Apa akar dari prasangka (prejudice) dilihat dari ilmu sosial?

Prasangka adalah membuat sebuah keputusan tanpa mengetahui atau didasari oleh fakta yang relevan terhadap objek tersebut.

Apa akar dari prasangka (prejudice) dilihat dari ilmu sosial?

Prasangka buruk merupakan masalah sosial yang perlu untuk diperhatikan lebih serius, terutama oleh pemerintah. Prasangka yang dibiarkan akan berdampak negatif terhadap tataran sosial masyarakat di suatu negara. Prasangkan buruk merupakan awal dari pertikaian dalam masyarakat.

Beberapa sebab terjadinya prasangka buruk pada masyarakat sosial antara lain, diambil dari tulisan Dr. M.M.NILAM WIDYARINI , M.Si., Psikolog :

:one: Cara Berpikir : Kognisi Sosial


Penjelasan pertama mengenai penyebab prasangka, bahwa prasangka adalah produk sampingan yang tak terelakkan dari cara kita memproses dan mengatur informasi, antara lain :

  • Kecenderungan kita untuk mengkategorikan dan mengelompokkan informasi,
  • Membentuk skema dan menggunakannya dalam menafsirkan informasi baru atau unik,
  • Mengandalkan pada heuristicts (jalan pintas dalam penalaran mental) yang tidak akurat, dan
  • Bergantung pada proses memori yang salah.

dimana semua aspek kognisi sosial tersebut dapat membawa kita membentuk stereotip negatif dan menerapkannya dengan cara diskriminatif.

Berikut ini beberapa sisi gelap kognisi sosial yang terkait dengan prasangka.

Kategorisasi sosial : Kita versus Mereka

Langkah pertama dalam prejudice adalah terjadinya kategorisasi; mengelompokkan orang berdasarkan karakteristik tertentu, seperti gender, kebangsaan, etnis, dan sebagainya.

Ketika bertemu orang-orang dengan karakteristik tertentu, manusia akan bergantung pada persepsi yang dibentuk di masa lalu mengenai orang dengan karakteristik tersebut untuk membantu menentukan reaksi dan perilaku untuk mengahadapi orang dengan karakteristik tersebut.

Sebagai contoh, Jane Elliot (1977), seorang guru SD kelas 3 di Riceville, Iowa, mengelompokkan muridnya berdasarkan warna mata mereka untuk mengajarkan tentang prasangka, karena kehidupan murid-muridnya terlalu terlindungi dimana mereka semua berkulit putih dan penganut
agama Kristen.

Elliot berkata pada murid-muridnya bahwa anak-anak yang bermata biru merupakan anak-anak yang lebih superior dari anak yang hermata cokelat.

Perkataan Elliot mulai menunjukkan dampak yang signifikan, kelas yang awalnya sangat kooperatif dan kohesif menjadi kelas yang sangat berbeda dari sebelumnya. Anak-anak bermata biru yang merasa lebih superior mulai mengucilkan dan tidak mau bermain bersama anak bermata cokelat. Anak-anak bermata cokelat menjadi tertekan dan menghasilkan nilai tes yang buruk pada hari itu.

Hari berikutnya Elliot menyatakan bahwa pengelompokkan hari sebelumnya merupakan kesalahan besar, di mana anak bermata cokelatlah yang sesungguhnya lebih superior dari anak-anak bermata hiru. Pada hari itu suasana kelas bertukar; anak-anak bermata cokelat melakukan ‘pembalasannya’ terhadap anak-anak bermata biru.

Pada hari ketiga, Elliot menyatakan makna sesungguhnya dari apa yang telah mereka alami dua hari belakangan, dan menjelaskan bahwa mereka telah belajar mengenai prasangka dan diskriminasi.

Anak-anak mendiskusikan hal ini dan mereka mengerti pesan yang disampaikan oleh Elliot. Elliot mengadakan pertemuan kembali dengan murid-muridnya tsb setelah mereka berumur duapuluhan.

Murid-murid Elliot menyatakan bahwa pengalaman mereka terdahulu mengenai prasangka dan diskriminasi sangat melekat dan membentuk mereka menjadi pribadi yang sadar akan buruknya prasangka dan diskriminasi.

Dalam kasus Elliot, pada hari pertama murid-murid bermata biru melihat murid bermata coklat sebagai out-group, berbeda, dan lebih inferior. Sebaliknya, murid bermata cokelat menganggap diri mereka bukan anggota kelompok ‘superior’.

In-group Bias

In-Group Bias adalah perasaan positif dan perlakuan istimewa seseorang kepada orang lain yang dianggap bagian dari in-group, serta perasaan negatif dan perlakuan yang tidak adil terhadap orang yang dianggap sebagai bagian out-group.

Henri Tajfel (1982), seorang psikolog sosial dari Inggris, menggarisbawahi motif utama dari in-group bias, yaitu self~esteem: Individu berusaha meningkatkan self~esteem dengan cara mengidentifikasi dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Namun, self-esteem hanya dapat meningkat jika individu tersebut melihat kelompoknya sebagai kelompok yang lebih superior dari kelompok lain.

Sebagai contoh, bagi anggota Ku Klux Klan, tidak cukup hanya percaya bahwa ras kulit putih harus dipisahkan dari ras lain, tapi mereka juga harus yakin akan superioritas kelompok mereka agar merasa nyaman dan positif terhadap diri mereka.

Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh Tajfel dkk maupun peneliti lainnya, dapat disimpulkan bahwa walaupun hanya terdapat sedikit perbedaan antara in-group dan out-group tertentu, berada dalam in-group membuat individu ingin ‘menang’ dari out-group, hal ini membuat individu cenderung memperlakukan anggota out-group dengan tidak adil untuk dapat meningkatkan self-esteem.

