Sebagaimana diketahui, Rasulullah s.a.w membujang hingga usia dua puluh lima tahun. Pada usia dua puluh lima tahun beliau menikahi Siti Khadijah r.a sampai beliau berumur lima puluh tahun (menikah dengan Siti Khadijah selama 25 tahun).
Siti Khadijah r.a merupakan isteri beliau satu-satunya, sampai isteri terkasihnya itu wafat dalam usia enam puluh lima tahun. Beliau menikahi beberapa orang perempuan setelah berusia lima puluh lima tahun. Kemudian setelah beliau berusia enam puluh tahun sampai beliau pulang keharibaan Allah beliau tidak menikahi perempuan lain. Dua isterinya wafat mendahului beliau, dengan demikian maka beliau wafat meninggalkan isteri sembilan orang (Al-Husaini, 1989).
Para ahli riwayat berbeda pendapat mengenai jumlah isteri Rasulullah, tetapi sebagian besar dari mereka bulat berpendapat bahwa jumlah isteri beliau seluruhnya ada sebelas orang. Diantaranya ada yang wafat pada saat beliau masih hidup dan ada pula yang wafat setelah beliau pulang ke haribaan Allah. Sebelas isteri beliau itu adalah (Al-Husaini, 1989: 801):
1. Khadijah binti Khuwalid r.a
Khadijah binti Khuwalid seorang perempuan Quraisy dari Bani Asad. Ketika nikah dengan Khadijah, Rasulullah berusia dua puluh lima tahun, sedangkan Khadijah sendiri telah mencapai usia empat puluh tahun. Bagi seorang perempuan, usia empat puluh tahun sudah melewati masa mudanya. Hingga wafat Siti Khadijah tetap sebagai isteri tunggal Rasulullah.
Pernikahan beliau dengan Siti Khadijah memperoleh beberapa orang putera dan puteri. Siti Khadijah adalah orang pertama yang membenarkan, mendukung, dan mempertaruhkan jiwa serta seluruh kekayaannya demi kelancaran dakwah risalah yang diamanatkan Allah kepada suaminya. Siti Khadijah wafat tiga tahun sebelum Hijrah (Al-Husaini, 1989: 801). Jadi, selama dua puluh lima Tahun beliau hanya mempunyai seorang isteri (Khadijah).
Bagi seorang laki-laki biasa, mulai usia dua puluh lima tahun hingga lima puluh tahun merupakan puncak semangat dan kekuatan rangsangan seksual. Beliau bukanlah laki-laki biasa seperti yang dilukiskan para penulis Barat yang anti Islam. Ketika itu beliau membatasi diri cukup dengan seorang isteri yang usianya justru lima belas tahun lebih tua. Kehidupan beliau dengan Siti Khadijah berlangsung dalam periode syariat. Islam belum mewajibkan kaum muslimin berperang membela dakwah dari serangan musuh (Al-Husaini, 1989: 802).
2. Siti Saudah binti Zam’ah r.a
Siti Saudah binti Zam’ah adalah isteri Rasulullah yang kedua. Ia adalah seorang janda, yang sebelumnya telah nikah dengan sepupunya bernama Sukran bin Amr. Dua orang suami-isteri ini memeluk Islam dan hijrah ke Abyssinia (hijrah yang kedua ke negeri ini), di sini Sukran meninggal dunia lalu Saudah kembali ke Makkah.
Setelah Khadijah wafat yakni pada bulan Syawwal, Rasulullah kemudian menikahi dengan Saudah pada bulan ini juga (Khan, 1985: 307-308).
3. ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a
Setelah beberapa hari Rasulullah menikahi Saudah, beliau melamar Siti ‘Aisyah, puteri Abu Bakar Shiddiq sahabat Rasulullah yang paling beliau cintai karena jasa-jasanya dalam menyiarkan dan memperjuangkan Islam.
Siti ‘Aisyah adalah satu-satunya isteri Rasulullah yang gadis. Pernikahan ini terjadi tahun kesatu atau kedua Hijriah, yakni sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah. ‘Aisyah wafat pada tahun lima puluh delapan Hijriah dalam usia kurang lebih enam puluh enam tahun pada zaman pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Chalil, 2001: 331).
4. Siti Hafshah binti Umar ibnu Khatthab r.a
Siti Hafshah binti Umar adalah isteri Al-Khunais bin Hudzafah As-Sahmiy. Suaminya wafat akibat luka parah yang dideritanya dalam perang badar. Pada mulanya Umar ibnu Khatthab minta kepada Abu Bakar As-Shiddiq bersedia menikah dengan puterinya yang sudah menjanda itu, tetapi dengan iba hati Abu Bakar tidak bisa memenuhi keinginan Umar.
Kemudian Umar meminta kepada Utsman bin Affan supaya bersedia menikahi Hafshah, tetapi Utsman juga tidak dapat memenuhi keinginan Umar.
