi penggabungan dua hal yang kontradiktif.

Hanya Allah SWT yang berkuasa mencipta dan memerintah. Perintah-Nya itu adalah syariat dan agama-Nya yang diturunkan melalui para nabi dan kitab-kitabNya. Sedangkan surga bukanlah tempat menjalankan ketetapan syara’, di mana hukum-hukum dan akibat-akibatnya berlaku. Akan tetapi, surga adalah tempat kenikmatan dan kesenangan. Dan, hikmah Allah SWT menghendaki Adam a.s. beserta keturunannya dikeluarkan ke suatu tempat, yang di dalamnya hukum-hukum syara’ dan perintah Allah berlaku. Sehingga, konsekuensi dari perintah tersebut dan akibat-akibatnya tampak pada diri mereka.

Sebagaimana perbuatan dan penciptaan Allah SWT merupakan konsekuensi koheren dari kesempurnaan Asmaa 'ul-Husna dan sifat-sifat-Nya Yang Maha Agung, demikian juga halnya dengan syariat-Nya, yang meliputi pahala dan siksa. Allah SWT menunjukkan hal ini pada ayat lain dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya,

“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban.” (al-Qiyaamah: 36)

Artinya, apakah mereka mengira bahwa mereka tidak dipedulikan, dibiarkan, tidak diperintah, tidak dilarang, tidak diberi pahala, dan tidak disiksa? Ayat ini menunjukkan bahwa anggapan tadi bertentangan dengan kesempurnaan hikmahNya. Ketuhanan, keagungan, serta hikmah-Nya menolak hal tersebut. Karena itu, Allah SWT berfirman dalam bentuk pengingkaran terhadap orang yang memiliki prasangka di atas. Ini menunjukkan bahwa kebaikan Allah SWT tertanam dalam fitrah dan akal manusia. Begitu pula buruknya membiarkan kebaikan, juga tertanam di dalam fitrah manusia. Maka, bagaimana mungkin sesuatu yang keburukannya tertanam di dalam fitrah dan akal manusia dapat dinisbatkan kepada Tuhan? Allah SWT berfirman,

“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara bermain-main saja dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?Maka, Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenamya. Tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan yang memiliki Arasy yang mulia.” (al-Mu rninuun: 115-116)

Sebagaimana dalam ayat di atas, Allah SWT mensucikan Zat-Nya dari anggapan batil yang bertentangan dengan nama dan sifat-sifat-Nya serta tidak layak bagi keagungan-Nya. Dia juga menegaskan bahwa penisbatan anggapan tersebut kepadaNya tidaklah benar. Dan, ayat-ayat seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an.

Allah SWT menyukai, bagi hamba-hamba-Nya, hal-hal yang perealisasiannya tergantung pada terwujudnya sebab-sebab yang mereka capai, yang menghantarkan kepada hal-hal tersebut. Hal-hal tersebut tidak dapat tercapai kecuali dalam tempat cobaan serta ujian. Maka, Allah SWT mencintai orang-orang yang sabar, orang-orang yang bersyukur, orang-orang yang bersatu untuk berperang di jalan-Nya, orang-orang yang bertobat, dan orang-orang yang menyucikan diri mereka. Dan merupakan hal yang sudah jelas, bahwa kecintaan Allah ini tidak akan tercapai tanpa adanya sebab-sebab, sebagaimana kemustahilan terwujudnya akibat tanpa adanya sebab. Kegembiraan Allah SWT atas tobat hamba-Nya lebih besar daripada kegembiraan seseorang yang kehilangan tunggangan beserta seluruh perbekalan di atasnya di sebuah lembah nan tandus, lalu tiba-tiba ia menemukannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih bahwa Nabi saw. bersabda,

“Sesungguhnya kegembiraan Allah karena tobat seorang mukmin, lebih besar daripada seseorang yang berada di tanah tandus bersama hewan tunggangannya yang membawa makanan dan minumannya, lalu ia tertidur. Tatkala terbangun ia tidak menemukan tunggangannya. Kemudian dia mencarinya hingga dahaga menyerangnya, sehingga ia putus asa dan berkata, ‘Aku akan kembali ke tempat di mana aku tertidur, dan aku akan tidur lagi sampai aku mati.’ Maka dia pun meletakkan kepala di atas lengannya, untuk bersiap-siap menyambut kematian. Namun, tiba-tiba dia terbangun dan melihat hewan tunggangannya yang membawa seluruh bekalnya berada di sampingnya. Maka, kegembiraan Allah karena tobat seorang mukmin, lebih besar daripada kegembiraan orang tersebut.” (HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)

