Apa dampak dari Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)?

Pada akhir tahun 90-an dilaporkan bahwa setidaknya terdapat 17 juta kasus Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yang mengambil bagian sebesar 16% dari seluruh kelahiran di negara berkembang.

Hampir 80% kasus BBLR terjadi di kawasan Asia (terutama di kawasan Asia Selatan dan Asia Tengah dengan Bangladesh yang memiliki angka kejadian tertinggi sekitar 40% disusul oleh India dan Pakistan sekitar 20- 25%).

Sekitar 15% dan 11% terjadi di kawasan Afrika Tengah dan Afrika Barat secara berurutan dan sekitar 7% terjadi di di kawasan Amerika Latin dan Karibia (ACC/SCN, 2000; Pojda dan Kelley, 2000 & Rao dan Yajnik, 2010).

Apa dampak dari Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)?

1 Like

Bayi berat lahir rendah lebih rentan terhadap kemungkinan hambatan pertumbuhan, perubahan proporsi tubuh serta sejumlah perubahan metabolik dan kardiovaskular. Selain itu, bayi berat lahir rendah juga akan memiliki risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi, masalah kurang gizi, pendek atau kurus selama masa kanak-kanaknya (Rao dan Yajnik, 2010).

Bayi yang lahir dengan kisaran berat badan antara 2.000-2.500 gram memiliki risiko kematian neonatal 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan kisaran berat badan 2.500-3.000 gram dan 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan kisaran berat badan 3.000-3.500 gram (ACC/SCN, 2000 & Rao dan Yajnik, 2010).

Bayi dengan berat lahir rendah juga akan mengalami kerusakan fungsi imun. Semakin berat retardasi pertumbuhan yang dialami oleh janin, maka akan semakin berat pula kerusakan imunokompetensi dan kerusakan tersebut akan tetap bertahan sepanjang masa kanak-kanak (ACC/SCN, 2000 & Rao dan Yajnik, 2010).

Chandra (1997) mengatakan bahwa bayi dengan berat lahir yang rendah mengalami kerusakan imunitas yang dimediasi oleh sel dalam jangka waktu yang lama. Raqib et al (2007) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa pada anak usia 5 tahun, anak yang lahir genap bulan namun BBLR memiliki persentase sel CD3 pada darah perifer yang lebih rendah dibandingkan dengan anak dengan berat lahir normal.

Perbedaan konsentrasi sel CD3 tersebut diperkirakan merupakan konsekuensi percepatan apoptosis dari limfosit. Berdasarkan temuan tersebut, Raqib et al (2007) menyatakan bahwa bayi dengan berat lahir rendah dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi imun yang terus dibawa sampai usia sekolah bahkan lebih.

Bayi berat lahir rendah yang disebabkan oleh IUGR memiliki konsekuensi jangka panjang pada ukuran tubuh, komposisi dan kekuatan otot. Bayi ini akan mengalami 5 cm lebih pendek dan 5 kg lebih ringan dibandingkan bayi dengan berat lahir normal. Bayi berat lahir rendah juga akan mengalami disfungsi neurologis yang berhubungan dengan defisit konsentrasi, hiperaktivitas, kecerobohan dan performa akademik yang buruk (ACC/SCN, 2000).

Selain efek buruk dari sisi infeksi dan kognitif, bayi dengan berat lahir rendah juga diketahui memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit degeneratif saat memasuki masa dewasa. Peningkatan risiko ini dicoba dijelaskan dengan hipotesis bahwa kurang gizi pada fase kritis di masa janin dan bayi menyebabkan perubahan permanen pada struktur tubuh dan metabolisme (Rao dan Yajnik, 2010).

Perubahan ini akan menempatkan individu yang lahir dengan berat di bawah normal pada tingkat risiko yang tinggi bagi sejumlah penyakit degeneratif. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya epidemi penyakit tidak menular di kawasan Asia Selatan dimana pada tahun-tahun sebelumnya diketahui angka kurang gizi pada wanita dan anak-anak masih tinggi (Bhutta et al, 2004).