Di kalangan masyarakat Arab, terutama pada masa itu mempunyai anak perempuan yang terlambat nikah atau menjadi janda dalam waktu lama dipandang sebagai hal yang memalukan dan mengkhawatirkan. Betapa resah perasaan Umar menghadapi kenyataan sepahit itu. Atas dasar kecintaan Rasulullah kepada Umar dan sebagai penghargaan kepada almarhum Khunais bin Hudzafah, Rasulullah bersedia menikahi Hafshah.
Hafshah wafat pada bulan Sya’ban tahun ke empat puluh lima Hijriah di Madinah pada usia enam puluh tiga tahun (Al-Husaini, 1989: 803).
5. Zainab binti Khuzaimah r.a
Zainab binti Khuzaimah berasal dari Bani Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah, yang dijuluki Ummul Masakiin (ibunda orang-orang miskin), karena kasih sayang dan kemurahan hatinya terhadap mereka.
Sebelum itu ia adalah isteri Abdullah bin Jahsy, yang mati syahid karena perang Uhud, lalu dinikahi Rasulullah pada tahun empat Hijriah. Ia meninggal dunia dua atau tiga bulan setelah pernikahannya dengan Rasulullah (Almubarakfury, 2001: 564).
6. Ummu Salamah r.a
Rasulullah s.a.w menikahi Ummu Salamah (Hindun binti Abi Umaiyah). Sejarah Islam mencatat bagi perempuan ini nama yang mulia, karena ia adalah perempuan mukminah yang masyhur, bekerja di belakang pejuang pada peperangan Uhud.
Ia mempunyai akal yang tajam dan pendapat yang benar. Ia menemui bermacam-macam penderitaan karena masuk Islam, tetapi ia tidak sedih. Semua kesulitan yang ditemuinya menambah keimanan dan keteguhan hatinya. Ia ikut suaminya yaitu Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad pada hijrahnya ke Habsyah untuk menyingkirkan dari tekanan terhadap Islam.
Suaminya adalah anak dari saudara perempuan bapak Rasulullah s.a.w dan saudaranya sepesusuan. Pahlawan ini sering menghadapi kesusahan dan cobaan, akan tetapi kesusahan dan cobaan yang ditemuinya dalam menegakkan agama Allah itu tidaklah menjadikannya lemah, tidak lesu dan tidak pula mau menyerah kepada musuh. Ia telah memperlihatkan keberaniannya pada perang Uhud. Pada peperangan ini ia berperang sebagai pejuang yang ikhlas merindukan syahid, sehingga ia mendapatkan luka yang berdarah karena serangan musuh.
Setelah ia sembuh dari lukanya Rasulullah s.a.w menyerahkan bendera pemimpin kepadanya untuk memerangi Bani Asad. Ia berperang hingga lukanya kembali kambuh, karena luka yang dideritanya bertambah berat, terpaksa ia tinggal dan tidur di rumahnya. Rasulullah s.a.w datang mengunjunginya ketika itu ia dalam keadaan gawat, maka beliau duduk di sampingnya dan beliau memejamkan kedua matanya dengan tangan beliau yang mulia. Kemudian beliau menghibur Ummu Salamah yang mengasuh
empat orang anaknya yang telah yatim.
Setelah habis masa iddahnya, dan telah tenang hatinya, Rasulullah mengetus seseorang untuk melamarnya, karena kasihan kepadanya dan anak-anak yatim, dan supaya isterinya tidak sia-sia dan tidak merasa rendah diri bersama anak-anak sepeninggal suaminya (Muhammad, 1992: 58-60).
7. Zainab binti Jahsy r.a
Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy Al Asadiyah. Ia adalah anak saudara perempuan bapak beliau Umaimah binti Abdul Muthalib, dan bekas isteri (isteri yang diceraikan) oleh anak angkat beliau yang bernama Zaid bin Haritsah bin Syurahbil, yaitu orang yang telah beliau merdekakan.
Pernikahan ini mempunyai peristiwa besar di kalangan orang banyak. Pada pernikahan ini Islam menyamakan derajat antara orang merdeka dengan bekas budak. Hubungan karena Islam itu adalah di atas segala hubungan. Hubungan Islamiah itu menyamakan antara orang merdeka dengan hamba sahaya, antara tuan dengan budak, antara pemimpin dengan orang yang dipimpin. Rasulullah melakukan pernikahan ini adalah perintah Allah (Muhammad, 1992: 63-72).
8. Ummu Habibah binti Abu Sufyan r.a
Pada tahun keenam atau ketujuh Hijriah, Rasulullah s.a.w menikahi Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan. Abi Sufyan adalah pemimpin Quraisy, kepala orang Makkah, musuh umat Islam yang keras kepala ketika itu. Kaumnya Bani Abdu Syams adalah musuh kaum Rasulullah s.a.w Bani Hasyim. Mereka menjauhi dakwah Islam dan orang-orangnya.
