Apa akibat hukum Jual Beli tanah warisan tanpa persetujuan ahli waris ?

image

Apakah bisa kita menarik kembali hak milik atas tanah yang telah kita jual? Karena tanah tersebut ialah tanah warisan yang dalam surat jual beli tersebut tidak ada surat tanahnya, dan surat jual beli tersebut belum ditandatangani oleh pewaris. Apa akibat hukum Jual Beli tanah warisan tanpa persetujuan ahli waris ?

Apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris. Jika ingin dilakukan penjualan, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan.

Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan PPAT pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta notaris.

Jika ada pihak yang menjual tanah warisan tersebut tanpa persetujuan para ahli waris, para ahli waris dapat menggugat secara perdata atas dasar perbuatan melawan hukum. Mengenai apakah Anda dapat menarik kembali hak milik atas tanah yang telah dijual, hal itu bergantung pada apa yang Anda minta dalam petitum gugatan Anda dan bergantung pada putusan hakim.

Referensi

hukumonline.com

Perbuatan hukum jual beli dilakukan dengan dibuatnya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) karena setelah UUPA tanggal 24 September 1960 jual beli tanah dilakukan berdasarkan hukum positive, Hal tersebut sebagaimana juga diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pasal 95 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Akta PPAT tersebut adalah bukti adanya peralihan hak atas tanah karena jual beli tersebut.

Dalam proses jual beli PPAT akan meminta dokumen-dokumen sebagai berikut :

Untuk Data Tanah :

  1. PBB asli lima tahun terakhir berikut Surat Tanda
    Terima Setoran (bukti bayarnya);
  2. Sertifikat Asli Tanah.
  3. Asli Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
  4. Sertifikat Hak Tanggungan jika masih dibebani
    hak tanggungan.

Untuk Data Penjual dan Pembeli :

  1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk suami/istri
    Penjual dan Pembeli.
  2. Fotokopi Kartu Keluarga dan Akta Nikah.
  3. Fotokopi NPWP Penjual dan Pembeli.

Dalam hal ini, apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris sebagaimana diatur dalam Pasal 174 KHI serta Pasal 832 ayat (1) jo. Pasal 833 ayat (1) KUHPer:

Pasal 174 KHI:

• Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

  1. Menurut hubungan darah: – golongan laki-laki
    terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
    paman dan kakek. – Golongan perempuan
    terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
    perempuan dari nenek.
  2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari :
    duda atau janda.

• Apabila semua ahli waris ada, maka yang
berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah,
ibu, janda atau duda.

Pasal 832 ayat (1) KUHPer:

Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.

Pasal 833 ayat (1) KUHPer:

Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.

Oleh karena itu, seharusnya jual beli tanah warisan ini disetujui oleh semua ahli waris sebagai pihak yang mendapatkan hak milik atas tanah tersebut akibat pewarisan. jika ingin dilakukan penjualan atau misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai agunan di bank, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan.

Jika jual beli tanah tersebut tanpa tanda tangan para ahli waris yang berhak maka tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak jual beli tersebut juga bisa batal seperti disebutkan pada Pasal 1471 KUHPer:

“Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain”.

Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.

Hal ini juga di dukung dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan No. : 82 K/Pdt/2004 tanggal 22 Mei 2007, dengan kaidah hukumnya menyatakan bahwa, “Perjanjian jual-beli tanah warisan batal demi hukum karena boedel waris belum terbagi, masih terdapat harta bersama orang tua yang mana masih hidup salah satu orang tua, dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai alas hak yang sah untuk melakukan perbuatan hukum melakukan perjanjian jual-beli, dilakukan tanpa izin dan persetujuan orang tua dan saudara kandung, belum ada pembagian dan pengalihan hak dan penyerahan hak secara sah dengan pembagian warisan, jual-beli tanah warisan juga melampaui hak”.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan No. : 5072 K/Pdt/1998 tanggal 29 September 2003, dengan kaidah hukumnya menyatakan bahwa, “Perjanjian jual beli atas suatu obyek yang kepemilikannya belum pasti adalah batal demi hukum karena tanpa alas hak yang sah dan tidak memenuhi syarat halalnya dasar perjanjian tersebut”.