Adapun maksud dari hadits di atas secara ringkas adalah bahwa kegembiraan Allah SWT timbul setelah hamba tersebut bertobat dari dosanya. Karena tobat dan dosa adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dengan kegembiraan itu, sebagaimana akibat tidak akan ada tanpa adanya sebab. Jika kegembiraan Allah SWT hanya terwujud karena tobat yang tidak terpisahkan dari dosa, maka kegembiraan-Nya tersebut tidak akan terjadi di surga, tempat kenikmatan, di mana dosa dan pelanggaran tidak ada. Dan ketika terwujudnya kegembiraan itu lebih Allah SWT sukai daripada ketiadaannya, maka kesukaan Allah tersebut mengharuskan diciptakannya sebab-sebab terwujudnya kegembiraan yang disukai oleh-Nya.

Allah SWT menjadikan surga sebagai tempat menerima imbalan dan pahala, dan membagi-bagi tingkatan surga, sesuai amal perbuatan para penghuninya. Maka, Allah SWT menciptakan surga dan membagi-bagi tingkatannya, karena di dalam pembagian itu terdapat hikmah yang sesuai dengan nama dan sifat-sifat-Nya. Sesungguhnya surga bertingkat-tingkat, dan jarak antara satu tingkat dengan tingkat berikutnya seperti jarak antara langit dan bumi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam riwayat yang shahih, Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya surga itu terdiri dari seratus tingkatan. Jarak antarsatu tingkatan dengan yang lain seperti jarak antara bumi dan langit.”(HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)

Hikmah Allah SWT menghendaki agar semua tingkatan surga ini dihuni. Dan, perbedaan tingkatan-tingkatan surga itu sesuai dengan amal perbuatan penghuninya. Ini sebagaimana dikatakan oleh beberapa ulama salaf, “Para penghuni surga selamat dari siksa neraka adalah karena maaf dan ampunan Allah SWT. Mereka masuk surga karena kemurahan, nikmat, dan ampunan Allah SWT semata. Dan, mereka membagi-bagi tempat mereka di surga sesuai dengan amal perbuatan mereka.” Berdasarkan hal ini, beberapa ulama menetapkan bahwa seseorang masuk surga adalah karena amal perbuatannya, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan itulah surga yang diwariskan kepadamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (az-Zukhruuf: 72). Juga firman-Nya, "Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang te

Sedangkan nash-nash yang menunjukkan bahwa seseorang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, seperti sabda Rasulullah saw. dalam hadits riwayat Bukhari, “Tak seorang pun akan masuk surga karena amalnya.” Lalu para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Demikian pula aku.”

Maksudnya bahwa pada dasarnya mereka tidak masuk surga. Jawaban yang lebih tepat adalah bahwa huruf ba’ yang bermakna sebab bukan huruf ba’ yang tidak memiliki makna sebab. Huruf ba’ pertama ini disebut ba’ sababiyyah {ba’ yang memiliki arti sebab), yang berarti bahwa amal perbuatan adalah sebab masuk surga, sebagaimana semua sebab membutuhkan akibat. Sedangkan ba’ yang kedua yang tidak bermakna sebab, dinamakan ba’ mu ‘aawadhah wa muqaabalah18, seperti dalam kata-kata orang Arab, “Saya membeli barang ini dengan uang ini.” Dan inilah ba’ yang terdapat dalam hadits di atas.

Maka, Rasulullah saw. bersabda bahwa masuk surga bukanlah imbalan dari amal seseorang. Seandainya bukan karena limpahan kasih sayang Allah SWT, maka tidak seorang pun masuk surga. Jadi amal seorang hamba, meskipun tidak terbatas jumlahnya, bukan satu-satunya hal yang mengharuskan dia masuk surga, dan bukan pula masuk surga itu sebagai ganti amalnya. Meskipun amal seorang hamba dilakukan sesuai dengan cara yang dicintai dan diridhai Allah SWT, namun itu tidak dapat mengimbangi dan menyamai nikmat yang Allah SWT limpahkan kepadanya di dunia. Bahkan, jika amal perbuatannya dihisab, maka itu hanya setimpal dengan sedikit nikmat Allah SWT. Sedangkan, nikmat-nikmat Allah SWT lain yang ia terima, masih memerlukan rasa syukur. Jadi Allah SWT mengazabnya padahal ia telah berbuat kebajikan, maka itu bukanlah kezaliman dari-Nya atas orang tersebut. Dan apabila Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada orang tersebut, maka rahmat-Nya itu jauh lebih baik dari amal perbuatannya. Ini sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat dari Zaid Bin Tsabit, Hudzaifah dan Iain-lain, yang terdapat dalam kitab-kitab Sunan yang dinisbatkan kepada Nabi saw.lah kamu kerjakan." (an-Nahl: 32)