Law et al (1993) menyimpulkan pada penelitiannya bahwa hipertensi saat dewasa ditentukan oleh mekanisme inisiasi dan amplifikasi yang terjadi pada saat dalam kandungan. Dua kelompok utama bayi yang pada penelitian tersebut mengalami hipertensi pada masa dewasa yaitu bayi yang kurus dan bayi yang pendek.

Barker (1995) mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan dengan berat lahir yang berada pada batas bawah kisaran normal, mereka yang kurus atau pendek saat lahir atau mereka yang kecil dalam perbandingannya dengan ukuran plasenta memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami penyakit jantung koroner. Sejalan dengan temuan Barker (1995), Fall et al (1995) dan Fall et al (1995) juga menyatakan bahwa penyakit jantung koroner telah “diprogram” pada masa awal pertumbuhan dan risiko terbesar dialami oleh orang yang mengalami BBLR pada saat lahir dan menjadi obesitas pada masa dewasa.

Huxley et al (2007) mengatakan bahwa kenaikan berat lahir sebanyak 1 kg diasosiasikan dengan penurunan 10-20% risiko penyakit jantung iskemik Selain hipertensi dan penyakit jantung koroner, Rich-Edwards et al (1999) juga menemukan bahwa berat lahir memiliki korelasi terbalik dengan risiko mengalami diabetes tipe 2 pada masa dewasa. Individu yang memiliki riwayat BBLR berisiko 1,86 kali lebih tinggi untuk mengalami diabetes tipe 2 pada masa dewasa dibandingkan dengan individu yang memiliki berat lahir referensi (3,16- 3,82 kg).

BBLR berhubungan erat dengan kematian, morbiditas janin, perinatal, menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif, dan penyakit kronis di kemudian hari. Pada tingkat populasi, proporsi bayi dengan BBLR merupakan indikator dari masalah kesehatan masyarakat yang beragam yang mencakup malnutrisi ibu jangka panjang, kesehatan yang buruk, kerja keras dan perawatan kesehatan yang buruk dalam kehamilan. Secara individual, BBLR merupakan prediktor penting kesehatan dan kelangsungan hidup bayi baru lahir dan dikaitkan dengan risiko kematian bayi dan anak yang lebih tinggi.

Leroy et al memeriksa ginjal anak-anak yang meninggal karena nonrenal di unit perawatan intensif neonatal. Anak-anak dengan berat di bawah persentil ke-10 dibandingkan dengan anak-anak dengan nilai berat di atas angka usia kehamilan yang sama. Pada mereka yang memiliki berat badan rendah untuk klasifikasi ini, memiliki berat ginjal lebih sedikit dan memiliki lebih sedikit nefron. Hinchliffe et al menemukan bahwa anak-anak dengan pertumbuhan intrauterin terbelakang memiliki nefron yang lebih sedikit tetapi volume glomerulus yang sama, dan Mañalich et al menemukan bahwa anak-anak dengan berat saat lahir di bawah 2,5 kg memiliki lebih sedikit nefron dan volume glomerular yang lebih besar daripada anak-anak dengan berat lahir yang lebih tinggi. Mereka mengamati pengurangan rata-rata 20% dari nefron pada anak-anak dengan BBLR.

Baru-baru ini, penelitian lain mendukung temuan ini. Hughson et al telah menunjukkan bahwa berat badan saat lahir adalah penentu kuat jumlah nefron dan ukuran glomerulus, yang menegaskan bahwa BBLR disertai dengan lebih sedikit nefron volume besar daripada pada individu dengan berat lahir normal. Hoy et al, dalam sebuah studi otopsi, menunjukkan bahwa volume sel hidup berbanding terbalik dengan jumlah glomeruli. Secara tidak langsung, dengan pengukuran ginjal ultrasonografi, hubungan berat lahir-histologis ini telah didukung. Deutinger et al membandingkan pengukuran kuantitatif ultrasonografi pertumbuhan ginjal dengan pengukuran fungsi ginjal dan menunjukkan kelayakan evaluasi keterbatasan fungsional sistem kemih intrauterin. Akhirnya, Spencer et al menunjukkan bahwa volume ginjal individu dengan BBLR lebih rendah daripada individu dengan berat lahir normal.