Dipergunakannya seluruh kekuatan untuk mencegah Rasul melaksanakan dakwah yang datang dari Tuhannya. Akan tetapi ia tidak berhasil. Beberapa orang laki-laki dan perempuan kota Makkah telah Islam, bahkan anak Abu Sufyan sendiri Ummu Habibah telah memeluk Islam. Ia lari dari bapaknya dengan agamanya yang mulia ke Habasyah bersama suaminya Ubaidillah bin Jahasy.
Suaminya telah memeluk Islam juga dan berhijrah ke Habasyah dengan membawa Islamnya bersama isterinya Ummu Habibah. Di Habasyah (Ethiopia) suami Ummu Habibah tersesat, ia murtad dari Islam berpindah memeluk agama Nasrani. Maka bercerailah Ummu Habibah dari suaminya dan ia tidak mau lunak oleh orang yang diutus oleh suaminya untuk bergabung kembali, akan tetapi ia tetap pada agamanya Islam dan berpegang teguh dengan Islam.
Jadi, ia sendirian di Habasyah menemui bermacam kesulitan. Semua kesulitan dan kesukaran itu dihadapinya dengan sabar dan tabah. Rasulullah mengetahui berita tersebut, dan kemudian mengirim surat kepada Najasyi, raja Habasyah untuk menikahi Ummu Habibah ini (Muhammad, 1992: 80-82).
9. Juwairiyah binti Al-Harits r.a
Rasulullah s.a.w menikahi Juwairiyah binti Harits bin Abi Dhihar, penghulu Bani Mushthaliq. Juwairiyah adalah janda Musyafi’ bin Shafwan Al Mushthaliqi, suaminya ini adalah musuh yang paling keras bagi Islam, dan yang paling banyak membantah serta mencacimaki Rasulullah.
Ia terbunuh dalam peperangan Al Muraisi’i dan meninggalkan isterinya Juwairiyah. Isterinya ini menjadi tawanan perang bagi umat Islam. Para perempuan tawanan perang dijadikan hamba atau Khadam di rumah. Mereka tidak disamakan dengan perempuan-perempuan merdeka dalam segala hal dan mereka tidak bisa merdeka kecuali dengan membayar sejumlah yang diwajibkan kepada mereka atau menebus diri mereka dengan harta mereka.
Rasulullah s.a.w ingin memuliakan perempuan yang menjadi tawanan perang seperti ini. Beliau samakan haknya dengan perempuan yang merdeka. Maka ini menjadi contoh yang nyata atas toleransi Islam dan keadilannya di antara manusia. Rasulullah menikahi Juwairiyah yang menjadi tawanan perang untuk memberikan pelajaran secara ilmiah kepada manusia dalam masalah ini (Muhammad, 1992: 86-87).
10. Shafiyyah binti Huyaiy r.a
Rasulullah menikahi Shafiyah binti Huyaiy, janda Kinanah Ibnu Abil Haqiq. Bapaknya Huyaiy pemimpin Bani Nadhir dan penghulu mereka. Pada peperangan Khaibar Shafiyah ditawan oleh pasukan Islam dan jatuh ke tangan Dihyah sebagai pembahagian untuknya.
Sahabat-sahabat terkemuka beserta cerdik pandai berkumpul membicarakan Shafiyah ini. Mereka sepakat supaya Shafiyah ini diserahkan kepada Rasulullah s.a.w. Maka datanglah mereka kepada Rasulullah s.a.w dan berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Shafiyah ini adalah perempuan mulia dan terhormat di kalangan kaumnya Bani Nadhir dan Quraizhah, tidaklah wajar kalau ia jatuh ke tangan orang lain selain dari engkau.”
Rasulullah s.a.w menerima pendapat mereka dan beliau juga tidak mau merendahkan martabat perempuan mulia ini menjadi hamba bagi orang yang berkedudukan rendah dari padanya. Beliau terimalah Shafiyah ini, lalu beliau merdekakan kemudian beliau menikahinya (Muhammad, 1992: 91).
11. Maimunah binti Al-Harits r.a
Pada akhir tahun ke tujuh Hijriah Nabi menikah dengan Maimunah binti Harits. Pernikahan ini berlangsung di Makkah al Mukarramah. Perempuan ini merupakan perempuan yang terakhir dikawini oleh Rasulullah s.a.w. Dia perempuan zuhud dan taat beribadah. Maimunah adalah saudara Lubabah al Kubra isteri al-Abbas paman Nabi dan saudara Ibu Abdullah bin Abbas. Abbas inilah yang menikahkan Maimunah dengan Rasulullah s.a.w. Abbas melihat kemaslahatan yang besar dalam pernikan Rasulullah dengan Maimunah binti Harits.
Terjadinya pernikahan antara Rasulullah dengan Maimunah binti Harits, menjadikan Rasulullah semakin dekat dengan kaum Maimunah binti Harits. Karena itu kaumnya sangat menghormati Rasulullah atas kemanusiaat dan rasa kasih saying beliau, sehingga akhirnya mereka berbondong-bondong memeluk Islam (Asshauwaf, 1992: 96-97).