“Jika Allah berkehendak mengazab para penghuni surga dan para penghuni bumi-Nya, Dia pasti mengazab mereka, dan itu bukanlah kezaliman dari-Nya atas mereka. Dan jika Allah member! rahmat-Nya kepada mereka, maka rahmatNya lebih baik dari amal perbuatan mereka.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Hibban)

Allah SWT menghendaki penciptaan surga dengan derajatnya yang bertingkat-tingkat dan mengisinya dengan Adam a.s. beserta keturunannya. Allah SWT juga menempatkan mereka di dalam surga sesuai dengan amal perbuatan mereka. Maka sebagai konsekuensi dari kehendak Allah itu, Dia menurunkan Adam a.s. dan keturunannya ke bumi, tempat beramal dan berjuang. Allah SWT menciptakan Adam a.s. dan anak cucunya sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (alBaqarah: 30) “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.” (al-An’aam: 165) “Dan menjadikan kamu khalifah di bumi.” (al-A’raaf: 129)

Jadi Allah SWT hendak memindahkan Adam a.s. dan keturunannya dari kekhalifahan di bumi, menjadi pewaris surga yang abadi. Dengan ilmu-Nya, Allah SWT telah mengetahui bahwa karena kelemahan dan pendeknya pandangan manusia, terkadang mereka lebih memilih sesuatu yang dapat ia nikmati dengan segera namun tidak bernilai, daripada sesuatu yang datangnya tertunda namun sangat berharga. Hal ini disebabkan jiwa manusia lebih senang kepada sesuatu yang dapat mereka dapatkan dengan segera daripada sesuatu yang akan mereka peroleh kelak. Dan, ini merupakan konsekuensi diciptakannya manusia dengan tabiat tergesa-gesa serta diciptakan dengan sifat suka terburu-buru. Karena itu, Allah SWT mengetahui bahwa salah satu sifat manusia adalah lemah.

Maka, hikmah Allah SWT menghendaki untuk memasukkan mereka ke dalam surga, supaya mereka mengetahui secara langsung nikmat yang disiapkan untuk mereka. Sehingga, mereka lebih merindukan dan menginginkannya, serta lebih semangat untuk mendapatkannya. Karena cinta, rindu, dan keinginan mendapatkan sesuatu terjadi karena seseorang telah membayangkan sesuatu tersebut. Barangsiapa yang secara langsung menyaksikan dan merasakan keindahan serta kenikmatan sesuatu, maka dia tidak bisa bersabar untuk menggapainya. Semua ini terjadi karena jiwa manusia sangat perasa dan perindu. Apabila ia telah merasakan nikmatnya sesuatu, maka ia akan terus merindukannya. Karena itu, jika seorang hamba telah merasakan manisnya keimanan, dan keindahan iman telah menyatu dengan kalbunya, maka akan kokoh kecintaannya kepada-Nya dan selamanya tidak akan goyah oleh sesuatu pun.

Dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari yang berstatus marfu’ dan diriwayatkan dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Allah Azza wa Jalla bertanya kepada para malaikat, “Apa yang diminta oleh hamba-hamba-Ku dari-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka meminta surga-Mu.” Allah bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Mereka menjawab, “Tidak.” Allah bertanya kembali, “Bagaimana jika mereka pernah melihatnya?” Mereka menjawab, “Niscaya mereka lebih menginginkannya lagi.”

Oleh karena itu, hikmah Allah SWT menghendaki untuk memperlihatkan surga itu kepada Adam a.s., bapak mereka. Dia menempatkan Adam a.s. di surga, kemudian Dia mengisahkan kisahnya kepada keturunan Adam a.s… Dengan demikian, seakanakan mereka telah menyaksikannya dan ada bersama Adam a.s. di dalamnya. Maka, orang yang tercipta untuk surga dan surga tercipta untuknya segera memenuhi seruan Tuhan dan segera menuju ke surga. Tidak ada sesuatu yang bersifat sementara dapat memalingkannya, tetapi dia segera mempersiapkan diri untuk menuju ke sana. Ibarat seseorang yang tinggal di suatu tempat, kemudian ditawan oleh musuhnya, maka ketika ia merasa bahwa tempat tersebut adalah kampung halamannya yang asli, niscaya ia senantiasa merindukannya dan tidak dapat tenang hingga ia kembali ke sana. Seorang penyair berkata,

“Pindahkan hatimu kepada cinta yang engkau kehendaki Karena cinta hanyalah untuk kekasih yang pertama Betapa banyak tempat di bumi yang (pernah) ditempati oleh seseorang Namun selamanya kerinduannya hanyalah untuk yang pertama.”