Ketika in-group betul-betul ‘menang’, hal ini memperkuat harga diri dan identifikasi individu terhadap group tersebut.

Homogenitas Out-group

Out-Group Homogeneity adalah Persepsi bahwa individu-individu dari out-group satu sama lain cenderung sama (homogeneous) daripada kenyataannya, dan memiliki lebih banyak kesamaan dibandingkan dengan individu anggota in-group

Penelitian mengenai out-group homogeneity dilakukan pada mahasiswa dua universitas yang bersaing, yaitu Princeton dan Rutgers. Persaingan kedua universitas ini berdasarkan pada bidang atletik, akademik, dan kesadaran kelas (Princeton merupakan universitas swasta, sedangkan Rutgers universitas negeri).

Partisipan pria dari kedua universitas diminta untuk menyaksikan rekaman video mengenai tiga pria berbeda yang diminta untuk menentukan keputusan. Contohnya, dalam satu video, eksperimenter menanyakan pada pria dalam video tentang jenis musik yang ingin didengarkan (musik rock atau klasik) ketika ia berpartisipasi dalam eksperimen mengenai persepsi auditory. Para partisipan diberitahu bahwa pria dalam video merupakan mahasiswa Princeton atau Rutgers, maka bagi sebagian partisipan, pria dalam video adalah anggota in-group dan bagi partisipan lain pria tersebut adalah anggota out-group.

Setelah menyaksikan jenis musik pilihan pria dalam video, partisipan diminta untuk memprediksi persentase mahasiswa laki-laki dari universitas tersebut yang memilih jenis musik yang sama.

Hasilnya, partisipan yang menganggap pria dalam video sebagai anggota out-group memprediksi persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan yang menganggap pria dalam video sebagai anggota in-group.

Hal ini mendukung hipotesis out-group homogeneity: bila kita mengetahui sesuatu mengenai seorang anggota out-group, kita cenderung merasa tahu mengenai semua anggota out-group.

Kegagalan Berpikir Logis

Kegagalan berpikir logis (the failure of logic) yaitu keadaan di mana emosi seseorang mengalahkan logikanya (untuk menerima argumen yang logis).

Orang-orang yang telah memiliki prasangka yang kuat akan suatu hal akan sangat sulit untuk diubah cara pandangnya, bahkan orang yang biasanya rasional sekalipun dapat menjadi kebal terhadap logika dan fakta ketika berbicara mengenai hal-hal yang sudah menimbulkan prasanga tertentu.

Ada dua hal yang menyebabkan hal ini, yaitu aspek afektif dan kognitif dari sikap (attitude).

Aspek afektif atau emosi membuat seseorang sangat susah untuk diubah cara pandang atau prasangkanya; seseorang yang telah mengembangkan perasaan/emosi tertentu mengenai suatu hal cenderung memakai emosinya daripada logika (argumen yang bersifat logis tidak efektif dalam melawan emosi).

Aspek kognisi yang membuat logika gagal adalah pemrosesan informasi. Seperti yang telah dibahas, dunia terlalu rumit bagi manusia untuk memiliki pemikiran yang berbeda untuk setiap hal.

Pikiran manusia pada dasarnya kurang objektif, contohnya, ketika individu telah membentuk skema mengenai kelompok tertentu, cara individu tersebut memproses informasi mengenai kelompok tersebut akan berbeda dengan cara memproses informasi mengenai kelompok lain.

Ketika informasi yang diterima konsisten dengan skema yang telah terbentuk, informasi ini akan lebih diperhatikan dan akan lebih sering dilakukan atau diingat dibandingkan informasi yang berlawanan dengan skema.

Kuatnya Stereotip

Pada dasarnya stereotype merefleksikan keyakinan budaya mengenai hal tertentu. Individu dapat menginternalisasi stereotype tersebut dan menggunakannya sebagai bagian dari skema yang dimilikinya. Jika individu tidak percaya pada stereotype yang ada, ia dengan mudah akan mengakui stereotype tersebut sebagai kepercayaan yang didukung oleh orang-orang lain.

Aktifasi Stereotip

Individu dapat memiliki perasaan negatif atau sekedar mengetahui stereotip tertentu mengenai suatu hal atau orang, namun mereka dapat menekan perasaan negatif tersebut untuk menonjolkan fakta bahwa mereka adil (tidak berprasangka) dan mengesampingkan stereotip yang ada.

Walaupun demikian, perasaan negatif dan stereotip sesungguhnya tetap ada dan tersembunyi di dalam diri, dan dapat diaktivasi oleh stimulus yang ada.

Eksperimen yang dilakukan oleh Rogers dan Prentice-Dunn (1981) membuktikan hal tsb. Eksperimen ini dilakukan dengan partisipan siswa kulit putih. Para siswa diberitahu bahwa mereka akan diminta melakukan sengatan listrik terhadap siswa lain yang sedang belajar (the learners).

Partisipan diberitahu bahwa the learners merupakan orang kulit putih dan hitam. Partisipan memberikan sengatan listrik dengan intensitas yang lebih rendah kepada orang kulit hitam daripada orang kulit putih, kemungkinan untuk menekan hasrat atau untuk menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang memiliki prasangka. Suatu saat, partisipan mendengar the learner memberikan komentar yang merendahkan terhadap mereka, yang secara alami membuat mereka marah. Setelah itu. dengan kekuasaan mereka untuk melakukan sengatan listrik, partisipan yang bertugas untuk orang kulit hitam memberikan sengatan listrik dengan intensitas yang lebih kuat daripada partisipan yang bekerja dengan siswa kulit putih.

