Apa Dasar Hukum Pembentukan Operasi Perdamaian?

Dasar Hukum Pembentukan Operasi Perdamaian

PBB membentuk suatu mekanisme dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan dunia melalui suatu Operasi Perdamaian.

Apa Dasar Hukum Pembentukan Operasi Perdamaian ?

Dasar Hukum Pembentukan Operasi Perdamaian


Di dalam kaitannya dengan usaha-usaha pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, PBB telah meletakkan lima prinsip dalam piagamnya, yaitu:

  • Prinsip untuk menyelesaikan perselisihan internasional secara damai (Pasal 2 ayat (3) jo. Bab VI dan Bab VII);
  • Prinsip untuk tidak menggunakan ancaman atau kekerasan (Pasal 2 ayat (4));
  • Prinsip mengenai tanggung jawab untuk menentukan adanya ancaman (Pasal 39);
  • Prinsip mengenai pengaturan persenjataan (Pasal 26); dan
  • Prinsip umum mengenai kerjasama di bidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 11 ayat (1)).

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka PBB membentuk suatu mekanisme dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan dunia melalui suatu Operasi Perdamaian. Sebagai mekanisme PBB, Operasi Perdamaian memiliki status sebagai organ tambahan ( subsidiary organ ) PBB, dan para anggotanya dianggap sebagai anggota dari sebuah pasukan internasional.

Operasi Perdamaian yang dibentuk oleh Majelis Umum merupakan organ tambahan yang dimaksud dalam Pasal 22 Piagam PBB, sedangkan Operasi yang dibentuk oleh Dewan Keamanan mengikuti Pasal 29 Piagam PBB. Legal personality dari Operasi ini mengikuti legal personality PBB. Operasi Perdamaian tersebut seringkali dikatakan lahir dari kebutuhan. Hal ini mengingat bahwa meskipun tidak ada pasal dalam Piagam PBB yang mengatur mengenai Operasi ini, namun Operasi Perdamaian dianggap dapat menjadi mekanisme yang efektif bagi PBB untuk mengembalikan dan memelihara perdamaian serta keamanan dunia selama Perang Dingin yang berakibat pada keadaan buntu ( deadlock ) di Dewan Keamanan. Sekretaris Jenderal Dag Hammarskjold merupakan orang yang pertama mendukung konsep adanya Operasi Perdamaian dengan dilatarbelakangi anggapan bahwa Piagam PBB pun sesungguhnya secara tidak langsung memberikan ruang untuk penyelesaian sengketa dengan cara tersebut.

Dasar hukum dari dikenalnya lembaga Operasi Perdamaian ini dapat dilihat dalam Bab VI Piagam PBB mengenai Penyelesaian Sengketa Secara Damai yang meliputi penyelesaian secara hukum, mediasi, serta negosiasi. Metode-metode inilah yang dilaksanakan oleh Operasi Perdamaian, di mana salah satu fungsinya, yakni peacemaking, jelas-jelas bertujuan ‘ to bring hostile parties to agreement through peaceful means such as found in Chapter VI’ . Adapun pengiriman sebuah Pasukan sebagai metode penyelesaian sengketa tersebut memiliki dasar Bab VII Piagam PBB yang memiliki karakter tindakan pemaksaan yang memungkinkan penggunaan kekerasan. Oleh karena itu, seringkali dikatakan bahwa dasar hukum pembentukan dari Operasi Perdamaian adalah Bab VI ½ Piagam PBB.

Karakteristik dari Bab VI ½ ini sangat terlihat pada First Generation Peacekeeping yang didisain untuk merespon konflik antar negara dengan cara menempatkan suatu Pasukan Perdamaian yang tidak bersenjata untuk memonitor negosiasi perdamaian, penarikan tentara, atau sebagai pembuat zona netral sampai perdamaian benar-benar tercapai. Adapun prinsip-prinsip peacekeeping generasi pertama ini meliputi (1) adanya persetujuan pihak yang berkonflik, (2) ketidakberpihakkan, (3) kenetralan, dan (4) penggunaan kekerasan hanya dalam rangka membela diri.

Seperti telah disebutkan di atas, Operasi Perdamaian seakan telah berevolusi dengan adanya Second Generation dan Third Generation Peacekeeping . Biasanya Operasi dengan tipe ini dibentuk untuk mengatasi konflik yang intrastate , di mana persetujuan mungkin susah didapatkan, namun keadaan yang ada telah dianggap mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Dengan karakteristiknya yang sudah meninggalkan prinsip-prinsip first generation peacekeeping , perlu dikaji pula mengenai dasar hukum pembentukannya. Faktor pembeda yang utama dari kedua generasi hasil evolusi peacekeeping ini adalah bahwa (1) terdapat intervensi urusan domestik suatu negara berdaulat, (2) dimungkinkannya penggunaan kekerasan secara lebih aktif, (3) pada third generation peacekeeping , persetujuan dari pihak yang berkonflik tidak lagi diperlukan.

Faktor pembeda tersebut menyaratkan adanya karakter Bab VII yang lebih kuat pada evolusi Operasi Perdamaian ini. Pasal 42 Piagam PBB memperbolehkan adanya tindakan militer dari udara, laut, maupun daratan yang dibutuhkan untuk mengembalikan atau memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Keputusan Dewan Keamanan untuk mengirimkan operasi militer tersebut akan mengikat bagi Negara Anggota PBB, termasuk para pihak yang berkonflik dan Negara Kontributor sesuai dengan ketentuan Pasal 25. Adanya Bab VII tersebut juga menjawab pertanyaan adanya kemungkinan pelanggaran Pasal 2 ayat (7) yang mengatur bahwa PBB tidak dapat mengintervensi urusan domestik suatu negara. Dijelaskan bahwa konflik internal pun kemudian dapat terus berlanjut dan meningkat menjadi konflik region serta melibatkan pelanggaran atas hukum internasional.

Dengan demikian, konflik tersebut telah keluar dari domain yurisdiksi domestik suatu negara. Meskipun karakternya lebih dekat dengan Bab VII Piagam PBB, namun tujuan dari Operasi Perdamaian hasil evolusi ini tetaplah pada esensinya untuk menyelesaikan konflik secara damai dalam jangka panjang. Oleh karena itu, seringkali disebutkan bahwa dasar hukum dari Operasi tersebut adalah Bab VI ¾ Piagam PBB.