Bayi berat lahir rendah lebih rentan terhadap kemungkinan hambatan pertumbuhan, perubahan proporsi tubuh serta sejumlah perubahan metabolik dan kardiovaskular. Selain itu, bayi berat lahir rendah juga akan memiliki risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi, masalah kurang gizi, pendek atau kurus selama masa kanak-kanaknya (Rao dan Yajnik, 2010).
Bayi yang lahir dengan kisaran berat badan antara 2.000-2.500 gram memiliki risiko kematian neonatal 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan kisaran berat badan 2.500-3.000 gram dan 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan kisaran berat badan 3.000-3.500 gram (ACC/SCN, 2000 & Rao dan Yajnik, 2010).
Bayi dengan berat lahir rendah juga akan mengalami kerusakan fungsi imun. Semakin berat retardasi pertumbuhan yang dialami oleh janin, maka akan semakin berat pula kerusakan imunokompetensi dan kerusakan tersebut akan tetap bertahan sepanjang masa kanak-kanak (ACC/SCN, 2000 & Rao dan Yajnik, 2010).
Chandra (1997) mengatakan bahwa bayi dengan berat lahir yang rendah mengalami kerusakan imunitas yang dimediasi oleh sel dalam jangka waktu yang lama. Raqib et al (2007) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa pada anak usia 5 tahun, anak yang lahir genap bulan namun BBLR memiliki persentase sel CD3 pada darah perifer yang lebih rendah dibandingkan dengan anak dengan berat lahir normal.
Perbedaan konsentrasi sel CD3 tersebut diperkirakan merupakan konsekuensi percepatan apoptosis dari limfosit. Berdasarkan temuan tersebut, Raqib et al (2007) menyatakan bahwa bayi dengan berat lahir rendah dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi imun yang terus dibawa sampai usia sekolah bahkan lebih.
Bayi berat lahir rendah yang disebabkan oleh IUGR memiliki konsekuensi jangka panjang pada ukuran tubuh, komposisi dan kekuatan otot. Bayi ini akan mengalami 5 cm lebih pendek dan 5 kg lebih ringan dibandingkan bayi dengan berat lahir normal. Bayi berat lahir rendah juga akan mengalami disfungsi neurologis yang berhubungan dengan defisit konsentrasi, hiperaktivitas, kecerobohan dan performa akademik yang buruk (ACC/SCN, 2000).
Selain efek buruk dari sisi infeksi dan kognitif, bayi dengan berat lahir rendah juga diketahui memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit degeneratif saat memasuki masa dewasa. Peningkatan risiko ini dicoba dijelaskan dengan hipotesis bahwa kurang gizi pada fase kritis di masa janin dan bayi menyebabkan perubahan permanen pada struktur tubuh dan metabolisme (Rao dan Yajnik, 2010).
Perubahan ini akan menempatkan individu yang lahir dengan berat di bawah normal pada tingkat risiko yang tinggi bagi sejumlah penyakit degeneratif. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya epidemi penyakit tidak menular di kawasan Asia Selatan dimana pada tahun-tahun sebelumnya diketahui angka kurang gizi pada wanita dan anak-anak masih tinggi (Bhutta et al, 2004).
Law et al (1993) menyimpulkan pada penelitiannya bahwa hipertensi saat dewasa ditentukan oleh mekanisme inisiasi dan amplifikasi yang terjadi pada saat dalam kandungan. Dua kelompok utama bayi yang pada penelitian tersebut mengalami hipertensi pada masa dewasa yaitu bayi yang kurus dan bayi yang pendek.
Barker (1995) mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan dengan berat lahir yang berada pada batas bawah kisaran normal, mereka yang kurus atau pendek saat lahir atau mereka yang kecil dalam perbandingannya dengan ukuran plasenta memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami penyakit jantung koroner. Sejalan dengan temuan Barker (1995), Fall et al (1995) dan Fall et al (1995) juga menyatakan bahwa penyakit jantung koroner telah “diprogram” pada masa awal pertumbuhan dan risiko terbesar dialami oleh orang yang mengalami BBLR pada saat lahir dan menjadi obesitas pada masa dewasa.
Huxley et al (2007) mengatakan bahwa kenaikan berat lahir sebanyak 1 kg diasosiasikan dengan penurunan 10-20% risiko penyakit jantung iskemik Selain hipertensi dan penyakit jantung koroner, Rich-Edwards et al (1999) juga menemukan bahwa berat lahir memiliki korelasi terbalik dengan risiko mengalami diabetes tipe 2 pada masa dewasa. Individu yang memiliki riwayat BBLR berisiko 1,86 kali lebih tinggi untuk mengalami diabetes tipe 2 pada masa dewasa dibandingkan dengan individu yang memiliki berat lahir referensi (3,16- 3,82 kg).