Partisipan berhasil menekan (suppress) perasaan negatif mereka dalam kondisi normal, namun ketika merasa marah atau frustasi, atau self-esteem mereka goyah, mereka mengekspresikan prasangka secara langsung.

Proses Stereotip: Otomatis dan Terkendali

Patricia Devine dkk menemukan bahwa anggota masyarakat sama-sama menyimpan arsip stereotip yang dapat diakses dari pikirannya, meskipun mungkin mereka tidak mempercayai stereotip tsb. Devine dkk membedakan adanya dua pemrosesan informasi stereotip, yaitu pemrosesan otomatis dan pemrosesan terkendali.

  • Pemrosesan otomatis:
    Terjadi ketika ada stimulus yang memicu, adanya anggota kelompok yang distereotip dan pernyataan yang mengandung stereotype, mengakibatkan stereotype mengenai kelompok tersebut teraktivasi. ~ Terjadinya tanpa disadari, terjadi begitu saja dipicu oleh adanya suatu stimulus.
  • Pemrosesan terkendali:
    Terjadi dengan kesadaran ~ individu memutuskan untuk mengikuti stereotype yang ada atau tidak.

Model Prasangka: Justification – Suppression

Berdasarkan penelitian-penelitian Divine dkk mengenai dua jenis pemrosesan stereotip tersebut di atas, Crandall dan Eshleman (2004) mengajukan suatu model teori yang menjelaskan bagaimana bekerjanya prasangka. Menurut model ini, kebanyakan orang berjuang di antara kebutuhan untuk mengekspresikan prasangka dan kebutuhan untuk mempertahankan konsep diri yang positif (dalam hal ini tidak berprasangka), baik di mata mereka sendiri maupun di mata orang lain.

Seperti kita ketahui, melakukan supresi (menekan) impuls prasangka akan memakan energi. Manusia selalu menghindari pemakaian energi yang konstan sehingga selalu mencari pembenaran yang valid mengenai sikap negatif mereka terhadap orang lain atau out-group (menghindari disonansi kognitif). Ketika menemukan pembenaran atas sikap negatif ini, kemudian kita dapat mengekspresikan sikap negatif kepada out-group yang dimaksud dan terhindar dari disonansi kognitif.

The Illusory Correlation

Hal lain yang membuat kita mengalami proses kognitif stereotip adalah karena adanya ilusi korelasi (illusory correlation), yaitu kecenderungan menghubungkan antara dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan.

Sebagai contoh, adanya kepercayaan bahwa pasangan yang belum mempunyai anak akan dapat mempunyai anak setelah mengadopsi anak. Hal ini sebenamya sama sekali tidak berhubungan satu sama lain.

Pasangan yang terlebih dahulu mengadopsi dapat memperoleh anak kemungkinan karena berkurangnya kecemasan dan tingkat stress-nya. Dalam konteks stereotip dan prasangka, ilusi korelasi juga terjadi, yaitu ketika kita menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan yang terjadi di antara orang-orang atau situasi tertentu (khusus) dan lebih lanjut kita anggap berlaku untuk semua anggota suatu kelompok.

Dapatkah kita mengubah stereotip yang kita yakini?

Para peneliti telah menemukan bahwa ketika kepada orang-orang disajikan beberapa contoh atau hal yang menyangkal stereotip yang ada, kebanyakan hal itu tidak mengubah kepercayaan umum mereka. Namun , dalam satu percobaan, beberapa orang yang disajikan dengan bukti, itu justru memperkuat keyakinan stereotip mereka, karena bukti itu menantang mereka untuk mencari alasan tambahan untuk berpegang pada keyakinan itu.

:two: Bagaimana Kita Menetapkan Makna: Macam-macam Bias Atribusi


Seperti halnya kita membentuk atribusi terhadap perilaku seseorang, kita pun melakukan atribusi (menyimpulkan penyebab perilaku) terhadap kelompok secara menyeluruh.

Berikut ini beberapa fenomena yang menggambarkan atribusi terhadap kelompok.

Penjelasan Disposisional dan Situasional

Salah satu mengapa stereotype sangat melekat dalam kehidupan manusia adalah karena adanya kecenderungan untuk melakukan dispositional attribution (atribusi intemal), yaitu bahwa penyebab perilaku seseorang lebih dianggap sebagai hasil dari aspek kepribadian orang itu dan bukan aspek situasional. Kecenderungan ini biasa disebut “fundamental attribution error” (kesalahan atribusi mendasar).

Meskipun meng-atribusi perilaku orang-orang atas dasar faktor disposisional (internal) juga sering akurat, bagaimanapun perilaku manusia juga dibentuk oleh situasi. Oleh sebab itu bila terlalu bersandar pada atribusi disposisional, seringkali membuat atribusi kita salah.

Berdasarkan proses yang terjadi pada tingkat individu ini, kita dapat membayangkan
masalah dan komplikasi yang muncul ketika kita melakukannya terhadap seluruh anggota kelompok pada out-group.

Stereotip merupakan atribusi disposisional yang negatif. Thomas Pettigrew (1979) menyebut kecenderungan untuk membuat atribusi disposisional tentang perilaku negatif individu dan mengenakannya untuk seluruh anggota kelompok ini sebagai “ultimate attribution error”.

Ultimate Attribution Error : Kecenderungan melakukan atribusi disposisional kepada seluruh anggota kelompok.

Ancaman Stereotip

Secara statistik terdapat perbedaan kinerja dalam tes kemampuan akademik antar berbagai kelompok budaya. Misalnya, di Amerika, orang-orang Amerika-Asia rata-rata kinerjanya agak lebih baik daripada kelompok Amerika-Anglo, dan kelompok Amerika-Anglo sedikit lebih baik daripada kelompok Amerika-Afrika.

Mengapa hal ini terjadi?