Dalam syair lain dengan makna yang senada dikatakan,

“Marilah kita menuju surga 'Aden, Karena di sanalah tempat asalmu dan di sana ada tempat berlindung Akan tetapi kita ini adalah tawanan musuh, Apakah menurut kamu kami dapat kembali ke tanah asal kita dengan selamat.”

Rahasia dari semua hal di atas adalah bahwa Allah SWT dalam hukum dan hikmahNya, telah menetapkan bahwa tujuan-tujuan yang ingin dicapai manusia tidak dapat mereka peroleh kecuali melalui sebab-sebab yang telah dijadikan Allah sebagai sarana yang mengantarkan kepada tujuan-tujuan tersebut. Di antara tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh manusia adalah nikmat yang tertinggi, terbaik, dan termulia. Dan, itu tidak dapat dicapai kecuali dengan sebab yang telah ditetapkan Allah SWT, yang mengantarkan mereka ke tujuan tersebut.

Jika tujuan-tujuan yang derajatnya jauh berada di bawah tujuan-tujuan termulia tersebut —seperti makanan, minuman, pakaian, anak dan harta di dunia, yang semuanya remeh dan tidak kekal— hanya dapat diperoleh dengan sebab-sebab tertentu, bagaimana mereka bisa mengklaim bahwa tujuan yang termulia itu dapat diperoleh tanpa adanya sebab? Sebab-sebab ini tidak dapat diperoleh kecuali di tempat berjuang dan bertanam. Maka, penempatan Adam a.s. dan keturunannya di bumi, di mana terdapat sebab-sebab yang mengantar kepada kedudukan tertinggi, merupakan bagian dari kesempurnaan nikmat-Nya kepada mereka.

Di antara rahasia penempatan Adam a.s. dan keturunannya di bumi juga adalah, bahwa Allah menjadikan kerasulan, kenabian, kecintaan, takliim (pembicaraan langsung), kewalian, dan 'ubudiah sebagai kedudukan dan kesempurnaan yang tertinggi bagi makhluk-Nya. Maka, Allah SWT menempatkan mereka ke sebuah tempat, yang di dalamnya Dia memilih para nabi, mengutus para rasul, mengambil kekasih, dan berbicara langsung dengan Musa. Juga memilih di antara mereka para syuhada, hamba setia dan orang-orang khusus yang Dia cintai dan juga mencintaiNya. Dan sekali lagi, ditempatkannya mereka di bumi merupakan bagian dari kesempurnaan nikmat dan kebaikan dari-Nya.

Allah SWT juga menampakkan kepada makhluk-Nya pengaruh dan berlakunya hukum nama-nama-Nya terhadap mereka, sebagaimana yang dikehendaki oleh hikmah, rahmat, dan ilmu-Nya. Maka, di antara rahasia diturunkannya Adam dan keturunannya ke bumi adalah bahwa Allah SWT memperkenalkan wujud-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya melalui perbuatan-perbuatan-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan apa yang Dia lakukan terhadap para wali dan musuh-musuh-Nya. Dia memuliakan para wali-Nya dan menghinakan serta menyesatkan musuh-musuhNya. Dia mengabulkan doa, memenuhi kebutuhan, menghilangkan kesusahan, menyingkirkan bala, serta mencurahkan berbagai kebaikan dan keburukan dengan ketentuan-Nya, sebagaimana yang Dia kehendaki.

Ini semua merupakan bukti terbesar bahwa Dia adalah Tuhan dan Pemilik mereka. Dan, itu semua membuktikan bahwa tiada tuhan selain Allah SWT, Dia Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Mendengar, dan Maha Melihat. Dialah Tuhan yang haq, sedangkan yang lainnya adalah batil. Maka, bukti-bukti ketuhanan dan keesaan-Nya sangat banyak di muka bumi ini.