Konsekuensi jangka pendek BBLR dapat diringkas memiliki mortalitas perinatal hingga 12 kali lebih tinggi dan morbiditas 3 kali lebih tinggi daripada yang diamati untuk berat lahir yang sesuai dengan usia kehamilan. Semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa paparan lingkungan intrauterin yang abnormal memengaruhi perkembangan antropometrik, metabolisme, dan mental, yang mengarah pada peningkatan risiko penyakit di kemudian hari.

Law et al meninjau 43 studi berbeda sejak 1956, termasuk 66.000 pasien antara 0 dan 71 tahun dan menemukan korelasi yang baik antara berat lahir dan tekanan arteri sistolik dan diastolik. Nilsson et al menganalisis tekanan darah dan BBLR pada 149.378 anak-anak Swedia dan menemukan hubungan yang signifikan antara berat lahir dan tekanan arteri sistolik. Peningkatan 1 kg berat saat lahir dikaitkan dengan penurunan 0,8 mm Hg dalam tekanan sistolik. Demikian juga, Huxley et al meninjau hubungan antara tekanan arteri sistolik, berat lahir, dan pertumbuhan postnatal. Mereka menganalisis 80 artikel relevan yang diterbitkan antara Maret 1996 dan Maret 2000, yang mencakup lebih dari 440.000 orang dari 0 hingga 84 tahun dari semua ras. Tekanan arteri tercatat sekitar 2 mm Hg lebih rendah untuk setiap kg kenaikan berat badan saat lahir, dan percepatan pertumbuhan pascakelahiran pada anak-anak BBLR sangat terkait dengan tingkat tekanan darah yang lebih tinggi.

Bukti histomorfometrik baru pada manusia yang disediakan oleh Keller et al mengkonfirmasi bahwa lebih sedikit glomeruli volume besar ditemukan pada pasien dengan AHT primer daripada pada pasien normotensif. Namun, ada situasi klinis lain dimana jumlah nefron lebih rendah, namun AHT tidak ada atau jarang terjadi. Secara total, lebih dari 38 penelitian dari berbagai negara telah menunjukkan bahwa orang dengan BBLR cenderung memiliki tekanan arteri yang lebih tinggi pada masa kanak-kanak dan pada usia dewasa.

Referensi
  1. Stevens-Simon C, Orleans M (Sep 1999). “Low-birthweight prevention programs: the enigma of failure”. Birth. 26 (3): 184–91.
  2. Kalikkot Thekkeveedu, Renjithkumar; Guaman, Milenka Cuevas; Shivanna, Binoy (November 2017). “Bronchopulmonary dysplasia: A review of pathogenesis and pathophysiology”. Respiratory Medicine. 132: 170–177.
  3. Andrews, K.M.; Brouillette, D.B; Brouillette, R.T. (2008). “Mortality, Infant”. Encyclopedia of Infant and Early Childhood Development. Encyclopedia of Infant and Early Childhood Development. pp. 343–359.
  4. Norton, M (2005). “New evidence on birth spacing: promising findings for improving newborn, infant, child, and maternal health”. International Journal of Gynecology & Obstetrics. 89: S1–S6.
  5. “Baby Weight Growth Chart”.
  6. “Reduced brain volume in kids with low birth-weight tied to academic struggles, University of Oregon”. 2013-06-10.
  7. Reyes, Leonardo and Manalich, Reynaldo. Long-term consequences of low birth weight. Kidney International Journal. Vol. 68, Supplement 97 (2005), pp. S107–S111.