Beberapa hal yang dapat menjadi penjelasan antara lain faktor ekonomi, budaya, sejarah, politik. Selain itu, terdapat penjelasan lain, yaitu adanya kecemasan yang dihasilkan oleh stereotip negatif.

Ancaman Stereotip (Stereotype Threat): Ketakutan yang dialami oleh anggota suatu kelompok bahwa perilaku mereka dapat membenarkan stereotip budaya mengenai kelompoknya.

Dalam serangkaian eksperimen, Claude, Steele, Joshua Aronson, dkk telah menunjukkan adanya satu faktor situasional yang dominan (yang menentukan kinerja dalam tes akademik) yang didasari fenemona yang mereka sebut sebagai ancaman stereotip.

Sebagai contoh, bila orang Amerika-Afrika meraih nilai akademik yang tinggi, sebagian besar dari mereka mengonfirmasi adanya stereotip budaya yang negatif, yakni inferioritas intelektual. Akibatnya, mereka mengatakan “Jika nilai saya buruk dalam tes ini, hal ini akan mencerminkan lemahnya saya dan ras saya”.

Harapan dan Penyimpangan Stereotip

Ketika anggota kelompok lain (outgroup) berperilaku seperti yang kita harapkan, hal ini akan menegaskan dan bahkan menguatkan stereotip kita.

Tapi apa yang terjadi ketika anggota suatu outgroup berperilaku dengan cara yang tak terduga (nonstereotypical)?

Menurut teori atribusi, individu akan cenderung tetap menganggap bahwa orang yang berperilaku berlawanan dengan stereotip, sebenarnya memiliki kesamaan dengan stereotype tersebut, hanya saja hal itu tidak tampak dengan jelas dalam situasi tertentu.

Sebagai contoh, kita diberitahu bahwa seseorang merupakan orang yang tidak ramah, kemudian kita berinteraksi dengan orang tersebut dan menemukan bahwa orang tersebut berperilaku ramah. Dalam keadaan seperti itu kita cenderung menganggap bahwa perilaku ramah orang tersebut adalah palsu, dan di balik keramahannya sebenarnya ia adalah orang yang tidak suka berteman.

Dalam hal ini kita melakukan atribusi disposisional/internal (dispositional attribution), disebabkan adanya stereotip disposisional (dispositional stereotype) yang sudah tertanam di benak kita.

Menyalahkan Korban

Menyalahkan Korban (Blaming the Victim): Kecenderungan untuk menyalahkan individu atas situasi atau kejadian yang menimpanya, biasanya dimotivasi oleh cara pandang ‘the world is a fair place’.

Sulit bagi orang yang jarang didiskriminasi untuk memahami bagaimana rasanya menjadi sasaran prasangka. Anggota masyarakat Amerika yang dominan yang berniat baik akan bersimpati dengan nasib mereka yang minoritas: orang-orang Afrika Amerika, Hispanik Amerika, Asia Amerika, Yahudi, perempuan, homoseksual, dan kelompok lain yang menjadi sasaran diskriminasi.

Tetapi empati saja sebenarnya tidak mudah didapatkan bagi mereka yang telah secara rutin dinilai berdasarkan reputasi mereka, bukan karena ras, etnis, agama, atau kelompok keanggotaan lainnya. Padahal, ketika tidak ada empati, mudah untuk masuk dalam perangkap ‘menyalahkan korban’ (blaming the victim).

Berlangsungnya atribusi seperti ini: “Jika orang-orang Yahudi telah menjadi korban dalam sejarah mereka, mereka pasti telah melakukan sesuatu yang memungkinkan terjadinya hal tersebut”.

Sebagai contoh, dalam suatu eksperimen, dua orang yang bekerja sama kerasnya dalam melakukan suatu tugas, berdasarkan undian dengan koin, salah satunya menerimaa imbalan yang besar, dan yang lain tidak menerima apapun.

Observer yang melihat hasil yang berbeda tsb (adanya imbalan atau tidak ada imbalan) cenderung kembali menilai pekerjaan yang dilakukan kedua orang tersebut, dan meyakinkan dirinya bahwa orang yang tidak mendapat imbalan kurang bekerja keras dalam menyelesaikan tugas.

Self-Fulfilling Prophecies

Jika Anda yakin bahwa Si A bodoh dan memperlakukannya sebagai orang bodoh, meskipun sebenarnya tidak, sangat mungkin ia tidak akan menunjukkan kepintaran di hadapan Anda. Keadaan seperti ini merupakan Self-Fulfilling Prophecy.

Self-Fulfilling Prophecies: Keadaan di mana individu: (1) memiliki ekspektasi tertentu terhadap seseorang; (2) yang kemudian mempengaruhi perilaku individu terhadap orang lain tersebut; (3) yang menyebabkan orang lain tersebut berperilaku sesuai dengan ekspektasi awal individu.

Bagaimana hal terjadi? Jika Anda melihat Si A, Anda mungkin tidak akan mengajukan pertanyaan menarik, dan tidak mendengarkan dengan penuh perhatian pada saat ia berbicara, bahkan mungkin Anda melihat keluar jendela atau menghindar.

Anda memperlakukan demikian karena harapan yang sederhana: “Mengapa membuang energi memperhatikan Si A jika dia tidak mungkin mengatakan hal-hal yang cerdas atau menarik?” Hal ini memiliki dampak penting pada perilaku Si A, karena jika seseorang yang sedang berbicara tidak mendapat perhatian, tentu saja ia akan merasa tidak nyaman dan mungkin akan bungkam, tidak menampilkan semua puisi dan kebijaksanaan dalam dirinya. Keadaan ini berfungsi mengonfirmasi keyakinan awal yang Anda miliki tentang dia, sehingga terjadilah lingkaran tertutup self-fulfilling prophecy.