Bukti-bukti itu bervariasi dan muncul dari segala penjuru. Sehingga, hambahamba-Nya yang mendapatkan taufik mengetahui dan mengakui keesaan-Nya. Sedangkan, orang-orang yang tersesat mengingkari dan menyekutukan-Nya karena kezaliman dan kekafiran mereka. Dengan demikian, orang yang binasa adalah karena sebab yang jelas, dan orang yang selamat adalah karena sebab yang jelas pula. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Barangsiapa yang melihat dan merenungkan tanda-tanda serta pengaruh kekuasaan-Nya yang terlihat dan terdengar di buka bumi, maka dia pasti mengetahui kesempurnaan hikmah-Nya dalam penempatan Adam a.s. dan keturunannya di bumi ini untuk jangka waktu tertentu. Karena Allah SWT menciptakan surga untuk Adam a.s. dan keturunannya, dan menjadikan malaikat sebagai pelayan mereka di dalamnya. Akan tetapi, hikmah-Nya menghendaki untuk menciptakan suatu tempat bagi mereka, yang di dalamnya mereka mengumpulkan bekal menuju tempat yang juga tercipta untuk mereka. Sedangkan, mereka tidak akan mencapai tempat tersebut (surga) kecuali dengan bekal dari dunia. Allah SWT berfirman tentang dunia,

"Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya melainkan dengan kesukaran-kesukaran yang melelahkan diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. "(an-Nahl: 7).

Ayat di atas menjelaskan kondisi perpindahan dari suatu negeri ke negeri lain di bumi ini. Lalu bagaimana dengan perpindahan dari dunia menuju tempat yang kekal? “Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah: 197)

Orang-orang yang tertipu, menjual dan menukar tempat mereka di surga dengan harga dan sesuatu yang hina dan rendah. Sedangkan, orang-orang yang mendapatkan taufik menjual diri dan harta mereka untuk Allah SWT, dan menjadikan segala yang mereka miliki sebagai biaya untuk menebus surga. Sehingga, mereka memperoleh laba dari perniagaan ini dan memperoleh kemenangan yang sangat besar. Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (at-Taubah: 111)

Allah SWT tidak mengeluarkan Adam a.s. dari surga, kecuali untuk mengembalikannnya dalam kondisi yang paling sempurna, sebagaimana di dalam sebuah perumpamaan dikatakan bahwa Allah SWT berfirman kepada Adam a.s.,

“Wahai Adam, janganlah engkau terkejut dengan perkataan-Ku ‘keluar dari surga’, karena untukmulah Aku ciptakan surga itu. Sesungguhnya Aku tidak membutuhkannya dan tidak membutuhkan suatu apapun. Aku Maha Pemurah. Aku tidak bersenang-senang di dalamnya. Aku Maha Memberi makan dan Aku tidak membutuhkan makan. Aku Maha Kaya dan Maha Terpuji. Akan tetapi, turunlah engkau ke tempatpersemaian. Jika engkau telah menaburbenih lalu benih itu tumbuh dan berdiri tegak di atas batangnya kemudian menghasilkan buah, maka saat itu kemarilah engkau. Lalu Aku akan membayar setiap biji yang sangat engkau butuhkan dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, dan terus hingga kelipatan-. kelipatan yang sangat banyak. Sesungguhnya Aku lebih mengetahui kemaslahatanmu daripada dirimu sendiri dan Aku Maha Agung lagi Maha Bijaksana.”

Ada yang berkata bahwa rahasia-rahasia yang telah disebutkan di atas dan yang semisalnya, hanya berlaku jika surga yang pernah ditempati Adam a.s. dan ia diturunkan darinya adalah surga yang kekal, yang siapkan untuk orang-orang bertakwa dan orang-orang mukmin pada hari kiamat kelak. Dengan demikian, rahasia diturunkan dan dikeluarkannya Adam a.s. dari sana menjadi nampak. Akan tetapi, ada sekelompok orang —di antaranya Abu Muslim, Mundzir bui Sa’id al-Baluthi dan lainnya— yang berkata bahwa surga itu adalah surga yang ada di suatu tempat tinggi di bumi ini, bukannya surga yang pada hari kiamat dipersiapkan Allah SWT untuk hamba-hambaNya yang beriman.

Mundzir bin Sa’id menyebutkan pendapat ini dalam tafsirnya dari beberapa orang. Dia berkata, “Sekelompok orang berpendapat bahwa firman Allah SWT kepada Adam a.s., ‘Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga’, adalah surga abadi yang akan ditempati orang-orang mukmin pada hari kiamat. Sedangkan, sebagian yang lain berpendapat bahwa itu adalah surga lain yang diciptakan dan disiapkan sebagai tempat Adam a.s., bukan surga yang abadi. Ini adalah pendapat yang memiliki banyak buktibukti pendukung, karena surga yang dimasuki orang mukmin pada hari kiamat adalah salah satu tempat di akhirat. Dan surga itu hanya dimasuki pada hari akhirat, sedangkan itu belum terjadi. Allah SWT telah menjelaskan kepada kita dalam kitabNya tentang sifat-sifat surga itu. Dan, mustahil Allah SWT menggambarkan sifat sesuatu, lalu sesuatu itu tidak seperti apa yang Dia gambarkan. Maka, hal ini merupakan sebab mengapa Allah SWT memberitahukan kondisi surga tersebut.”

