Anak-Anak Bawah Tol

Membiru dan mulai menampakkan cahaya surya yang akan terang menderang di saat yang tepat. Belajar dari itu, manusiapun mulai merangkak dan berlari mengerjakan segala aktivitasnya. Semua terasa sangat sejuk dan hangat, karena matahari tak terlalu tinggi. Seorang wanita dengan gamis biru mudan dan menenteng tas kecil berisi buku berjalan mendekati kucing bercorak hitam dan putih. Ia memberi makan sang kucing yang sedari tadi berjalan-jalan di depan gedung asrama.
Angka-angka di depan sangat penuh, memenuhi papan tulis di depan. Sang guru yang sedari tadi berdiri dan berbicara kesana kemari mengenai sebuah gelas yang ditarik oleh kertas. Bingung tak mengerti mulai dirasanya, ia bahkan tak mampu untuk bertanya karena tak mampu menguasai materi sebelumnya. Namun ia mencoba untuk mencari tahu semua hal yang tak di mengerti kepada teman sekelasnya yang paham di luar jam perkuliahan. Saat di sekolah menengah atas memang dia yang paling mengerti, tetapi sekarang disini ia merasa merangkak untuk mengerti suatu pelajaran di setiap mata kuliah.
Jalannya kali ini terasa sangat sulit,meski semula semua termasuk hal yang mudah baginya. jalur undangan untuk ITB menjadi kebanggan tersendiri tetapi untuknya saat ini, itu semua tidaklah penting karena yang penting adalah bagaimana cara untuk berhasil melewati menuntut ilmu di sini. Ia merasa tak percaya diri terhadap kemampuannya selama ini, karena di sini lebih banyaknya orang-orang yang lebih cerdas dan tanggap.
Jalanan menuju asaram juga tak kalah ramainya dari kampus, semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Sifat individualis tak pernah lepas dari orang-orang di sini, kami menjali hidup seperti orang tak kenla. Sosialisasi yang ala kadarnya juga berlaku dikamar seli, kedua teman sekamarnya tak terlalu dekat satu sama lain. Salah satu temanya malah ada yang memutuskan untu keluar dari asrama dan memilih tinggal di kosan terdekat. Yang lainnya adalah sosok yang eksropert namun tak bisa menjadi sosok teman bagi seli. Ia seseorang yang seli kurang suka, hal itu berawal dari kebersihan kamar yang selalu berantakan karena ulahnya. Putri memang terlahir dari keluarga yang berada ia juga tak masuk dengan jalur besasiswa berbeda denga seli yang masuk dengan bidikmisi dan masih mencari-cari beasiswa yang lain.
Pagi haripun terasa sejuk pagi seli yang sejak kemarin sesak nafas karena pelajaran yang susah untuk dimengerti. Pagi yang baru menjadi harapan untuknya membangun mimpi dan menggapainya. Meski hari ini adalah hari minggu, namun ada suatu kegiatan yang harus ia lakukan bersama organisasi gamais ITB. Entah apa yang akan dilakukan namun yang terpikir oleh seli adalah kajian pengajian di masjid salman mungkin. Namun semua perkiraan seli salah, ia dan bersama beberapa orang wanita masuk ke tempat yang tak terduga.
Kumuh, jorok dan tak bersih menjadi kata-kata yang pasti keluar saat pertama menginjakkan kaki di sana. Tempat yang riuh pikuk dan berada di bawah tol membuat suara-suara kendaran berdengung kencang. Mereka masuk ke gubuk yang kecil dan terbuat dari bilik-bilik mampu bertopang kayu-kayu yang kropos. Di dalamnya ada beberapa anak yang sedang belajar dengan salah satu alumnus ITB, mereka berpakian biasa dan terkesan tak bersih. Namun dengan kasih sayang sang guru mengajari dan memberikan semua kemampuan yang ia punya untuk membantu anak-anak tak mampu ini. Lebih dari satu jam mereka mengamati kegiatan itu, dan mulai membantu anak-anak yang kesulitan. Seli yang tak mampu membendung segala pilunya pun berusaha keluar dari gubuk itu dan mulai menangis di depan gubuk reyot.
Bagaimana bisa ia mengeluh dengan segala nikmat yang telah Allah permudah untuknya. Mulai dari masuk ITB dan mendapatkan beasiswa, seharusnya ia tetap bersemangat dan mulai memberikan kontribusi bagi Negara yang telah memberinya uang untuk bisa berkuliah dan bukannya mengeluh. Sesalpun merundungi hatinya yang teriris melihat kilasan hidup di bawah tol ini.
Terpukan seorang yang lembut memanggilnya dan seketika seli menoleh. Orang itu adalah guru si anak-anak kumuh, dia melengkungkan senyum dan mulai duduk di samping seli. “kamu tahu mengapa saya lebih memilih untu mengajar mereka yang kumuh dan kotor,? Karena dari merekalah saya bisa mendapatkan ilmu. Bukannya uang beasiswa yang pemerintah kasih harusnya lebih tepat diberikan pada mereka. Karena mereka perlu pendidikan yang layak dan saya, selama ini mendapatkan beasiswa dari keringat dan darah rakyat. Lalu mengapa saya harus menyombongkan diri dan hanya memperkaya diri saya sendiri, sementara anak-anak seperti mereka membutuhkan saya. jangan mengeluh dan tetap ingat bahwa saat ini dan setelah ini mereka masih tetap membutuhkanmu”.

1 Like