Para peneliti menunjukkan relevansi dari fenomena ini untuk stereotip dan diskriminasi dalam suatu eksperimen (Word, Zanna, & Cooper, 1974). Mahasiswa perguruan tinggi kulit putih diminta untuk mewawancarai pelamar pekerjaan; beberapa pelamar berkulit putih, dan lainnya orang Afrika Amerika.

Tanpa disadari, para mahasiswa menampilkan ketidaknyamanan dan kurangnya minat ketika mewawancarai pelamar Afrika Amerika. Mereka duduk lebih jauh; cenderung gagap, dan mengakhiri wawancara jauh lebih cepat dibanding ketika mereka mewawancarai pelamar kulit putih.

Apakah perilaku ini mempengaruhi pelamar Afrika Amerika?

Untuk mengetahuinya, para peneliti melakukan eksperimen lanjutan di mana mereka mengatur perilaku pewawancara (oleh pembantu eksperimenter) dibuat bervariasi sesuai dengan cara pewawancara memperlakukan orang kulit putih atau orang Afrika Amerika pada percobaan pertama, tapi pada eksperimen kedua ini semua yang diwawancarai adalah kulit putih. Para peneliti merekam prosesnya dan perilaku pelamar dinilai oleh penilai independen (bukan peneliti).

Dalam eksperimen kedua ini mereka menemukan bahwa para pelamar (semua kulit putih) yang diwawancarai ala wawancara untuk orang Afrika Amerika, dinilai jauh lebih gugup dan jauh kurang efektif dibanding dengan mereka yang diwawancarai ala wawancara dengan pelamar kulit putih pada percobaan pertama. Singkatnya, eksperimen ini menunjukkan dengan jelas bahwa ketika orang-orang ditempatkan di posisi yang kurang menguntungkan, maka cenderung merespon dengan kurang baik.

:three: Prasangka dan Kompetisi: Realistic Conflict Theory


Salah satu sumber konflik yang paling menonjol atas konflik dan prasangka adalah kompetisi untuk sumber daya langka, politik kekuasaan, dan status sosial. Masalah sesederhana apapun dalam fenomena ingroup vs outgroup, akan diperbesar oleh persaingan ekonomi, politik, atau status.

Realistic Conflict Theory menyatakan bahwa sumber daya yang terbatas menyebabkan konflik antara kelompok-kelompok dan menghasilkan prasangka dan diskriminasi (Jackson, 1993; Sherif, 1966; White, 1977).

Dengan demikian sikap berprasangka cenderung meningkat saat-saat tegang dan konflik ada atas tujuan mutually.exclusive. Misalnya, Prasangka sangat tinggi di antara orang-orang Palestina dan Israel yang memperebutkan daerah teritorial. Individu mempunyai kecenderungan untuk menyalahkan anggota out-group yang berkompetisi dengannya atas kelangkaan sumber daya.
Dalam keadaan sumberdaya yang terbatas , terdapat risiko terjadinya frustasi dan ketidakbahagiaan, diikuti kecenderungan menyerang kelompok yang tidak disukai. Hal ini disebut scapegoating (mengambinghitamkan).

Mengambinghitamkan (Scapegoating): kecenderungan individu-individu, bila frustrasi atau tidak bahagia, mengarahkan agresi kepada kelompok yang tidak disukai dan relative lemah.

:four: Cara Kita Melakukan Konformitas: Aturan-aturan Normatif


Penyebab terakhir prasangka adalah konformitas, baik terhadap normaa standar yang berlaku maupun terhadap aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Konformitas memiliki motif tertentu, seperti untuk memperoleh informasi (informational confiJrmity) atau agar diterima oleh kelompok tertentu (normative conformity). Ketika melibatkan prejudice, maka konformitas akan menjadi berbahaya.

Bila Prasangka Diinstitusikan

Norma adalah aturan atau batasan yang dianggap benar oleh masyarakat. Setiap budaya memiliki norma tertentu. Ketika individu hidup di lingkungan yang mempunyai norma yang mengandung stereotip dan diskriminasi, maka individu tersebut secara tidak sadar akan mengembangkan prasangka dan diskriminasi di dalam diri. Hal ini disebut institutionalized racism dan institutionalized sexism.

  • Institutionalized racism: Sikap membedakan ras (rasis) yang dimiliki oleh mayoritas orang-orang yang hidup dalam masyarakat di mana terdapat norma stereotip dan diskriminasi.
  • Institutionalized sexism: Sikap pembedaan jenis kelamin (seksisme) yang dimiliki oleh mayoritas orang-orang yang hidup dalam masyarakat di mana terdapat norma stereotip dan diskriminasi.

Prasangka Modern

Zaman berubah, dan norma budaya semakin memberikan toleransi terhadap out-group. Hal ini membuat banyak orang menjadi lebih berhati-hati terhadap perilakunya dengan tidak menunjukkan prejudice kepada khayalak luar, namun tetap berpegang kepada stereotip yang diyakini.

Fenomena ini dikenal sebagai modern racism.

Prasangka Modern: Berperilaku yang tidak mencerminkan prejudice, namun tetap mempertahankan sikap berprasangka di dalam diri.

Orang menghindar dari cap rasis namun ketika situasi sudah ‘aman’, prasangka mereka akan terkuak.

Sebagai contoh: Walaupun hanya ada sedikit orang Amerika yang mengaku bahwa mereka tidak setuju dengan penggabungan sekolah, ternyata kebanyakan orangtua berkulit putih tidak setuju untuk membiarkan anak mereka naik bus ke sekolah untuk mendapatkan keseimbangan rasia! Ketika ditanya, para orangtua ini bersikeras bahwa keengganan mereka tidak ada hubungannya dengan prejudice; mereka hanya tidak ingin anak mereka menghabiskan banyak waktu di bus.