Orang-orang berkata -ini masih perkataan Mundzir bin Sa’id—bahwa mereka mendapati Allah SWT menggambarkan surga yang dipersiapkan untuk orang-orang bertakwa sesudah hari kiamat adalah yang ditempati Adam a.s., padahal Adam a.s. tidak tinggal di sana. Mereka berkata bahwa surga itu adalah surga yang kekal, padahal Adam a.s. tidak kekal di dalamnya. Mereka berkata bahwa Allah SWT menjelaskan surga itu adalah tempat ganjaran bukannya tempat ujian, padahal Adam a.s. telah diuji di dalamnya dengan kemaksiatan dan fitnah. Mereka berkata bahwa Allah SWT telah menjelaskan di dalam surga itu tidak ada kesedihan, dan orang-orang yang memasukinya akan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan beban kesedihan,” padahal Adam a.s. telah bersedih di dalamnya.

Kita tahu bahwa Allah SWT menamakan surga itu dengan tempat keselamatan (Daarus-salaam), sedangkan Adam a.s. tidak selamat dari kekurangan yang ada di dunia. Allah SWT juga menamakannya sebagai tempat untuk menetap selamanya (Daarul-Qaraar), padahal Adam a.s. tidak terus menetap di dalamnya. Allah SWT berfirman kepada orang yang memasukinya, “Dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya” (al-Hijr: 48) Sedangkan, Adam a.s. telah keluar karena kemaksiatan yang ia perbuat. Allah SWT berfirman, “Mereka tidak merasa lelah di dalamnya.” (al-Hijr: 48)

Adam a.s. telah kelelahan karena melarikan diri ketika dia melakukan kemaksiatan dan menutupi dirinya dengan dedaunan surga, padahal kelelahan ini adalah yang dinafikan Allah dari surga abadi. Allah SWT mengabarkan bahwa di dalamnya tidak terdengar ucapan sia-sia dan dosa, padahal Adam a.s. telah melakukan dosa dan mendengarkan sesuatu yang lebih besar daripada ucapan sia-sia, yaitu diperintah berbuat maksiat kepada Tuhannya. Allah SWT mengabarkan bahwa tidak ada ucapan sia-sia dan kedustaan di dalamnya, padahal iblis telah memperdengarkan kedustaan kepada Adam a.s… Iblis juga bersumpah atas kedustaan tersebut setelah memperdengarkannya kepada Adam a.s… Allah SWT telah memberitakan dalam Kitab-Nya bahwa Dia menamakan minuman yang ada di surga dengan nama, “minuman yang bersih” (al-Insaan: 21), yakni bersih dari segala sifat tercela, padahal Adam a.s. tidak bersih dari sifat-sifat tersebut.

Allah SWT juga menamakannya ‘tempat kebenaran’, padahal iblis telah mendustai Adam a.s. di dalamnya, sedangkan ‘tempat kebenaran’ tidak ada dusta di dalamnya. Dan, Allah SWT juga menamakannya ‘tempat yang tinggi’, yang di dalamnya sama sekali tidak ada perubahan dan pergantian sebagaimana yang disepakati orang-orang muslim. Dan, surga berada pada tempat yang paling tinggi. Sesungguhnya Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (alBaqarah: 30)

Dia tidak mengatakan, “Sesungguhnya Aku akan menjadikannya di surga, tempat kembali.” Maka, para malaikat berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” (al-Baqarah: 30) Dan dengan ketaatan para malaikat, mereka tidak mungkin mengatakan kepada Allah SWT bahwa Allah tidak tahu. Akan tetapi, para malaikat tersebut berkata, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (al-Baqarah: 32)

Hal ini merupakan indikasi bahwa Allah SWT telah mengajarkan kepada mereka bahwa keturunan Adam a.s. akan melakukan kerusakan di atas bumi. Jika tidak demikian, bagaimana mereka mengatakan apa yang mereka tidak tahu. Sedangkan Allah SWT telah berfirman, dan firman-Nya itu maha benar,

“Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (al-Anbiyaa": 27)

Para malaikat tidak mengatakan dan tidak berbuat sesuatu kecuali yang diperintahkan oleh Allah SWT. Allah berfirman, “Dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahriim: 6) Allah SWT telah memberitahu kita bahwa iblis berkata kepada Adam a.s., “Maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuidi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Thaahaa: 120).

