Andrika Mahaprakasa-Pahlawan Paling Egois

Hidupku bagai gurauan, apalagi waktu aku tahu aku keturunan Ksatria Pujangga Mahaprakasa.

Padahal, aku hanyalah anak biasa, yang energik, eksis di medsos, serta suka pencak silat. Keluargaku juga biasa. Aku punya kakek, kakak, dan mama papaku akur, kecuali ketika mereka sedang saling mengintai untuk mengetahui produk terbaru masing-masing perusahaan sebagai CEO dari dua perusahaan yang saling bersaing.

Di umur dua belas, aku mulai tahu aku itu reinkarnasi dari Ksatria Pujangga Mahaprakasa. Hari itu, kakekku mengoceh tak jelas sementara aku mengikat tali sepatu. Aku mau bermain bersama bocah kompleks lainnya.

“Drika, kamu harus punya ego yang besar. Egomu nggak boleh kalah dengan Ksatria Pujangga Mahaprakasa.”

“Iya, Kek.”

“Keinginanmu harus lebih kuat dari keinginan Mahaprakasa. Kalau tidak, kamu akan menghancurkan semuanya!”

“Iya, Kek.” kataku asal. Jujur aku tak mengerti apa yang dibicarakannya atau siapa itu Mahaprakasa. Yang aku paham, memang aku suka merasakan kemarahan asing, entah dari mana asalnya. Ketika aku masih kecil, aku sering marah tanpa alasan. “Aku pergi main dulu.” kataku sambil salim, kemudian berlari menuju lapangan kompleks.

Sore-sore bermain bola memang menyenangkan, sampai datang preman kompleks bersama dua orang temannya yang mengekor seperti bawahan. Anak laki-laki tinggi berotot, berwajah garang, dan cara berjalannya arogan.

Wajahku memerah malu karena melihat remaja itu mendorong tetanggaku yang masih berusia delapan tahun hingga jatuh ke tanah. Aku mencium bau-bau tempat ini akan jadi TKP bullying. Dari bayang-bayang diriku timbul api kemarahan yang membara di luar akalku.

Hancurkan!! Lantakkan!!

Hingga tak bersisa!!

Dua baris berima itu samar-samar terbentuk dalam pikiranku.

“Kakak!! Hentikan!!” Aku mendatangi kakakku.

Ya, aku malu karena preman jadi-jadian itu kakakku yang tiga tahun lebih tua. Dulu, dia seorang atlet silat. Karena sering memenangkan perlombaan, dia merasa kuat. Padahal, dia sendiri berhenti bela diri karena merasa tak punya harapan untuk jadi profesional.

“Kak Andre!! Jadi jamet itu NGGAK KEREN!!” Teriakku marah.

“Kamu mau main pahlawanan? Sini kalau berani!” Tantangnya.

Kakak ikut silat karena tenaganya berlebih. Aku juga sama. Bahkan, kami sering adu kekuatan dan teknik di ruang keluarga hingga ibuku memaksa aku berhenti belajar pencak silat karena terlalu banyak barangnya rusak. Aku tak takut kalah dengan kakak.

Sore itu, aku berkelahi di lapangan kompleks. Ketika aku berkelahi, tubuhku menjadi kuat, otot-ototku seperti baja. Masalahnya, aku kehilangan kontrol. Aku mengamuk dan mengatakan hal-hal yang jelas bukan aku.

“Orang lahir dari tanah,

Lautan membelah pulau.

Menindas telak yang lemah,

Bagai binatang saja kau!” Kataku sehabis melancarkan pukulan depan yang menjatuhkan kakak. Aku yang tak tertarik terhadap sastra, bagaimana bisa tiba-tiba membuat pantun dalam sekejap?

Kakakku, yang belum kapok juga, bangkit menertawakanku. “Haha! Cemen!! Masa berkelahi pakai pantun!” Kedua temannya juga ikut-ikutan.

Mukaku memerah. “Diam!!” Tak tahan mendengar tawa mereka, aku berlari pulang.

“Awas, Ndri! Di rumah kita tentukan!” Gertak kakak.

Sesampainya di rumah, aku mengeram di kamar. Tak kusangka, kakek masuk kamarku membawa sebuah topeng Maha, pahlawan yang terkenal egois.

“Andrika, aku paham. Aku juga berjuang melawan alam bawah sadar Mahaprakasa. Kekuatan Mahaprakasa bisa dipakai untuk kebaikan, selama kamu lebih egois daripada pujangga itu. Keinginanmu yang harus diperjuangkan adalah menolong orang lain, tak peduli bagaimana pendapat orang lain. Tolonglah semua orang, meskipun mereka tak mau ditolong! Itulah egoisanmu yang akan mengalahkan kemarahan Mahaprakasa!”

Saat itu aku menyadari bahwa kakekku tidak mengoceh sembarangan. Nasehatnya serius. Aku mengambil topeng yang akan mengubah hidupku. “Terima kasih! Aku takkan kehilangan kontrol lagi.” janjiku.

Malam itu untunglah kedua orangtuaku lembur, karena aku dan kakakku kembali bertengkar. Seperti sebelumnya, tenaga itu muncul dan membawa amarah yang mengerikan. Tapi sekarang, aku menekannya dengan egoku. Setiap orang pasti mengalami pertentangan antara hasrat dan egonya, karena itu aku pasti bisa mengalahkannya. Kami bertengkar hebat, sementara kakekku menonton dengan punggungnya yang encok.

Kali ini aku berhasil mengalahkan kakakku dengan telak, tanpa lepas kendali.

“Kakak, jangan jadi preman jamet!”

“Memangnya kamu ngerti aku?!”

“Nggak! Tapi preman jamet itu nggak keren!! Mulai sekarang aku akan berlatih menjadi pahlawan paling egois di dunia, tolong bantu aku!!”

Kakak malah tertawa. “Jadi selama ini kamu mengalahkanku dengan kekuatan Mahaprakasa. Baiklah, aku akan membantumu. Aku penasaran kenapa kekuatan itu muncul padamu.”

Aku tersenyum mendengarnya. Akhirnya sibling rivalry ini berakhir. Aku mengulurkan tanganku pada kakak. “Makasih!!”

Tak lama kedua orangtuaku pulang. “Andree!!! Andrikaaa!!! KALIAN BERTENGKAR LAGI?!! VAS BUNGA MAMA PECAH!!!”

“Hiiii!!!” Meskipun keturunan Ksatria Pujangga Mahaprakasa, aku tetap takut sama mama.