Tetapi menurut John McConahay (1981), Kebanyakan orangtua kulit putih tidak banyak banyak protes ketika anak mereka menaiki bus yang jalurnya hanya melalui sekolah orang kulit putih.

Sumber penyebab prasangka secara umum dapat dilihat berdasarkan tiga pandangan, yaitu :

1. Prasangka Sosial

Sumber prasangka sosial, antara lain :

Ketidaksetaraan Sosial

Ketidaksetaraan sosial ini dapat berasal dari ketidaksetaraan status dan prasangka serta agama dan prasangka. Ketidaksetaraan status dan prasangka merupakan kesenjangan atau perbedaan yang mengiring ke arah prasangka negatif.

Sebagai contoh, seorang majikan yang memandang budak sebagai individu yang malas, tidak bertanggung jawab, kurang berambisi, dan sebagainya, karena secara umum ciri-ciri tersebut ditetapkan untuk para budak. Agama juga masih menjadi salah satu sumber prasangka. Sebagai
contoh kita menganggap agama yang orang lain anut itu tidak sebaik agama
yang kita anut.

Identitas Sosial

Identitas sosial merupakan bagian untuk menjawab “siapa aku?” yang dapat dijawab bila kita memiliki keanggotaan dalam sebuah kelompok. Kita megidentifikasikan diri kita dengan kelompok tertentu (in group), sedangkan ketika kita dengan kelompok lain kita cenderung untuk memuji kebaikan kelompok kita sendiri.

Konformitas

Konformitas juga merupakan salah satu sumber prasangka sosial. Menurut penelitian bahwa orang yang berkonformitas memiliki tingkat prasangka lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berkonformitas.

2. Prasangka secara Emosional

Prasangka sering kali timbul dipicu oleh situasi sosial, padahal faktor emosi juga dapat memicu prasangka sosial. Secara emosional, prasangka dapat dipicu oleh frustasi dan agresi, kepribadian yang dinamis, dan kepribadian otoriter.

Frustasi dan Agresi

Rasa sakit dan frustasi sering membangkitkan pertikaian. Salah satu sumber frustasi adalah adanya kompetisi. Ketika dua kelompok bersaing untuk memperebutkan sesuatu, misalnya pekerjaan, rumah, dan derajat sosial, pencapaian goal salah satu pihak dapat menjadikan frustasi bagi pihak yang lain.

Kepribadian yang dinamis

Status bersifat relatif. Untuk dapat merasakan diri kita memiliki status, kita memerlukan adanya orang yang memiliki status dibawah kita. Salah satu kelebihan psikologi tentang prasangka adalah adanya sistem status, yaitu perasaan superior. Contohnya adalah ketika kita mendapatkan nilai terbaik di kelas, kita merasa menang dan dianggap memiliki status yang lebih baik.

Kepribadian Otoriter

Emosi yang ikut berkontribusi terhadap prasangka adalah kepribadian diri yang otoriter. Sebagai contoh, pada studi orang dewasa di Amerika, Theodor Adorno dan kawan-kawan (1950) menemukan bahwa pertikaian terhadap kaum Yahudi sering terjadi berdampingan dengan pertikaian terhadap kaum minoritas.

3. Prasangka Kognitif

Memahami stereotipe dan prasangka akan membantu memahami bagimana otak bekerja. Selama sepuluh tahun terakhir, pemikiran sosial mengenai prasangka adalah kepercayaan yang telah distereotipekan dan sikap prasangka timbul tidak hanya karena pengkondisian sosial, sehingga mampu menimbulkan pertikaian, akan tetapi juga merupakan hasil dari proses pemikiran yang normal.

Sumber prasangka kognitif dapat dilihat dari kategorisasi dan simulasi distinktif. Kategorisasi merupakan salah satu cara untuk menyedehanakan lingkungan kita, yaitu dengan mengkelompokkan objek-objek berdasarkan kategorinya. Biasanya individu dikategorikan berdasarkan jenis kelamin dan etnik.

Sebagai contoh, Tom (45 tahun), orang yang memiliki darah Afrika-Amerika. Dia merupakan seorang agen real estate di Irlandia Baru. Kita memiliki gambaran dirinya adalah seorang pria yang memiliki kulit hitam, daripada kita menggambarkannya sebagai pria berusia paruh baya, seorang bisnisman, atau penduduk bagian selatan. Berbagai penelitian mengekspos kategori orang secara spontan terhadap perbedaan ras yang menonjol.

Selain menggunakan kategorisasi sebagai cara untuk merasakan dan mengamati dunia, kita juga akan menggunakan stereotipe. Seringkali orang yang berbeda, mencolok, dan terlalu ekstrim dijadikan perhatian dan mendapatkan perlakuan yang kurang ajar.

Berdasarkan pada perspektif tersebut, sumber utama penyebab timbulnya prasangka adalah faktor individu dan sosial.

Menurut Blumer, (dalam Zanden, 1984) salah satu penyebab terjadinya prasangka sosial adalah adanya perasaan berbeda dengan kelompok lain atau orang lain misalnya antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.

Berkaitan dengan kelompok mayoritas dan minoritas tersebut di atas Mar’at, (1988) menguraikan bahwa prasangka sosial banyak ditimbulkan oleh beberapa hal sebagai berikut :

  • Kekuasaan faktual yang terlihat dalam hubungan kelompok mayoritas dan minoritas.
  • Fakta akan perlakuan terhadap kelompok mayoritas dan minoritas.
  • Fakta mengenai kesempatan usaha antara kelompok mayoritas dan minoritas. Fakta mengenai unsur geografik, dimana keluarga kelompok mayoritas dan minoritas menduduki daerah-daerah tertentu.
  • Posisi dan peranan dari sosial ekonomi yang pada umumnya dikuasai kelompok mayoritas.
  • Potensi energi eksistensi dari kelompok minoritas dalam mempertahankan hidupnya.