Seandainya Allah SWT telah menempatkan Adam pada surga yang abadi dan kerajaan yang tidak binasa, bagaimana dia tidak membantah nasehat iblis dan mengingkari ucapannya dengan berkata, “Bagaimana engkau menunjukkanku kepada sesuatu yang aku ada di dalamnya, dan sesuatu itu telah diberikan kepadaku serta aku telah memilihnya?” Mengapa Adam a.s. tidak menaburkan debu ke wajah iblis dan mencelanya? Sebab, seandainya iblis dengan ucapannya itu bermaksud menyesatkan Adam a.s., maka dia sebenarnya menghina Adam a.s… Karena menjanjikan kepada Adam a.s. jika ia melakukan maksiat, maka iblis akan memberinya sesuatu yang dia ada di dalamnya, bukan sesuatu yang lebih baik dari tempat itu.

Perkataan seperti ini hanya ditujukan kepada orang-orang gila yang tidak berakal. Karena, imbalan yang dijanjikan kepadanya dengan berbuat maksiat kepada Allah SWT telah ia peroleh, yaitu kekekalan dan kerajaan yang tidak lekang oleh waktu. Dan ketika Allah SWT menempatkan Adam a.s. di surga, Allah tidak memberitahu Adam a.s. bahwa dia kekal di dalam surga. Seandainya Adam a.s. kekal di dalam surga itu, pasti dia tidak akan terpengaruh oleh ucapan iblis dan tidak menerima nasehatnya. Akan tetapi, karena dia tidak berada di dalam surga yang kekal, maka dia tertipu dengan apa yang diiming-imingkan iblis untuk makan buah khuidi.

Seandainya Allah SWT telah memberitahu Adam a.s. bahwa dia berada di dalam surga yang abadi, maka apabila dia meragukan pemberitahuan Tuhan tersebut, dia disebut sebagai orang kafir, bukan menyebutnya sebagai orang yang berbuat maksiat. Hal ini, karena orang yang meragukan berita Allah SWT adalah orang kafir, sedangkan orang yang melakukan selain perintah Allah dan dia meyakini pemberitahuan Tuhan disebut orang yang berbuat maksiat (al- 'aashi). Allah SWT hanya menamakan Adam a.s. sebagai orang yang berbuat maksiat, bukan orang kafir.

Orang-orang berpendapat -ini masih perkataan Mundzir bin Sa’id— bahwa seandainya Allah SWT menempatkan Adam a.s. di dalam surga yang abadi, yang suci dan hanya dimasuki oleh orang suci dan disucikan, maka mengapa iblis yang kotor, terlaknat, tercela, dan hina dapat mencapai surga sehingga dia dapat menggoda Adam a.s… Iblis adalah makhluk fasik yang telah membangkang dari perintah Tuhannya. Sedangkan, surga bukanlah tempat orang-orang fasik dan sama sekali tidak akan dimasuki oleh orang yang fasik. Surga adalah tempat orang-orang bertakwa, sedangkan iblis bukan makhluk yang bertakwa. Jika setelah dikatakan kepada iblis dalam surah al-A’raaf ayat 13, “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya”, dia mendapat kelapangan untuk naik ke surga di langit ke tujuh, setelah Allah SWT memurkai dan menjauhkannya karena keangkuhan dan kesombongannya, maka ini bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surah al-A’raaf tersebut.

Seandainya ucapan dan janji iblis kepada Adam a.s. bukan kesombongan, maka orang-orang Arab yang dengan bahasa mereka Al-Qur’an diturunkan, tidak akan memahami makna takabur. Mungkin orang yang pikirannya lemah dan pengetahuannya kurang akan berkata bahwa iblis tidak sampai ke surga, hanya godaannya yang sampai ke sana. Maka, ini adalah kata-kata yang menyerupai kondisi orang yang mengatakan dan meyakininya. Dan, hanya firman Allah SWT yang menjadi penengah antara kami dan orang itu. Firman Allah SWT, “Dan Iblis bersumpah kepada keduanya,” tidak sejalan dengan pendapat orang tersebut. Karena sumpah itu bukan godaan, tetapi ia adalah pembicaraan langsung dengan lisan. Dan ini tidak terjadi kecuali ada dua pihak yang berada pada satu tempat, bukan hanya satu orang. Di antara bukti yang menunjukkan bahwa bisikan iblis berupa pembicaraan langsung (mukhaathabah) adalah firman Allah SWT, “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya dengan berkata, 'Wahai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasaV” (Thaahaa: 120)