Prasangka sosial terhadap kelompok tertentu bukanlah suatu tanggapan yang dibawa sejak lahir tetapi merupakan sesuatu yang dipelajari. Menurut Kossen (1986) seseorang akan belajar dari orang lain atau kelompok tertentu yang menggunakan jalan pintas mental prasangka. Jadi, seseorang memiliki prasangka terhadap orang lain karena terjadinya proses belajar.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prasangka Sosial

Proses pembentukan prasangka sosial menurut Mar’at (1981) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

  1. Pengaruh Kepribadian
    Dalam perkembangan kepribadian seseorang akan terlihat pula pembentukan prasangka sosial. Kepribadian otoriter mengarahkan seseorang membentuk suatu konsep prasangka sosial, karena ada kecenderungan orang tersebut selalu merasa curiga, berfikir dogmatis dan berpola pada diri sendiri.

  2. Pendidikan dan Status
    Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin tinggi status yang dimilikinya akan mempengaruhi cara berfikirnya dan akan meredusir prasangka sosial.

  3. Pengaruh Pendidikan Anak oleh Orangtua
    Dalam hal ini orang tua memiliki nilai-nilai tradisional yang dapat dikatakan berperan sebagai famili ideologi yang akan mempengaruhi prasangka sosial.

  4. Pengaruh Kelompok
    Kelompok memiliki norma dan nilai tersendiri dan akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial pada kelompok tersebut. Oleh karenanya norma kelompok yang memiliki fungsi otonom dan akan banyak memberikan informasi secara realistis atau secara emosional yang mempengaruhi sistem sikap individu.

  5. Pengaruh Politik dan Ekonomi
    Politik dan ekonomi sering mendominir pembentukan prasangka sosial. Pengaruh politik dan ekonomi telah banyak memicu terjadinya prasangka sosial terhadap kelompok lain misalnya kelompok minoritas.

  6. Pengaruh Komunikasi
    Komunikasi juga memiliki peranan penting dalam memberikan informasi yang baik dan komponen sikap akan banyak dipengaruhi oleh media massa seperti radio, televisi, yang kesemuanya hal ini akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial dalam diri seseorang.

  7. Pengaruh Hubungan Sosial
    Hubungan sosial merupakan suatu media dalam mengurangi atau mempertinggi pembentukan prasangka sosial.

Sehubungan dengan proses belajar sebagai sebab yang menimbulkan terjadinya prasangka sosial pada orang lain, maka dalam hal ini orang tua dianggap sebagai guru utama karena pengaruh mereka paling besar pada tahap modelling pada usia anak-anak sekaligus menanamkan perilaku prasangka sosial kepada kelompok lain.

Modelling sebagai proses meniru perilaku orang lain pada usia anak-anak, maka orang tua dianggap memainkan peranan yang cukup besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ashmore dan DelBoka, (dalam Sears et all, 1985) yang menunjukkan bahwa orang tua memiliki peranan yang penting dalam pembentukan prasangka sosial dalam diri anak.

Jadi, terdapat korelasi antara sikap etnis dan rasial orang tua dengan sikap etnis dan rasial pada diri anak.

Dari uraian singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa prasangka sosial terjadi disebabkan adanya perasaan berbeda dengan orang lain atau kelompok lain. Selain itu prasangka sosial disebabkan oleh adanya proses belajar, juga timbul disebabkan oleh adanya perasaan membenci antar individu atau kelompok misalnya antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.

Rose (dalam Gerungan, 1991) menguraikan bahwa faktor yang mempengaruhi prasangka sosial adalah faktor kepentingan perseorangan atau kelompok tertentu, yang akan memperoleh keuntungan atau rezekinya apabila mereka memupuk prasangka sosial. Prasangka sosial yang demikian digunakan untuk mengeksploitasi golongan-golongan lainnya demi kemajuan perseorangan atau golongan sendiri.

Prasangka sosial pada diri seseorang menurut Kossen (1986) dipengaruhi oleh ketidaktahuan dan ketiadaan tentang objek atau subjek yang diprasangkainya. Seseorang sering sekali menghukum atau memberi penilaian yang salah terhadap objek atau subjek tertentu sebelum memeriksa kebenarannya, sehingga orang tersebut memberi penilaian tanpa mengetahui permasalahannya dengan jelas, atau dengan kata lain penilaian tersebut tidak didasarkan pada fakta-fakta yang cukup.

Selanjutnya Gerungan, (1991) menguraikan bahwa prasangka sosial dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan dan pengertian akan fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan-golongan orang yang diprasangkainya.

Prasangka memiliki berbagai fungsi, oleh karena itu prasangka dapat ditinjau dengan menggunakan berbagai sumber. Sumber-sumber prasangka terdiri dari sumber sosial, sumber kognitif dan sumber emosional (Herek dalam Myers, 1999).

Sumber Sosial


Sumber Sosial, meliputi :

a. Perbedaan Sosial

Menurut Myers (1999), adanya perbedaan status antar kelompok dapat menimbulkan prasangka. Stereotip disini dapat merasionalisasikan status-status tersebut. Stereotip dapat menjadi alasan dan penjelasan atas adanya perbedaan status antar kelompok dalam masyarakat.

b. ldentitas Sosial

Setiap manusia mendefinisikan mereka berdasarkan kejompok sosialnya Turner dan Tajfel dalm Myers (1999) menyatakan bahwa manusia melakukan :

  • Kategorisasi, yaitu pengelompokan terhadap setiap individu kedalam kelompokkelompok serta memberikan label kepada mereka berdasarkan kelompok-kelompok tersebut.
  • Identifikasi, yaitu proses dimana individu mengasosiasikan diri mereka dengan kelompok-kelompoknya.
  • Komparasi, yaitu proses dimana individu membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain.

Hal tersebut akan membagi dunia individu menjadi dua katagori yang berbeda, yaitu dengan orang lain yang satu kelompok dengannya (ingroup) dan orang lain yang berbeda kelompok dengannya (outgroup). lngroup didefinisikan sebagai kelompok individu yang memiliki rasa saling memiliki dan suatu perasaan yang sama mengenai identitas mereka, sedangkan outgroup didefinisikan sebagai kelompok individu yang dipersepsikan secara nyata berbeda atau terpisah dengan ingroup (Myers, 1999).

c. Konformitas

Menurut Feldman (1995) konformitas adalah perubahan tingkah laku individu karena adanya keinginan untuk mengikuti keyakinan dan standar orang lain.

Ketika prasangka diterima secara sosial, orang lain akan cenderung menerima apa yang diterima oleh lingkungan mereka. Prasangka gender adalah salah satu contoh prasangka yang banyak dipertahankan berdasarkan konformitas.

d. Dukungan lnstitusi (Institutional Support)

Media komunikasi sebagai salah satu institusi, baik cetak maupun elektronik merupakan sumber yang sangat berpengaruh dalam berkembangnya prasangka. lndividu yang mendapatkan informasi mengenai kelompok minoritas melalui media akan memiliki pandangan sebatas pada gambaran yang diberikan oleh media tersebut. Manusia cenderung untuk mempercayai atau menilai benar terhadap sesuatu jika mereka mendapatkan informasi tersebut melalui media.

Sumber Emosional


a. Frustasi dan Agresi

Penelitian menyebutkan bahwa orang-orang yang berada dalam mood yang tidak menyenangkan akan bertingkah laku lebih negatif pada kelompok-kelompok lain (Esses & Zanna, 1995 dalam Myers, 1999).

Salah satu sumber frustasi adalah kompetisi. Dalam Realistic group conflict theory dijelaskan bahwa prasangka muncul ketika kelompok berkompetisi untuk sumber yang langka.

b. Personality Dynamic

Kebutuhan akan status dan belonging : prasangka lebih sering terjadi pada mereka yang memiliki status sosial ekonomi rendah dan orang-orang yang positif self image mereka terancam.

Sumber Kognitif


a. Kategorisasi

Kategorisasi sosial merupakan suatu cara dalam menyederhanakan dunia sosial dengan mengelompokan berbagai hal yang ada kedalam suatu kelompok tertentu berdasarkan kesamaan atau karakteristik yang sama.

Lebih lanjut Feldman 1995 menjelaskan proses kategori sosial dapat menimbulkan beberapa kesalahan dalam melakukan persepsi sosial adalah outgroup homogenity bias, yaitu persepsi individu bahwa anggota-anggota yang berada pada kelompok outgroup bersifat homogen atau memiliki tingkat variabilitas yang rendah.

b. Stimulus Khusus

Menurut Baron & Byrne (2000) menyatakan bahwa individu yang berbeda dari individu lainnya serta berbagai kejadian-kejadian yang tidak biasanya akan menarik perhatian atau mengubah pendapat orang lain.

Hal ini terjadi karena ketika seseorang terlihat menonjol didalam suatu kelompok maka ia akan cenderung dipandang sebagai penyebab dari berbagai hal yang terjadi (Taylor & Fiske, 1978 dalam Myers, 1999).

Seseorang yang lebih menonjol tersebut terkadang juga mengetahui bahwa orang-orang disekeliling mereka bereaksi terhadap perbedaan yang dimilikinya. Hal ini ditandai dengan adanya cara memandang yang lebih buruk dari orang lain, komentar yang tidak sensitif, serta adanya perlakuan yang buruk (Swim & Others, 1998 dalam Myers, 1999).

c. Atribusi

Menurut Feldman dalam Myers (1999) individu yang berprasangka secara sistematik akan menyelewengkan atribusi mereka terhadap target prasangkanya dengan membuat atribusi yang mernyenangkan mengenai kelompok mereka (mayoritas) dan membuat atribusi tidak menyenagkan terhadap anggota minoritas (yang diprasangkai).

lndividu sering membuat fundamental attribution error, yaitu kecenderungan individu mengatribusikan perilaku orang lain pada disposisi mereka dan mengabaikan faktor situasional. Hal ini terjadi karena individu yang berprasangka lebih terfokus pada individu yang diprasangkai daripada faktor situasi (Myers, 1999).

d. Stereotip

Definisi stereo rnenurut Lippman dan Nelson dalarn Myers (1999) adalah kecenderungan seseorang untuk rnenganggap orang lain atau sesuatu secara sarna (merniliki atribut yang sama) berdasarkan persamaan ciri yang terdapat pada setiap anggota.

Menurut Baron & Byrne dalarn Myers (1999) stereotip dapat berbentuk positif maupun negatif. Lebih lanjut stereotip negatif menurut Vaughn & Hoog dalam Gerungan (2000) merupakan proses sentral dari prasangka dan diskriminasi. Lapore & Brown dalam Gerungan (2000) juga mengatakan bahwa terdapat hubungan antara stereotip dengan prasangka.

Prasangka ini tidak digunakan sejak lahir, prasangka ini terbentuk selama manusia berkembang, baik dengan cara didikan ataupun dengan cara identifikasi dengan orang lain yang sudah berprasangka.