Dalam ayat ini, Allah SWT memberitahukan bahwa iblis berkata kepada Adam a.s… ini menunjukkan bahwa iblis membisiki Adam a.s. secara langsung, bukannya memasukkan godaannya ke dalam relung hati Adam a.s. tanpa kata-kata. Barangsiapa mengklaim bahwa ayat ini perlu ditakwilkan tanpa adanya dalil, maka pendapatnya itu tidak boleh diterima. Dan sekali lagi bahwa bisikan adalah ucapan atau suara yang terdengar. Ar-Ru’bah Ibnu-Ajjaj berkata, “Ucapan pelan yang berdoa dengan ikhlas kepada Tuhan.” Al-A’syaa berkata, “Engkau mendengar gemerincing lembut suara perhiasan di kala dia pergi Seperti suara pohon 'Asyraq yang ditiup angin.”

Orang-orang berpendapat bahwa perkataan iblis kepada Adam a.s. dan Hawa, “Tuhan kamu tidak melarang kamu berdua memakan pohon ini”, menunjukkan bahwa iblis menyaksikan mereka berdua dan pohon itu. Tatkala Adam a.s. keluar dari surga, tidak lagi tinggal di dalamnya, Allah SWT berfirman, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu, ‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua.’” (al-A’raaf: 22)

Dalam firman-Nya di atas, Allah SWT tidak mengatakan ‘daripohon ini’ seperti ucapan Iblis kepada Adam a.s… Ini disebabkan Adam a.s. waktu itu tidak berada di surga dan tidak melihat pohon tersebut. Allah SWT berfirman, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang balk dan amal saleh dinaikkanNya.” (Faathir: 10)

Dalam ayat di atas Allah SWT mengatakan dengan tegas bahwa yang akan naik kepada-Nya adalah perkataan yang baik dan amal saleh. Inilah yang telah kami katakan sebelumnya bahwa hanya yang suci dan baik yang bisa masuk ke tempat suci dan disucikan. Aku berlindung kepada Allah atas ucapan bahwa bisikan iblis itu suci, disucikan atau baik, tetapi sebaliknya bisikan iblis adalah buruk, zalim, keji, dan najis. Maha Tinggi dan Maha Besar Allah SWT dari hal tersebut. Sebagaimana perbuatan orang-orang kafir tidak sampai kepada Allah SWT Yang Maha Suci karena perbuatan itu hina dan buruk, maka demikian halnya dengan bisikan iblis. Allah berfirman, “Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjiin.” (al-Muthaffifiin: 7)

Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa Adam a.s. tidur dalam surganya, padahal menurut ijma’ orang-orang muslim, penghuni di surga yang abadi tidak tidur karena tidur adalah satu kematian, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Dan orang yang tidur adalah orang yang mati, atau laksana orang mati. Sedangkan, kematian adalah sebuah perubahan kondisi, padahal surga bebas dari perubahan.

Mereka mengatakan bahwa Ummu Haritsah berkata kepada Rasulullah," Wahai Rasulullah, sesungguhnya Haritsah telah terbunuh dalam peperangan bersamamu. Jika dia berjalan menuju surga, maka saya akan bersabar dan berbalk sangka. Tetapi jika dia berjalan menuju ke tempat lain, menurut engkau apa yang harus saya lakukan?" Maka Rasulullah saw. bersabda, "Apakah kau kira surga itu cuma satu? Surga itu banyak."20 Maka Rasulullah saw. mengabarkan bahwa Allah SWT memiliki banyak surga, jadi mungkin saja Adam a.s. ditempatkan dalam salah satu surga selain surga abadi.

Mereka mengatakan bahwa walaupun riwayat yang menyebutkan bahwa surga Adam ada di India tidak disahkan oleh para perawi dan penukil khabar serta atsar, tapi yang diterima akal dan didukung oleh makna lahir ayat Al-Qur’an adalah bahwa surga Adam a.s. bukan surga abadi. Bagaimana bisa dikatakan bahwa surga itu adalah surga abadi, padahal Allah SWT yang berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (alBaqarah: 30)

Bagaimana Allah SWT memberitahukan kepada para malaikat bahwa Dia hendak menjadikan seorang khalifah di atas bumi, kemudian Dia menempatkannya di surga, tempat kekekalan? Sedangkan surga itu hanya dimasuki oleh orang yang kekal di dalamnya, sebagaimana ia dinamakan Daarul-Khuld (tempat kekekalan). Allah SWT telah menamakan surga tersebut dengan beberapa nama yang telah kami sebutkan dengan penamaan secara umum, yang tidak ada pengecualian di dalamnya. Jika surga dikatakan sebagai tempat kekekalan, maka obyek nama ini tidak boleh berkurang sama sekali.